Hampir semua orang
yang sudah pernah menjelajahi dunia internet pasti merasakan manfaatnya
yang luar biasa. Sebelum adanya internet, informasi begitu sulit didapat
dan kalaupun bisa masih perlu usaha keras dan biaya yang cukup tinggi.
Sebagai akademisi, saya mengakui bahwa pekerjaan saya sangat terbantu
dengan adanya internet. Saya sering mencari informasi tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan profesi dan keahlian saya. Buku-buku, jurnal,
artikel, dan tulisan-tulisan lepas banyak bertebaran di dunia maya yang
dilengkapi gambar full color. Belanja online, pesan tiket hingga
komunikasi langsung via webcame sudah menjadi menu harian yang tak asing
bagi banyak orang. Jagat hiburan pun mudah didapat dan gratis pula
melalui game online maupun situs penyedia film. Pendeknya, internet
bukan hal asing dan kian menjadi kebutuhan pokok di era globalisasi ini.
Akses
internet kini semakin mudah dan murah. Dulu, seseorang yang ingin
mengakses internet harus berjalan dulu ke warnet dan dengan sabar
menghadapi antrian panjang dan biaya yang cukup mahal. Kini, telah hadir
ponsel pintar atau smartphone dengan harga kacang goreng yang dapat
ditemukan di mana-mana. Banjirnya produk-produk luar negeri yang murah
meriah menyebabkan telepon genggam sudah biasa dikonsumsi anak-anak pra
sekolah sekalipun. Telepon rumah banyak yang diputus dan beralih ke
telepon mobile. Internet pun tidak kalah seru. Hampir setiap telepon
telah dilengkapi gadget untuk akses internet. Tawaran bonus dari
provider semakin memanjakan para netter. Akhirnya, akses informasi
semakin mudah dan sangat murah.
Permasalahannya
kemudian, apakah teknologi canggih itu hanya memberikan dampak positif
saja? Ternyata tidak. Kemajuan teknologi selalu bersifat value free. Ia
bersifat netral dan dapat digunakan untuk apa saja tergantung si
pemiliknya. Dulu, sebelum adanya televisi, pro kontra
hadirnya teknologi gambar jarak jauh itu kerap muncul dan bahkan hingga
sekarang. Begitu pula saat internet menjadi tren gaya hidup manusia
modern. Perbedaan pendapat selalu saja bermunculan. Permasalahannya
adalah apakah semua orang akan menyikapi perkembangan teknologi itu
dengan baik dan akan memanfaatkan semua fasilitas itu untuk kebaikan
hidup? Pasti jawabnya sangat klasik: tergantung orangnya.
Internet
yang kini dengan mudah dapat diakses via ponsel pintar telah banyak
membuat resah banyak kalangan. Setidaknya penelitian dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika pada 2011 yang
melibatkan 1.800 pelajar di Los Angeles berusia 12-18 menunukkan bahwa
smartphone dapat memicu pergaulan bebas para remaja (www.kompas.com, 31
Okt 2012). Mereka bisa mencari pasangan via internet dan melakukan
pergaulan bebas tanpa ikatan pernikahan. Miris bukan?
Menurut
saya, smartphone bagi orang dewasa sangat bermanfaat. Tetapi, bila
disalahgunakan oleh mereka yang belum dewasa dan hanya mencari
kesenangan belaka, maka internet yang diakses melalui ponsel pintar
dapat memicu kriminalitas baru seperti perdagangan anak, penipuan, dan
pergaulan bebas. Anak-anak yang hidup di pedesaan tak kalah mahirnya
menggunakan smartphone. Kasus hamil di luar nikah tak jarang diawali
dengan komunikasi via telepon dengan orang tak dikenal dan
informasi-informasi tanpa sensor yang dapat diakses via handphone di
dalam kamar tertutup. Bonus pulsa dan internet gratis semakin
menyuburkan perilaku negatif bagi orang-orang yang tak dapat menguasai
hawa nafsunya. Prihatin memang, tapi sekali lagi ini merupakan tantangan
untuk anak-anak kita dan generasi penerus bangsa yang harus siap mental
menghadapi arus informasi yang kian menggila tanpa batas.
Untuk
mengantisipasi hal ini, saya mempunyai beberapa usulan. Pertama,
hendaklah orang tua selalu menjalin komunikasi dengan anak-anak sambil
menjelaskan plus minus smartphone. Banyak orang tua yang malu ketika
anaknya dibilang anak jadul karena teleponnya tidak ada video atau akses
internet. Bagi saya, handphone bagi anak remaja masih sebatas berfungsi
untuk alat komunikasi. Jadi, jika mereka ingin mengakses internet cukup
melalui komputer yang ada di ruang terbuka yang dapat dikontrol oleh
orang tua.
Kedua,
pendidikan agama telah terbukti menjadi filter mujarab bagi anak-anak
agar mereka memiliki rasa bersalah ketika melakukan perbuatan buruk.
Perasaan selalu diawasi oleh zat yang maha agung dan adanya
pertanggungjawaban atas segala perbuatan kelak di akhirat layak untuk
ditanamkan sejak dini. Meskipun ini terdengar klise, tapi bagi saya tak
ada yang bisa mengatur diri seseorang kecuali dirinya sendiri. Sebanyak
apapun pengawasan, sesering apapun nasehat, kalau tidak dibarengi dengan
kesadaran robbani kehidupan ini akan semakin hancur. Tidak hanya dalam
hal akses internet yang tidak sehat, kehidupan ini secara luas juga akan
rusak bisa manusia hanya mengikuti hawa nafsunya yang cenderung
mengajak kepada keburukan. Korups misalnya akan tetap tumbuh subur
selama manusia tidak memiliki kesadaran robbani. Jadi, pendidikan agama
yang mengajarkan budi pekerti luhur tetap masih nomor satu untuk
perbaikan moralitas dalam kehidupan.
Demikian, sekilas unek-unek senja yang cukup menggundahkan saya. Semoga ada manfaatnya. Salam hangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar