Jumat, 05 Desember 2008

KURBAN PRODUKTIF, MUNGKINKAH?


Berbicara tentang sisi filantropi Islam, pikiran kita umumnya langsung tertuju pada Zakat Infak dan Sedekah (ZIS). ZIS memang diakui sebagai salah satu motor penggerak distribusi kekayaan dari kaum kaya (the have) kepada kaum papa (the have not). Tak pelak, banyak lembaga-lembaga pengelola yang kini menjamur setelah digulirkannya Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Saat ini lebih dari 15 LAZ yang berskala nasional ditambah lagi kekuatan BAZ dari tingkat nasional hingga kecamatan. Ini merupakan pertanda baik bahwa jaringan pemberdayaan zakat sudah mengakar di masyarakat.

Selain zakat, bidang filantropi lain yang kini sedang naik daun adalah wakaf. Dulu, wakaf identik dengan sepetak tanah yang digunakan untuk kegiatan religius, seperti masjid, madrasah, dan panti asuhan. Dengan berkembangnya ijtihad modern yang terus bergulir, kini wakaf tidak lagi terbatas pada benda-benda tak bergerak seperti yang ditur dalam Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Wakaf buku, kendaraan, atau bahkan uang sudah bukan barang baru lagi dalam wacana keagamaan bangsa ini. Produk perbankan yang berupa wakaf tunai kini sudah diluncurkan sehingga nampaknya tiada lagi alasan untuk tidak ikut serta dalam program shadaqah jariyah demi tabungan akhirat kita kelak.

Selain dua hal di atas, ada satu bidang lagi yang tak kalah pentingnya dalam upaya menyejahterakan masyarakat, yakni ibadah kurban yang tiap tahun dilakukan oleh umat Islam. Ribuan atau mungkin bahkan ratusan ribu ekor sapi dan kambing disembelih untuk menandai rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang tercurahkan selama ini. Antrian panjang masyarakat untuk mendapatkan bagian daging mengingatkan kita kepada barisan panjang mengular pada bulan Ramadhan demi sepaket zakat fitrah atau zakat mal yang dibagikan. Baru-baru ini tragedi Pasuruan (15/9) menjadi pelajaran kita untuk dapat mengorganisasi pendistribusian daging kurban yang akan kita laksanakan tahun ini.

Dalam rangka menfasilitasi mereka yang hendak berkurban, kini berbondong-bondong lembaga yang biasa mengurus zakat memberikan tawaran penyaluran hewan kurban. Berbagai poster dan spanduk terbentang di pelbagai sudut kota dengan untaian kalimat yang menyentuh hati agar segera berderma. Belum lagi di lembaran koran dan layar internet, promosi sekaligus harga perekor dapat kita jumpai dengan mudahnya. Permasalahannya kemudian, haruskah dana yang telah dibayarkan si calon pemberi kurban digunakan untuk membeli hewan kurban? Atau dengan kata lain, mungkinkah hewan kurban diganti dengan uang?

Pertanyaan di atas mungkin dianggap mengada-ada. Di saat masyarakat kita terhimpit dengan berbagai masalah ekonomi bertubi-tubi, yang sangat mungkin banyak orang yang tak mampu membeli sepotong daging, hari raya Idul Adha adalah momen yang ditunggu untuk menikmati daging gratis sepuasnya. Mereka akan menikmati sate dan gulai dengan aneka aroma dan rasa tanpa dibebani untuk mengelurkan uang. Pendeknya, hari raya Idul Adha adalah pesta daging, setidaknya selama empat hari, mulai tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah.

Namun, ada hal lain yang perlu dipikirkan. Haruskah pesta itu harus berakhir sekejap? Tidak adakah kebutuhan lain yang justru lebih mendesak? Apa artinya pesta sehari kemudian harus lapar satu minggu? Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu menjadi renungan bersama. Dalam ajaran agama, kurban tergolong ibadah sunnah, meskipun sebagian ulama mengatakan wajib. Ayat yang sering disitir oleh para muballigh adalah surat al-Kautsar: 2 yang artinya “maka dirikanlah shalat untuk tuhanmu dan berkurbanlah.” Kata “berkurbanlah” mengandung arti perintah, yang dapat bermakna wajib atau sunnah tergantung argumentasi yang diberikan. Bagi kelompok yang mewajibkan dapat beralasan bahwa setiap kalimat perintah bermuatan hukum wajib (al-ashlu fi al-amr li al-wujub). Adapun kelompok yang menyatakan sunnah dapat berargumen bahwa nabi tidak mengharuskan para sahabatnya untuk memberikan kurbannya, namun bagi yang mampu sangat dianjurkan, sebagai salah satu bentuk distribusi harta sehingga tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja.

Kalkulasi sederhana jika hewan korban diuangkan nampaknya jauh lebih besar jumlahnya ketimbang zakat fitrah yang hanya sekitar Rp. 10.000, atau zakat mal yang hanya 2.5% dari harta, itupun masih banyak mengelak dengan argumen zakat mal diambil dari sisa bersih penghasilan. Padahal, kita sering mengeluh kekurangan ini dan itu karena banyaknya keinginan dan kebutuhan kita daripada pendapatan, sebesar apapun penghasilan kita. Nah, kalau hewan kurban dengan harga minimal kambing sekarang sekitar Rp. 700.000 atau sapi sekitar Rp. 7.000.000, tentu jumlah nominal rupiah cukup signifikan. Mushala dekat rumah, sebagai contoh, zakat fitrah yang terkumpul paling banter sekitar 200 kg setara dengan Rp. 1.000.000, padahal kalau musim kurban ini mushala itu menerima lebih dari 3 ekor kambing dan 1 ekor sapi. Dengan demikian, jika diuangkan dana yang dikumpulkan untuk kurban sekitar Rp. 10.000.000. Ini berarti sepuluh kali lipat pendapatan zakat!

Kalau kemudian jika kurban disembelih, paling lama orang-orang akan menikmati daging hari itu dan satu hari setelahnya. Orang-orang kaya yang biasa makan dagingpun tak jarang juga mendapat bagian. Alhasil, pesta itu hanya beberapa hari saja dan bukan hanya dinikmati mereka yang secara ekonomi kurang beruntung. Andaikata dana tersebut digunakan untuk modal usaha, tentu anggota masyarakat yang kurang mampu akan lebih dapat meningkatkan perekonomiannya. Dana Rp. 10.000.000 itu bolehlah separohnya dibelikan hewan kurban, selebihnya setidaknya dapat digunakan untuk memberikan modal bagi 2-5 orang untuk hendak memulai usaha. Bukankah ini bisa membantu usaha pemerintah memerangi kemiskinan, lebih-lebih saat krisis ekonomi global sekarang ini?

Ide ini boleh jadi akan mendapat tantangan atau bahkan kecaman dari beberapa pihak yang cenderung mengartikan inti ibadah kurban adalah penyembelihan dan pengaliran darah yang menjadi simbol penyembelihan sifat kebinatangan manusia yang suka berkelahi, tamak, dan congkak. Begitu pula, ibadah yang satu ini merupakan manifestasi ketundukan kita pada ajaran nabi Ibrahim, Sang Hanif, yang rela mengorbankan putra satu-satunya demi cintanya kepada Allah. Bahkan, ia pun rela dibakar hidup-hidup demi mempertahankan imannya. Tapi permasalahannya apakah sifat pengorbanan ini mutlak atau masih bisa ditafsirkan? Nampaknya, kalau melihat dari sisi semangat berkorban, bolehlah kalau kemudian kita sepakat bahwa kurban masih harus dengan hewan. Tapi, bukankah kita mengakui ijtihad zakat yang diperluas maknanya hingga muncul zakat profesi dan investasi, lalu kita juga mengakui wakaf tunai yang jelas-jelas tidak ada pada zaman Nabi? Lalu bid’ahkah kita? Sejak kapan? Tentu bukan sejak kita menyetujui adanya kurban tunai atau kurban produktif.

Setidaknya ada beberapa dalil agama yang dapat kita gunakan sebagai landasan perlunya kurban produktif. Dalam kitab-kitab kuning pegangan pesantren, umumnya atau bahkan hampir semuanya, tidak ada yang menyinggung soal zakat produktif ini. Namun, dalam kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, setidaknya ada indikasi bahwa dua sahabat Nabi melakukan kurban dengan sejumlah uang dan seekor ayam. Riwayat tersebut menuturkan bahwa Ikrimah pernah diberi uang dua dirham oleh Ibnu `Abbas untuk membeli daging, dengan pesan, "Terhadap orang yang bertemu denganmu (dan menanyakan ihwal daging ini), katakan kepadanya bahwa ini adalah (daging) kurban Ibn `Abbas". Riwayat lainnya mengatakan bahwa Bilal pernah berkurban dengan seekor ayam jantan. Meskipun dalil tersebut mungkin dianggap lemah, namun semangat yang dibawa menunjukkan bahwa berkurban itu perlu, tidak meski menunggu kaya. Namun, jika diselami lebih mendalam, ajaran tersebut menandakan era baru kurban kita.

Dalil yang cukup kuat adalah sebuah hadis yang menjelaskan larangan Nabi untuk menyimpan daging kurban hingga tiga hari karena dikawatirkan ada orang lain yang tidak kebagian. Namun, ketika diketahui bahwa orang orang sudah dapat bagian semuanya maka Nabi pun membolehkan untuk menyimpan lebih dari tiga hari (Hadis Riwayat Muslim, nomor 3561). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa daging kurban tersebut dapat disimpan lebih dari tiga hari bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih besar, bukan hanya untuk kepentingan konsumtif. Hal yang sama telah berlaku dalam zakat mal yang penunaiannya harus pada waktu yang ditentukan (haul), namun distribusinya bisa dilakukan hingga satu tahun ke depan. Ini berarti peluang untuk kurban produtif semakin terbuka lebar.

Dasar hukum yang juga mendukung ide di atas adalah ayat al-Qur’an surah Al-Hajj: 38, "Tidak akan sampai kepada Allah dagingnya, dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu sekalian." Ayat ini menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan Allah bukan daging dan bukan pula darah, namun "pengurbanan" itu sendiri. Jadi, semangat berkurban dengan menolong sesama tidak terbatas pada pengaliran darah hewan kurban, tapi dibabatnya sifat ego yang bersarang dalam diri kita.

Ide mengganti hewan kurban dengan uang sebenarnya pernah juga dilontarkan beberapa pakar kita seperti Prof Atho Muzhar, Jakarta dan Prof. Afif Muhammad, Bandung. Alasan yang mereka sampaikan cukup simpel. Potensi binatang kurban di Indonesia cukup besar. Jika dibayar dengan uang, kemungkinan penanganannya lebih mudah dan bernilai manfaat lebih besar. Dengan demikian, sudah saatnya kita memanfaatkan potensi ekonomi yang terkandung dalam Islam guna membangun ekonomi berbasis kerakyatan. Rasanya tidak salah jika kemudian kurban produktif yang menjanjikan pemanfaatan yang lebih bermakna untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat kita terapkan dengan penuh keikhlasan. Wa Allah A’lam.

Introduction