Selasa, 22 Februari 2011

GURU JUJUR? HARAM...

Tak lama lagi, UN akan digelar. Walau ada sistem baru yang akan diterapkan tahun 2011, tetapi saya masih ragu tentang kebiasaan buruk yang sudah banyak diketahui umum akan hilang. Tradisi memalukan yang saya maksud adalah penyebaran kunci jawaban UN oleh para guru baik sebelum atau saat ujian berlangsung. Saya hanya geleng-geleng kepala saat mendengar langsung dari pengakuan para guru yang curhat kepada saya. “Kalau tidak begitu, anak-anak yang bodoh tidak bisa lulus, Pak! Nama baik sekolah saya bisa langsung hancur. Oleh karena itu, saya biarkan anak-anak menerima sms jawaban. Malah saya menyarankan kepada murid yang pandai untuk bersedia memberikan contekan kepada kawannya yang malas.”

Hah…saya langsung terkesiap ketika mendengar penuturan tulus itu. Bukankah seorang guru biasanya paling benci bila muridnya contekan? Lalu apa manfaatnya belajar bertahun-tahun bila akhirnya saat ujian final para guru membagikan contekan jawaban demi menjaga reputasi? Saya tidak habis pikir, guru bukannya menyiapkan pendidikan moral yang benar tetapi malah meracuni jiwa anak didiknya dengan perilaku tidak etis. Efeknya, para murid jadi malas belajar. Siswa yang cerdas menjadi “korban” atas perilakumunafik itu. Daripada menelaah buku yang berjibun, mendingan tidur dan keluyuran di malam UN. besok ada jawaban jitunya, Bukan? pikir mereka. Sungguh pemandangan yang sangat naif.

Mungkin, bila kita punya waktu menyelami pikiran para guru, bisa jadi kita memakluminya. Ternyata, para guru itu tidak mau kehilangan pekerjaannya. Mereka juga tidak ingin dicacimaki kepala sekolah bila ada muridnya yang tidak lulus UN. Demi alasan tersebut, walau sebenarnya para pendidik itu sadar akan kekeliruannya, namun mereka tidak punya pilihan lain. Daripada dipecat dan tidak punya pekerjaan, lebih baik mengorbankan hati nuraninya. Toh, perbuatan itu sudah di”acc” oleh kepala sekolah dan dilakukan secara berjamaah.

Inilah sebuah keprihatinan mendalam atas kebobrokan moral yang dirancang secara sistematis. Kejujuran…ya kejujuran dianggap sebagai barang yang murah dan rendah. Kalau perlu, jangan terlalu jujur agar tidak hancur. Padahal, bila karakter manusia Indonesia tidak jujur, maka jangan pernah berharap KKN di bumi pertiwi ini bisa dituntaskan. Mental penjabat yang korup dan memperkaya diri sendiri merupakan akibat sistem pendidikan yang tidak menjadikan moral sebagai pilar utama. Penilaian terhadap pengetahuan kognitif menjadi ukuran. Itupun akhirnya harus luluh lantak akibat perilaku amoral para guru. Sekarang, kalau bukan para pendidik itu yang berbenah, kemana lagi kita berharap?

Saya sering mendengar cerita kemajuan Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom Amerika. Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh sang kaisar adalah “berapa banyak guru yang tersisa?” Dengan guru yang banyak dan berkualitas, akhirnya Jepang kembali mencapai masa kejayaannya hingga sekarang. Nah, di Indonesia, jumlah guru sangat banyak dan sudah dikukuhkan dengan sertifikasi. Setiap hari kelas-kelas di sekolah-sekolah penuh sesak dengan murid-murid yang mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Sayangnya, di ujung jalan pendidikan itu, masih ada ganjalan yang masih belum terpecahkan hingga sekarang, yakni kejujuran para siswa dan guru. Semoga tulisan ini menggugah hati kita untuk mencetak generasi yang bersih, jujur, dan cerdas sehingga bangsa besar ini bisa segera lepas dari segala keterpurukan. amin.

Senin, 21 Februari 2011

BELAJAR MANDIRI DARI PENULIS “INSPIRING MUSLEM ENTERPRENEURSHIP”



Saya sebenarnya asing dengan istilah enterpreneur. Maklum, latar belakang pendidikan saya adalah hukum islam sehingga tidak terlalu bersentuhan langsung dengan dunia wirausaha. Kalaulah ada, saya hanya mempelajari tentang dalil-dalil syariat yang terkait dengan etika berbisnis. Hari ini, saya mendapat berkah tatkala saya dipertemukan oleh rektor UIN dengan penulis sekaligus pemilik hak cipta pelatihan “Inspiring Muslim Enterpreneur”, Dr. Bambang Triono. Ia adalah konsultan ahli pemberdayaan masyarakat berbasis swadaya dan keunggulan lokal. Ia adalah “arsitek” pengembangan desa agrowisata dan agroisndustri di Kelaten dan Sidogiri. Tangan dinginnya telah mengubah wajah perkampungan yang gersang menjadi hijau ranau dengan aneka usaha yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat desa.

Pertemuan pertama terjadi di ruang lobi rektorat pagi ini. Saya begitu gembira bisa bersua dengan orang berpengaruh itu. Sambil basa-basi sejenak, saya mengajaknya ke ruang kantor kami di gedung sebelah masjid. Di sana, saya berdiskusi hangat tentang berbagai program aplikatif untuk memberdayakan masyarakat dengan dana bergulir. Terbentang di konsep kami, bahwa kami akan memulai proyek besar yang berpotensi untuk mengembalikan kekuatan rakyat yang masih berada di pedesaan.  Beberapa program sudah kami rencanakan untuk diimplementasikan di Sumber Pucung, Malang.  Namun, ke depan, kami akan membuat satu kawasan training center yang diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin berwiraswasta dengan berbagai budidaya tanaman dan ternak. Sungguh luar biasa jika kemudian masyarakat kita yang tinggal di pelosok desa mampu berdaya dengan kekayaan alam yang mereka miliki.

Kembali ke sosok Pak Bambang. Saya awalnya ragu bahwa seorang ekonom yang sukses dengan teori dan praktiknya akan selalu mengukur setiap kalimat dan ilmu yang keluar dengan materi. Artinya, ia akan menjaga rahasia kedalaman ilmunya kecuali bila ada imbalan yang pantas diterima. Namun, sontak anggapan saya itu hilang ketika saya mendengar mengakuannya bahwa ia berdiskusi berbagi pengalaman dan pengetahuan bukan semata-mata karena uang. Ia malah siap memberikan pelatihan enterpreneur gratis kepada seluruh dosen UIN. Wah, saya pun menyambut tawaran tersebut. Bagaimana seorang ilmuwan begitu ikhlas berbagai ilmu tanpa mengharap imbalan apapun?

Ternyata ada rahasianya. Ia bersikap seperti itu karena ia berprinsip bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain. Ia yakin, tatkala ia membantu orang lain baik dalam hal harta maupun non harta, Allah SWT tidak akan melupakan amal baiknya. Ia pun percaya bahwa bila ia berbuat baik, maka Allah SWT akan berbuat baik padanya. Hukum karma kebaikan senantiasa terpatri kuat dalam hatinya. Oleh sebab itu, dengan memperkukuh silaturahim dan berbagi ilmu, pak Bambang merasa bahagia dan bangga akan hidupnya. Jiwanya merasa puas bila orang yang dibantunya mampu tersenyum lega. Wow, kapan kita bisa seperti ini?

PESANTREN RAKYAT: TEROBOSAN UNTUK ALTERNATIF PEMBERDAYAAN UMAT

Hari ini, di pagi yang masih gelap aku sudah pergi ke lokasi bina desa di wilayah Sumber Pucung, Malang, sebuah kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Blitar. Aku sebenarnya ragu untuk datang ke tempat itu. Bagiku, membantu masyarakat apalagi terkenal miskin sama saja dengan membuang uang dengan percuma. Berkali-kali aku gagal dan kecewa dalam program pemberdayaan masyarakat yang ternyata dipenuhi dengan kebohongan. Aku pernah menitipkan puluhan ekor kambing tetapi ternyata para kambing itu raib tak berjejak. Begitu pula dengan modal usaha, dana bergulir milik umat yang ernah dipercayakan padaku habis digunakan untuk makan keseharian. Ah, rasanya aku tak percaya lagi dengan sikap memelas dan janji-janji kosong orang-orang tak mampu di setiap pencairan bantuan pinjaman tanpa bunga.

Tetapi, apa yang kulihat hari ini memunculkan harapan baru bagiku. Aku berharap apa yang kusaksikan langsung dari pagi hingga petang di kampung yang bersebelahan dengan sungai brantas itu benar-benar potret nyata warga yang punya semangat untuk maju. Dalam acara launching program pembibitan ternak dan tanaman organik, aku menemukan kesan bahwa seluruh komponen desa hingga kecamatan turut hadir dalam acara tersebut. Begitu pula antusias masyarakat untuk berbagi dan bergotong royong membangun desa begitu kentara. Bahkan, aku sempat terbelalak tatkala aku menyaksikan beberapa orang yang sebenarnya “kaya” namun cukup bangga hidup dalam rumah sederhananya berkenan mewakafkan satu hektar tanahnya untuk proyek pemberdayaan masyarakat di kampungnya. Mana mungkin bisa?

Setelah aku amati, ternyata sistem pemberdayaan di Sumber Pucung itu cukup unik. Beberapa pakar dan tokoh masyarakat berpadu dalam tim penggerak pembangunan. Sebagai contoh, ketika desa itu akan memprogramkan pemeliharaan kambing, para calon penggarap dikumpulkan terlebih dahulu dan diberi orientasi mental. Harapannya, kambing yang akan diserahkan akan dipelihara dengan baik dan tepat sasaran. Alhasil, hari ini ketika kambing-kambing itu diberikan, para pemelihara kambing yang ditunjukkan telah menyediakan kandang beserta pakannya dengan baik. Dari sini, aku mulai punya harapan bahwa masih ada sekelompok orang yang memang benar-benar ingin menjadi manusia yang jujur dan layak dipercaya.

Satu elemen yang tak ketinggalan dalam kesuksesan program ini adalah berdirinya sebuah pesantren berbasis masyarakat yang disebut dengan “Pesantren Rakyat”. Pesantren ini tidak mempunyai lokasi pondok seperti layaknya pesantren modern. Pesantren Rakyat ini diterjemahkan dengan kumpulan anggota masyarakat yang peduli terhadap pengembangan desanya dari beragam ilmu yang dimiliki. Sejumlah “ustad” bukanlah para kiyai yang pandai mengaji kitab kuning, namun merupakan tokoh-tokoh pemuda dengan beragam keahlian yang siap membantu masyarakat sesuai dengan bidang kelimuannya. Misalnya, ada “ustad” yang ahli di bidang budidaya ikan, maka anggota masyarakat muda yang menjadi “santri” harus mau “mengaji” kepada ustad tersebut. Begitu pula bila ada santri yang ingin mendalami pengetahuan tentang pembuatan tape ubi, mereka bisa mendatangi “kiyai” yang dipilih sebagai teladan pembuatan tape. Begitulah seterusnya sehingga seluruh elemen masyarakat dapat bekerja sama membagun desa demi terciptanya lingkungan yang sehat, maju, sejahtera lahir dan batin.

Nah, dari pengalaman hari ini, saya berkesimpulan, jika membantu masyarakat secara total, nampaknya perlu perencanaan yang matang dan kerjasama yang erat dengan berbagai pihak sehingga hasilnya nanti dapat dicapai secara memuaskan. Apabila tidak, bantuan keuangan sebesar apapun akan sirna begitu saja sesaat setelah para pemberi bantuan itu pergi. Ini malah menjadi sarana pelanggengan kemiskinan. Sayang sekali, bukan?

Minggu, 20 Februari 2011

KEBAHAGIAAN ITU BERAWAL DARI RUMAH

Percayakah Anda bahwa banyak pemimpin sukses berasal dari keluarga yang damai? Mungkin ada sebagaian pembaca yang tidak setuju dengan pernyataan di atas. Tetapi saya meyakini bahwa kalau seseorang ingin meraih kebahagiaan lahir dan batin, ia harus mampu mengatasi segala masalah yang timbul dalam rumah tangganya. Jika tidak, nampaknya, kata bahagia itu akan tetap jauh dari kehidupannya.

Saya tidak akan mengutip kisah sukses para tokoh dunia yang hingga kini dikenang sebagai orang-orang besar dalam sejarah, seperti Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. Saya juga tidak bermaksud mengambil contoh para selebriti papan atas yang bergelimang harta sehingga layak dianggap bahagia. Saya hanya ingin mengambil satu contoh kecil dari lingkungan terdekat yang saya amati. Saya mempunyai seorang tetangga yang kalau dilihat dari ekonominya sangatlah pas-pasan. Setiap hari ia mengajar di sebuah sekolah dasar dengan gaji minim. Tetapi, apa yang dilakukan telah mampu memberikan inspirasi kepada saya bahwa bahagia itu letaknya di hati, yakni hati yang damai sejak pertama kali melangkah ke luar rumah.

Seperti biasa, untuk menciptakan suasana batin yang teduh itu tidak berarti tanpa tantangan. Istrinya tentu tidak sepenuhnya mendukung perjuangannya sebagai pengerak masyarakat gratisan. Sebagaimana umumnya wanita, rasanya sulit jika terus-menerus hidup dalam himpitan ekonomi. Rumahnya yang terbuat dari bambu tua yang sudah agak reyot dan berlubang sana sini tidak dilengkapi dengan tempat tidur yang hangat dan empuk. Kursi tamunya hanyalah berupa dipan lusuh yang agak lebar sehingga mampu menampung beberapa orang untuk duduk bersila di atasnya. Untuk itu, sang istri beberapa kali menuntut untuk perbaikan hidup. Mengambek adalah menu harian. Lelaki mana yang suka melihat istrinya cemberut? Tentu hati menjadi sedih dan pikiran pun melayang-layang. Ingin rasanya membangun istana untuk sang permaisuri namun apa daya tak ada modal untuk itu. Lalu apa yang dilakukan tetangga saya tadi?

Ia mengajak istrinya bersabar, berdoa, dan tersu berusaha. Setiap hari ia meluangkan waktu untuk shalat malam dan memohon karunia keberkahan hidup. Lambat laun, gaya hidup sederhana menjadi bagian integral keluarga itu. Sang istri sudah mulai mampu mengatasi gejolak emosinya yang kadang meledak saat teman-temannya memamerkan perhiasannya. Ia kini mulai bisa tersenyum mensyukuri hidupnya yang masih diberi kesehatan prima dan anggota tubuh yang utuh sehingga ia masih bisa bekerja serabutan demi mengepulkan dapurnya. Selang beberapa tahun kemudian, tetangga saya kini telah menjadi salah satu warga yang sukses dalam wirausahanya yang dirintis dengan istiqamah dan kerjasama yang baik dalam keluarga tersebut.

Berbeda halnya dengan kawan saya yang lain. Ia termasuk berasal dari keluarga berada. Namun, akibat pasangannya yang terus-menerus memintanya untuk memenuhi segala kemewahan hidup, saat ini kawan saya itu kurus dan sering sakit-sakitan. Ia tak lagi bisa bekerja dengan sempurna dan terancam dirumahkan oleh perusahaannya. Ada apa ini? Menurut pandangan saya, kenyataan buruk itu terjadi karena keluarga itu tidak bisa menciptakan suasana damai dalam keluarganya. Kebahagiaan tidak selalu diasosiasikan dengan harta yang banyak, tetapi lebih disebabkan oleh manajemen keluarga yang didasari oleh syukur bukan dengan kufur. Sebanyak rezeki yang dibawa pulang suami seakan tiada guna tatkala sang istri tidak mampu memberikan seulas senyum tanda bahagia. Sayang sekali, bukan? Semoga, dua cerita singkat di atas dapat menggugah kita untuk lebih sabar dalam menghadapi gelombang hidup dan menjadikan kita sebagai orang-orang yang bersyukur atas segala nikmat yang kita terima. Dengan begitu, nampaknya syarat utama untuk hidup bahagia sudah ada di depan mata.

Kamis, 17 Februari 2011

TANTANGAN

Sejak kembali ke tanah air, saya berhadapan langsung dengan berbagai tantangan. Berjibun tugas sudah menunggu.Saya merasa senang karena saya akan memiliki sejumlah agenda penting yang memang saya dambakan. Saya akan sibuk dengan rutinitas yang telah lama saya tinggalkan, seperti membimbing mahasiswa, mengajar di kelas, ikut rapat pengembangan fakultas, koordinasi dengan berbagai pihak untuk program zakat dan wakaf, hingga terjun ke masyarakat. belum lagi, saya akan kembali berdampingan dengan anggota keluarga kecil saya. Anak-anak begitu manja untuk selalu dilayani karena mereka telah lama kehilangan sosok ayahnya. Ah, kesepian saya yang sempat mencekam di Iowa dapat dipastikan akan segera sirna.

Ternyata, tantangan itu tidak mudah saya lakukan. Betul, saya segera mendapat hiburan yang telah lama saya tinggalkan. Saya bisa bercanda tawa dengan kawan-kawan karib, tetangga, anggota keluarga, hingga mahasiswa di bawah perwalian saya. Kelompok yang terakhir ini beberapa hari ini menghubungi saya untuk konsultasi sekaligus pengarahan mata kuliah yang akan diambil semester depan. Tetapi, saya menjadi sangat lelah karena banyak pihak meminta saya untuk terliibat dalam programnya. Sebagai misal, Fakultas Syariah yang akan membuka kelas internasional tahun ini sudah memasukkan saya sebagai salah satu tim inti pengembangan program tersebut. Saya harus mencurahkan pikiran untuk membantu kesuksesan tersebut.

Kamis, 10 Februari 2011

KAWASAN 'DUO MEWAH' PENYEBAB KEMATIAN

Di pagi yang masih hening, sebuah perkampungan kota Malang, saya tinggal bersama keluarga kecil saya, istri dan dua anak kami. Kembali ke Malang serasa mimpi. Betapa tidak, hampir tiga tahun saya meninggalkan kampung halaman demi menuntut ilmu di Semarang yang diteruskan dengan ‘bersemadi’ sejenak di Iowa, AS. Saat berjalan-jalan keliling kampung, terpampang di depan mata perubahan yang begitu cepat. Kawasan pertokoan dan perumahan bermunculan di mana-mana. Namun, yang membuat batin saya kecut adalah banyaknya kawasan pemukiman duo ‘mewah’: yang elit dan mepet sawah. Tanah-tanah  sawah yang subur kini berubah menjadi bangunan beton menjulang.

Di satu sisi, saya merasa senang karena jalan yang awalnya sepi dan gelap di malam hari kini ramai dan terang benderang. Saya jadi tidak terlalu gentar tatkala pulang kantor larut malam. Kekhawatiran untuk bertemu dengan pengganggu jalanan, seperti pemabuk dan perampok  kini sirna sudah. Dulu, saya selalu diingatkan oleh tetangga untuk waspada ketika melintasi jalanan panjang yang sepi karena banyak korban perampokan dan penganiayaan di wilayah rawan kejahatan itu. Saat ini, seiring dengan padatnya penduduk, secara tidak langsung, tingkat kejahatan di jalan setapak itu menurun dengan sendirinya.

Akan tetapi, di sisi lain, hati saya berontak. saya tidak lagi bisa menikmati hijaunya hamparan padi. Saya juga kesulitan melihat ramainya para petani memulai panen. Suara kodok dan binatang malam yang bersautan sekarang sulit ditemukan. Kemana mereka kini? Ah, mungkin mereka sudah pindah ke alam barzah.

Saya tidak tahu kebijakan tata kota di Malang. Kawasan pinggiran saat ini menjadi sasaran empuk para pengembang yang menjanjikan lokasi strategis dan pesona alam yang damai. Memang betul, bagi konsumen, tempat tinggal yang tidak jauh dari pusat perkantoran dan pendidikan menjadi pilihan yang menggiurkan meskipun harganya cukup tinggi. Saya pun demikian, mencari sebuah gubuk kecil di sela-sela padatnya kampung di daerah Karang Besuki. Hanya, saya sepertinya tidak bisa menerima kenyataan bahwa tanah sawah yang kini menjadi kawasan duo “mewah” itu menjadikan ladang bercocok tanam masyarakat kita berkurang secara signifikan. Saya tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya anak cucu kita ketika mereka kesulitan mendapatkan sesuap nasi karena sudah tidak ada lagi lahan subur penghasil kebutuhan pangan mereka. Akankah kita mendatangkan bahan makanan pokok dari negara lain? Ataukah kita akan menjadikan atap rumah sebagai lahan persawahan? Bagaimana jika akhirnya semua lahan subur berubah menjadi gedung bertingkat tanpa sisa?

Saya tahu, manusia akan terus berupaya mengatasi masalah pangan misalnya dengan bioteknologi yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman dengan hasil melimpah. Diakui bahwa rekayasa genetika kini menjadi tren dunia yang kian kelaparan. Sayangnya, resiko teknologi yang tak ramah lingkungan akan menciptakan beragam jenis penyakit baru yang ganas dan mematikan. Sudah saat ini kita pikirkan penertiban pembangunan kawasan “mewah”  agar kelangsungan hidup umat manusia, khususnya di Indonesia, dapat terjamin. Jika tidak, saya khawatir kematian akibat kelaparan akan menjadi kenyataan. Peperangan menjelma sebagai keniscayaan karena kemewahan fasilitas hidup tak dapat mengganjal perut yang keroncongan. Manusia akan rela menyerahkan nyawa demi berebut sesuap nasi. Ironis, bukan?

Introduction