“Mau jadi profesor? Gampang kok!” kalimat itu meluncur dari prof Imam
Suprayogo tatkala mengisi acara akselerasi profesor di Auditorium Gedung
Ir Soekarno UIN Maliki Malang, siang tadi (7/9/13). Kehadiran beliau
sangat dielu-elukan oleh segenap civitas akademika kampus yang pernah
dipimpinnya. Suasana begitu cair, syahdu dan haru. Canda
tawa khas beliau membuat orang tertawa dan selalu merindukannya. Prof
Imam kali ini diundang dalam kapasitasnya sebagai salah satu anggota tim
penilai usulan profesor yang diajukan oleh berbagai perguruan tinggi
Islam se-Indonesia. Beliau diminta untuk menyemangati lahirnya para guru
besar baru yang siap mengemban amanat pengembangan kampus yang
berslogan Ulul Albab itu.
Gelar
guru besar atau profesor memang satu kebanggaan yang bukan hanya milik
para penerimanya namun juga satu prestise bagi universitas pengusulnya.
Bisa dibayangkan, kampus besar
dengan mahasiswa ribuan akan jatuh reputasinya ketika jumlah guru
besarnya sedikit. Guru besar sebagaimana namanya merupakan sosok ilmuwan
sejati yang telah teruji keahliannya. Dalam hal finansial, seorang guru
besar dengan segala kemampuannya berhak untuk mendapatkan tunjangan
kehormatan yang jumlahnya cukup menggiurkan, sekitar tiga sampai lima
gaji pokoknya. Banyak orang yang sangat menginginkannya. Namun sayang
harapan itu tidak segera dapat diwujudkan. Masalahnya biasanya sangat
tergantung pada keaktifannya dalam menulis. Menulis sebenarnya tidak
berat. Menulis hanya membutuhkan ketekunan dan semangat. Tulisan-tulisan
yang sudah diterbitkan akan mempermudah jalan seseorang untuk menjadi
seorang profesor.
Prof
Imam kemudian bercerita tentang kegagalan sejumlah dosen yang tidak
bisa diterima usulan gurubesarnya. Menurut beliau, baru-baru ini, dari
50 kandidat profesor di Kementerian Agama, hanya 4 orang yang layak
dianugerahi gelar profesor. Mengapa? Apakah ini indikasi bahwa meraih
kedudukan profesor sulit? Jawabannya berkali-kali beliau tegaskan:
tidak, tidak, dan tidak! Mereka gagal sebenarnya bukan karena mereka
tidak cukup mengajar, kurang pengabdian, atau kurang tulisan. Kalau
untuk poin terpenuhinya tridarma perguruan tinggi, hampir semua mumpuni.
Masalahnya hanya satu, yakni tulisannya kurang relevan dengan
keahliannya. Sebagai contoh, seseorang mengusulkan dirinya untuk
diangkat menjadi guru besar di bidang Hukum Islam, namun ternyata
tulisannya banyak berbicara tentang sejarah. Contoh lain, seseorang yang
keahliannya di bidang biologi, namun karya-karyanya bernuansa tasawuf.
Memang tidak salah, seseorang memiliki dua atau lebih kecenderungan
ilmu, namun harus satu rumpun. Jika satu rumpun, tulisannya pasti tidak
akan yang diragukan.
Selain
tulisan, nampaknya tidak ada lagi masalah krusial yang menghalangi
seseorang untuk menjadi guru besar. Kalaulah ada hanya masalah teknis.
Demikian penegasan prof Muhaimin yang juga diundang mendampingi prof
Imam. Misalnya berkaitan dengan
lokasi penerbitannya. Tulisan dapat diterbitkan dalam bentuk artikel
dalam jurnal dan buku. Nah, jurnal mana? Biasanya untuk setiap kenaikan
pangkat, ada sejumlah syarat, di antaranya harus diterbitkan di jurnal
terakreditasi, minimal tingkat nasional, syukur-syukur kalau
internasional. Untuk jurnal terakreditasi nasional, hampir setiap
perguran tinggi besar memilikinya. Adapun jurnal internasional tidak
selalu berkonotasi bahwa jurnal itu terbitan luar negeri. Sejumlah
lembaga pendidikan tinggi Indonesia juga banyak yang berhasil memiliki
jurnal internasional terakreditasi, misalnya jurnal dari UIN Jakarta dan
UIN Yogyakarta.
Jadi,
intinya, untuk jadi guru besar yang kesejahteraannya cukup tinggi itu
hanya membutuhkan ketekunan dalam meneliti dan menuangkannya dalam
bentuk tulisan. Kalau sudah begitu, tinggal kemampuan kita untuk
mempublikasikan sesuai dengan kebutuhan. Nah, betul kan, jadi guru besar
itu mudah? Ayo nulis, nulis dan publish!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar