Kamis, 14 Agustus 2014

100 JUTA PEMICU PERCERAIAN (LAPORAN MEDIATOR)

Sejak hari kemarin, 13 Agustus 2014, saya kembali menekuni pekerjaan lama sebagai mediator. Sudah lebih dari satu tahun saya absen dari tugas mulia ini. Sejak pagi, saya sudah menata diri untuk bersiap-siap menuju kantor Pengadilan Agama Kab  Malang yang terletak di Jalan Panji 202, Kepanjen.  Hati saya sebenarnya senang karena akan bertemu dengan beragam klien yang butuh pendampingan.  Saya akan berperan sebagai sahabat yang siap sedia menjadi teman curhat tentang permasalahan rumah tangga yang mereka hadapi. Telinga harus lebar, bibir harus selalu menyungging senyuman, serta segenap perhatian harus tercurah untuk mereka sehingga benang kusut yang mereka miliki sedikit demi sedikit terurai. Tidak mudah memang, namun bagi saya profesi ini sangat menantang yang berbeda dengan profesi utama saya sebagai dosen. Kalau di kampus, saya dengan mudah bertemu dengan wajah-wajah semringah, penuh canda tawa, dan deru semangat. Namun di PA,  saya akan berjumpa dengan muka-muka sendu yang siap meneteskan air mata dan perdebatan dari hati-hati yang konfrontasi. Untungnya, saya bukan hakim atau pengacara yang harus memihak atau memenangkan salah satu  pihak. Saya justru memiliki misi mulia, yakni mendamaikan dua pihak yang berseteru. Saya harus berpikir keras namun tetap santun, hangat, dan bersahabat untuk mereka.

Salah satu kasus yang saya tangani adalah permasalahan gugat cerai yang dilayangkan oleh seorang wanita, sebut saja Mawar, yang usianya sekitar 35 tahun. Mawar ingin bercerai dari suaminya, anggap aja namanya Doni, 38 tahun, yang sudah satu tahun tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin. Menurut Mawar, suaminya sering membuat hatinya sedih karena Doni tidak bisa bersikap tegas ketika mereka menghadapi masalah.  Persoalan terakhir yang memicu konflik ini adalah tentang sikap Doni yang tidak memberikan dukungan kepada istrinya ketika Mawar dihakimi oleh ibu, kakak, dan adik Doni. Ketiga perempuan ini menuduh Mawar telah menghabiskan harta suaminya.  Hal ini terkait dengan kepulangan Doni dari Korea yang membawa uang 100 juta yang diberikan kepada istrinya.  Oleh Mawar, uang tersebut digunakan untuk memperbarui rumah, membeli mobil, membuat warung, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan sebagian dipinjamkan kepada orang lain.  Sayangnya, penggunaan uang tersebut tidak secara gamblang disampaikan kepada Doni. Dari sinilah muncul konflik yang terjadi sepanjang satu tahun terakhir ini.

Dalam diskusi dengan mereka, terlihat bahwa Doni sebenarnya tidak ingin berpisah dengan istrinya. Ia masih sayang kepada Mawar apalagi mereka dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan, hasil pernikahan mereka selama 13 tahun. Walaupun begitu, Doni sempat jengkel  ketika istrinya telah meninggalkan rumah ke suatu tempat yang tidak ia ketahui meskipun sebelum berangkat Mawar telah meminta ijin kepadanya. Ia sudah berusaha mencari informasi ke keluarga Mawar namun hasilnya nol. Tidak ada seorang pun yang mau memberitahu keberadaan istrinya. Setelah tiga bulan berlalu, Mawar ternyata diketahui tinggal di salah satu keluarganya di Kalipare. Doni pun sudah bernegosiasi agar istrinya kembali pulang ke rumah bersama di wilayah Sumberpucung.  Namun, rupanya Mawar sudah terlanjur sakit hati akibat perlakuan keluarga suami yang merendahkan derajat harga dirinya serta sudah menuduh dirinya menghambur-hamburkan harta suami. Apalagi, kakak dan adik iparnya sudah meminta Mawar untuk menghitung harta gono-gini yang selazimnya baru dibahas setelah mereka resmi bercerai.

Doni nampaknya tipe lelaki yang kurang bisa berkomunikasi secara lancar dan kurang bergaul. Akibatnya, ia cenderung diam dan membiarkan masalah semakin runyam dan membuat Mawar kian terpojok dan sudah tidak tahan menanggung beban psikologis. Apalagi, secara ekonomi, Doni sudah tidak bisa lagi diandalkan karena tidak pernah memberikan nafkah lahir apalagi batin kecuali hanya memberi uang jajan kepada kedua anaknya yang tinggal bersama Mawar.

Dalam proses mediasi ini, saya mencoba untuk memberikan beberapa solusi:
1. Memperbaiki pola komunikasi yang selama ini terputus.  Ketika suami dan istri tidak tinggal satu rumah, otomatis komunikasi tidak berjalan lancar. Ketika suami menelepon, sang istri biasanya enggan menjawab atau hanya menjawab sekenanya. Oleh sebab itu, mereka disarankan untuk bersedia membuka hati dan pikiran untuk kembali membicarakan masalah mereka berdua dengan pikiran dingin demi mencari solusi terbaik untuk mereka. Solusi itu tidak selalu berupa pencabutan gugatan akan tetapi relasi yang baik dan ikhlas antara suami dan istri dalam menjalani proses perceraian ini penting untuk dibangun.  Oleh sebab itu, diskusi intensif antara suami dan istri perlu dilaksanakan.

2. Mempererat silaturrahim antara istri dan keluarga suami. Pemicu permasalahan yang utama adalah renggangnya hubungan antara istri dan keluarga besar suami, terutama ibu, kakak, dan adiknya. Saran yang disampaikan adalah kesediaan sang istri rela mengurangi egonya dan datang/sungkem ke mertua dan saudara iparnya untuk meminta maaf lahir batin mumpung masih di suasana idul fitri. Kunjungan ini diharapkan  dapat meredakan ketegangan sekaligus mengklarifikasi kesalahpahaman di antara mereka.

3. Menimbang kepentingan anak. Kedua pihak disarankan untuk memperhatikan kepentingan anak, baik secara fisik maupun psikisnya. Pertumbuhan anak kemungkinan besar  tidak dapat maksimal ketika orang tuanya tidak bersatu. Dengan perceraian, kehidupan anak akan timpang dan watak anak akan cenderung rendah diri dan tertutup. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya gunjingan dan cercaan teman sebayanya dan pengalaman kurang menyenangkan saat figur orang tuanya tidak utuh. Anak tentunya sangat mendambakan hidup damai bersama orang tuanya dan mendapat kasih sayang serta contoh total dari mereka. Ketika orang tuanya berpisah, anak akan haus kasih sayang dan hilang figur panutan. Lebih buruk lagi, pengalaman perpisahan orang tuanya ini akan dia tiru kelak di kemudian hari ketika mereka menemukan jalan buntu saat berumah tangga. Ini merupakan rantai broken home yang seharusnya dihindari.

Dari diskusi panjang yang memakan waktu sekitar dua jam, diperoleh kesepakatan  bahwa keduanya ingin memperbaiki hubungan dan mencoba mengerti kondisi masing-masing. Mereka juga sepakat untuk menjalin kembali tali silaturrahim yang sempat koyak dan siap memperhatikan segala kepentingan anak-anak mereka. Namun, meskipun Doni sempat keberatan dengan perpisahan, akhirnya disepakati untuk melanjutkan perkara ke sidang pengadilan. Memang, proses mediasi tidak selalu sukses menghambat laju perkara, namun setidaknya ada pelajaran berharga yang mereka peroleh setelah berkomunikasi dua arah secara langsung dan terbuka. Hal ini diharapkan dapat membuat mereka berpikir kembali tentang rencana perceraian mereka dan siapa tahu mereka akhirnya mencabut gugatannya beberapa waktu mendatang. Semoga

Introduction