Sabtu, 30 Mei 2009

AH, RASANYA TAK MUNGKIN…...BENARKAH?


Hari-hari kita adalah rangkaian kegiatan yang silih berganti. Ada kalanya longgar dan santai, namun kadang pula padat dan sibuk. Di saat kondisi normal, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita dapat kita lakukan dalam waktu yang cukup dan situasi kondusif. Sebaliknya, saat kondisi tertentu, kita tak dapat menghindari beban hidup yang sangat berat dengan banyaknya tugas yang menumpuk dan menuntut untuk segera diselesaikan. Jika tidak, masa depan dan nasib kita terancam. Di saat seperti ini, kita dituntut untuk bekerja keras memeras tenaga dan memutar otak sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kondisi seperti ini, stres tidak dapat dihindari. Rasanya, tidak mungkin. Ya, secara logika, kita tidak akan mampu melakukan tugas-tugas besar yang jumlahnya lebih dari satu dan meminta hasil maksimal.

Ada beberapa sikap yang biasa dilakukan orang. Pertama, umumnya orang akan tertekan dan bingung bila dibebani tugas di luar kemampuannya. Ekspresi sedih dan marah bercampur aduk. Umpatan gila-gilaan pun muncul seiring tertekannya batin yang tak kunjung meredam. Alhasil, pekerjaan tidak selsai namun dongkol hati tidak menghilang.

Kedua, sebagian orang melakukan penenangan diri dengan melupakan pekerjaan, dan pergi kemana saja sekehendak hatinya. Ia curhat dengan kawannya dan berusaha sedapat mungkin tidak mengingat-ingat kejadian yang membuatnya sedih. Akibatnya, hati cukup tenang dan emosi lumayan terkendali setelah endapat nasehat dari kawan-kawannya. Namun, sekali lagi pekerjaan tidak ada satu pun yang selesai. ia siap bersikap cuek jika kolega, mitra atau atasannya meminta pertanggungjawaban. Ia siap dijadikan tumpahan amarah karena ia akan tutup telinga dan menganggap teriakan-teriakan yang memerahkan telinga ibarat angin lalu. Sikan seperti ini pun memeliki jumlah pengikut yang tidak sedikit.

Ketiga, ini cukup sulit, adalah sikap seseorang yang tetap tenang dan optimis dengan kemampuannya yang didukung oleh kekuatan doa yang selalu ia panjatkan kepada Sang Khalik. Ia yakin bahwa di balik ketidakmampuannya ada kekuatan Sang Maha Perkasa. Ia mungkin agak khawatir bahwa pekerjaan menggunung yang sedang menghadangnya tidak dapat ia lakukan. Namun, dalam pikirannya, telah terdapat sekenario penyelesaian masalahnya. Antara lain, ia membagi beban berat itu ke dalam rangkaian pekerjaan yang lebih sederhana. Lalu sub pekerjaan itu ia bagi lagi dalam bentuk pekerjaan yang lebih kecil. Dengan demikian, ia mencoba melakukan step demi step, setahap demi setahap, sejengkal demi sejengkal unit-unti pekerjaannya sehingg seiring berjalannya waktu, ia akhirnya dapat mewujudkan asanya dalam bentuk terselesaikannya semua tantangan pekerjaan. Di lubuk hatinya terdapat rasa tawakkal yang betul-betul tulus. Ia tidak mengharap pujian dan tidak takut pula pada cercaan. Ia yakin, apa yang terjadi adalah salah satu ujian dari sang maha Kuasa untuk menguji emas atau loyang kualitas imannya. Ia pun akan tetap tersenyum, walau tak dipungkiri, hatinya juga ketar-ketir dan was-was kalau-kalau pekerjaannya tidak dapat selesai.

Sikap ketiga ini nampaknya lebih pas dan patut diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari karena kita tidak akan lepas dari aneka gaya ujian hidup yang kita hadapi. Semoga, dengan sikap ini, kita akan tetap mampu memberikan yang terbaik buat kehidupan kita dan orang-orang sekitar. Amin.

REKONSTRUKSI AHL AL-ZAKAT

Dalam tulisan ini, ahl al-zakat diartikan sebagai orang yang mengeluarkan zakat (muzakki) dan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Seseorang yang masuk dalam kategori muzakki biasanya dengan mudah dianggap sebagai orang kaya, sedangkan seseorang yang masuk dalam kategori mustahiq umumnya disebut orang miskin atau orang lemah ekonomi. Namun, kategori kaya dan miskin untuk zaman sekarang sudah mengalami perubahan yang signifikan.

a. Muzakki

Per­geseran konsep muzakki sebagai orang kaya dalam zaman sekarang ini, selain terkait dengan pergeseran konsep materi zakat yang dijelaskan di atas, juga terkait dengan bagaimana kita melihat dan menafsirkan ketentu­an-ketentuan tentang wajibnya seseorang mengeluarkan zakat. Nisab dan haul perlu mendapat perhatian khusus dalam masalah ini. Dulu orang akan dianggap kaya apabila ia memiliki emas dan perak, me­miliki kebun buah-buahan dan hasil pertanian yang ba­nyak, memiliki binatang ternak, atau memiliki harta perda­gangan yang banyak atau me­nemukan barang simpanan dalam tanah. Namun, sejak dikembangkan bank dan pasar modal sebagai lembaga ekonomi, diterapkan sains dan teknologi dalam kegiatan budi-daya, dipakainya keahlian dan ketrampilan diri se­bagai komoditas, orang-orang sekarang menjadi kaya bukan saja karena menyimpan emas dan perak atau me­miliki binatang ternak, tetapi karena memiliki deposito yang banyak pada bank, memiliki saham perusahaan per­usahaan besar yang terus berjalan mencari kekayaan dan hasilnya dibagi-bagikan kepada pemegang saham itu, mampu menghasilkan berbagai kebutuhan manusia me­lalui proses budi-daya atau mempunyai ketrampilan atau keahlian yang bisa dijual kepada orang lain. Demikian juga sekarang orang menanam modal dalam pabrik-­pabrik dan gedung-gedung besar yang disewakan dan terus-menerus memberikan kekayaan kepada penaman modalnya.

Orang-orang kaya sekarang hartanya terus-menerus tumbuh dan berkembang tanpa harus terlibat dalam proses pertumbuhan dan pertambahannya. Harta mereka juga diurus oleh orang lain sedangkan dia sendiri mung­kin tidak begitu tahu berapa banyak kekayaannya. Mung­kin karena itulah, banyak ulama’, termasuk Qardawi, mewajibkan mengambil zakat dari harta orang gila dan kanak-kanak karena mereka bisa menjadi kaya karena mewarisi kekayaan dari orang lain dan diurus dengan cara cara modern. Kesinambungan ke­kayaan pada zaman sekarang disebabkan oleh lembaga lembaga ekonomi yang bersifat stabil dan mapan. Lembaga-lembaga ekonomi seperti perusahaan perusahaan, seperti bank-bank dan lem­baga asuransi, terus-menerus mengembang­kan kekayaan di luar batas kehidupan individu manusia. Ada di antara lembaga itu yang telah berumur ratusan tahun dan menyimpan kekayaan cucu-cucu dari pendiri­nya yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu.

Bidikan menarik telah dilakukan Safwan Idris dalam hal kalsifikasi orang kaya dan miskin. Menurutnya, saat ini telah berkembang konsep pengklasifikasian seseorang ke dalam kelas sosial. Golongan mene­ngah ke atas sudah merupakan orang kaya meskipun mereka tidak memiliki kekayaan seperti tanah pertanian, perkebunan, peternakan, emas dan perak serta barang-ba­rang yang diperdagangkan. Para eksekutif yang menjadi manajer perusahaan atau bank merupakan orang kaya yang sangat terpandang da­lam zaman sekarang ini. Demikian juga para dok­ter dan advokat yang dapat mengumpulkan kekayaan yang banyak dari pelayanannya dengan bermodalkan izin dan kantor tempat konsultasi saja. Bahkan kekayaan golongan-golongan ini yang sekarang masuk dalam kelas menengah atas melampaui kekayaan para petani atau peternak tradisional yang biasa mengeluarkan zakatnya. Gaji kelompok menengah ke atas ini jauh melebihi hasil padi yang ditanam selama tiga atau empat bulan lamanya yang mencapai nisab. Dengan menghasilkan beras sekali panen dalam tiga atau empat bulan sebanyak 653 kg, petani sudah menjadi orang kaya yang membayar zakat. Apalagi para manajer, doktor, konsul­tan, advokat dan lain yang tiap bulan mendapat gaji ber­sih berjuta-juta rupiah. Wajar kalau kemudian kelompok baru ini di wajibkan untuk mengeluarkan zakat.

b. Mustahiq

Konsep mustahiq zakat juga mengalami pergesaran sehingga memerlukan pemaknaan ulang. Mustahiq sebagaimana disebut dalam surat al-Taubah/9: 60 terdiri dari delapan golongan, yakni fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil.

Dalam za­man klasik misalnya konsep fakir dan miskin sebagai dua kategori utama dari mustahiq sudah begitu berbeda antara berbagai mazhab fiqh sehingga dalam Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah uraian tentang penda­pat masing-masing mazhab tentang masalah ini jauh lebih panjang dari statemen perbandingan dan penyatuan antara pendapat-pendapat mazhab itu. Dalam zaman modern sekarang ini kemiskinan bukan saja ditentukan oleh kepemilikan kekayaan secara individual, tetapi tergantung juga dari tingkat kehidupan ekonomi suatu bangsa dan kualitas diri manusia itu sendiri. Dilihat dari tingkatan perekonomian suatu bang­sa, kemiskinan yang biasanya didefinisikan melalui kon­sep garis kemiskinan akan berbeda beda di antara berba­gai negara. Di Brunai orang dianggap miskin dan berhak menerima zakat bila ia berpenghasilan sekitar $ 1.180 atau sekitar Rp. 6.700.000[1] padahal untuk ukuran Indonesia penghasilan sebesar itu adalah termasuk orang kaya sebab orang dianggap cukup bila ia berpengasilan sekitar Rp 1.000.000,- atau berdasarkan upah minimum regional (UMR).

Di samping perubahan pengertian tentang orang kaya dan miskin, konsep amil zakat sendiri sudah ber­kembang sedemikian rupa seperti lembaga BAZ dan LAZ di Indo­nesia, dan Baitul Mal di Malaysia. Terbentuknya badan-badan ini sebagai penja­baran konsep amil memang mencerminkan pengaruh kontemporer dalam pengembangan berbagai konsep di sekitar zakat.

Unsur-unsur lainnya yang mengalami pergeseran dalam zaman sekarang ini ialah interpretasi terhadap konsep sabilillah, ibnu sabil, dan bahkan konsep riqab itu sendiri. Di masa lalu konsep sabilillah lebih difokuskan pada orang-orang yang secara sukarela berperang di jalan Allah tanpa adanya imbalan materiil yang pasti. Sebagi­an ulama tradisional masih berpegang dengan penafsiran tersebut sehingga untuk saat ini bila tidak ada peperangan, kelompok ini tidak perlu mendapat alokasi zakat. Padahal, kalau kita mau membuka pemikiran kita lebih luas, konsep jihad seka­rang ini dapat dimaknai sebagai berbagai macam perjuangan umat Islam yang mencakup berbagai kegiatan dakwah dan pembinaan masyarakat dan lembaga-lembaga agama Islam, seperti sekolah atau perguruan tinggi. Lembaga-lembaga semacam ini perlu mendapat bagian zakat dalam rangka meningkat­kan kualitas umat Islam sehingga mereka dapat memenangkan persaingan global saat ini.

Konsep ibnu sabil juga perlu reaktualisasi. Ibnu Sabil tidak saja meliputi orang yang habis perbekalannya dalam perjalanan, tetapi meliputi pemberian beasiswa kepada pelajar agar perjalanan pen­didikan mereka tidak putus di tengah jalan.Pem­berian beasiswa saat ini nampaknya lebih positif dan tepat sasaran zakat dibanding memberikan zakat secara konsumtif. Melalui pendidikan, umat Islam dapat mengembangkan kemampuan dan kekuatan dirinya untuk menghasilkan jasa yang bernilai ekonomis dan mampu merubah nasibnya dari mustahiq menjadi muzakki baru di masa mendatang.

Yang terakhir dari mustahiq zakat yang akan diutara­kan di sini adalah konsep riqab yang sering diterjemah­kan dengan hamba sahaya. Banyak orang berpendapat bahwa di era modern sekarang ini, hamba sahaya sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan seiring dengan kesepakatan negara-negara se-dunia dalam deklarasi hak-hak asasi manusia (Declaration of Human Rights) untuk menghapuskan perbudakan di atas bumi. Untuk sementara, kita bisa sepakat bahwa hamba sahaya model lama tidak ditemukan lagi. Namun, hal ini bukan berarti bahwa orang-orang modern sekarang semuanya terbebas dari berbagai belenggu yang mengikat leher mereka. Dari berbagai pengalaman, kita dapat menjumpai banyak sekali orang-orang miskin yang terjebak oleh rentenir dan mereka hampir tidak bisa membebaskan dirinya lagi dari ikatan para lintah darat itu. Bahkan sebagian mereka dipaksa harus rela ’menggadaikan’ agamanya. Orang-orang semacam ini sebenarnya dapat dikategirikan sebagai riqab zaman modern. Mereka berhak menerima zakat dalam rangka untuk membe­baskan diri dari penindasan rentenir itu. Inilah bukti bahwa kandungan al-Qur'an akan tetap relevan dalam segala zaman.



[1] Perhitungan ini dilakukan oleh Eri Sudewo tahun 2006.

REKONSTRUKSI MATERI ZAKAT

Materi zakat yang harus dizakatkan dapat dikatakan telah meluas. Banyak metode yang digunakan orang untuk menggali kekayaan, bahkan manusiapun kini menjadi komoditas ekspor seperti yang terjadi di Indonesia yang dengan besar-besaran mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri demi meraup devisa. Dengan kemajuan teknologi, kini masyarakat mengenal budidaya tanaman organik dan hidroponik, ikan hias, burung langka hingga perdagangan saham di pasar modal. Usaha semacam ini akan memberikan hasil berlipat ganda. Tentu model usaha tersebut sulit ditemukan di zaman saat rasulullah hidup.

Lebih mudahnya, mari kita bandingkan materi zakat antara kita klasik yang diwakili oleh Fath al-Qarib yang ditulis oleh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi al-Syafi’i dengan kitab Fiqh al-Zakat karya Yusuf Qardhawi. Dalam kitab Fath al-Qarib, Muhammad Qasim membagi jenis zakat kepada lima kelompok: zakat mawasyi (binatang ternak), atsman (emas dan perak), zuru’ (tanaman), tsimar (buah-buahan), dan tijarah (perdagangan).[1] Hampir tidak ada celah bagai harta-harta yang lain untuk diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Begitu pula kalau kita cermati kitab fikih klasik lainnya, semisal al­-Fiqh 'Ala al-Mazahib al-Arba'ah buah karya Abdu ar-Rahman al-Jaziri. Kitab yang membahas hukum fiqh dari empat mazhab fiqh itu menyebutkan materi hukum zakat hanya terdiri atas lima kategori utama yaitu binatang ternak, emas dan perak, barang barang perdagangan, barang tambang, dan rikaz, dan yang terakhir adalah buah-buahan atau hasil pertanian.[2] Yang masuk kelompok binatang ternak antara lain unta, lembu dan kambing dan tentu saja yang sejenis. Kategori emas dan perak menurut Safwan Idris[3] dapat mencakup barang logam berharga seperti uang yang merupakan alat simpan dan alat tukar kekayaan manusia. Konsep memasukkan uang dalam kategori emas dan perak nampaknya tidak terlepas dari kenyataan sejarah bahwa sejak zaman dahulu emas merupakan alat tukar yang berfungsi sebagai uang. Dalam kategori barang-barang perdagangan termasuk banyak sekali barang dan ada di antara mujtahid yang memasuk­kan emas dan perak yang diperdagangkan sebagai per­hiasan sebagai barang barang yang dikenakan zakat per­dagangan. Barang tambang dan rikaz antara lain diberi definisi sebagai kekayaan yang disimpan di dalam bumi baik yang dijadikan oleh Allah sebagai bahagian alam atau yang ditanam oleh manusia. Tentang barang tam­bang dan rikaz ini pendapat para ulama terlalu berbeda-­beda tetapi pada umumnya mereka mengkaitkannya dengan emas dan perak juga, mungkin disebabkan kon­sep barang tambang pada waktu itu belum begitu ber­kembang seperti sekarang. Dan yang termasuk dalam kategori hasil pertanian adalah makanan pokok dan buah-buahan seperti kurma dan anggur.

Kemudian, bila kita menelaah kitab Fiqh al-Zakat buah pena Yusuf Qardawi kitab yang ditulis pada abad ke dua puluh nampak ada perbedaan yang signifikan tentang kalsifikasi harta yang wajib dizakati. Buku ini menampilkan bentuk ijtihad kontemporer yang memang Qardhawi sendiri sebagai penggagasnya.[4] dalam era modern ini nampaknya telah me­nampilkan ijtihad zaman modern sehingga terdapat peru­bahan atau pergeseran pergeseran dalam hukum zakat baik dalam bidang materi zakat maupun dalam orang yang harus mengeluarkan dan yang harus disantuni de­ngan zakat ini. Qardawi mengatakan bahwa dalam memaknai ajaran Islam, khususnya zakat dibutuhkan pe­neliti-peneliti baru yang mampu menampilkan zakat dalam bentuk dan cara yang sesuai dengan kemajuan zaman. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa banyak persoalan yang timbul pada masa kita sekarang ini namun belum dikenal oleh para ahli fiqh pada masa lalu. Oleh sebab itu beliau menekankan pentingnya ijtihad modern termasuk di dalamnya terkait dengan materi zakat.

Tentang materi zakat, kiranya menarik bila kita menyimak ungkapan tegas al-Jaziri bahwa tidak ada zakat pada barang-barang selain ke lima kate­gori yang telah dijelaskan sebelumnya.[5] Beliau mengatakan tidak wajib zakat pada tempat tinggal, pada pakaian di badan, pada binatang yang dikendarai, pada binatang yang dilepas digunung, pada barang-barang perhiasan seperti permata dan yaqut, pada alat-alat pertukangan dan perhiasan dari emas dan perak itu sendiri. Nampaknya, konsep zakat yang sudah begitu berkembang pada waktu itu masih terbatas pada zakat pertanian dan peternakan, zakat perdagangan, dan zakat emas dan perak.

Bila kita menilik kitab Fiqh al-Zakat karya Qardawi, kategori barang-barang yang harus di­zakatkan menjadi begitu banyak dan kompleks seiring dengan kompleksnya dengan sistem perekonomian dan kemampuan manusia menguasai kekayaan alam. Qardawi membagi materi atau barang yang wajib dizakatkan ke dalam sembilan kategori yaitu

  1. zakat binatang ternak,
  2. zakat emas dan perak yang juga meliputi uang,
  3. zakat kekayaan da­gang,
  4. zakat hasil-hasil pertanian yang meliputi tanah per­tanian,
  5. zakat madu dan produksi hewani,
  6. zakat barang tambang dan hasil laut,
  7. zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain,
  8. zakat pencarian, jasa dan profesi dan
  9. zakat saham dan obligasi.

Dan segi jumlah kategori yang dibuat oleh Qardawi, dapat diketahui bahwa kategori barang-barang yang harus diza­katkan bertambah hampir dua kali lipat, dari lima menjadi sembilan. Kategori kate­gori baru yang terdapat dalam buku ini adalah zakat madu dan produksi hewani, zakat investasi pabrik, ge­dung dan lain-lain, zakat pencarian dan profesi dan zakat saham dan obligasi. Selain sebagai kategori yang berdiri sendiri, ke dalam kategori zakat barang tambang, Qardawi juga memasukkan zakat hasil laut yang bukan saja terdiri dari ikan, tetapi juga meliputi mutiara dan ambar.

Alasan Qardawi mengembangkan konsep harta yang wajib dizakati adalah merujuk kepada konsep zakat dalam pengertian dasar seperti pengertian tumbuh, berkembang. Syarat "berkembang" merupakan syarat utama dalam pengembangan konsep materi Zakat. Dan dalam zaman mo­dern ini yang ditumbuhkan dan dikembangkan untuk memperoleh hasil yang memiliki nilai ekonomis yang banyak sekali.

Di era globalisasi ini, manusia telah berhasil mengembangkan segala potensinya, baik eksternal maupun internal dirinya. Yang termasuk kelompok eksternal adalah manusia mampu mengeksploi­tasi antara lain laut, ta­nah, gedung, surat-surat berharga, dan kendaraan-kendaraan, sedangkan yang tergolong potensi dalam dirinya adalah kemampuan manusia mengembangkan keahlian untuk mendapat keuntungan yang besar, misalnya profesi dosen, dokter, dan advokat. Oleh sebab itu, Qardhawi membuat sebuah kategori yang disebut dengan zakat profesi. Keberanian Qardhawi membuat kategori tak lepas dari perkembangan zaman yang memang membutuhkan ijtihad dalam rangka menegakkan keadilan bagi semua. Bayangkan, mereka yang hanya mendapatkan hasil pertanian sebanyak lima wasaq (sekitar 653 kg atau Rp. 3.265.000,- dengan asumsi @ Rp 5.000,-) harus mengeluarkan zakat sedangkan seorang dokter dalam sehari saja dapat mengumpulkan uang sebesar itu, kemudian mereka tidak dikenai zakat, ini merupakan logika yang sulit diterima akal sehat.

Konsep pertumbuhan dan perkembangan kekayaan manusia. dapat juga dicermati dalam berbagai kegiatan budidaya hewan dan tumbuhan. Berbagai macam kekayaan alam yang ada dapat dikembangkan melalui proses budi­daya yang merupakan suatu proses penerapan sains khususnya bio-teknologi. Dengan penge­tahuan biologi dan genetika, manusia dapat menghasilkan padi dan jagung yang lebih pendek umurnya tetapi lebih banyak hasilnya atau dapat menyilangkan berbagai jenis makhluk hidup untuk menghasilkan kekayaan yang luar biasa. Manusia sekarang dapat beternak bukan hanya sapi dan unta, tetapi dapat beternak ikan Lou Han dan udang Windu, beternak lebah madu, atau budidaya bunga angrek dan tanaman bonsai yang menghasilkan kekayaan yang berlimpah sehingga merubah konsep orang kaya. Peternakan dan pertanian saat ini tidak selalu identik dengan kebun-kebun yang luas, namun bisa jadi dalam gedung-gedung atau rumah kaca dengan kondisi yang telah disesuaikan dengan alam aslinya. Di sinilah peranan sains dan teknologi merubah konsep pertumbuhan dan pertambah­an kekayaan manusia di era globalisasi.

Dengan proses pertumbuhan dan pertambahan yang berdasarkan pengertian ash konsep zakat inilah kita me­lihat kenapa ada kategori zakat baru dalam zaman modern dewasa ini seperti yang dibuat oleh Qarda­wi tersebut di atas. Pengertian awal konsep zakat adalah bertumbuh dan berkembang. Sains modern yang mun­cul saat ini telah memungkinkan pengembangan berbagai macam barang sehingga sangat meningkatkan harganya dan membuat orang-orang yang memiliki barang-barang itu masuk dalam kategori orang kaya. Oleh karena pertumbuhan dan pertambahan ini pula maka kekayaan itu perlu disucikan dari kotoran-kotoran dalam bentuk zakat kategori baru yang merukapan hasil ijtihad kontemporer.



[1] Muhammad bin Qasim al-Ghazzi al-Syafi’i, Fath al-Qarib al-Mujib, (Malang: Al-Midad, 2005), h. 91.

[2] Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), jilid I, h. 506.

[3] Safwan Idris, op.cit., h. 153.

[4] Pemikiran Qardhawi tentang Ijitihad dapat ditelaah dalam bukunya Ijtihad Kontemporer, alih bahasa: Abu Barzani, yang diterbitkan Risalah Gusti, Surabaya, 1995.

[5] Al-Jaziri, loc.cit.

KIAT MENYUSUN PROPOSAL PENELITIAN

A. Prolog
Proposal berasal dari kata to propose—proposal, artinya permohonan, pengajuan, dan usulan. Dengan demikian, proposal penelitian merupakan usulan berupa rencana penelitian yang akan dilakukan. Di dunia akademik, khususnya di kampus, kata proposal sangat akrab dengan rencana seorang mahasiswa yang hedak menyelesaikan studinya, di samping konotasi lain berupa proposal kegiatan atau permohonan dana. Tentu, bentuk dan tujuan proposal tergantung maksud pembuatnya.
Tulisan ini akan mengupas seputar proposal penelitian untuk skripsi sehingga dapat menjadi salah satu bahan renungan bagi kawan-kawan mahasiwa yang hendak menyelesaikan kuliahnya. Bagian pertama terkait dengan langkah sebelum membuat proposal dan langkah-langkah penting dalam membuat proposal.
B. Langkah Sebelum Membuat Proposal
Sebelum seseorang membuat proposal, ada baiknya untuk melihat kembali syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum merancang sebuah proposal. Setiap fakultas memiliki standar baku bagi seorang mahasiswa yang akan mengajukan proposal, misalnya jumlah beban SKS dan ditempuhnya beberapa matakuliah prasyarat. Bila syarat-syarat telah terpenuhi, maka seorang mahasiswa harus segera merancang sebuah proposal yang akan menjadi bukti kesarjanaannya (keahliannya).
Hal lain yang perlu diperhatian sebelum membuat proposal adalah minat atau ketertarikan akademis seseorang. Hampir dapat dipastika bahwa tidak mungkin seorang mahasiswa menguasai seluruh materi perkuliahan yang diajarkan selama di kampus dengan bobot yang sama. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa ada konsentrasi khusus yang menarik perhatian mahasiswa sehingga ia dapat menindaklanjuti minat tersebut dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya sebagai data awal penelitian. Pendek kata, kegelisahan akademik seseorang akan mengantarkannya untuk menemukan permasalahan yang hendak dicarikan jawabannya.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa seorang mahasiwa tidak dianjurkan hanya memiliki ketertarikan pada satu bidang saja, misalnya masalah perkawinan. Ia harus memiliki beberapa cadangan interes lain sehingga bila topik yang diajukan nanti tidak diterima fakultas, ia tidak serta merta putus asa dan kehilangan harapan menjadi sarjana, akan tetapi ia akan mudah menyesuaikan diri dengan situasi barunya. Dengan demikian, ia akan tetap memiliki semangat yang stabil tanpa pemborosan waktu.
Setelah mendapatkan inspirasi tentang beberapa topik, ada baiknya ia melakukan konsultasi ke beberapa orang yang ahli di bidang tersebut. Misalnya, ia konsultasi dengan dosen wali, dosen pembimbing mata kuliah, atau kepada kakak kelas yang memiliki kesamaan minat. Dari penggalian informasi tersebut, ia akan memiliki gambaran yang jelas yang mengkerucut tentang yang akan ia teliti. Bila tidak melakukan hal ini, biasanya ia akan kesulitan untuk meyakinkan diri bahwa topiknya layak diteliti. Sejumlah kasus judul ditolak antara lain karena kurang spesifik atau sudah banyak diteliti.
Cara lain yang juga sangat populer adalah melakukan studi pustaka di perpustakaan tentang penelitian yang telah dilakukan orang-orang sebelumnya, baik di kampus bersangkutan, lebih-lebih kampus lain. Dengan demikian, ia akan punya alasan bila ditanya tentang signifikansi penelitian yang hendak dilakukannya.
Beberapa pertimbangan dalam menentukan topik penelitian, sebagaimana pesan Sutrisno Hadi, ada empat hal (disingkat MOSI), yaitu:
1. Managable (dapat diatur dan ditangani penelitiannya)
2. Obtainable (data dapat diperoleh)
3. Significance (penting untuk pengembangan ilmu)
4. Interesting (menarik minat khalayak ramai)
Ketika segala sesuatunya telah siap dan mantap, barulah ia kemudian melangkah kepada pembuatan proposal. Beberapa catatan tentang komposisi proposal, tergantung format yang ditentukan oleh tiap fakultas atau kampus. Berikut ini komposisi standar yang dimiliki oleh sebuah proposal penelitian.
C. Komposisi Proposal
1. Cover
Hal yang penting diperhatikan dalam cover adalah bentuk judul biasanya berbentuk piramida terbalik, meskipun potongan kata menjadi kurang menarik. Bila tidak ada ketentuan ini, maka penulis bebas membuat komposisi dan potongan judul sesuai dengan keinginannya. Hal lain yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa judul hendaknya tidak terlalu panjang karena hal tersebut akan menyulitkan pembaca untuk menangkap gagasan yang disampaikan. Juga, judul bukan merupakan kalimat, tetapi frase yang menggambarkan isi tulisan. Biasanya, judul yang matang akan didapat setelah penelitian selesai dilakukan.
2. Latar Belakang
Ada beberapa model penulisan latar belakang. Ada yang langsung mengawali dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan menjadi kegelisahannya (induktif), ata pula yang memulai dengan gambaran umum yang berakhir dengan pengkerucutan masalah (deduktif). Namun hal yang pasti, latar belakang masalah harus menunjukkan alasan konkret di balik munculnya ide penelitian tersebut. Biasanya cara yang mudah adalah dengan menjabarkan perbedaan antara das sollen dan das sein, teori dan kenyataan, sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut. Kajian pustaka awal kadang dimasukkan pada bagian ini meskipun tidak wajib dicantumkan, kecuali penelitian literatur. Catatan yang perlu diperhatikan dalam latar belakang masalah adalah dihindarinya pernyataan yang mengarah kepada jawaban penelitian yang akan dilakukan karena akan melemahkan signifikansi penelitiannya.
3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan kompas dalam penelitian. Jika penelitian tidak memiliki rmusan masalah yang baik, maka penelitian itu akan tidak fokus dan tidak akan menyelesaikan permasalahan secara tuntas dan meyakinkan. Catatan yang perlu diperhatikan dalam rumusan masalah adalah perlunya penggunaan kata ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ dalam pertanyaan (khususnya penelitian kualitatif). Hal ini akan menambah nilai analisitis suatu penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, rumusan masalah dapat disesuaikan dengan perkembangan data yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Hal ini berbeda dengan penelitian kuantitatif yang tidak mudah atau bahkan tidak mungkin merubah rumusan masalah di tengah jalan karena sifatnya menguji suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya.
4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dibuat untuk menjelaskan arah penelitian. Tujuan harus seiring derngan rumusan masalah. Ada beberapa teknis penulisan tujuan. Umumnya, tujuan penelitian dibuat poin per poin sesuai banyaknya rumusan masalah. Namun, belakangan ini tujuan dibuat dalam bentuk paragraf yang berisi tentang uraian tujuan secara lengkap, tidak hanya merubah sedikit rumusan masalah dengan memberi kata ‘untuk mengetahui’ di awal kalimat.
5. Manfaat Penelitian
Poin ini terkadang dihilangkan karena dianggap telah terangkum dalam tujuan penelitian. Bagi yang membedakan, manfaat penelitian dibagi menjadi dua macam: manfaat teoritik dan manfaat praktis. Manfaat teoritik adalah kegunaan penelitian dalam konstruksi keilmuan, misalnya memberikan manfaat jabaran teori atau menjawab persoalan yang selama ini belum terpecahkan. Adapun manfaat praktis adalah manfaat penelitian yang terkait dengan kegunaan secara langsung yang dapat dipakai dengan mudah oleh masyarakat yang membutuhkan, misalnya menjadi salah satu saran kebijakan bagi pemerintah atau praktisi.
6. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu akan sangat bermakna jika judul-judul peneltian yang digunakan sebagai bahan pertimbangan sangat bersinggungan dengan penelitian yang hendak dilakukan. Biasanya penelitian terdahulu yang digunakan adalah penelitian yang terkait langsung dengan penelitian yang sedang dilakukan. Misalnya, tentang poligami, maka dicari penelitian yang sudah dilakukan orang tetang topik poligami. Degan demkikian, akan terhindar pengulangan atau bahkan plagiasi karya ilmiah.
Tujuan dicantumkannya penelitian terdahulu adalah untuk mengetahui bangunan keilmuan yang sudah diletakkan oleh orang lain, sehingga penelitian yang akan dilakukan benar-benar baru dan belum diteliti oleh orang lain. Dengan kata lain, dengan menelaah penelitian terdahulu, seseorang akan dengan mudah melokalisasi kontribusi yang akan dibuat.
Permasalahan yang muncul biasanya karena sulit ditemukannya penelitian yang sejenis. Kemudian peneliti buru-buru menyatakan bahwa penelitiannya benar-benar baru dan belum tersentuh orang lain. Hal ini dapat diselesaikan dengan mencari penelitian yang skupnya lebih luas. Misalnya, dalam penelitian tentang perkawinan sasak, bila memang belum ditemukan penelitian tentang model perkawinan tersebut, maka sang calon peneliti bisa mencari penelitian yang lebih luas cakupannya, yakni tentang perkawinan adat lainnya, semisal perkawinan adat Madura. Dengan demikian, peneliti akan dapat menunjukkan letak perbedaan penelitiannya dengan penelitian yang telah dibuat orang lain.
7. Metode Penelitian
Bagian ini merupakan salah satu inti proposal. Banyak mahasiswa yang bagus topik penelitiannya tapi bermasalah dalam metode penelitian sehingga harus mengulang proses penelitian dari awal. Metode penelitian ibarat sebuah jalan, jika tujuannya jelas dan bagus namun jalan yang ditempuh tidak sesuai maka ia akan tersesat dalam hutan rimba penelitian. Untuk itu, metode penelitian menjadi satu mata kuliah tersendiri yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa.
Komposisi metode penelitian bervariasi sesuai kebutuhan dan tekanan setiap fakultas. Namun, pokok bahasan yang sering muncul adalah:
a. Jenis penelitian (banyak macam tergantung sudut pandang yang dipakai, misalnya dari sudut sifat, penelitian dapat digolongkan ke dalam penelitian eksploratif, deskriptif, ekspanatif, dan verifikatif)
b. Paradigma (positivistik, interpretif, dan kritikal) dan pendekatan (kuantitatif dan kualitatif)
c. Lokasi penelitian (sesuai dengan tempat pengambilan sampel untuk penelitian lapangan)
d. Sumber data (primer, sekunder, dan tersier)
e. Metode pengumpulan data (observasi, wawancara, dokumentasi, atau angket)
f. Metode pengolahan data (dari awal hingga akhir) dan analisis data (ketika data telah siap dianalisis dengan metode analisis yang sesuai dengan topic penelitian, misalnya analisis komparatif)
Dengan menggunakan metode penelitian yang tepat, hasil penelitian akan memiliki tingkat keterpercayaan yang tinggi sehingga dapat menjadi salah satu referensi yang handal.
8. Sistematika Penulisan/Pembahasan
Pencantuman sistematika penulisan dalam sebuah proposal ditujukan untuk mengetahui alur pikiran peneliti dan mengorganisisasi hasil penelitiannya kelak. Umumnya penulisan sistematika pembahasan disesuaikan dengan paparan setiap bab. Sebagai contoh, bab satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini akan dijabarkan tentang hal hal yang terkait dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan metode penelitian.
9. Daftar Pustaka
Buku-buku standar yang akan menjadi rujukan dalam penelitian wajib dicantumkan dalam daftar pustaka dengan model penulisan yang telah direkomendasikan fakultas. Di samping buku-buku yang terakit dengan topik penelitian, buku-buku metodologi penelitian harus muncul dalam jumlah yang cukup. Hal ini disebabkan oleh posisi sebuah proposal yang merupakan usulan kegiatan penelitian sehingga meniscayakan adanya rujukan cara melakukan penelitian.
D. Epilog
Demikian tulisan ringkas tentang proposal penelitian, semoga bermanfaat untuk mengantarkan kawan-kawan meraih impian di masa mendatang. Amin.

Jumat, 29 Mei 2009

TEORI TENTANG SYARIAT ISLAM

A. Gagasan tentang Syariah, Fikih, dan Syariat Islam


1. Syariah

Kata Syariah berasal dari lafal “syara’a” dengan mengambil bentuk masdar “syari’ah” yang berarti jalan ke tempat pengairan atau tempat berlalunya air di sungai.[5]

Kata syariah muncul dalam Alquran sebanyak lima kali yaitu Al-Maidah:48, Asy-Sura:13, 21, Al-Jatsiyah:18, dan Al-A’raf:163. Dalam hal ini agama yang ditetapkan untuk manusia disebut syariat dalam artian lughawi karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupan di dunia.[6]

Bentuk Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah bahwa siapa yang mengikuti syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa insani.[7]

Pengertian syariah secara terminologi dapat disimak pendapat Qardawi bahwa syariah adalah sesuatu yang ditetapkan Allah kepada hambanya yang berupa aturan-aturan agama atau sesuatu yang diperintahkan Allah yang berkaitan dengan masalah-masalah agama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan seluruh perbuatan yang baik.[8]

Makna syariah juga dapat ditemukan pada karya Manna’ Al-Qattan yang mendefinisikan syariah sebagai :

“Sesuatu yang ditetapkan Allah untuk hamba-hambanya dalam hal akidah, akhlak, muamalat, dan peraturan kehidupan dalam bentuk yang beraneka ragam demi terjalinnya keteraturan hubungan manusia terhadap tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya serta terwujudnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.[9]

Dengan demikian syariah memiliki unsur ketetapan (hukum buatan) Tuhan, berkaitan dengan kehidupan manusia baik berhubungan secara vertikal dengan Tuhan maupun secara horizontal dengan sesamanya, dan tujuan tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.

2. Fiqih

Fiqih secara lughawi berarti paham yang mendalam.[10] Bila kata paham dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqih berarti paham yang menyampaikan ilmu zahir kepada ilmu batin. Jadi fiqih tentang sesuatu berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.[11]

Kata “faqaha” atau yang berakar dengan itu dalam Alquran terdapat 20 ayat; 19 di antaranya mempunyai arti kedalaman paham atau kedalaman ilmu yang menyebabkan dapat diambil manfaatnya.[12]

Makna fiqih secara istilahi sebagaimana dituturkan Abdul Wahhab Khalaf adalah

Yakni pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara rinci. Atau dengan kata lain kumpulan hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. [13]

Tentang “dalil-dalil” yang dimaksud pada definisi di atas adalah dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum syariat mengenai perbuatan manusia yang disepakati ulama, yaitu Alquran, Al-Sunnah, Ijma, dan qiyas.

Dari sini dapat dilihat ciri khas fikih adalah pengetahuan hukum Islam terperinci berkaitan dengan perilaku manusia yang bersumber Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, dan qiyas.

3. Hubungan Syariat dengan Fiqih

Syariat diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah dan yang dijelaskan oleh rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang bahagia dunia akhirat. Ketentuan Syara’ ini terbatas dalam firman Allah dan sabda rasul.

Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan rasul. Kehendak itu sebagian telah terdapat sacara tertulis (terkodifikasi) dalam Alquran dan Al-hadis.Akan tetapi sebagian besar lainnya masih tersimpan dibalik tulisan itu sehingga membutuhkan pemahaman mendalam untuk menyelesaikan persoalan zaman yang kian menantang.

Manusia dituntut mempelajari secara tuntas dan terperinci Alquran dan Al-hadis yang kemudian dapat dituangkan ke dalam ketentuan-ketentuan hasil ijtihad. Ketentuan terperinci tentang hukum yang berkenaan dengan tingkah laku manusia diramu dan diformat sedemikian rupa sebagai hasil pemahaman tentang syariah disebut fiqih.

Pemahaman terhadap hukum syara itu mengalami perubahan sesuai dengan pergeseran situasi dan kondisi manusia yang menjalaninya. Muncullah fiqih-fiqih yang dinisbatkan langsung kepada mujtahid yang memformulasikannya semisal fiqih Hanafi dan fiqih Syafi’i. Sedangkan syariah selalu dan akan tetap dinisbatkan kepada Allah SWT.[14] Dari sini dapat terlihat bahwa fikih merupakan hasil ijtihad ulama dalam memahami Syariah yang merupakan buatan Tuhan.

4. Syariat Islam

Untuk pengertian Syariat Islam, penulis belum menemukan makna yang tepat dan memuaskan. Akan tetapi penulis mencoba mengutip pendapat para pakar yang sedang mengonsentrasikan diri pada penegakan Syariat Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Habib Rizieq Shihab. Menurut pandangan beliau, Syariat Islam dapat dikatakan identik dengan syariah, yakni aturan hidup khusus menyangkut zahiriyah, yang kemudian dibahas oleh fikih. Beliau tidak setuju kalau berbicara Syariat Islam hanya formalnya saja dengan mengabaikan substansinya. Sebaliknya juga tidak sepakat kalau hanya membicarakan substansi tapi pengabaikan formalitasnya. Sama seperti antara akidah, syariah, dan akhlak tidak bisa dipisahkan. Dengan begitu formalistik dan substansial tidak boleh dipisahkan. Formalitas ditujukan untuk menjaga agar substansi berjalan dengan baik. Dan substansi dijadikan sebagai bukti implementasi formalistik yang diperjuangkan.

Dalam pelaksanaan syariat Islam menurut Shihab, harus dilakukan secara bertahap. Pertama, Syariat Islam hanya diberlakukan untuk umat Islam saja, sedangkan non-muslim dibolehkan menggunakan hukum positif yang sudah ada. Kedua, Pemetaan daerah berdasarkan kesiapan melaksanakan Syariat Islam. Bagi daerah yang Islamnya kuat, penegakan Syariat Islam dapat mencapai 50%, untuk daerah sedang barangkali bisa mencapai 30%, sedangkan yang belum siap mungkin cukup 5 -10% saja. Ketiga, Bagi daerah yang belum siap betul, tahap yang berlaku bagi mereka adalah sosialisasi Syariat Islam. Sosialisasi ini juga tergantung wilayahnya, bisa saja memakan waktu sekitar 5 tahun, 10 tahun atau bahkan bisa sampai 50 tahun.[15]

Sedangkan menurut Syafi’i Ma’arif, Syariat Islam atau ringkasnya syariat adalah agama itu sendiri yang bersifat holistik. Jadi bukan hanya hukum, seperti pemahaman Ba’asyir, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia. Esensi dari Syariat Islam adalah keadilan, bukan hukum-hukum yang partikular.[16]

Dalam pandangan M. Imdadun Rahmat, pelaksanaan syariat Islam tidak dimaknai sebagai formalisasi syariat lengkap dengan struktur, nama, idiom, dan sumbernya, tetapi lebih dimaknai sebagi adopsi semangat dan pesannya dalam sistem hukum nasional. Dalam memahami Syariat Islam lebih diutamakan unsur substansial dan esensialnya, bukan literalnya. Substansial dalam pengertian mengambil isi tanpa mementingkan bahasa atau simbul. Sebagai contoh, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan, meski tidak bernama qishash, tetapi isinya sama dengan ketentuan qishash. Jika implementasi dengan cara substansial tidak tercapai bisa dipakai pendekatan esensial, yakni cara pandang yang tidak memandang isi atau bentuk, tetapi lebih mementingkan esensi atau maksud dan semangatnya. Sebagai contoh, larangan bagi wanita keluar tanpa mahram, bisa diganti dengan aturan yang melindungi keselamatan dan kehormatan wanita.

Memang agenda ini, menurut Rahmat, memerlukan pengkajian yang luar biasa berat. Namun jika tidak dilakukan akan selalu saja muncul ketegangan yang melahirkan pendekatan yang sama-sama tidak bijaksana; menuntut pemberlakuan Syariat Islam konvensional yang menimbulkan berbagai diskriminasi, atau membiarkan sistem hukum nasional tetap pada posisi tidak legitimate dan tidak aplikatif di tengah kebangkitan religiusitas umat karena cap sekuler yang disandangnya.[17]

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Syariat Islam berarti aturan Tuhan yang ada dalam Al-Qur’an dan juga al-Sunnah yang dapat diambil hukumnya secara langsung dan diterapkan di masyarakat Islam tanpa adanya penafsiran, atau singkat Syariat Islam lebih identik kepada syariah. Hanya saja, dalam tataran praksis, Syariat Islam dinilai berbeda oleh para tokoh di atas. Ada yang menginginkan pelaksanaan apa adanya, ada pula yang mengharuskan adanya pemaknaan substansial dari syariat Islam, dan yang terakhir menginginkan adanya kompromi di antara keduanya.

B. Polemik Syariat Islam Pada awal Kemerdekaan Indonesia

Keinginan kuat untuk memberlakukan Syariat Islam yang muncul di era reformasi bukanlah hal yang baru. Dalam perjalanan sejarah pembentukan bangsa Indonesia, gagasan ini telah menjadi perdebatan cukup hangat di antara para tokoh elit nasional yang duduk di BPUPKI. Para tokoh dari kalangan Islam, nasionalis sekuler, maupun Nasrani yang tergabung dalam panitia sembilan pada akhirnya memutuskan dirumuskannya Piagam Jakarta (22 Juni 1945) sebagai jalan kompromi yang dianggap sebagai kompromi untuk menyudahi kesulitan antara anak bangsa.

Namun sejarah terus bergulir, kesepakatan Piagam Jakarta tidak berjalan mulus, pasti menghadapi banyak ganjalan dan rintangan. Alasan mendasar yang menjadi sumber masalah itu karena di dalam Piagam Jakarta tercantum tujuh kata yang dianggap memancing emosi kelompok tertentu, yaitu dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kalimat ini kemudian dipersoalkan dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Wakil Kristen dari Indonesia Timur, Latuharhary, menggugat kesepakatan “tujuh kata” yang telah dicapai pada sidang sebelumnya. Kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat istiadat.[18]

Namun demikian keberatan Latuharhary tidak diterima oleh Soekarno, ketua Tim Kecil panitia Sembilan. Menurut Soekarno, umat Islam akan keberatan jika tujuh kata itu dihilangkan, mengingat perjuangan umat Islam dalam mendirikan bangsa Indonesia sangat besar dan berat. Mengingat pula bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.

Pada kesempatan lain, dalam risalah sidang BPUPKI tanggal 13 Agustus 1945, Wachid Hasyim mengusulkan agar syarat presiden ditambah “yang beragama Islam”. Juga pasal 29 ditambah “agama negara ialah agama Islam”. Dan dalam rapat 14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus hadikoesoemo mengusulkan agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret. Jadi, bunyinya hanya ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam. Tetapi usul itu ditolak.

Sampai dengan rapat terakhir BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, tidak ada pencabutan tentang Piagam Jakarta. Bahkan ketika itu, Soekarno menegaskan disepakatinya klausul “Presiden Indonesia haruslah beragama Islam”. Dan pasal 29 tetap berbunyi “Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Terakhir, ketua BPUPKI yang juga merupakan aktifis gerakan Teosofi itu menyimpulkan, “Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya dan dengan suara bulat diterima undang-undang dasar ini”.

Namun kesepatan itu harus pecah. Seperti diketahui pada tanggal 18 Agustus 1945, kesepakatan di BPUPKI itu kemudian dihapus. Ini terjadi, saat Bung Hatta di pagi hari menjelang dibukanya rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), melobi Ki Bagus Hadikoesoemo, Wachid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan untuk bersedia mengganti kalimat “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan UUD dengan kalimat Ketuhanan Yang maha Esa”.

Alasan yang digunakan adalah demi persatuan bangsa. Karena menurut pengakuan Hatta, sore hari sebelumnya ia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang memberitahukan bahwa wakil-wakil Kristen di daerah-daerah merasa keberatan dengan pencantuman Piagam Jakarta tersebut. Jika masih seperti itu mereka lebih baik memisahkan diri dari negara Indonesia. Atas dasar inilah akhirnya para tokoh Islam dengan berat hati mengizinkan perubahan tersebut. [19]

Namun sebenarnya menurut Adian Husaini, Jika dicermati fakta-fakta sejarah, penerimaan tokoh-tokoh Islam itu hanyalah pertimbangan situasional. Terbukti kemudian mereka memperjuangkan konsep Piagam Jakarta tersebut dalam Majelis Konstituante. Bahkan menurut Prof Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikoesoemo sampai meninggal dalam penantian kembalinya Piagam Jakarta.

Persoalan Syariat Islam ini sebenarnya kalau ditelusuri merupakan gambaran pertentangan antara Islam Politik dan Nasionalis Sekuler. Antara Islam politik dengan tokohnya Moh. Natsir dan nasionalis sekuler dengan tokohnya Soekarno pernah terjadi polemik yang panas pada tahun 1940-an. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa kedua kelompok ini merupakan kelompok-kelompok utama dalam dunia politik Indonesia sejak rakyat yang tinggal di nusantara ini mengenal politik modern pada awal abad XX. Pengelompokan politik seperti terlihat dalam rapat BPUPKI dan PPKI, bahkan tetap bertahan sampai sekarang meskipun Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan kepemimpinan nasional dengan berbagai corak.

Pergeseran dari Orde Lama ke Orde Baru setelah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966, tidak mengubah pola hubungan Islam-politik. Islam tetap dijadikan ideologi partai-partai Islam dan negara Islam tidak lagi disebut-sebut sebagai tujuan partai-partai tadi. Undang-undang tentang partai politik dan Golkar yang dikeluarkan pada tahun 1985 dan pernyataan beberapa tokoh Islam berupa “Islam Yes, partai Islam No”, mengubah pola hubungan Islam-Politik. Menurut UU tersebut, partai-partai politik tidak lagi boleh mencantumkan salam satu agama sebagai ideologi dan asas partai. Semua partai politik harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asasnya. Slogan “Islam Yes dan Partai Islam No” menginginkan dihilangkannya sebutan partai Islam sehingga Islam tidak lagi digunaan sebagai alat politik untuk menarik simpati masyarakat. Apalagi sejak orde baru menerapkan depolitisasi dan deidiologisasi. Maka polemik dan perdebatan seputar agama dan negara dihentikan.

C. Polemik Syariat Islam di Era Reformasi

Kini di era reformasi isu ketegangan agama versus negara muncul kembali. Di antaranya adalah polemik di media massa dan penggusuran gagasan Syariat Islam agar dimasukkan ke dalam UUD 1945 yang diamandemen oleh partai-partai Islam. Polemik hubungan agama dan negara pada era reformasi diramaikan dengan kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Liberal Islam. Islam liberal mengibarkan ide bahwa dalam wilayah publik peran agama diminimalkan. Gagasan-gagasan Islam liberal khususnya tentang hubungan agama dan negara ini sejalan dengan pemikiran Nurcholish Madjid cs dengan pembaharuan Islamnya dan Nasionalis sekuler yang meminimalkan peran agama dalam kehidupan bernegara, dan agama hanya menjadi urusan pribadi.

Hadirnya gerakan Islam Liberal di Indonesia merupakan upaya untuk menyikapi persoalan hubungan Islam dengan negara, Islam dengan hak-hak sipil, dan Islam dengan kebebasan individu dan banyak lagi persoalan modern lainnya. Pada era ini, ketika hak-hak individu semakin diperhatikan dan elemen-elemen sosial semakin diperhitungkan, representasi monolitik, khususnya representasi berdasarkan kelompok agama, akan sulit diwujudkan. Di era negara bangsa dan semakin rapuhnya sendi-sendi totalitarianisme, agama akan semakin kehilangan makna dan perannya jika terus-menerus berusaha melakukan kompetisi dengan kepentingan duniawi manusia. Islam sebagai bagian dari agama masa silam yang memiliki psikologi dan logika masa silam, juga tak lepas dari persoalan klasik yang dihadapi agama di dunia dewasa ini.

Argumen lainnya, tentang tergusurnya peran agama dalam urusan politik, Nabi pun tak pernah menyatakan secara tegas bahwa sebuah sistem pemerintahan haruslah memiliki pola politik tertentu. Dan Islam liberal meyakini bahwa urusan negara adalah semata-mata urusan duniawi manusia. Tak ada ketentuan atau kewajiban dari ajaran Islam secara spesifik tentang bentuk pemerintahan manusia.

Ide bahwa formalisasi negara Islam akan memecah-belah masyarakat ditentang oleh pendukung Islam literar. Menurut mereka, penerapan Syariat Islam dilaksanakan di Indonesia dapat memberikan kebaikan kepada semua pihak, dengan tidak membedakan warna kulit, ras, harta kekayaan, bahkan agamanya. Dengan mengacu pada sejarah Rasulullah di Madinah yang telah memperlakukan hukum sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun non-muslim yang dikenal dengan ahl al-dzimmah. Status mereka sama dengan warga negara yang berhak mendapat jaminan kebutuhan pokok, keamaan, kesejahteraan, dan persamaan di depan hukum Islam. Kebaikan jika syariat Islam diterapkan antara lain akan memelihara keturunan, akal, kehormatan, agama dan juga keamanan.

Keinginan untuk menerapkan Syariat Islam bagi masyarakat Islam di berbagai daerah lebih dilatarbelakangi oleh carut-marutnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Aspirasi untuk menerapkan syariat Islam itu berkaitan dengan situasi sosial yang mengalami disorientasi, lemahnya penegakan hukum, serta didorong oleh pandangan-pandangan normatif teologis tentang idealistik tentang peranan syariat. Dalam situasi yang tidak menentu ini sebagian orang menganggap bahwa penerapan Syariat Islam dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mengatasinya.[20]

D. Syariat Islam Yes, Syariat Islam No

Buku yang diterbitkan Paramadina yang berjudul “Syariat Islam Yes, Syariat Islam No” kiranya patut dicermati. Buku ini mempunyai keistimewaan tersendiri, karena tidak hanya menyuguhkan satu alur opini saja, tapi memuat pikiran lain yang agak berseberangan. Jadilah perdebatan pro-kontra Syariat Islam menjadi begitu hangat.

Setidaknya ada tiga aliran besar dalam buku ini : Pertama: aliran formalisasi syariat atau normatif-formalistik. Kelompok ini menghendaki agar syariat Islam dijadikan landasan riil berbangsa dan bernegara. Pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam amandemen UUD `45 menjadi salah satu keinginan mereka. Kedua, arus substantif-simbolistik. Kelompok ini menginginkan pemaknaan Syariat Islam dari sisi sunstansinya saja. Pemerintah tidak selayaknya turut campur dalam persoalan syariat, karena jika demikian akan nampak wujud Islam yang represif dan otoriter. Ketiga, aliran berwajah moderat. Yakni kelompok yang menolak sekularisasi dan islamisasi. Arus ini sebenarnya menempati posisi minoritas di kalangan para pemikir, karena mereka berbicara hanya pada tataran moralitas, sehingga kehilangan kerangkan teoritis dan kerangkan strategis serta sulit diterapkan di tataran praksis.[21]

Mengenai fakta hukum tentang Syariat Islam di masyarakat, kita dapat menengok perjuangan pemberlakuan Syariat Islam di bebrapa daerah antara lain Cianjur dan Tasik Malaya. Untuk kasus Cianjur, bupati telah mengeluarkan Surat Edaran No. 451/2717/ASSDA tertanggal September 2001 tentang Gerakan Aparatur Berakhlakul Karimah dan Masyarakat Marhamah. Dalam aturan ini dijabarkan beberapa butir penting sebagai berikut:

“Masyarakat yang beragama Islam di wilayah/lingkungan kerja yang Saudara pimpin untuk melaksanakan Syariat Islam secara bertahap antara lain:

1. Melaksanakan 7 (tujuh) Syariat Islam, yaitu shalat berjamaah pada awal waktu, shaum, shadaqah, shabar, silaturrahim, syukur, dan salam.

2. Menunaikan kewajiban zakat.

3. Bagi muslimat agar mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan.

4. Mengkoordinasikan dan meningkatkan pelaksanaan pengajian di lingkungan kerja masing-masing.

5. Mengikuti pengajian rutin di majelis-majelis ta’lim

6. Membudayakan baca al-Qur’an secara berkelanjutan

7. Menghindari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku

8. Melaksanakan kebersihan, ketertiban, dan keindahan di lingkungan tempat tinggalnya dan di lingkungan kantor tempat kerja masing masing.

Contoh lain usaha penegakan Syariat Islam di daerah adalah lahirnya Surat Edaran Bupati Tasikmalaya No. 451/SE/04/Sos/2001 yang bertanggal 28 Mei 2001 tentang Upaya Peningkatan Kualitas Keimanan dan Ketakwaan. Isinya antara lain:

1. Bagi calon murid SD atau MI yang beragama Islam diharapkan sudah memiliki kemampuan membaca al-Qur’an.

2. Bagi siswa SD, SLTP, SMU/SMK atau sederajat yang beragama Islam agar dilanjutkan untuk mengikuti sekolah agama di antaranya TPA/TQA/Madrasah Diniyah (Awaliyah, Wustha, dan Ulya)

3. Lebih meningkatkan upaya pembinaan keimanan dan ketaqwaan melalui wadah-wadah yang ada di sekolah

4. Dianjurkan kepada siswi SD/MI, SLTP, SMU/SMK, lembaga pendidikan kursus dan Perguruan Tinggi yang beragama Islam untuk mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan menutup aurat.

5. Agar para kepala Dinas, instansi, kantor untuk meningkatkan penyelenggaraan kegiatan pembinaan keimanan dan ketakwaan di antaranya pembinaan baca al-Qur’an.[22]

Meskipun hal-hal yang disebut di atas sudah banyak diketahui dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat, tapi greget Surat Edaran itu mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat.

Dengan melihat geliat Syariat Islam di Indonesia, ada seberkas optimisme terlaksananya Syariat Islam di Indonesia. Mungkin kita tinggal menunggu saat yang tepat untuk membuat lompatan lebih jauh.



[5] M. Rosyid Rida, Tafsir Al-Mannar , (Beyrut: Darul Fikr, tt), Jld. VI, cet. Ke-2, h. 413

[6] Yusuf Qardhawi, Madkhal li Dirasati Al-Syariah Al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt.), h. 7

[7]M. Rasyid Rida, loc. cit.

[8] Yusuf Qardawi, loc.cit.

[9] Manna’ Al-Qattan, Al-Tasyri’ wa Al-Fiqh fi Al-Islam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), cet. Ke-3, h. 13-14

[10] Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Beyrut: Darul Fikr, tt), h.6

[11] M. Rasyid Rida, ,Tafsir Al-Mannar, (Beyrut: Darul Fikr, tt), jdd IX, cet. Ke-2, h. 11

[12] Ibid.

[13] Abd. Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, ( Kairo: Darul Qalam, 1978), cet. Ke-2, h. 14

[14] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), cet. Ke-2, h. 14

[15] Syafi’i Ma’arif, Menawarkan Substansi Islam, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 105

[16] Habib Rizieq Shihab, Jika Syariat Islam, Jalan, Maka Jadi Negara Islam, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 101-102

[17] M. Imdadun Rahmat, Jalan Alternatif Syariat Islam, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 5

[18] Adian Husaini, Syariat Islam di Indonesia, Problem Masyarakat Muslim Kontemporer, (Jakarta: Taswirul Afkar, 2002), h. 57

[19] Peristiwa ini dapat dicermati dalam harian Kompas edisi Seratus Tahun Bung Hatta, tahun 2002.

[20] Majalah Syi’ar, Edisi September 2002, h. 5-11

[21] Lihat Kurniawan Zein, Syariat Islam Yes Syariat Islam No, (Jakarta: Paramadina, 2001) dan Zuhairi Misrawi, Dekonstruksi Syariat: Jalan menuju Desakralisasi, Reinterpretasi, dan Depolitisasi. (Jakarta, Tasysirul Afkar, 2002), h. 7

[22] Ketentuan Surat Edaran ini dapat dilihat dalam tulisan Anom SP, Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah, (Jakarta; Tasywirul Afkar, 2002), h. 88-89

Introduction