Selasa, 18 Januari 2011

POTRET JAKARTA YANG MEMBUAT MIRIS HATI

Setelah beberapa hari istirahat di Bekasi, hari Senin kemarin saya memulai aktifitas dengan berkunjung ke lokasi penelitian di Ciputat. Saya sebenarnya merasa agak canggung melihat situasi Jakarta setelah enam bulan mendekam di sebuah kota kecil, Iowa City, AS. Bukan bermaksud sombong, saya sepertinya menjadi terbiasa dengan irama kehidupan yang tertib dan bersih di sepanjang perjalanan. Hal ini berbeda dengan apa yang saya temui saat keluar rumah di sini. Pemandangan yang dulu sudah lazim saya lihat kini benar-benar menjadi "mimpi buruk" yang harus saya hadapi dengan sabar. Berikut ini beberapa fakta yang langsung mencabik-cabik pikiran dan perasaan saya.

Pertama, ketika saya landing beberapa hari lalu, landscap yang terlihat dari udara membuat saya sedih. Bayangan saya tentang rapinya penataan pemukiman dan perkantoran di beberapa kota Amerika segera memicu iri hati. Mengapa gedung-gedung di Jakarta terlihat semrawut? Pendirian bangunan yang asal berdiri menjadikan Jakarta seperti hamparan mainan rumah-rumahan yang terkoyak. Posisi bangunan tidak searah seirama. Ini tentu berbeda dengan Chicago atau Washington DC. Dari ketinggian, gedung-gedung di sana bak miniatur bangunan yang sedap dipandang. Apalagi ketika salju menggunung, nampak semua bangunan berjajar tertib dalam selimut putihnya. Mengapa Jakarta beda? Mungkin, dinas tata kota belum berfungsi secara baik dan izin mendirikan bangunan tidak selalu dimiliki oleh setiap warga yang akan mengekspansi rumahnya. Berbeda dengan Amerika, sebelum ada bangunan, insfrastruktur seperti jalan raya dan saluran air sudah dibuat terlebih dahulu sehingga bentuk kota menjadi indah tertata.

Kedua, soal etika pengemudi di jalan. Sekali lagi walau dulu saya sempat terbiasa dengan kemacetan dan lalu lintas semrawut, kali ini saya harus berkali-kali meredam emosi tatkala banyak pengendara yang terlihat asal jalan dan asal melintas. Motor dengan begitu mudahnya potong jalan dan para pejalan kaki menyeberang dengan sesuka hati. Saya pun harus menyimpan rasa kesal ketika ada pengendara motor yang mendahului dari sebelah kiri atau menyeberang dengan memotong jalan dari kanan tanpa memberi aba-aba lampu, apalagi jika peristiwa itu di malam hari. Berkali-kali saya kaget dan hampir menabrak orang gara-gara etika lalu lintas benar-benar hanya di atas kertas. Menyaksikan situasi di negeri sendiri, duh, sepertinya saya tidak tahan berlama-lama di Jakarta.

Ketiga, keamanan pengendara. tatkala saya menumpang mobil di Amrik, kawan saya selalu mengingatkan untuk memakai seat belt. Dulu saya agak canggung dengan gaya hidup seperti itu tetapi lama kelamaan menjadi sebuah kebutuhan demi keselamatan sendiri. Juga, saat ada orang yang mau menyeberang, mobil-mobil sudah berhenti beberapa meter sebelum perempatan/pertigaan untuk memberi kesempatan kepada pejalan kaki melintas terlebih dahulu. Jalan-jalan nampak mulus tanpa lubang. Ketika melihat Jakarta, saya kemudian merindukan suasana aman saat berkendara di negeri Obama. Di sini, mobil dan motor berkejaran untuk maju tanpa peduli keselamatan pejalan kaki. Pengendara motor itu juga dengan santainya memacu kendaraan tanpa menggunakan pengaman kepala. Belum lagi anak-anak kecil yang bermain-main santai di boncengan. Jalan yang banyak lubang dan saluran air yang curam di kanan-kiri jalan membuat hati saya seperti tersayat. Saya membayangkan bila ada pengendara terpeleset ke bahu jalan sedikit saja, pasti akan ada korban jiwa. Ah, nyawa kok begitu murahnya di negeriku tercinta.

Keempat, dan ini paling memprihatinkan, bus-bus angkutan umum dalam kota yang kondisinya sudah tak layak pakai. Selain polusi udara yang menghitam, cara mencari penumpang juga sudah kelewatan, di luar batas-batas kemanusiaan. Lihat saja bus Koantas Bima 510 Jurusan Rambutan-Ciputat, bila belum penuh sesak sehingga bernafas pun susah, bis itu tak akan berangkat dan tetap mangkal di sekitar perempatan pasar Rebo. Murah memang ongkosnya, 2500 perak sudah bisa mengantar kita ke tujuan. Tetapi, di dalam bis, para penumpang tak peduli tua muda bak ikan pindang dan dijajar berdiri rapat dan berdesakan dengan keringat bercucuran. Kalau tidak ingat saya harus ke Ciputat, pasti saya tidak akan sudi naik bis ini. Kapan kita mempunyai transportasi yang nyaman dan manusiawi?

Saya berharap bahwa saya bisa menyesuaikan diri dan bersahabat dengan Jakarta. Tetapi dalam hati, saya menjerit dan meratapi kondisi bangsa ini. Apa yang salah? Mengapa mereka bisa tetapi kita tidak? Andai saja Jakarta punya sistem seperti kota-kota New York, DC, atau Chicago yang tertib, aman, indah, dan nyaman buat jalan-jalan di udara bebas nan bersih, saya pasti akan bangga untuk mengatakan bahwa Jakarta adalah ibukota negara saya.

Kamis, 13 Januari 2011

PERJALANAN MELELAHKAN IOWA-SINGAPURA

Saat ini saya sedang berada di bandara Changi Singapura. Lelah dan letih sedang menghampiri. Saya hampir putus asa melakukan perjalanan panjang ini karena banyak sekali cobaan dan tantang yang saya hadapi. Rasanya saya hampir tak percaya bahwa saya harus menghadapi aneka tantangan yang sebenarnya membosankan. Meskipun begitu, saya yakin ini adalah bagian dari pendewasaan saya dalam mengarungi hidup yang tidak selamanya lurus.

Beberapa hari sebelum berangkat, saya sudah agak was-was. Hal ini terkait dengan situasi cuaca yang sedang tidak stabil. Perjalanan udara di musim salju bukanlah pilihan terbaik. Amerika dengan segala kelebihannya ternyata tak kuasa menahan terpaan gunungan salju saat ini. Ribuan penerbangan dibatalkan karena cuaca tak memungkinkan, persis dengan negeri kita yang harus sabar menghadapi hujan lebat dan petir hebat. Nah, minggu ini diperkirakan akan turun salju deras yang bisa saja menghancurkan rencana perjalanan para pengguna jasa angkutan udara termasuk saya yang akan balik kampung tanggal 11 Januari. Saya berdoa semoga perkiraan itu tidak benar sehingga saya bisa tenang pulang ke tanah air tanpa dihinggapi rasa was-was.

Ternyata, harapan saya tidak terpenuhi. Sehari sebelum tanggal keberangkatan, salju mulai turun dan semakin lama kian deras. Karena tak punya pilihan, saya pun harus berangkat ke bandara Cedar Rapids di tengah guyuran salju yang lebat. Saya berharap semoga saja penerbangan saya tidak dibatalkan.

Sesampai di bandara, saya langsung check in.

Sabtu, 08 Januari 2011

PERJUANGAN “MENGABADIKAN” HARTA UMAT MELALUI WAKAF UANG DI BANK SYARIAH



1294434819579939342


Genap setahun yang lalu, 8 Januari 2010, Presiden SBY mencanangkan Gerakan Wakaf Uang Nasional di Istana Negara. Pada kesempatan itu, beliau menyerahkan wakaf uang sebesar Rp 100 juta kepada ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) secara simbolis dalam sebuah acara seremonial. BWI merupakan lembaga resmi bentukan pemerintah yang bertugas menangani wakaf tingkat nasional dan internasional. Disaksikan oleh para menteri, “amal jariyah” presiden tersebut diharapkan akan dicontoh oleh para pembantunya dan segenap bangsa Indonesia. Sungguh mujarab, tak lama kemudian, beberapa menteri mengikuti jejak kepala negara itu untuk mewakafkan sebagian harta mereka. Dana tersebut akhirnya digunakan sebagai dana awal wakaf uang BWI. Adapun tempat penyimpanan harta “abadi” umat itu wajib di bank yang  berlabel “syariah."
        Saya termasuk beruntung bisa mengenal dekat dengan ketua BWI, Prof Tolchah Hasan. Maklum, beliau adalah dosen kami dalam mata kuliah Wakaf Kontemporer di IAIN Walisongo Semarang, khususnya pada awal tahun 2010. Beliau merupakan salah satu orang yang paling tahu perkembangan wakaf uang di Indonesia dan paling paham bank syariah mana saja yang sudah menjalin kerjasama dengan BWI. Dalam setiap pertemuan kuliah yang berlangsung selama satu semester itu, beliau selalu menceritakan perkembangan mutakhir wakaf di Indonesia, mulai dari sengketa wakaf di berbagai daerah hingga rencana investasi wakaf uang yang sudah mencapai ratusan juta rupiah. Tentunya, saat ini dapat dibayangkan betapa banyak dana yang bergulir ke lumbung wakaf tersebut. 
Dalam sebuah ceramahnya, prof Tolchah menegaskan bahwa wakaf uang hanya boleh dikelola oleh Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. LKS-PWU yang ditunjuk berdasarkan  Keputusan Menteri Agama  Nomor 4 Tahun 2009 sementara ini berjumlah 5 buah, yakni Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. Dalam waktu dekat, bank-bank sejenis yang berlabel syariah pun akan memiliki kesempatan serupa setelah melalui mekanisme tertentu.
BWI sekarang ini memiliki dua rekening khusus di setiap LKS-PWU, yakni satu “rekening tampung” wakaf uang dan satu “rekening hasil” pengelolaan wakaf uang. Alasan dibukanya dua rekening yang berbeda tersebut adalah karena dalam aturan wakaf uang, dana yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat adalah dana bagi hasil dari pengelolaan wakaf uang. Ini berarti dana yang berada dalam rekening tampung wakaf harus dijaga kelestariannya dan tidak boleh berkurang walau satu rupiah pun. Dana ini hanya dapat digunakan sebagai modal, misalnya untuk investasi dalam produk perbankan syariah, seperti mudharabah dan murabahah. Dengan kata lain, dana wakaf uang harus tetap “abadi” sebagaimana karakter dasar wakaf. Adapun dana dalam rekening hasil pengelolaan bisa digunakan untuk keperluan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat kurang mampu tanpa dibatasi oleh pertimbangan suku, ras, atau bahkan agama. Inilah indahnya wakaf uang!
Sejak tahun 2009, saya ditunjuk oleh pimpinan UIN Malang untuk mengelola lembaga filantropi kampus yang bernama “eL-Zawa.” Salah satu program unggulan kami tahun 2010 yang lalu adalah pembumian wakaf uang di lingkungan universitas sebagai respon langsung dari gerakan wakaf uang yang diresmikan presiden di awal tahun. Kami giat melakukan sosialisasi di kampus mengingat betapa banyaknya manfaat wakaf uang bagi umat, baik bagi donatur wakaf (wakif) maupun bagi mustahiq wakaf (mauquf alaih). Bagi wakif, mereka dapat mengabadikan harta kapan pun dan di mana pun dengan jumlah sekecil apa pun. Ini artinya mereka bisa menyerahkan wakaf uang walaupun hanya seribu rupiah.  Dengan wakaf uang seribu itu, mereka akan mendapatkan “aliran pahala abadi” sepanjang uang tersebut dijaga kelestariannya oleh sang pengelola wakaf meskipun sang wakif sudah meninggal dunia. Bagi mustahiq wakaf, mereka akan banyak mendapatkan manfaat dari hasil perputaran uang tersebut, khususnya setelah dikelola oleh bank syariah. Luar biasa, bukan?
Pada bulan Maret 2010, saya dan kawan-kawan eL-Zawa menyelenggarakan pelatihan wakaf uang yang diikuti oleh perwakilan dosen setiap fakultas. Kami mengundang pembicara yang ahli di bidang wakaf uang dan perbankan syariah. Klop sudah keinginan kami untuk mengembangkan wakaf uang dengan antusiasme peserta pelatihan tersebut. Alhasil, di akhir acara, banyak peserta yang berminat mendaftarkan diri sebagai donatur wakaf uang melalui pemotongan gaji. Memang jumlahnya tidak terlalu besar tetapi suatu saat dapat dipastikan jumlah wakaf uang itu akan menggunung. Saya hampir tidak percaya bahwa “provokasi” kami telah sukses menyentuh kalbu para akademisi tersebut.
Keesokan harinya, berbekal dana yang kami terima dan motivasi tinggi memperjuangkan wakaf uang, saya mendatangi bank syariah terdekat yang berlokasi di Jalan Kawi kota Malang. Saya berharap pada hari itu juga kami bisa langsung membuka dua rekening yang persis sama dengan rekening yang dimiliki BWI, yakni rekening tampung dan rekening hasil. Saat bertemu dengan petugas customer service, saya disambut dengan ramah. 
“Apa yang bisa kami bantu?” sapanya sambil menyilakan duduk. “Mbak, saya rencananya akan membuka rekening untuk wakaf uang,” kata saya to the point. Lalu saya jelaskan bahwa seperti semangat yang diusung BWI, kami ingin membuka dua rekening untuk pengelolaan wakaf uang. Nantinya, dana bagi hasil dari bank akan kami gunakan untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi putra-putri karyawan tidak tetap UIN Malang yang gajinya pas-pasan. Tetapi apa yang terjadi? “Kalau membuka rekening biasa, kami bisa membantu. Tetapi kalau rekening khusus wakaf uang seperti BWI, kami belum bisa melayani,” tuturnya datar. Selanjutnya, ia mengatakan apabila saya mau membuka dua rekening biasa, masing-masing akan dikenakan biaya administrasi setiap bulannya. Lalu proses pemindahan dana bagi hasil dari rekening tampung ke rekening hasil tidak bisa dilakukan secara otomatis seperti milik BWI. Saya pun agak terkejut dan sedikit keheranan mendengar penjelasan sang petugas itu. Mengapa menjadi rumit begini? Bukankah menurut Prof Tolchah kita bisa membuka rekening bank syariah di mana saja dan secara otomatis bagi hasilnya akan masuk ke rekening hasil? Karena saya tidak yakin dengan jenis rekening yang ditawarkan pihak bank tersebut, saya batal membuka rekening.
Sepanjang perjalanan pulang saya merenung. Apa yang salah dengan wakaf uang dan apa yang salah dengan bank syariah? Bukankah bank yang baru saja saya kunjungi termasuk bank yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai LKS-PWU? Apa karena saya membukanya di Malang, sebuah kota yang jauh dari pusat pemerintahan? Suasana hati yang berkecamuk itu membuat saya berpikir keras mencari alternatif penyelesaian. Mungkin saya harus membuka rekening bank syariah di Jakarta. Kebetulan, seminggu kemudian saya mendapat tugas dari rektor untuk berkunjung ke Kantor Pusat Departemen Agama (sekarang menjadi Kementerian Agama) di jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Saya bertekad untuk mendatangi salah satu bank syariah di sana dan berharap apa yang dilakukan oleh BWI dapat diterapkan juga di lembaga saya. 
Pada hari yang telah ditentukan, saya berangkat ke Jakarta dengan perasaan harap-harap cemas. Jangan-jangan bank di sana juga akan memberikan jawaban yang sama. Meskipun begitu, saya berdoa semoga masih ada solusi yang menyenangkan sehingga saya bisa menjalankan amanah dari para wakif yang sudah terlanjur daftar sebagai donatur. Sayang sekali rasanya kalau semangat mereka yang sedang berkobar itu hancur luluh berantakan karena manajemen kami yang belum siap. 
Sesampai di kantor Departemen Agama, saya selesaikan semua urusan kampus di lantai 6 dan 8 dengan cepat. Setelah itu, saya melanjutkan misi kedua saya untuk membuka rekening wakaf. Kali ini, institusi bank yang saya kunjungi berbeda dengan institusi bank yang ada di Malang. Seperti biasa, saya menemui petugas pelayanan pelanggan yang posisinya berada di sebelah counter teller. Saya disambut dengan hangat, khas bank syariah. Untuk poin ini saya selalu merasa tersanjung dan bangga menjadi bagian dari umat Islam. Nuansa persaudaraan dan persahabatan begitu kental. Kemudian, saya coba bertanya basa-basi tentang isu wakaf uang yang pernah di-launching BWI bersama presiden beberapa waktu lalu. Dengan sigap sang petugas menjelaskan secara gamblang bahwa program tersebut merupakan salah satu produk baru dari bank itu. Beberapa brosur tentang wakaf uang pun ditunjukkan kepada saya. Wah, saya nampaknya mendapat pelayanan lebih baik dan berharap apa yang saya inginkan dapat tercapai. 
Tatkala saya utarakan niat utama saya bahwa saya ingin membuka rekening wakaf seperti yang dimiliki BWI, raut muka petugas berubah dengan ekspresi sedikit bingung. Ia kelihatan kurang yakin apakah banknya mempunyai layanan seperti yang saya maksudkan. Ia pun meminta waktu sejenak untuk berkonsultasi dengan pimpinannya agar tidak salah memberikan informasi. Dengan sabar saya menunggu. Tak lama kemudian, petugas itu kembali ke mejanya. Sambil tersenyum ia berujar, “Maaf, Pak, menurut keterangan dari pimpinan kami, kami belum bisa memberikan pelayanan rekening khusus wakaf uang. Solusi yang bisa kami sarankan adalah Bapak menyetorkan wakaf uang ke rekening BWI melalui kami atau Bapak bisa membuka dua rekening seperti mereka tetapi jenis rekeningnya adalah rekening umum yang akan dikenakan biaya administrasi. Soal transfer dana bagi hasil setiap bulan, kami bisa membantu untuk mendebetkan secara otomatis namun harus ada surat perjanjian terlebih dahulu.” Aduh, ternyata sama juga, saya tetap tidak bisa membuat rekening wakaf uang seperti milik BWI. Tetapi, tawaran solusi berupa transfer otomatis tanpa biaya asalkan ada surat penjanjian nampaknya bagus juga untuk dipertimbangkan. Berhubung saya harus membahas terlebih dahulu dengan kawan-kawan di Malang tentang hasil survei ini, saya pun pamit dan mengucapkan terima kasih kepada petugas yang sudah dengan sepenuh hati berusaha memberikan penyelesaian terbaik untuk masalah saya.  
Sejujurnya, di satu sisi saya puas bahwa saya sudah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuka rekening di bank syariah, namun di sisi lain saya patut kecewa karena saya belum berhasil mendapatkan rekening wakaf uang. Untuk mengobati rasa penasaran saya, selagi berada di Jakarta dan mumpung masih ada waktu, saya memutuskan untuk meluncur menuju kantor BWI Pusat di wilayah Pondok Gede, Jakarta Timur. Saya tidak peduli dengan panas terik ibukota yang menyengat, arus lalu lintas yang padat, dan pakaian yang mulai basah terkena cucuran keringat. Bagi saya, ini adalah sebentuk perjuangan yang bermuatan ibadah. Tujuan saya hanya satu, yaitu konfirmasi tentang mekanisme pengelolaan wakaf uang khususnya bagi non-BWI. Saya ingin menanyakan prosedur membuka rekening di bank syariah seperti mereka. Saya tidak mau pulang ke Malang dengan tangan hampa, minimal saya mendapatkan informasi akurat dan mantap sehingga saya menjadi lebih yakin tentang langkah lembaga saya ke depan dalam pengelolaan wakaf uang.
Ketika sampai di kantor BWI, saya bersyukur bisa langsung menemui sekretaris BWI, Mas Cholil Nafis, yang kebetulan pernah kuliah bareng di UIN Jakarta. Saya pun memberondong dia dengan pertanyaan seputar pengelolaan wakaf uang di BWI. Lebih khusus lagi, saya memintanya untuk memberikan kiat-kiat jitu agar saya bisa mempunyai rekening wakaf uang seperti BWI. Sambil mengumbar senyum simpul, doktor lulusan Malaysia itu bertutur, ”Begini, Mas. Soal rekening wakaf uang BWI di lima bank syariah dan adanya dua rekening  khusus yang berfungsi sebagai rekening tampung dan rekening hasil, semua itu dicapai setelah disepakatinya MoU antara BWI dan bank syariah. Sementara ini, BWI memang merekomendasikan ke bank-bank syariah mitra tersebut untuk tidak melayani rekening wakaf uang. Alasannya adalah bahwa saat ini BWI merupakan satu-satunya lembaga yang sah mengelola wakaf uang. Ini bukan bermaksud memonopoli, lho! Nanti seiring dengan waktu, BWI akan melakukan sosialisasi pengelolaan wakaf uang di seluruh Indonesia, termasuk Jawa Timur. Barulah kemudian BWI akan memberikan  sinyal hijau kepada bank syariah LKS-PWU untuk memberikan layanan khusus berupa produk tabungan wakaf uang kepada masyarakat luas.”
Mendengar keterangan Mas Nafis tersebut, saya seperti tersedak tak bisa mengucap sepatah kata pun dalam beberapa menit. Saya jadi merasa bersalah dan agak malu karena terlalu bersemangat mendorong kawan-kawan saya untuk berwakaf. Kenapa tidak dari dulu saya berkonsultasi tentang hal-hal teknis ke BWI? Dalam hati, saya tertawa geli mengingat kegagalan saya membuka rekening wakaf di bank syariah. Saya sadar bahwa pihak bank syariah sudah memberikan layanan prosedural terbaik. Pengalaman saya selama ini yang tidak mendapatkan layanan membuka rekening wakaf uang bukanlah kesalahan bank. Hal ini didasarkan pada kesepakatan BWI dengan LKS-PWU bahwa untuk sementara waktu lembaga yang berhak membuka rekening wakaf uang hanya BWI.
Saya kembali ke Malang dengan perasaan lega. Walaupun saya tidak berhasil membuka rekening wakaf uang di Jakarta, setidaknya saya menjadi lebih tahu tentang mekanisme wakaf uang dan cara membuka rekening wakaf di bank syariah. Akhirnya, ketika saya menyampaikan hasil penjelajahan saya kepada teman-teman dalam forum rapat eL-Zawa, kami memutuskan untuk terus melanjutkan gerakan wakaf uang di kampus. Uang wakaf yang terkumpul akan kami simpan di salah satu bank syariah di Malang dalam satu rekening tampung saja. Hal ini kami lakukan untuk menghindari dobel biaya administrasi bulanan. Nantinya, kami akan menghitung sendiri  jumlah wakaf uang yang masuk dan jumlah bagi hasil setiap bulan dalam pembukuan kami. Suatu saat kelak, ketika wakaf uang sudah terakumulasi dalam jumlah besar, kami akan membuka rekening baru untuk menampung secara khusus hasil pengelolaan wakaf.
 Alhamdulillah, akhirnya kami bisa menyelesaikan masalah kami dengan baik setelah berkonsultasi, berkoordinasi, dan bekerja sama secara simultan dengan BWI dan bank syariah. Semoga semangat kami melayani umat--terutama civitas akademika UIN Malang--dalam berwakaf uang, dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi kawan-kawan yang berminat untuk berjuang di bidang serupa. Amin.

Kamis, 06 Januari 2011

IJINKAN BLOGGER SEBAGAI MASJIDKU...

Sejak bergabung dengan Blogger, suasana hatiku selalu menggebu. Aku ingin selalu dekat dengan rumah sehat itu. Sehari tak bertemu, kalbuku serasa tersayat sembilu. Tiada hari tanpa Blogger di memoriku. Rupanya, Blogger sudah menjadi bagian integral dalam hidupku.

Tarian kata yang terpampang di  berbagai blog membuatku terpesona. Beragam kolom artikel yang tersaji indah menjadikanku bahagia. Aku semakin merasakan denyut nadi kehidupan yang dihembuskan kawan-kawan yang hanya saling sapa di dunia maya. Blogger telah berhasil merebut cintaku dan selalu mengajakku berdansa di antara serpihan pikiran yang beradu logika.

Aku ingat bahwa waktuku tak seberapa. Ujung kehidupan pasti akan datang menjelma. Untuk itu, aku harus mampu mengisi hidupku dengan aktifitas yag berguna. Segala piranti harus bisa kumanfaatkan demi mengejar pahala. Kusadar bahwa aku banyak khilaf dan alpa. Oleh sebab itu, kawan, ijinkan Blogger menjadi masjid untukku sebagai ladang persemaian amal demi masa depanku di alam baka!

Setiap tulisan yang terkirim di sana akan kekal selamanya. Sekali dibaca, memberi guna, semoga bisa mengurangi dosa. Aku ingin rangkaian kata ini menjadi saksi nyata bahwa aku tengah beribadah di Blogger. Setiap judul tulisan adalah takbirku, alinea demi alinea adalah ruku-sujudku, dan kalimat kesimpulan adalah salamku. Seluruh aktifitasku di Blogger adalah bagian dari penghambaan diri kepada Tuhanku. Melalui media ini, aku bisa lebih dekat dengan Kekasih sejatiku. Blogger kini telah menjelma menjadi masjidku.

Tatkala kucerna setiap artikel di sana, kurasakan kedamaian. Berbagai informasi mudah kutemukan. Namun, kadangkala konsentrasi ibadahku terganggu karena adanya beberapa tulisan kurang makna. Tapi, aku tahu, itu memang bagian dari ritual yang harus kuhadapi, betapapun pahitnya. Aku paham tak semua orang bisa seiring sejalan, seperti sikap kita kepada kolega atau bahkan pasangan. Hanya saling pengertian harus diutamakan untuk mewujudkan toleransi dan kerjasama demi tergapainya impian. Mari kita jaga masjid kita, tempat ibadah kita bersama.

Rabu, 05 Januari 2011

ANEH, TUHAN PUN JADI TEMPAT CACIAN KAUM ATHEIS!

Belakangan ini, saya  sering tertarik mengamati tingkah laku kaum Atheis. Hal itu bukan berarti saya mau jadi ‘kafir’ tetapi saya ingin mengamati lebih dekat kaum yang katanya tidak mengakui Tuhan itu. Di Indonesia, setiap warga negara harus mengakui adanya Tuhan apa pun agamanya sehingga kaum Atheis tidak mendapatkan peluang untuk berkembang di negeri ini. Sebaliknya, di Amerika, negara yang sebenarnya didominasi oleh umat Kristiani,  kaum Atheis kian banyak jumlahnya dan menjadi sebuah tren tersendiri. Maklum, status sebagai negara sekuler memberikan ruang gerak warga di sana untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih keyakinan tanpa Tuhan. Kaum Atheis memiliki posisi yang sederajat dengan kaum Theis sehingga mereka pun bisa melayangkan protes ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan dasar ajarannya.  Saya masih ingat di penghujung tahun lalu, mereka mengadu ke pemerintah karena banyaknya baliho di jalan raya yang mengusung tema Natal. Menurut mereka, hal itu telah menyinggung perasaan kaum Atheis yang tak merayakannya. Peristiwa ini tentunya tidak akan mungkin terjadi di tanah air tercinta Nusantara. Betul, bukan?
Hari ini saya menjumpai sebuah artikel menarik di situs warta cnn.com. Di sana ada tulisan yang menyajikan fakta unik bahwa Tuhan seringkali menjadi sasaran hujatan dan cacian manusia yang kecewa dalam hidupnya, tak terkecuali kaum Atheis.  Awal tulisan itu menjelaskan bahwa kita sering tidak setuju dengan perilaku orang-orang di sekitar kita, seperti kolega, atasan, atau pasangan hidup. Cara yang biasa kita tempuh adalah duduk bersama untuk mencari solusi. Tetapi, hal itu tidak berlaku bila kita kecewa dengan kehidupan. Sakit yang berkepanjangan atau kecelakaan lalu lintas membuat seseorang menyalahkan zat yang dianggap sebagai penyebab ketidaknyamanan itu, apapun namanya. Bagi umat yang beragama, Tuhan adalah pengatur segala kehidupan sehingga umpatan pun langsung tertuju pada-Nya ketika mereka kecewa. Anehnya, kaum Atheis yang tak punya iman terhadap Tuhan ternyata melakukan hal yang sama di saat tak berdaya. Saya pun jadi bertanya-tanya dalam hati, apa alasan kaum Atheis yang anti-Tuhan itu menyebut “Tuhan” sebagai pelaku “kejahatan” itu?
Sebagaimana pernah saya tulis pada postingan terdahulu, saya meyakini bahwa  dalam diri manusia terdapat satu fitrah pengenalan terhadap Tuhan. Dalam berbagai penelitian tentang otak manusia, ternyata ditemukan  sebuah titik yang sering disebut sebagai God Spot di bagian otak depan. Titik ini akan berdenyut ketika seseorang berkontemplasi tentang Tuhan. Semakin sering seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan, semakin intens pula getaran yang terjadi pada titik itu yang berujung pada ketenangan jiwa. Oleh karenanya, ketika seseorang menyangkal adanya Tuhan, secara otomatis, God Spot itu akan terlantar. Tatkala  berada dalam posisi sulit, sang kafir itu akan mencari sesuatu yang bisa meredam kegelisahannya. Di saat tak ada seorang pun berada di sekitarnya, satu-satunya cara melepas ketegangan syarafnya itu adalah dengan mengumpat nasibnya dan menyalahkan  sesuatu yang dianggap sebagai penyebab nasib buruknya. Dalam situasi inilah, konsep “supreme being” tiba-tiba menyeruak di dalam pikirannya. Alhasil, kekuatan supranatural alias Tuhan yang tak bisa dikontrolnya pun jadi ajang cacian.
Dari kisah di atas, saya berani menyimpulkan bahwa kaum Atheis hanya akan bisa bertahan di dalam kekafirannya apabila mereka berada dalam situasi yang serba normal dan sempurna. Ekonomi yang mapan serta kesehatan yang prima dapat mendukung keyakinannya bahwa bumi beserta isinya terjadi dengan sendirinya tanpa perlu adanya sang Pencipta. Tetapi, bila ia kehilangan kenyamanan hidup, ia mau tidak mau akan takluk pada fitrahnya yang harus mengkonstruksi sesuatu zat di luar dirinya yang ‘terpaksa’ dianggap lebih kuasa menentukan jalan hidupnya. Oleh sebab itu, apabila ia tak tahan menanggung derita hidup yang tak bisa dihindari, ia akan mengumpat kepada “Tuhan”nya orang -orang Theis. Aneh bin ajaib bukan?

Introduction