Hari ini aku mendapat wejangan menarik dari rektor. Aku tak menyangka kalau pak rektor begitu santai menceritakan pengalamannya yang sangat banyak tentang kepemimpinan. Menurut beliau seorang pemimpin harus memiliki watak yang dicontohkan oleh rasulullah. Di antaranya adalah cerdas, pandai mengemban amanat,jujur, dipertanggung jawab.
Selasa, 27 November 2012
Sabtu, 17 November 2012
INTERNATIONAL WORKSHOP ON ZAKAH AND WAQF
Minggu ini ada tugas dadakan yang kujalani. Hari Selasa pagi (13/11), aku mendapat telepon bahwa aku ditunjuk Dekan untuk berangkat ke Surabaya untuk mengikuti Workshop Internasional tentang Zakat dan Wakaf di Hotel Singgasana. Kegiatan yang diselenggarakan oleh IAIN Sunan Ampel yang berakhir pada kamis (15/11) ini menghadirkan sejumlah narasumber internasional, seperti dari Saudi Arabia, Mesir, dan Malaysia. Sejumlah tokoh nasional yang sangat kompeten di bidangnya pun turut menyemarakkan acara tersebut. Prof Didin Hafidhuddin (Ketua Umum BAZNAS), Prof Tolchah Hasan (Ketua Umum BWI), dan Dr. Ahmad Juwaini (Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa) memberikan pencerahan bagi segenap peserta yang datang dari segenap penjuru tanah air. Aku turut gembira karena dapat berpartisipasi aktif dalam acara workshop tersebut.
KANKER ITU MEMBAWA MBAK MAR PERGI SELAMANYA
Senin, 5 November 2012, keluarga besar UIN
Maliki Malang berduka. Salah satu karyawan setianya, Mbak Maryani, meninggal
dunia pukul 03.00 dinihari. Mbak Mar--demikian panggilan akrabnya--adalah salah
satu karyawan yang bertugas di bagian umum. Sehari-hari, ia biasanya melakukan
tugas membantu merapikan administrasi di meja resepsionis. Banyak pegawai yang
sangat terkesan ketika Mbak Maryani bertugas untuk membuatkan minuman bagi
seluruh karyawan yang bekerja di kantor Rektorat, gedung Ir Soekarno. Senyumnya
yang ramah dan sikapnya yang santun membuat salah satu Customer eL-Zawa ini disukai
oleh para koleganya. Ia tergolong karyawan yang istiqamah dalam menjalankan
tugasnya.
Sayangnya, sejak
bulan Juli 2012, Mbak Mar diidentifikasi menderita penyakit kanker. Segenap
upaya pengobatan telah dilakukan. Sudah beberapa kali ia harus mondar-mandir ke
dokter dan beberapa hari menginap di rumah sakit. Dalam masa pengobatan,
eL-Zawa sebagai salah satu unit kampus yang diberi amanah mengelola dana ZIS
pernah membantunya untuk menebus obat. Belakangan, Mbak Mar dikabarkan lebih
memilih pengobatan alternatif setelah pengobatan medis tak kunjung memberikan
kesembuhan. Namun, apa mau dikata, Allah SWT berkehendak lain dengan
memanggilnya lebih cepat di saat usia masih 43 tahun.
Semoga, Mbak
Mar diampuni segala dosanya dan mendapat
tempat terbaik di sisi-Nya. Amin.
Senin, 05 November 2012
PENGALAMAN MENYERAHKAN PENGANTIN
Minggu lalu aku punya pengalaman yang unik. Aku diberi amanah untuk menjadi wakil dari salah satu warga yang menikahkan anak laki-lakinya dengan seorang perempuan asal Banyuwangi. Jauh-jauh hari, aku sudah dipesan untuk mengosongkan kegiatan tanggal 30 Oktober. Untungnya, setelah aku cek, ternyata tanggal 30 Oktober adalah hari Selasa dan merupakan hari ujian UTS bagi seluruh mahasiswa. Alhasil, aku tidak harus masuk kelas karena biasanya ada petugas khusus fakultas yang ditunjuk mendampingi mahasiswa. Aku yang sebenarnya merasa belum pantas menerima amanah ini akhirnya menyatakan kesanggupan untuk bisa ikut serta rombongan ke Banyuwangi.
Tepat pukul 4.30 pagi, aku bersama rombongan keluarga besar pak Madi berangkat ke Banyuwangi menggunakan bis besar. Perjalanan cukup melelahkan, setidaknya butuh waktu 7-8 jam untuk mencapai Banyuwangi. Kami akirnya sampai di rumah calon pengantin wanita pukul 12.00 dan langsung mengikuti proses akad nikah dan resepsi walimahan. Dalam upacara walimahan itulah, aku harus melaksanakan tugas pertama seumur hidup mewakili keluarga untuk menyerahkan pengantin pria kepada keluarga pengantin pria. Alhamdulillah, meskipun agak deg-degan, amanah itu berhasil kulaksanakan dengan baik. Ya, pengalaman pertama yang cukup menegangkan syaraf. Aku bersyukur bisa menyampaikan beberapa informansi yang dipesan oleh pemberi amanah, seperti mengundang keluarga pengantin wanita untuk datang ke acara syukuran pengantin pria pada tanggal 3 November. Bagiku, aku sangat gembira karena usai sudah tugasku.
Pukul 15.00, kami mohon pamit. Bis meluncur ke Malang dan baru sampai rumah pukul 24.00 malam. Aku sangat lelah meskipun hatiku gembira. Paginya, Rabu 31 Oktober, aku langsung beraktifitas seperti sediakala.
Hari Kamis, 1 November, pak Madi mendatangiku untuk meminta kesedianku kembali untuk menerima pengantin wanita pada upacara tasyakuran tanggal 3 November di Malang. Wah, berhubung tanggal 3 aku dapat jadwal ceramah di masjid UIN, aku menolak permintaan itu denga halus. Menurutku, pak Madi akan dengan mudah meminta bantuan tokoh-tokoh masyarakat untuk mewakilinya. Tapi, pada tanggal 3 Nov itu, tokoh yang katanya siap menggantikanku tidak bisa hadir. Terpaksa, aku harus tampil ke depan lagi. Acara kampus sedikit kuabaikan demi menjaga perasaan tetanggaku.Alhamdulillah, untuk yang kedua kali, aku bisa menjalankan tugasku dengan baik. Meskipun aku masih anak bau kencur. ternyata masyarakat sekitarku menanggapku sudah layak tampil memerankan tokoh yang dituakan alias sesepuh. Hahaha, ternyata aku sudah tua ya...hehehe
Tepat pukul 4.30 pagi, aku bersama rombongan keluarga besar pak Madi berangkat ke Banyuwangi menggunakan bis besar. Perjalanan cukup melelahkan, setidaknya butuh waktu 7-8 jam untuk mencapai Banyuwangi. Kami akirnya sampai di rumah calon pengantin wanita pukul 12.00 dan langsung mengikuti proses akad nikah dan resepsi walimahan. Dalam upacara walimahan itulah, aku harus melaksanakan tugas pertama seumur hidup mewakili keluarga untuk menyerahkan pengantin pria kepada keluarga pengantin pria. Alhamdulillah, meskipun agak deg-degan, amanah itu berhasil kulaksanakan dengan baik. Ya, pengalaman pertama yang cukup menegangkan syaraf. Aku bersyukur bisa menyampaikan beberapa informansi yang dipesan oleh pemberi amanah, seperti mengundang keluarga pengantin wanita untuk datang ke acara syukuran pengantin pria pada tanggal 3 November. Bagiku, aku sangat gembira karena usai sudah tugasku.
Pukul 15.00, kami mohon pamit. Bis meluncur ke Malang dan baru sampai rumah pukul 24.00 malam. Aku sangat lelah meskipun hatiku gembira. Paginya, Rabu 31 Oktober, aku langsung beraktifitas seperti sediakala.
Hari Kamis, 1 November, pak Madi mendatangiku untuk meminta kesedianku kembali untuk menerima pengantin wanita pada upacara tasyakuran tanggal 3 November di Malang. Wah, berhubung tanggal 3 aku dapat jadwal ceramah di masjid UIN, aku menolak permintaan itu denga halus. Menurutku, pak Madi akan dengan mudah meminta bantuan tokoh-tokoh masyarakat untuk mewakilinya. Tapi, pada tanggal 3 Nov itu, tokoh yang katanya siap menggantikanku tidak bisa hadir. Terpaksa, aku harus tampil ke depan lagi. Acara kampus sedikit kuabaikan demi menjaga perasaan tetanggaku.Alhamdulillah, untuk yang kedua kali, aku bisa menjalankan tugasku dengan baik. Meskipun aku masih anak bau kencur. ternyata masyarakat sekitarku menanggapku sudah layak tampil memerankan tokoh yang dituakan alias sesepuh. Hahaha, ternyata aku sudah tua ya...hehehe
Sabtu, 03 November 2012
Nasib Tragis Penghuni Kontrakan yang Meninggal Mendadak
Sebagai orang yang pernah ngontrak, aku bisa sangat
paham seluk beluk seorang “kontraktor” alias penyewa rumah kontrakan.
Tidak kurang dari 10 tahun aku menghuni rumah yang kubayar uang sewanya
setiap tahun. Sebagai penyewa, statusku di masyarakat sering dianggap
kurang jelas. Ketika ada kegiatan warga, aku sering ditinggalkan. Di
saat aku ikut nimbrung, mereka juga agak acuh tak acuh. Kehadiranku
sering dianggap angin lalu. Hal ini berubah 180 derajat ketika aku tidak
lagi sebagai penyewa rumah di lingkungan itu.
Cerita yang akan kuungkap ini bukan pengalaman pribadiku, tetapi peristiwa penghuni kontrakan yang berada di kampungku sekarang, sebut saja Rio. Awal kisahnya, kemarin lusa pagi, aku diberi tahu oleh salah satu tetangga bahwa salah satu penghuni kontrakan di dekat sungai kampung meninggal dunia pada malam sebelumnya. Hampir semua tetangga tidak ada yang mengenal Rio. Maklum, selama ini Rio tergolong tertutup dan jarang mau bergaul dengan masyarakat. Keluarga Rio terdiri dari Rio, istrinya dan ibunya yang sudah tua. Pasangan muda itu setiap hari bekerja dari pagi hingga malam sedangkan sang ibu sering ditinggal sendirian di rumah. Karena sibuk bekerja, keduanya enggan bergabung dengan kegiatan warga, seperti arisan atau tahlilan. Ketika sang ibu meninggal dunia, Rio panik. Tak seorang pun tetangganya yang ia kenal dan ia bingung harus berbuat apa. Bila ia akan menbawa jenazah ibunya ke kampung halamannya, biaya tentunya sangat tinggi dan waktu tempuh yang sangat lama. Akhirnya, Rio memberanikan diri untuk meminta tolong tetangga sebelahnya untuk membantu menyelesaikan masalahnya.
Langkah pertama yang dilakukan Rio adalah menghubungi saudaranya yang tinggal di Jawa Barat. Lalu, ia mencoba menghubungi ketua RW untuk meminta ijin pemakaman sang ibu. Karena ia bukan penduduk setempat, sesuai dengn aturan kampung, ia ditolak oleh pak RW memakamkan di wilayah tersebut. Ia harus membawa pergi jenazah ibunya ke tempat asal atau ke kampung lain yang bisa menerimanya. Sedih nian nasibnya. Sudah dirundung musibah, diusir pula.
Untungnya, di kala duka semakin dalam, datanglah tokoh masyarakat yang meminta dispensasi kepada pak RW agar Rio diperkenankan memakamkan ibunya di kampung itu. Alasannya tentu atas nama kemanusiaan dan sebagai gantinya Rio harus memberikan biaya pemakaman sepantasnya. Setelah pak RW berdiskusi dengan beberapa tokoh lain, akhirnya diputuskan bahwa bila Rio tetap mau memakamkan ibunya di kampung ibu, ia harus membayar biaya Rp. 1,5 juta. Biaya itu sebenarnya sebagai sebuah bentuk kompensasi bagi jasad yang dimakamkan di wilayah yang tidak mengakuinya sebagai warga penuh.Aku membayangkan, Rio bagai jatuh tertimpa tangga. Tapi, akhirnya Rio menyetujui untuk membayar biaya tersebut daripada harus mencari lokasi lain yang belum tentu ia peroleh dalam waktu dekat. Biaya jelas akan semakin membengkan bila ia harus membawa pulang jasad ibunya ke kampung halamannya yang sangat jauh.
Kesedihan Rio ternyata tidak hanya sampai di situ. Saat upacara pemakaman, tak banyak orang yang mau meluangkan waktu untuk sekedar menghormati pemberangkatan jenazah. Hanya sedikit orang yang melauangkan waktu bertakziyah. Bagi mereka, duka yang dirasakan Rio merupakan salah satu akibat dari sikapnya yang tidak mau bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Hari ini, dua hari setelah pemakaman itu, Rio dan istrinya telah mengosongkan kontrakannya. Entahlah, mungkin ia sedih atas nasibnya yang kurang beruntung atau ia ingin menenangkan diri sejenak di tempat barunya. Beberapa kawannya yang datang hendak menghiburnya terpaksa pulang dengan kecewa. Inilah sebuah kisah yang memilukan yang aku rekam hari ini. Semoga kejadian ini dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk dapat menempatkan diri secara tepat di tengah kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam.
Cerita yang akan kuungkap ini bukan pengalaman pribadiku, tetapi peristiwa penghuni kontrakan yang berada di kampungku sekarang, sebut saja Rio. Awal kisahnya, kemarin lusa pagi, aku diberi tahu oleh salah satu tetangga bahwa salah satu penghuni kontrakan di dekat sungai kampung meninggal dunia pada malam sebelumnya. Hampir semua tetangga tidak ada yang mengenal Rio. Maklum, selama ini Rio tergolong tertutup dan jarang mau bergaul dengan masyarakat. Keluarga Rio terdiri dari Rio, istrinya dan ibunya yang sudah tua. Pasangan muda itu setiap hari bekerja dari pagi hingga malam sedangkan sang ibu sering ditinggal sendirian di rumah. Karena sibuk bekerja, keduanya enggan bergabung dengan kegiatan warga, seperti arisan atau tahlilan. Ketika sang ibu meninggal dunia, Rio panik. Tak seorang pun tetangganya yang ia kenal dan ia bingung harus berbuat apa. Bila ia akan menbawa jenazah ibunya ke kampung halamannya, biaya tentunya sangat tinggi dan waktu tempuh yang sangat lama. Akhirnya, Rio memberanikan diri untuk meminta tolong tetangga sebelahnya untuk membantu menyelesaikan masalahnya.
Langkah pertama yang dilakukan Rio adalah menghubungi saudaranya yang tinggal di Jawa Barat. Lalu, ia mencoba menghubungi ketua RW untuk meminta ijin pemakaman sang ibu. Karena ia bukan penduduk setempat, sesuai dengn aturan kampung, ia ditolak oleh pak RW memakamkan di wilayah tersebut. Ia harus membawa pergi jenazah ibunya ke tempat asal atau ke kampung lain yang bisa menerimanya. Sedih nian nasibnya. Sudah dirundung musibah, diusir pula.
Untungnya, di kala duka semakin dalam, datanglah tokoh masyarakat yang meminta dispensasi kepada pak RW agar Rio diperkenankan memakamkan ibunya di kampung itu. Alasannya tentu atas nama kemanusiaan dan sebagai gantinya Rio harus memberikan biaya pemakaman sepantasnya. Setelah pak RW berdiskusi dengan beberapa tokoh lain, akhirnya diputuskan bahwa bila Rio tetap mau memakamkan ibunya di kampung ibu, ia harus membayar biaya Rp. 1,5 juta. Biaya itu sebenarnya sebagai sebuah bentuk kompensasi bagi jasad yang dimakamkan di wilayah yang tidak mengakuinya sebagai warga penuh.Aku membayangkan, Rio bagai jatuh tertimpa tangga. Tapi, akhirnya Rio menyetujui untuk membayar biaya tersebut daripada harus mencari lokasi lain yang belum tentu ia peroleh dalam waktu dekat. Biaya jelas akan semakin membengkan bila ia harus membawa pulang jasad ibunya ke kampung halamannya yang sangat jauh.
Kesedihan Rio ternyata tidak hanya sampai di situ. Saat upacara pemakaman, tak banyak orang yang mau meluangkan waktu untuk sekedar menghormati pemberangkatan jenazah. Hanya sedikit orang yang melauangkan waktu bertakziyah. Bagi mereka, duka yang dirasakan Rio merupakan salah satu akibat dari sikapnya yang tidak mau bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Hari ini, dua hari setelah pemakaman itu, Rio dan istrinya telah mengosongkan kontrakannya. Entahlah, mungkin ia sedih atas nasibnya yang kurang beruntung atau ia ingin menenangkan diri sejenak di tempat barunya. Beberapa kawannya yang datang hendak menghiburnya terpaksa pulang dengan kecewa. Inilah sebuah kisah yang memilukan yang aku rekam hari ini. Semoga kejadian ini dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk dapat menempatkan diri secara tepat di tengah kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam.
Kamis, 01 November 2012
INTERNET, SMARTPHONE, DAN PERGAULAN BEBAS
Hampir semua orang
yang sudah pernah menjelajahi dunia internet pasti merasakan manfaatnya
yang luar biasa. Sebelum adanya internet, informasi begitu sulit didapat
dan kalaupun bisa masih perlu usaha keras dan biaya yang cukup tinggi.
Sebagai akademisi, saya mengakui bahwa pekerjaan saya sangat terbantu
dengan adanya internet. Saya sering mencari informasi tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan profesi dan keahlian saya. Buku-buku, jurnal,
artikel, dan tulisan-tulisan lepas banyak bertebaran di dunia maya yang
dilengkapi gambar full color. Belanja online, pesan tiket hingga
komunikasi langsung via webcame sudah menjadi menu harian yang tak asing
bagi banyak orang. Jagat hiburan pun mudah didapat dan gratis pula
melalui game online maupun situs penyedia film. Pendeknya, internet
bukan hal asing dan kian menjadi kebutuhan pokok di era globalisasi ini.
Akses
internet kini semakin mudah dan murah. Dulu, seseorang yang ingin
mengakses internet harus berjalan dulu ke warnet dan dengan sabar
menghadapi antrian panjang dan biaya yang cukup mahal. Kini, telah hadir
ponsel pintar atau smartphone dengan harga kacang goreng yang dapat
ditemukan di mana-mana. Banjirnya produk-produk luar negeri yang murah
meriah menyebabkan telepon genggam sudah biasa dikonsumsi anak-anak pra
sekolah sekalipun. Telepon rumah banyak yang diputus dan beralih ke
telepon mobile. Internet pun tidak kalah seru. Hampir setiap telepon
telah dilengkapi gadget untuk akses internet. Tawaran bonus dari
provider semakin memanjakan para netter. Akhirnya, akses informasi
semakin mudah dan sangat murah.
Permasalahannya
kemudian, apakah teknologi canggih itu hanya memberikan dampak positif
saja? Ternyata tidak. Kemajuan teknologi selalu bersifat value free. Ia
bersifat netral dan dapat digunakan untuk apa saja tergantung si
pemiliknya. Dulu, sebelum adanya televisi, pro kontra
hadirnya teknologi gambar jarak jauh itu kerap muncul dan bahkan hingga
sekarang. Begitu pula saat internet menjadi tren gaya hidup manusia
modern. Perbedaan pendapat selalu saja bermunculan. Permasalahannya
adalah apakah semua orang akan menyikapi perkembangan teknologi itu
dengan baik dan akan memanfaatkan semua fasilitas itu untuk kebaikan
hidup? Pasti jawabnya sangat klasik: tergantung orangnya.
Internet
yang kini dengan mudah dapat diakses via ponsel pintar telah banyak
membuat resah banyak kalangan. Setidaknya penelitian dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika pada 2011 yang
melibatkan 1.800 pelajar di Los Angeles berusia 12-18 menunukkan bahwa
smartphone dapat memicu pergaulan bebas para remaja (www.kompas.com, 31
Okt 2012). Mereka bisa mencari pasangan via internet dan melakukan
pergaulan bebas tanpa ikatan pernikahan. Miris bukan?
Menurut
saya, smartphone bagi orang dewasa sangat bermanfaat. Tetapi, bila
disalahgunakan oleh mereka yang belum dewasa dan hanya mencari
kesenangan belaka, maka internet yang diakses melalui ponsel pintar
dapat memicu kriminalitas baru seperti perdagangan anak, penipuan, dan
pergaulan bebas. Anak-anak yang hidup di pedesaan tak kalah mahirnya
menggunakan smartphone. Kasus hamil di luar nikah tak jarang diawali
dengan komunikasi via telepon dengan orang tak dikenal dan
informasi-informasi tanpa sensor yang dapat diakses via handphone di
dalam kamar tertutup. Bonus pulsa dan internet gratis semakin
menyuburkan perilaku negatif bagi orang-orang yang tak dapat menguasai
hawa nafsunya. Prihatin memang, tapi sekali lagi ini merupakan tantangan
untuk anak-anak kita dan generasi penerus bangsa yang harus siap mental
menghadapi arus informasi yang kian menggila tanpa batas.
Untuk
mengantisipasi hal ini, saya mempunyai beberapa usulan. Pertama,
hendaklah orang tua selalu menjalin komunikasi dengan anak-anak sambil
menjelaskan plus minus smartphone. Banyak orang tua yang malu ketika
anaknya dibilang anak jadul karena teleponnya tidak ada video atau akses
internet. Bagi saya, handphone bagi anak remaja masih sebatas berfungsi
untuk alat komunikasi. Jadi, jika mereka ingin mengakses internet cukup
melalui komputer yang ada di ruang terbuka yang dapat dikontrol oleh
orang tua.
Kedua,
pendidikan agama telah terbukti menjadi filter mujarab bagi anak-anak
agar mereka memiliki rasa bersalah ketika melakukan perbuatan buruk.
Perasaan selalu diawasi oleh zat yang maha agung dan adanya
pertanggungjawaban atas segala perbuatan kelak di akhirat layak untuk
ditanamkan sejak dini. Meskipun ini terdengar klise, tapi bagi saya tak
ada yang bisa mengatur diri seseorang kecuali dirinya sendiri. Sebanyak
apapun pengawasan, sesering apapun nasehat, kalau tidak dibarengi dengan
kesadaran robbani kehidupan ini akan semakin hancur. Tidak hanya dalam
hal akses internet yang tidak sehat, kehidupan ini secara luas juga akan
rusak bisa manusia hanya mengikuti hawa nafsunya yang cenderung
mengajak kepada keburukan. Korups misalnya akan tetap tumbuh subur
selama manusia tidak memiliki kesadaran robbani. Jadi, pendidikan agama
yang mengajarkan budi pekerti luhur tetap masih nomor satu untuk
perbaikan moralitas dalam kehidupan.
Demikian, sekilas unek-unek senja yang cukup menggundahkan saya. Semoga ada manfaatnya. Salam hangat!PERJUANGAN ITU PERLU KETABAHAN, KAWAN!
Pagi ini aku punya pengalaman menarik. Selepas jamaah Subuh, aku sempat berbincang dengan salah satu tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh di kampungku. Beliau adalah Haji Muslimin, pendiri mushalla Radhatul Jannah dekat rumahku. Sebenarnya, aku sering punya waktu bercengkerama dengan beliau, tetapi kali ini agak lain. Tadi pagi aku mendengarkan ulasan perjuangan beliau dalam membina keagamaan masyarakat Gasek yang dulunya terkenal sebagai masyarakat abangan. Mabuk, judi, maling, adu ayam, hingga kumpul kebo dapat ditemukan di daerah ini. Pendeknya, agama adalah kebutuhan nomor buncit. Tradisi Hindu Budha masih sangat kental. Salah satu buktinya adalah berdirinya Candi Badut yang sampai hari ini tetap dilestarikan sebagai tanda peninggalan bersejarah.
Haji Muslimin sudah berusia lanjut. Cucunya sudah banyak dan secara fisik sudah perlu istirahat. Di masa muda, beliau terkenal sebagai orang paling kaya di desanya dengan usaha di bidang konstruksi bangunan (kontraktor). Tidak kurang dari tiga kali beliau berkunjung ke tanah suci. Seluruh anaknya telah dihajikan. Tanahnya tersebar di mana-mana. Tak sedikit dari tanahnya yang diwakafkan, termasuk seribu meter tanah diwakafkan untuk lokasi pondok pesantren Sabilurrasyad yang ada di sebelah barat desa. Meskipun begitu, beliau mengakui bahwa pengetahuan agamanya sangat terbatas. Beliau tidak sempat mendalami agama karena sibuk mengejar dunia. Tapi kini, di saat usianya menjelang senja, ibadahnya begitu intensif. Berbagai kegiatan agama dihadirinya. Perjuangan untuk memberikan nuansa religius di kampungnya dilakukannya dengan serius, sambil menggandeng beberapa tokoh agama yang memiliki kesungguhan berjuang. Kini, tidak kurang dari tiga pondok pesantren yang bermunculan di desa Gasek dan suasana keagamaan terasa begitu kental.
Bagaimana liku-liku perjuangan beliau hingga sukses seperti hari ini? salah satu kuncinya adalah pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Pergesekan antar tokoh masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda acap kali terjadi. Kasus yang terakhir adalah saat masjid kampung direnovasi. Masjid yang dimaksud adalah masjid Hidayatul Khair yang berada di tengah-tengah kampung. Perbedaan itu antara lain saat melakukan perombakan atap dan pendirian beberapa bangunan di sekitar masjid yang digunakan untuk kegiatan diniyah. Haji Muslimin yang tergolong sesepuh masyarakat sering tidak diajak diskusi tentang renovasi itu. Begitu pula, dalam beberapa kasus, pendapatnya tidak diindahkan oleh takmir yang dulu diangkatnya. Pendek kata, perjuangan itu butuh kesabaran, termasuk kemampuan menahan diri ketika tidak lagi dianggap lagi sebagai orang penting yang punya otoritas. Kalau beliau mau, tentunya segala bantuan finansial yang selama ini diberikan untuk pembangunan masjid akan ditariknya atau beliau tidak mau lagi terlibat aktif memikirkan masjid. Namun tidak bagi haji Muslimin. Meskipun orang-orang muda yang kini menguasai kehidupan keagamaan termasuk masjid tidak lagi mengubris ucapannya, ia tetap teguh untuk terus berjuang demi tegakkan ajaran Islam di kampungnya. Luar biasa, bukan?
Haji Muslimin sudah berusia lanjut. Cucunya sudah banyak dan secara fisik sudah perlu istirahat. Di masa muda, beliau terkenal sebagai orang paling kaya di desanya dengan usaha di bidang konstruksi bangunan (kontraktor). Tidak kurang dari tiga kali beliau berkunjung ke tanah suci. Seluruh anaknya telah dihajikan. Tanahnya tersebar di mana-mana. Tak sedikit dari tanahnya yang diwakafkan, termasuk seribu meter tanah diwakafkan untuk lokasi pondok pesantren Sabilurrasyad yang ada di sebelah barat desa. Meskipun begitu, beliau mengakui bahwa pengetahuan agamanya sangat terbatas. Beliau tidak sempat mendalami agama karena sibuk mengejar dunia. Tapi kini, di saat usianya menjelang senja, ibadahnya begitu intensif. Berbagai kegiatan agama dihadirinya. Perjuangan untuk memberikan nuansa religius di kampungnya dilakukannya dengan serius, sambil menggandeng beberapa tokoh agama yang memiliki kesungguhan berjuang. Kini, tidak kurang dari tiga pondok pesantren yang bermunculan di desa Gasek dan suasana keagamaan terasa begitu kental.
Bagaimana liku-liku perjuangan beliau hingga sukses seperti hari ini? salah satu kuncinya adalah pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Pergesekan antar tokoh masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda acap kali terjadi. Kasus yang terakhir adalah saat masjid kampung direnovasi. Masjid yang dimaksud adalah masjid Hidayatul Khair yang berada di tengah-tengah kampung. Perbedaan itu antara lain saat melakukan perombakan atap dan pendirian beberapa bangunan di sekitar masjid yang digunakan untuk kegiatan diniyah. Haji Muslimin yang tergolong sesepuh masyarakat sering tidak diajak diskusi tentang renovasi itu. Begitu pula, dalam beberapa kasus, pendapatnya tidak diindahkan oleh takmir yang dulu diangkatnya. Pendek kata, perjuangan itu butuh kesabaran, termasuk kemampuan menahan diri ketika tidak lagi dianggap lagi sebagai orang penting yang punya otoritas. Kalau beliau mau, tentunya segala bantuan finansial yang selama ini diberikan untuk pembangunan masjid akan ditariknya atau beliau tidak mau lagi terlibat aktif memikirkan masjid. Namun tidak bagi haji Muslimin. Meskipun orang-orang muda yang kini menguasai kehidupan keagamaan termasuk masjid tidak lagi mengubris ucapannya, ia tetap teguh untuk terus berjuang demi tegakkan ajaran Islam di kampungnya. Luar biasa, bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)