Kamis, 31 Desember 2009

SELAMAT JALAN GUS DUR

Sedih nian bangsa ini
Duka mendalam membalut negeri
Kehilangan sosok negarawan sejati
Pembela kaum lemah, Penyemai demokrasi

Gus Dur...
Sosok manusia cerdas dan pemberani
Memperjuangkan nasib rakyat tanpa basa-basi
Di tengah pluralitas anak negeri
Kau mampu melawan arah
Kau telah merubah sejarah

Selamat jalan, Gus Dur...
Bangsa ini tak akan lupa akan jasamu

Rabu, 30 Desember 2009

BERPIKIR SOLVENSI

Setiap hari selalu saja ada masalah yang harus dihadapi setiap makhluk bernyawa di bumi ini. Gradasi problematikanya bisa terbentang luas dari tingkat ringan hingga akut. Tak pelak, pikiran dibuat pusing tujuh (puluh) keliling untuk menghadapinya. Ada sebagian yang tenang-tenang saja menjalani kehidupannya namun tak sedikit dari mereka yang mati-matian menahan hati agar tidak meledak akibat himpitan masalah yang menderanya bertubi-tubi. Alhasil, menata pikiran secara apik bisa menjadi salah satu alternatif pemecahannya.

Berpikir solvensi, ya berpikir solvensi merupakan salah satu solusinya. Cara berpikir semacam ini diawali dengan menempatkan masalah pada tempatnya secara tepat, tentu dibarengi dengan kepala dingin. Ketika seseorang kehilangan barang kesayangannya, sebagai misal, ia dengan mudah akan marah dan meluapkan kekecewaan atas lenyapnya barang kesayangannya. Ia akan menuduh orang-orang yang sebelumnya telah masuk daftar manusia yang patut dicurigai. Tanpa fakta, ia akan menyebut si A atau si B sebagai pencurinya. Tanpa disadari, sikapnya yang emosional bukan menyelesaikan masalah, tapi jstru memunculkan masalah baru. Ia bukannya lepas dari kemelut kehilangan barangnya, tapi justru ia memperbanyak konflik dengan banyak orang yang semakin menyakitkan hatinya.

Nah, sebenarnya ada cara lain yang bisa mengendalikan emosinya, yakni berpikir solvensi. Cara berpikir semacam ini merupakan cara berpikir yang beroerientasi pada penemuan solusi, bukan mencari kambing hitamnya tetapi bagaimana menatasi masalahnya. Contoh, pada sebuah perjalanan jauh, sebuah mobil tiba-tiba mogok total. Para penumpang jelas gelisah karena perjalanannya masih jauh dan hari mulai gelap. Bagi orang yang punya cara pandang solvensi, ia tidak menumpahkan kegelisahannya dengan marah-marah dan meratapi nasibnya yang malang. Ia justru berpikir tenang dan mencoba mencari bengkel terdekat yang dapat membantunya. Walau sebenarnya dalam batinnya ada rasa kalut, tapi ia menganggap bahwa kalut yang diekspesikan dengan marah dan ratapan tidak dapat menyelesaikan masalah. Ia harus segera mencari tahu orang yang dapat membentu menyelesaikan masalahnya, yakni tukang bengkel. Dengan ringan ia melangkahkan kaki menuju kerumunan orang yang duduk-duduk di jalan. Ia pun bertanya barang kali ada yang tahu bengkel terdekat. Ternyata, pertolongan mulai datang. Ada orang yang tahu bengkel terdekat dan bahkan siap mengantarkan untuk menjemput si tukang. Ketika tukang datang dengan sejumlah peralatannya, mobil ternyata belum juga bisa dibenahi. Bagi si emosian, ia makin meraung kebingungan. Hari sudah tengah malam. “Kenapa ini kok menimpaku?”, begi gerutunya. Lain halnya orang yang berpikir solvensi, sambil menunggu tukang bekerja keras, ia berpikir mencari informasi tentang penginapan yang dekat dan murah. Ia tahu kalau bermalam di dalam mobil, jelas tidak nyaman, lebih baik mencari tempat penginapan yang bisa menampung mereka semalam ini.

Ternyata, dengan kesabaran dan ketekunan sang tukang yang tulus membantu tanpa diganggu dengan berisiknya keluhan, mobil bisa diatasi sementara dan bisa berjalan kembali. Nah, terbukti bahwa berpikir solvensi yang selalu mencari solusi dapat menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru. Kalau sudah begini, siapa yang mau berpikir solvensi, ia akan tenang dalam menghadapi segala maslaah hidupnya. Ia akan bisa tersenyum di antara tumpukan masalah yang menghadangnya. Wa Allah A’lam.

Sabtu, 26 Desember 2009

MENJEMPUT REZEKI




Manusia butuh rezeki. Tiap hari ia harus memenuhi kebutuhan dasar, semacam sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Untuk itu, ia harus bekerja keras demi menjemput rezeki. Istilah menjemput rezeki ini terasa lebih pas dari pada mencari rezeki. Alasannya adalah bahwa Allah telah menentukan rezeki seseorang, termasuk jodoh dan umurnya. Hanya saja, manusia dituntut bekerja sebagai wasilah untuk menjemput bagiannya.

Menjemput rezeki meniscayakan kita untuk ikhtiyar. Ikhtiyar ini terdiri dari dua macam, yakni ikhtiyar lahir dan ikhtiyar batin. Ikhtiyar lahir adalah usaha yang dilakukan seseorang dengan bekerja sesuai dengan bidangnya secara sungguh-sungguh. Ikhtiyar jenis ini meniscayakan usaha yang gigih dan pantang menyerah. Ketika rezeki yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan, semangat untuk menjemput rezeki selanjutnya tidak pernah surut. Justru sebaliknya, ada kekuatan baru agar esok harinya berjuang lebih maksimal lagi agar bagian rezekinya semakin bertambah.

Adapun ikhtiyar batin adalah kegiatan ruhani untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kepercayaan bahwa Allah adalah Zat yang Maha Pemberi Rezeki telah terpatri dalam jiwanya. Semakin dekat seseorang dengan Allah, semakin mudah ia berkomunikasi dengan-Nya dan memohon pertolongan-Nya, termasuk kemudahan rezeki. Rezeki yang berkah bukan semata-mata berjumlah banyak, akan tetapi rezeki yang berkah adalah rezeki yang mampu mendekatkan seseorang kepada tuhannya. Ia dapat melangsungkan kehidupan dunia secara wajar dan cukup tanpa harus bersibuk ria menumpuk harta yang tak perlu. Harta banyak memang penting, apalagi digunakan untuk membantu orang lain, namun jika harta itu diperoleh dengan cara tidak semestinya, seperti korupsi atau menipu, justru akan menenggelamkan orang tersebut dalam kesedihan yang berkepanjangan. Cahaya Allah selalu menerangi jalannya sehingga ia dapat menikmati hidup dengan sempurna. Hidup yang intinya beribadah akan mudah ia realisasikan secara nyata.

Akhirnya, menjemput rezeki yang halal secara sungguh-sungguh dengan menggabungkan ikhtiyar lahir batin berpotensi untuk melahirkan sosok manusia muslim yang kaya namun rendah hati, pandai bersyukur, dan dermawan. Jika semua orang berpikiran semacam ini, dunia ini tentu lebih nyaman untuk dinikmati. Tak ada orang yang saling menjegal, tak ada orang yang tamak, tak ada perebutan harta atau warisan. Semua tertata rapi sesuai dengan aturan Allah. Tapi mungkinkah? Ya, mungkin saja, namun butuh waktu dan kesungguhan dalam mewujudkannya.

MERAIH MIMPI

"Think Big if You Want to be Big", menarik jika kita menyimak kalimat tersebut. Berpikir besar atau dengan kata lain, bermimpi besar akan menjadi pemicu hasil yang besar pula. Hal ini dapat dimaknai lebih nyata, bahwa orang-orang yang saat ini kita kenal berhasil dalam karirnya biasanya telah memimpikan sesuatu yang besar sebelumnya. Berpikir besar terkait dengan bagaimana seseorang merumuskan visi dan misinya. Seseorang yang beraliran progresif dan dinamis tentulah akan menempatkan impian monumentalnya dalam pernyataan visinya. Misalnya, ia ingin menjadi profesor pada usia 40 tahun. Keinginan ini tentu tidak mudah dicapai. Untuk itu ia harus menerjemahkan visi profesornya menjadi beberapa misi konkret. Ia harus mengumpulkan beberapa item persyaratan untuk mewujudkan harapan besar itu, antara lain gelar doktor, jumlah kum, masa kerja, dan karya tulis. Jika ia bersungguh-sungguh, tentulah mimpi itu dapat diwujudkan.

Beda halnya apabila seseorang hanya mengandalkan nasib alias mengikuti aliran air. Sikap itu sebenarnya tidak salah karena hal ini akan mengurangi beban pikiran dan kekecewaan, namun mental semacam ini sering kali menyebabkan orang itu hanya 'pasrah ing pandum,' kerja sekenanya, tidak punya perencanaan, dan atau tidak pernah melakukan evaluasi. Alhasil, capaian yang diraih pun hanya sebatas seadanya, bukan semaksimal mungkin. "No Pain No Gain," artinya tidak mau susah ya tidak ada hasil. Begitulah kira-kira.

Dengan demikian, memasang mimpi tinggi ternyata akan memberikan kesempatan pada seseorang untuk menjadi pejaung tangguh. Ia tidak akan patah semangat dan kehilangan arah saat memperjuangan keinginannya. Ia ibarat para pahlawan kemerdekaan yang dengan gigih memperjuangan status merdeka buat bangsanya walau harus berputih mata. Kerja keras dan barani berkorban adalah kombinasi apik bagi pecinta kesuksesan.

Hanya satu yang harus dijaga, yakni keikhlasan. Maksudnya, orang yang bercita-cita tinggi harus ikhlas menjalankan misinya dalam hidup ini dan ikhlas menerima kenyataan apapun yang diraihnya. Keikhlasan itu tidak lain adalah perasaan tawakkal kepada Allah setelah usaha kerasnya dilakukan. Tak ada yang tak mungkin bagi Allah. Ia Maha Berkehendak. Putus asa dan rendah diri akibat cita-cita yang tak tercapai akan terhapus dengan kesadaran bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Tahu apa yang terbaik untuk hambanya. Akhirnya, usaha keras yang istiqamah dilengkapi dengan kepasrahan yang tinggi kepada Allah akan membuahkan suatu prestasi yang membanggakan sekaligus menentramkan jiwa. Itulah cara seorang muslim meraih mimpinya. Wa Allah A'lam.

Jumat, 25 Desember 2009

PENDUSTA AGAMAKAH KITA?

Kalimat di atas tentu terasa begitu keras jika diucapkan. Banyak mata akan terbelalak seakan tidak percaya kalau kalimat itu ditujukan kepada kita. pendusta agama, wah...serem banget..!! Tapi, kalau kemudian kita mau mawas diri, ya..setidaknya di awal tahun ini...kita tentu tidak kaget kalau ternyata ciri-ciri pendusta agama itu ada pada kita (wah..kok pake kata "kita" sih... mungkin saya sendiri kali...hehehe..sori).

Untuk lebih jelasnya, marilah kita tengok surat al-Ma'un. Di sana Allah memperingatkan kepada kita bahwa peluang menjadi pendusta agama itu begitu terbuka lebar buat semua orang, termasuk kita. Ciri pertama adalah suka menghardik anak yatim. Pengertian menghardik di sini bisa bermakna luas, yakni sering menyia-nyiakan anak yatim, menyakiti hati mereka dengan perkataan buruk, atau tidak suka membantu membiayai biaya hidup dan pendidikan mereka. Padahal, peduli kepada mereka tidak mengharuskan kita merogok kocek dalam-dalam lho. Cukup sekedar kemampuan kita. Bantuan kita sungguh akan meringankan beban hidup orang tua mereka yang tinggal seorang. Bayangkan, jika sang ayah dulunya adalah penopang ekonomi keluarga, lalu ia harus kembali ke haribaan-Nya lebih awal, tentu sang ibu yang hanya tinggal di rumah akan merasakan beban berat tatkala memikul tanggung jawab membesarkan dan mendidikan anak-anaknya. Kalau kita mau merasakan kepedihan hati sang ibu tersebut, mari kita coba terapkan di keluarga kita. Andai kita sebagai ayah, lalu meninggal dalam usia muda, betapa perihnya istri kita menghadapi cobaan itu, tak terkecuali anak-anak kita yang kehilangan figur pengayom keluarga. Hidup harus tetap berjalan, sedangkan penghasilan praktis terputus. Lalu, siapa yang akan membantu keluarga yang kita tinggalkan? Nah, merasakan ilustrasi ini, tentu kita akan mudah bergerak untuk segera melihat lingkungan kita, lalu mencoba menghitung-hitung rezeki kita, siapa tahu kita dapat menyisihkan sedikit untuk membantu mereka.

Ciri kedua dari pendusta agama adalah tidak suka membantu orang-orang miskin. Orang miskin adalah kelompok orang yang secara ekonomi kurang beruntung. Mereka miskin disebabkan oleh situasi yang memang kurang memberikan kesempatan bagi mereka memiliki harta. Pendidikan rendah, kualitas diri terbatas, atau keterbatasan modal dapat menjadi pemicunya. Yang jelas, mereka hidup kekurangan dan tak jarang mengharap belas kasihan dari orang lain. Kelompok semacam ini dalam ajaran Islam telah menjadi salah satu prioritas untuk dibantu. Zakat misalnya, wajib didistribusikan pertama-tama untuk orang fakir miskin. kemiskinan adalah awal kemunduran. Kemiskinan akan menjadi pemicu rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup. Jadi, mengkayakan orang miskin adalah salah satu langkah untuk membangun peradaban Islam. Nah, pendusta agama tentu segan mengeluarkan sebagian hartanya untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Ia merasa bahwa harta yang berada di genggamannya adalah hasil keringatnya, hasil banting tulangnya sepanjang waktu, sehingga sayang untuk berbagi dengan saudaranya yang tak mampu. Pertanyaannya kemudian, apakah kita termasuk kelompok ini? Nah, ini saatnya kita mengaca diri.

Ciri ketiga adalah orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Kita masuk kelompok ini? Ah, masak sih? Kita kan sudah shalat lima waktu, bahkan ditambah shalat-shalat sunnah lainnya. Rasanya enggak mungkin lalai..!!! Eit... Tunggu dulu. Ternyata lalai shalat ini bukan berarti tidak mengerjakan shalat lima waktu lho..!!! Yang ditekankan di sini adalah orang-orang yang mengerjakan shalat hanya sekedar lipstik alias shalat sebagai rutinitas belaka. Padahal, shalat yang sebenar-benarnya adalah shalat yang dapat mencegah diri kita dari perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji itu biasanya dilakukan oleh anggota badan kita, misalnya memukul, menendang, atau marah-marah, sedangkan perbuatan mungkar umumnya dilakukan oleh hati kita, seperti perasaan sombong, suka pamer, dan iri hati. Shalat yang sesungguhnya adalah shalat yang mampu mencerahkan pikiran dan hati seseorang. Sehabis shalat, semestinya seseorang memperoleh transfer kekuatan dari sang Pencipta akibat dekatnya hati dengan Allah. Dengan begitu, komunikasi yang terbangun indah dengan Allah akan diterjemahkan kepada dalam kehidupan nyata.

Nah, gimana, susah kan untuk menghindari kemungkinan jadi pendusta agama? Yah, memang sulit untuk bisa benar-benar menjadi mukmin sejati. Tapi tak apalah, kita harus berjuang terus-menerus memperbaiki diri demi terhindar dari sikap pendusta agama. Semoga Allah memberikan limpahan rahmat dan kekuatan-Nya kepada kita sehingga kita termasuk orang-orang yang bisa hidup bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Wa Allah A'lam.

SYAIR PENGAKUAN

Wahai Tuhan yang Esa,
Hamba sadar, hamba ini bukanlah manusia yang layak menikmati surgamu
Tapi, hamba tiada kuasa untuk bertempat di neraka
Maka, terimalah taubat hamba, dan ampunilah hamba
Sesungguhnya, Engkaulah Zat yang maha Pengampun dosa

Dosa hamba sungguh tak terkira banyaknya, ibarat lautan debu dan kerikil
Lalu bagaimanakah hamba bisa mendapat ampunan-Mu
Usia hamba kian hari kian berkurang
Namun dosa hamba kian hari kian berbilang

Wahai Allah,
Hambamu ini datang menemui-Mu dengan bersimbah dosa
Mengakui semua salah, khilaf, dan maksiyat seraya memohon ampunan-Mu
Jikakau Engkau berkenan mengampuni, sesungguhnya Engkau memang maha Pengampun
Tapi, jika Engkau tolak, kemana lagi hamba mencari Pengampun dosa Selain Engkau....!!!!

Kamis, 24 Desember 2009

MANAJEMEN WAKAF TUNAI DI TABUNG WAKAF INDONESIA: STUDI KASUS (LAPORAN PENELITIAN)

Abstrak

Wakaf adalah salah satu bentuk kegiatan ibadah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam karena pahala wakaf akan selalu mengalir meskipun sang wakif telah berpulang. Menapaki jejak sejarah, keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu pengembangan dakwah Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Dalam rangka pengembangan wakaf secara maksimal, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, diperlukan lembaga profesional pengelola wakaf. Sayangnya, tidak banyak lembaga yang mampu mengemban amanat besar ini. Namun, di tengah kerisauan itu, lahirlah sebuah lembaga nirlaba yang menfokuskan diri di bidang ini, yaitu Tabung Wakaf Indonesia (TWI).

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pengembangan wakaf tunai yang dilaksanakan oleh Tabung Wakaf Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Selain itu, penelitian ini akan memaparkan metode yang digunakan TWI dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan (trust) para donatur. Sebagai bahan rujukan bagi pengembang wakaf tunai di Indonesia, peluang dan tantangan yang dialami oleh TWI dalam pengembangan wakaf tunai menjadi salah satu bidikan dalam penelitian.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wakaf adalah salah satu bentuk kegiatan ibadah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam karena pahala wakaf akan selalu mengalir meskipun sang wakif telah berpulang. Hal ini sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam sebuah hadis populer riwayat Ahmad (t.th./XIX: 10) dari Abu Hurairah, “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (termasuk wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendoakannya.”[1] Dengan wakaf, pundi-pundi amal seorang mukmin akan senantiasa bertambah hingga akhir zaman.

Menapaki jejak sejarah, keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu pengembangan dakwah Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejumlah lembaga pendidikan, pondok pesantren maupun masjid di Indonesia banyak ditopang keberadaan dan kelangsungan hidupnya oleh wakaf. Hanya saja, jika wakaf pada masa lalu seringkali dikaitkan dengan benda-benda wakaf tidak bergerak, seperti tanah maupun bangunan, kini mulai dipikirkan wakaf dalam bentuk lain, misalnya wakaf uang (cash waqf) yang penggunaannya di samping untuk kepentingan tersebut, juga dapat dimanfaatkan secara fleksibel bagi pengembangan usaha produktif kaum lemah (Hafidhuddin, 2004: ix).

Potensi wakaf di Indonesia hingga kini masih cukup menggembirakan. Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam, pada tahun 1999, jumlah tanah wakaf di seluruh Indonesia tercatat 1.477.111.015 m2 yang terdiri atas 349.296 lokasi. Pada tahun 2004, jumlah tanah wakaf tersebut meningkat menjadi 1.538.198.586 m2 yang terdiri atas 362.471 lokasi. Dengan demikian, dapat dilihat laju perkembangan obyek wakaf dalam lima tahun, lokasi wakaf bertambah 13.175 titik dengan luas 61.087.571 m2 (Karim, 2006: vii). Saat ini pada tahun 2009, jumlah tersebut tentu bertambah secara signifikan.[2]

Dengan berkembangnya zaman, wakaf tidak lagi hanya diasosiasikan pada obyek wakaf berupa tanah, akan tetapi sudah merambah kepada wakaf bentuk lain, sebagaimana telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Secara terperinci, obyek wakaf di Lembar Negara RI Tahun 2004 Nomor 159 tersebut dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16). Dengan demikian, harta benda wakaf sudah mengalami pengembangan yang signifikan sehingga seseorang tidak perlu menunggu menjadi tuan tanah dahulu untuk melakukan wakaf. Ia bahkan dapat menyisihkan beberapa ribu rupiah saja dalam mengabadikan kekayaan dalam bentuk wakaf.

Dalam rangka pengembangan wakaf secara maksimal, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, diperlukan lembaga profesional pengelola wakaf. Sayangnya, tidak banyak lembaga yang mampu mengemban amanat besar ini. Namun, di tengah kerisauan itu, lahirlah sebuah lembaga nirlaba yang menfokuskan diri di bidang ini, yaitu Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Salah satu kelebihan dari Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yang layak untuk dijadikan sebagai salah satu percontohan adalah manajemen di bidang wakaf tunai. TWI merupakan lembaga wakaf yang didirikan oleh Dompet Dhuafa dan diresmikan pada tanggal 14 Juli 2005. TWI berperan sebagai lembaga yang melakukan sosialisasi, edukasi dan advokasi wakaf kepada masyarakat sekaligus berperan sebagai lembaga penampung dan pengelola harta wakaf (Ain, 2007: 56).

Beberapa bukti konkret program wakaf tunai untuk keadilan sosial yang dilakukan TWI antara lain adalah a) Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kesehatan kaum dhuafa yang berbentuk rumah sakit mini dengan pelayanan 24 jam, b) Sekolah SMART Ekselensia, sekolah menengah yang dirancang secara khusus untuk menampung anak dari kaum dhuafa yang mempunyai potensi dengan sistem penyaringan yang sangat ketat dan dilakukan di seluruh propinsi, c) Wisma Muallaf, sebagai tempat pembinaan para muallaf yang teralienasi dari keluarga mereka. Para muallaf ini dapat mendalami akidah, syariah dan ibadah serta pembekalan kewirausahaan, dan d) Rumah Baca Lingkar Pena, gedung berlantai tiga terletak di sektor 9 Bintaro Rumah Baca merupakan wadah penggemblengan bagi anak dan remaja dalam mengoptimalkan kemampuan menulis, membaca puisi, dan berdongeng (Ain, 2007: 79-81). Inilah sekelumit program TWI yang patut didalami lebih lanjut dalam penelitian ini.

Dari paparan di atas, nampak jelas bahwa terobosan TWI perlu mendapat respon positif dari kalangan akademisi sehingga apa yang telah diusahakan TWI dapat dikaji secara ilmiah dan pada akhirnya akan mampu memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan wakaf di Indonesia. Dengan demikian, penelitian yang berkaitan dengan pola pengembangan wakaf, khususnya wakaf tunai di TWI menemukan titik urgensinya.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana model pengembangan wakaf tunai di Tabung Wakaf Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial?

2. Bagaimana konsep Good Governance khususnya sistem informasi yang diterapkan TWI dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan (trust) para donatur?

3. Apa peluang dan tantangan yang dialami oleh TWI dalam pengembangan wakaf tunai di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pengembangan wakaf tunai yang dilaksanakan oleh Tabung Wakaf Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Selain itu, penelitian ini akan memaparkan metode yang digunakan TWI dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan (trust) para donatur. Dalam hal ini, metode tersebut akan dikaitkan dengan konsep Good Governance, khususnya tentang sistem informasi. Sebagai bahan rujukan bagi pengembang wakaf tunai di Indonesia, peluang dan tantangan yang dialami oleh TWI dalam pengembangan wakaf tunai menjadi salah satu bidikan dalam penelitian. Pengalaman TWI selama empat tahun pengabdiannya akan diulas dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini akan mengungkap secara detail ketiga fokus masalah tersebut secara terperinci dan gamblang.

D. Kegunaan Penelitian

1. Penelitian ini secara teoritis dapat memberikan manfaat bagi pengembangan wacana wakaf tunai di dunia modern saat ini dengan nuansa keindonesiaan. Sementara ini, penelitian wakaf tunai masih tergolong langka karena memang baru memasyarakat dalam beberapa tahun terakhir sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Penelitian ini juga akan bermanfaat untuk bahan kajian seputar wakaf di kalangan para akademisi dan pemerhati wakaf.

2. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan secara praktis bagi lembaga-lembaga filantropi di Indonesia, khususnya lembaga-lembaga filantropi yang terikat dengan organisasi, baik sosial maupun pendidikan. Mereka dapat mempelajari kelebihan dan kekurangan sekaligus tantangan dan hambatan yang dimiliki dan dialami TWI untuk dijadikan acuan dalam mengelola wakaf tunai di lingkungannya. Di samping itu, penelitian ini juga akan memberikan bekal praktis bagi cendekiawan dan ilmuwan Syari’ah sebagai salah satu pilar penyangga kemajuan hukum Islam di Indonesia.

II. KAJIAN TEORI

A. Wakaf Tunai dalam Perspektif Fikih

1. Pengertian Wakaf

Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqafa-yaqifu yang artinya berhenti, lawan dari kata istamarra (Warson, 1984: 1683). Kata ini sering disamakan dengan al-tah}bi>s atau al-tasbi>l yang bermakna al-h}abs ‘an tas}arruf, yakni mencegah dari mengelola (az-Zuhayli, t.th.: 7599).

Adapun secara istilah, wakaf menurut Abu Hanifah adalah menahan harta di bawah naungan pemiliknya disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (h}abs al-‘aini ‘ala> milk al-wa>qif wa tas}adduq bi al-manfa‘ah) (al-Hasfaki, t.th./IV: 532). Kemudian, menurut Jumhur, wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan untuk mengambil manfaat dengan tetapnya harta tersebut serta memutus pengelolaan dari wakif dan selainnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah (h}abs ma>l yumkinu al-‘intifa>‘ bihi>, ma‘a> baqa>’ ‘ainihi, bi qat}‘i at-tas}arruf min al-wa>qif wa gairihi, taqarruban ila> Alla>h) (az-Zuhayli, t.th.: 7601). Namun, menurut al-Kabisi, definisi yang lebih singkat namun padat (ja>mi‘ ma>ni‘) adalah definisi Ibnu Qudamah (t.th./VI: 187) yang mengadopsi langsung dari potongan hadis Rasulullah, yang berbunyi ‘menahan asal dan mengalirkan hasilnya’ (in syi’ta habasta as}laha> fa tas}addaq biha>) (al-Kabisi, 2004: 61). Hadis tersebut secara jelas dimuat antara lain dalam sunan at-Turmudzi (t.th./V: 388) dan Sunan Ibn Majah (t.th./VII: 325). Pendapat ini juga menjadi acuan dalam definisi wakaf dalam pandangan Tabung Wakaf Indonesia (Saidi, 2007: 2)

2. Pengertian Wakaf Tunai

Wakaf tunai merupakan terjemahan langsung dari istilah Cash Waqf yang populer di Bangladesh, tempat A. Mannan menggagas idenya. Dalam beberapa literatur lain, Cash Waqf juga dimaknai sebagai wakaf tunai. Hanya saja, makna tunai ini sering disalahartikan sebagai lawan kata dari kredit, sehingga pemaknaan cash waqf sebagai wakaf tunai menjadi kurang pas. Untuk itu, dalam tulisan ini, cash waqf akan diterjemahkan sebagai wakaf tunai, kecuali jika sudah termaktub dalam hukum positif dan penamaan produk, seperti Sertifikat Wakaf Tunai.

Selanjutnya, wakaf tunai dalam definisi Departemen Agama (Djunaidi, 2007: 3) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Dengan demikian, wakaf tunai merupakan salah satu bentuk wakaf yang diserahkan oleh seorang wakif kepada nadzir dalam bentuk uang kontan. Hal ini selaras dengan definisi wakaf yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (2003: 85)[3] tanggal 11 Mei 2002 saat merilis fatwa tentang wakaf uang.

حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اْلإِنُتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعٍ فِى رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرَفٍ مُبَاحٍ مَوْجُوْد

Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyapnya bendanya atau pokoknya, dengan cara melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.

Dalam definisi di atas, wakaf tidak lagi terbatas pada benda yang tetap wujudnya, melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap nilainya atau pokoknya. Uang masuk dalam kategori benda yang tetap pokoknya. Dengan demikian, definisi MUI di atas memberikan legitimasi kebolehan wakaf tunai.

B. Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Positif

Wakaf tunai bagi umat Islam tergolong baru. Hal ini bisa dicermati dengan lahirnya fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf uang yang ditetapkan tanggal 11 Mei 2002. Undang-Undang Tentang Wakaf sendiri juga baru disahkan oleh Presiden pada tanggal 27 Oktober 2004. Undang-undang ini merupakan tonggak sejarah baru bagi pengelolaan wakaf setelah sebelumnya wakaf diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam buku III (Ali, 2006: 98-101).

Secara terperinci, obyek wakaf yang menjadi induk dari wakaf tunai dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:

1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1;

3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: 1) Uang; 2) Logam mulia; 3) Surat berharga; 4) Kendaraan; 5) Hak atas kekayaan intelektual; 6) Hak sewa; dan 7) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16).

Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fikih wakaf Indonesia telah mengadopsi semangat fikih klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perspektif fikih klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Tentang Wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf tunai atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Adapun benda bergerak berupa uang dijelaskan dalam pasal 22 dan 23.

Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa

1. Wakaf tunai yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.

2. Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

3. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:

a. Hadir di lembaga keuangan syari’ah penerima wakaf tunai (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf tunainya;

b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;

c. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;

d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.

Pasal 23 menjelaskan bahwa Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS penerima wakaf uang (LKS-PWU). Hingga saat ini, sudah ada 5 LKS-PWU yang diresmikan oleh Menteri Agama, yakni Bank Muamalat, Bank Mega Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank DKI.

C. Wakaf Tunai dalam Perspektif Manajemen

Perlu ditegaskan di sini, bahwa manajemen yang akan dibahas lebih mendalam dalam bagian ini adalah tentang Good Governance (amanah). Hal ini menarik, karena salah satu pilar utama nadhir yang sukses adalah nadhir yang amanah. Selain itu, good governance yang menjadi topik utama dalam tulisan ini adalah seputar sistem informasi.

Kalau kita mengacu pada pelaksanaan wakaf pada masa lalu, tentu rasanya kita tidak perlu bersusah payah menerapkan manajemen yang rumit, termasuk sistem informasi. Soalnya, wakaf dengan sendirinya masih terbatas pada wilayah wakaf tanah yang prosesnya tidak perlu informasi yang mendalam.

Namun, di era sekarang ini, wakaf sudah berkembang sedemikian pesat sehingga laju arus informasi yang lancar menjadi penting. Hal ini dapat dilihat dari beberapa lembaga pengelola wakaf profesional. Sebut saja Wakaf Real Estate (WAREES).[4] Lembaga wakaf yang berpusat di Singapura ini telah menjadi salah satu pionir penggerak wakaf produktif yang cukup disegani, setidaknya di Asia Tenggara. Kemampuan mereka dalam mengelola wakaf tidak lepas dari kecakapan mereka dalam mengadopsi informasi-informasi terkini sekaligus menyampaikan informasi terbaru perkembangan wakaf mereka melalui situs resminya. Di Indonesia, salah satu lembaga yang secara profesional mengelola wakaf tunai adalah Tabung Wakaf Indonesia (TWI). Lembaga yang berada di bawah naungan Dompet Dhuafa (DD) Republika ini telah memanfaatkan sistem informasi secara efektif sehingga informasi tentang wakaf yang telah dibayarkan oleh para wakif dengan mudah dapat diakses melalui situs mereka. Selain itu, penyatuatapan dalam beberapa hal termasuk masalah keuangan di DD Republika dapat mempermudah para pemerhati wakaf tunai untuk mengecek lalu lintas keuangan mereka secara komprehensif. Misalnya, si A mewakafkan uangnya untuk pembangunan Rumah Sehat Terpadu. Ia akan mendapatkan sertifikat wakaf tunai dan dapat menelusuri pemanfaatan uang tersebut ke obyek yang dituju. Dengan demikian, mereka dapat dengan mudah memperoleh informasi yang akurat dan tepat.

Selain itu, dalam upaya meningkatkan semangat berwakaf, khususnya wakaf tunai, TWI dengan giat melakukan penggalangan dana (fundrising), tidak hanya bersifat face-to-face, tapi juga menggunakan sarana informasi internet dan media lainnya. Mereka memiliki semboyan “Angsa Bertelur Emas,” yang diartikan sebagai harta yang diwakafkan akan terus menerus memberikan hasil yang luar biasa, baik untuk kemaslahatan umat maupun untuk kemanfaatan si wakif.

E. Konsep Keadilan Sosial

Sementara kehendak untuk mencapai tatanan sosial yang adil telah lama mengakar, namun usaha untuk merumuskan konsep keadilan sosial baru dilakukan pada tiga dekade terakhir ini, menyusul berbagai ragam gerakan sosial yang terjadi sejak awal abad ke-20. Ikhtiyar akademik ini pertama kali dilakukan oleh John Rawls, pemikir Amerika Serikat, yang meluncurkan buku berjudul “a theory of Justice” tahun 1971. Menurut Rawls, keadilan sebagai fairness merupakan konsep untuk mengkritik teori kontrak sosial yang selama ini berkembang. Ia mengatakan bahwa dalam kontrak sosial, orang dengan status sosial, kelas, dan keadaan ekonomi yang berbeda harus masuk ke dalam sebuah kontrak sosial tanpa pernah mengetahui bagaimana menjalankannya, sehingga tidak tahu apakah akan jadi pemenang atau sebaliknya. Karena itu, seseorang hendaknya diberi kesempatan untuk memilih dan menyepakati apa yang menjadi prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat.

Dalam kaitan ini, Rawls mengajukan dua prinsip keadilan sosial yang harus dijamin oleh pranata-pranata sosial, yang menurutnya, menyusun struktur dasar masyarakat. Kedua prinsip ini diterapkan untuk mengatur perumusan hak-hak dan kewajiban, serta distribusi keuntungan dan beban sosial-ekonomi dalam masyarakat. Prinsip pertama, setiap orang berhak memperoleh kebebasan-kebebasan dasar yang setara sebagaimana yang diperoleh orang lain. Kebebasan-kebebasan dasar yang setara ini mencakup kebebasan berpolitik, kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan berpikir dan kesadaran diri, kebebasan dari penindasan psikologis maupun penyiksaan fisik, serta kebebasan untuk memiliki kekayaan sendiri.

Prinsip kedua, ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang terjadi dalam masyarakat harus dikelola sedemikian rupa untuk keuntungan semua, di satu sisi, dan setiap orang mendapatkan akses yang sama terhadap jabatan dan kedudukan dalam masyarakat di sisi lain. Strategi yang demikian ini harus ditempuh guma menghindari terjadinya ketidakadilan yang lebih besar. Kedua prinsip di atas sama-sama penting. Namun demikian, prinsip kebebasan harus dijadikan semacam pengawal prinsip kedua, sehingga jangan sampai penekanan pada distribusi yang merata mengorbankan prinsip-prinsip kebebebasan.

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Tabung Wakaf Indonesia yang berlokasi di Jalan Margaguna nomor 26 Jakarta Selatan.

B. Jenis dan Desain Penelitian

Dalam studi ilmu-ilmu keislaman, penelitian tentang wakaf dapat dimasukkan dalam bidang penelitian hukum Islam dan pranata sosial. Menurut Cik Hasan Bisri, ada sebelas wilayah penelitian hukum Islam dan pranata sosial, yaitu pranata peribadatan, kekerabatan, pendidikan, penyiaran, keilmuan, hukum, politik, ekonomi, kesehatan, perawatan, dan kesenian. Jika memperhatikan substansi dan ruang lingkupnya, maka wakaf saat ini dapat dimasukkan dalam pranata ekonomi dalam hukum Islam (2004: 57).

C. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif (Moleong, 2006: 2-6). Penelitian ini terfokus kepada informasi-informasi yang berupa pernyataan-pernyataan lugas dalam hasil penelitian lapangan tentang TWI yang digunakan untuk mendeskripsikan TWI secara runtut dan seimbang. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data utama karena peneliti akan memahami secara mendalam tentang TWI yang diteliti dengan intensif.

E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik, demi terkumpulkan data yang cermat dan akurat. Teknik-teknik yang dimaksud adalah studi kepustakaan, dokumentasi, observasi, dan wawancara. Kemudian, data yang telah terkumpul dioleh dengan melalui tahap yang pada akhirnya dianalisis secara deskriptif.

IV. HASIL PENELITIAN

A. Dompet Dhuafa Republika (DD) sebagai Induk Tabung Wakaf Indonesia (TWI)

Indonesia merupakan sebuah negara dengan penduduk Muslim sebagai mayoritas. Hal ini tentu merupakan potensi besar secara ekonomi jika dapat dikelola dengan baik. Beberapa lembaga yang sukses mengelola dana umat telah menunjukkan bahwa banyak elemen umat Islam yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa Republika. Lembaga yang berlokasi di Jakarta Selatan ini setiap tahunnya telah berhasil meraih donasi dengan jumlah milyaran. Untuk tahun 2008 saja, dana yang terkumpul tidak kurang dari 70 Milyar. Dalam periode tahun 1430 H, hingga bulan Dhulqaidah ini (Oktober 2009) dana yang terkumpul dapat dilihat dalam tabel berikut:

PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT TAHUN 1430 H

Jenis Dana

Dzulqaedah

Muharram - Dzulqaedah

Zakat

562.362.092,00

45.703.887.041,49

Infak/ Sedekah

1.062.481.654,00

13.382.532.968,86

Wakaf

62.720.001,00

4.174.937.733,00

Kemanusiaan

376.913.775,00

9.774.296.767,58

Cicilan Kurban

585.000,00

64.992.008,00

CSR/Program Kemitraan

,00

4.320.151.805,00

Lain - lain

11.004.500,00

55.233.778,00

TOTAL

2.076.067.022,00

72.981.370.574,93

Diakses 24/10/2009 17:00:09

Dompet Dhuafa telah memiliki sejumlah jejaring yang membuatnya lebih leluasa dan profesional mengelola berbagai sumber dana masyarakat. Untuk bidang wakaf, Dompet Dhuafa membuat sebuat unit kerja yang dinamakan Tabung Wakaf Indonesia. Sebelum membahas kapan TWI didirikan, ada baiknya dipaparkan di sini sekelumit tentang perjuangan Dompet Dhuafa dari awal berdiri hingga sekarang.

Dompet Dhuafa Republika secara resmi mengukuhkan diri sebagai Lembaga Amil Zakat pada tanggal 2 Juli 1993. Munculnya lembaga ini terinspirasi oleh kasus kelaparan yang terjadi di daerah Gunung Kidul Yogyakarta. Untuk mewujudkan semangat membantu kaum dhuafa, Parni Hadi selaku pemimpin Umum Harian Republika saat itu, membuat sebuah komite ad hoc yang diketuai oleh Eri Sudewo. Sebagai tahap awal, Eri Sudewo bekerja keras mengumpulkan donasi dari dua pintu, yakni donasi dari kalangan Republika dan donasi dari kalangan pembaca Republika.

Pada tahap pertama, Eri Sudewo atas dukungan Parni Hadi mewajibkan para karyawan Republika untuk mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari gajinya. Pada tahap kedua, Eri membidik muzaki dari kalangan pembaca. Tahap ini ditandai dengan publikasi perdana dana zakat yang terkumpul pada harian Republika edisi 2 Juli 1993 sekaligus dinyatakan sebagai hari kelahiran Dompet Dhuafa Republika. Waktu itu, dana yang tercantum dalam pengumuman itu hanya sebesar Rp. 400.000,-. Kepercayaan masyarakat mulai meningkat seiring dengan transparansi dana yang diperoleh oleh manajemen Dompet Dhuafa.

B. Fase TWI sebagai Pengelola Wakaf

Pada tahun 2001, DD melakukan ekspansi penghimpunan dana melalui pintu wakaf. Jenis yang dipilih adalah wakaf tunai atau wakaf uang. Praktik ini diawali dengan diterbitkannya Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat ini ada dua macam, sertifikat atas unjuk (tanpa menyebutkan nama wakif) senilai Rp 1.000.000,- dan sertifikat atas nama (menyebut nama wakif) senilai Rp 5.000.000,-. Dari dana wakaf yang terkumpul, sebanyak 35%nya adalah wakif yang berwakaf dengan sertifikat atas nama (dengan nominal Rp 5.000.000) dan sisanya 65% adalah wakif yang mewakafkan hartanya dengan sertifikat atas unjuk (dengan nominal Rp 1.000.000). Menariknya, 99% wakif adalah wakif individual dan hanya 1 % wakif kolektif yang mengatasnamakan kelompok semacam majelis taklim.

Dalam waktu sekitar 4 tahun sejak beroperasi pertama kali, penghimpunan wakaf uang di Dompet Dhuafa mengalami pasang surut. Hal ini dapat dilihat dala tabel berikut:

No

Tahun

Jumlah Wakaf Tunai

1

2001

50.610.000

2

2002

822.451.600

3

2003

229.713.000

4

2004

1.502.420.700

Dana di atas telah didistribusikan kepada para mustahiq. Penyaluran wakaf berbeda dengan zakat. Zakat hanya terbatas pada 8 golongan sedangkan wakaf dan juga infaq dan sedekah dapat digunakan secara lebih luas tanpa membedakan latar belakang agama. Hal ini dapat dilihat dalam pemberian layanan kesehatan cuma-cuma.

C. Wakaf Tunai ala TWI

Dalam fikih, wakaf, apalagi wakaf tunai, belum populer pada masa Rasulullah. Wakaf tunai diartikan oleh MUI sebagai wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Wakaf tunai hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. Nilai pokok wakaf tunai harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

Dalam tataran hukum positif, wakaf tunai dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 termasuk wakaf benda bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16). Undang-Undang Tentang Wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf tunai atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Mencermati beberapa kutipan di atas, nampak jelas bahwa program wakaf tunai yang dilakukan oleh TWI sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh MUI. TWI yang merupakan nadzir lembaga menerima dana wakaf berupa uang dari masyarakat luas. TWI menggunakan dana tersebut untuk berbagai program yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk pemberdayaan masyarakat kurang mampu yang akan dijelaskan lebih detail pada bagian lain pada bab ini.

Permasalahan yang mungkin muncul adalah TWI bukanlah bagian dari LKS-PWU yang disahkan Menteri Agama. Dalam pasal 22 ayat (3) dijelaskan bahwa wakif harus hadir di LKS-PWU untuk menyatakan kehendak wakaf yang kemudian akan memperoleh formulir kehendak wakaf yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta ini merupakan bukti otentik terjadinya wakaf yang kemudian dapat menjadi landasan dikeluarkannya sertifikat wakaf tunai. Ketika disadari demikian, maka TWI sepertinya tidak berhak menerima wakaf tunai, kecuali TWI berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari LKS-PWU, dengan cara TWI menerima wakaf uang dari masyarakat lalu menyerahkan kepada LKS-PWU untuk didayagunakan. Lalu, hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai program-program TWI.

Kenyataan yang saat ini dilakukan oleh TWI adalah bahwa TWI menerima dana wakaf tunai dan memberdayakan dana tersebut secara mandiri melalui program-program unggulan yang dibuat. Misalnya wakaf uang untuk dana pendidikan melalui sekolah Smart Ekselensia, dana kesehatan melalui Layanan Kesehatan Cuma-Cuma, atau untuk dana produktif melalui usaha Food Court. Dengan begitu, TWI tidak perlu lagi bekerja sama dengan LKS-PWU dalam pendayagunaan dana wakaf tunai masyarakat.

Pada dasarnya, jika diperhatikan lebih seksama, dana wakaf tunai yang diterima TWI dapat dikatakan bukan wakaf tunai murni. Hal ini didasarkan pada konsep wakaf tunai yang meniscayakan kelestariannya dalam bentuk uang atau surat berharga. Jika dana wakaf tunai diserahkan kepada LKS-PWU, dana tersebut akan diinvestasikan dalam produk-produk perbankan yang jika suatu ketika dibutuhkan dalam bentuk tunai, dana tersebut dapat ditarik dengan mudah. Berbeda halnya, jika kemudian dana tersebut dirubah bentuknya menjadi aset wakaf semisal tanah, bangunan, atau fasilitas umum. Dana tersebut tidak lagi dalam bentuk uang, tetapi sudah berubah bentuk menjadi wakaf barang.

D. Wakaf Tunai untuk Keadilan Sosial

Dalam membaca peran wakaf tunai untuk keadilan sosial, ada baiknya melongok kembali pernyataan Rawls tentang keadilan. Baginya, keadilan merupakan konsep untuk mengkritik teori kontrak sosial yang selama ini berkembang. Untuk menjalankan keadilan sosial, ada dua prinsip yang harus dijamin oleh pranata-pranata sosial. Pertama, setiap orang berhak memperoleh kebebasan-kebebasan dasar yang setara sebagaimana yang diperoleh orang lain. Prinsip kedua, ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang terjadi dalam masyarakat harus dikelola sedemikian rupa untuk keuntungan semua, di satu sisi, dan setiap orang mendapatkan akses yang sama terhadap jabatan dan kedudukan dalam masyarakat di sisi lain.

Bahasa lain keadilan sosial adalah al-adalah al-ijtima’iyyah. Konsep ini dilontarkan Sayyid Quthub yang mencoba merumuskan konsep Islam tentang keadilan sosial. Menurut Quthb, Islam menekankan tiga asas bagi masyarakat yang adil. Pertama, masyarakat yang adil meniscayakan adanya kebebasan, yakni suatu kesadaran teologis yang berdasarkan prinsip tauhid, yaitu kebebasan jiwa dari unsur syirik dan pengkultusan. Kedua, asas persamaan, yakni konsekuensi logis dari terpenuhinya kebebasan jiwa seseorang dari syirik kepada Allah SWT. Ketiga, jaminan dan kesejahteraan sosial.

Mencermati definisi keadilan sosial di atas dapat dikatakan bahwa wakaf tunai memiliki potensi untuk membangun sebuah keadilan di masyarakat, khususnya dalam ranah penyetaraan sosial ekonomi dalam bahasa Rawl atau jaminan kesejahteraan sosial dalam bahasa Quthub. Potensi wakaf tunai untuk mengimplementasikan semangat keadilan sosial sangatlah besar sebagaimana terlihat dalam kegiatan Cash Waqf yang populer di Bangladesh yang digagas A. Mannan. Wakaf tunai telah berfungsi sebagai sarana pendukung kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di sana, wakaf telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd (SIBL). Bank ini telah mengembangkan pasar modal sosial (The Volutary Capital Market)berupa antara lain surat obligasi pembangunan perangkat wakaf (Waqf Properties Development Bond), sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Deposit Certificate), sertifikat wakaf keluarga (Family Waqf Certificate), obligasi pembangunan perangkat masjid (Mosque Properties Development Bond), saham komunitas masjid (Mosque Community Share), Quard-e-Hasana Certificate, sertifikat pembayaran zakat (Zakat/Ushar Payment Certificate), dan sertifikat simpanan haji (Hajj Saving Certificate). Ini semua menunjukkan bahwa wakaf tunai jika dikelola dengan baik akan mendatangkan manfaat yang besar untuk kemakmuran umat.

Adapun dalam kasus TWI, lembaga ini telah banyak membuat program untuk mewujudkan keadilan sosial, seperti pembentukan rumah sakit, sekolah, dan kampung peternakan yang berpotensi mengembangkan wakaf tunai untuk membangun kesejahteraan masyarakat secara luas dan berkesinambungan. Beberapa bukti konkret program wakaf uang yang dilakukan TWI antara lain adalah a) Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kesehatan kaum dhuafa yang berbentuk rumah sakit mini dengan pelayanan 24 jam, b) Sekolah SMART Ekselensia, sekolah menengah yang dirancang secara khusus untuk menampung anak dari kaum dhuafa yang mempunyai potensi dengan sistem penyaringan yang sangat ketat dan dilakukan di seluruh propinsi, c) Wisma Muallaf, sebagai tempat pembinaan para muallaf yang teralienasi dari keluarga mereka. Para muallaf ini dapat mendalami akidah, syari’ah, dan ibadah serta pembekalan kewirausahaan, dan d) Rumah Baca Lingkar Pena, gedung berlantai tiga terletak di sektor 9 Bintaro Rumah Baca merupakan wadah penggemblengan bagi anak dan remaja dalam mengoptimalkan kemampuan menulis, membaca puisi, dan berdongeng (Ain, 2007: 79-81).

Dalam waktu dekat TWI akan membangun Wakaf City (madinah wakaf), yaitu sebuah kawasan terpadu yang memadukan fasilitas pelayanan sosial (social service) dan area bisnis (commercial area) dalam satu kawasan dengan nuansa Islam yang kental. Saat ini baru berdiri baru social service yang telah berjalan berupa lembaga dan laboratorium pendidikan. Model yang digagas oleh TWI ini diharapkan akan mampu menjadi model pengembangan Wakaf City di Indonesia (Endang, t.th.: 19).

Pada periode tahun 2008 – 2009 ini, hasil dari pengelolaan Wakaf Produktif Tabung Wakaf Indonesia sudah semakin bisa dirasakan oleh masyarakat. Dari berbagai program pengelolaan wakaf produktif yang sudah berjalan seperti perdagangan, perkebunan, saham, peternakan, BMT serta sewa rumah, kali ini menghasilkan surplus sebesar Rp. 27.461.769, dari jumlah itu, Rp. 8.218.080 TWI menyalurkan sendiri dan sisanya disalurkan langsung oleh mitra pengelola program.

Program lain yang tak kalah menariknya adalah Countrywood Wakaf Junction (CWJ) Tabung Wakaf Indonesia yang masih dalam tahap perencanaan. CWJ ini adalah kawasan wakaf terpadu yang dirancang untuk wahana komersial dan sosial. Di atas lahan seluas 845 m2, tanah wakaf dari Ibu Eni Nuraeni, ini akan berupa kompleks pertokoan, ruang perkantoran, food court, dan lahan perparkiran, sebagai sarana niaga yang disewakan kepada umum. Sarana wakaf produktif ini terintegrasi dengan sejumlah sarana sosial, seperti play ground (sarana bermain) untuk anak-anak, musholla, WC umum, dan lahan terbuka untuk keperluan pedagang kaki lima (PKL) dan UKM (Usaha Kecil dan Mikro), yang digabung dengan lahan parkir.

Hasil sewa berbagai sarana komersial ini akan disalurkan kepada kaum dhuafa, dalam bentuk bantuan biaya pendidikan, kesehatan, dapur umum, dan santunan sosial lainnya. Penyaluran surplus wakaf ini akan dilakukan baik secara langsung oleh Tabung Wakaf Indonesia (TWI) sendiri maupun melalui jejaring Yayasan Dompet Dhuafa lainnya.
Salah satu program rutin yang akan diselenggarakan di CWJ Tabung Wakaf Indonesia - Dompet Dhuafa adalah pasar Sabtu-Minggu bagi PKL dan UKM, dengan tanpa dipungut biaya sewa, dan terbuka untuk setiap orang. Program ini akan dikelola bersama Baitul Mal Nusantara (BMN) dan menjadi bagian dari Festival Hari Pasaran Nusantara (HPN) yang telah berlangsung di kota-kota Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Selain sebagai sarana perdagangan, HPN juga dimaksudkan sebagai hari rekreasi keluarga, utamanya bagi kelas menengah bawah. Kegiatan Dapur Umum Dompet Dhuafa akan melengkapi kemeriahan HPN ini.
Pembangunan CWJ Dompet Dhuafa merupakan wujud dari visi dan misi TWI Dompet Dhuafa untuk menjadikan gerakan wakaf produktif dan wakaf terpadu sebagai pilar pemerataan kesejahteraan masyarakat yang lestari dan mandiri.

E. Konsep TWI Menjaring Donatur

Sebagai lembaga yang bergerak di bidang filantropi, TWI dipastikan turut serta dalam penggalangan dana. Untuk memudahkan penjaringan dana, TWI menawarkan berbagai produk antara lain Wakaf untaian kasih, wakaf rindu ilahi, wakaf naungan ilahi, dan wakaf syukur nikmat. Dalam hal ini, TWI tidak memberikan batasan minimal seseorang untuk berwakaf. Hanya saja, jika jumlah wakaf kurang dari satu juta, maka wakif tidak berhak mendapatkan sertifikat wakaf tunai (SWT).

Banyak yang digunakan oleh TWI dalam rangka menjaring dana dari para dermawan. Hasil wawancara dengan Noviati, devisi fundrising TWI, (wawancara, 11 Mei 2009) mengungkap sejumlah cara yang dilakukan TWI, antara lain:

1. Membangun citra positif (brand image) TWI. Cara yang dilakukan adalah dengan membuat laporan keuangan yang baik. Agar donatur loyal, cara yang ditempuh TWI adalah membuat laporan periodik 3 bulan sekali dalam bentuk majalah ditambah lagi dengan laporan Dompet Dhuafa dan konsolidasi. Namun, tidak dipungkiri bahwa kepercayaan donatur menyalurkan dananya kepada TWI tidak lepas dari nama besar Dompet Dhuafa.

2. Website. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, informasi yang akurat dan mudah diakses merupakan salah satu kebutuhan penting. Untuk itu, penyajian informasi di dunia maya menjadi pilar penunjang untuk membangun kepercayaan masyarakat. TWI juga telah melakukan ha tersebut. Melalui websitenya, TWI berusaha memberikan informasi seakurat mungkin tentang konsep wakaf, khususnya wakaf kontemporer, dan juga laporan dana yang masuk serta distribusinya. Dengan begitu, masyarakat akan mudah mengetahui perkembangan wakaf modern dan penggunaan dana yang mereka serahkan.

3. Silaturrahmi. Program ini dinilai efektif karena dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan antara pengelola wakaf dan para donaturnya. Sayangnya, kegiatan ini tidak dilakukan untuk keseluruhan wakif. Hanya para donatur besar saja yang diprioritaskan dalam silaturrahmi. Hal ini disebabkan kurangnya waktu luang yang dimiliki para pengelola TWI yang memang jumlahnya masih terbatas.

4. Media Republika. Karena TWI merupakan satu bagian jejaring Dompet Dhuafa Republika, maka promosi melalui media massa Harian Republika menjadi hal yang wajar dan mudah. Pembaca Republika yang terdiri dari berbagai kalangan merupakan modal tersendiri bagi TWI untuk menawarkan berbagai programnya. Selain itu, TWI juga bekerja sama dengan Pertamina untuk memasang spanduk di beberapa pos pengisian bahan bakar. TWI juga menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui media Majalah Tabung Wakaf yang telah terbit sebanyak dua edisi. Namun karena pertimbangan teknis, saat ini majalah tersebut tidak lagi terbit karena langsung menyatu dengan majalah Dompet Dhuafa yang bernama majalah Sakinah.

5. Audit, baik internal maupun eksternal setiap tahun. Saat ini, audit eksternal dilakukan oleh Grand Tonton. Sebelumnya, auditor TWI (dan Dompet Dhuafa secara keseluruhan) adalah Amir Abadi Yusuf selama 10 tahun (2x5 tahun). Adapun audit internal dilakukan sendiri oleh manajemen Dompet Dhuafa dan TWI. Audit yang transparan dan akuntabel diakui dapat memberikan pencitraan amanah bagi TWI. Sebagai efek positifnya, kepercayaan masyarakat, khususnya para donatur dan calon donatur, akan meningkat sebagaimana tercermin dalam jumlah dana filantropi yang diterima oleh TWI yang selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.

6. Wakif Gathering dan Program Launching. Wakif gathering adalah sebuah acara yang dirancang untuk media komunikasi antara TWI dan donatur, sekaligus sebagai wahana bertemunya para donatur. Acara ini juga diharapkan dapat mendekatkan emosi antara pengelola dan para dermawan. Acara ini kadang dikemas bersamaan dengan peluncuran produk baru TWI yang membutuhkan perhatian dan dukungan dana dari para donatur. Sayangnya, kegiatan ini tidak berjalan sesuai rencana karena para wakif tidak semuanya dapat hadir yang disebabkan oleh kesibukan mereka.

7. Retail. Maksudnya adalah pihak TWI mendatangi kantor-kantor untuk menawarkan sebuah acara yang dikemas dalam pengajian atau pelatihan. Tujuannya tidak lain adalah diseminasi wakaf dan penjaringan donatur baru.

8. Pembukaan counter di mal. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada even-even tertentu, mislanya bulan ramadhan. Tujuannya tidak sepenuhnya ditujukan untuk penggalangan dana, namun lebih ditekankan kepada upaya promosi TWI kepada khalayak ramai secara langsung dengan membagikan brosur dan penyediaan meja informasi.

9. Program Radio Trijaya FM. Kegiatan ini dilakukan untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat melalui media radio. Kegiatan ini biasanya hanya dilakukan selama bulan ramadhan.

10. Penyebaran brosur. Kegiatan ini pernah dilakukan di bundaran HI oleh relawan gerakan wakaf. Mereka juga tidak segan menyebar brosur di bis ataupun kereta.

11. Penjaringan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Mengingat potensi CSR di setiap perusahaan cukup besar, TWI tidak ketinggalan mengajukan beberapa program untuk mendapat dana sosial perusahaan tersebut.

Melihat metode yang TWI terapkan, nampaknya prinsip-prinsip good governance telah diterapkan, antara lain prinsip transparansi dan sistem informasi terbuka. Dari penerapan ini tidaklah aneh jika TWI mampu menggalang dana dengan jumlah besar. Masyarakat merasa aman dan percaya bahwa dana yang mereka serahkan kepada TWI tidak akan disalahgunakan dan akan dikelola secara profesional sebagaimana yang mereka ketahui dari sumber-sumber informasi yang disediakan untuk para donatur. Tabel berikut ini menunjukkan raihan Dana Wakaf selama tahun 1426 H-1428 H.

No

Tahun

Pendapatan

1

1426 H

673.593.000

2

1427 H

1.243.885.200

3

1428 H

2.645.751.000

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penghasilan TWI selama tiga tahun telah mencapai angka yang cukup mengembirakan.

F. Peluang dan Tantangan TWI ke Depan

Meskipun baru akan merayakan ulang tahunnya yang ke 5 pada pertengahan 2010, TWI dapat dikatakan sebagai lembaga modern yang berpeluang menjadi lembaga besar terpercaya dan terdepan dalam pengelolaan wakaf secara nasional. Analisis SWOT (strengh, weakness, opportunity, and thread) nampaknya diperlukan untuk mengukur potensi TWI dalam menjalankan misinya.

1. Strength (Kekuatan)

Kekuatan terbesar yang dimiliki TWI adalah adanya kridibilitas TWI. Hal ini tidak lepas dari keberadaan TWI yang merupakan jejaring Dompet Dhuafa (DD). DD sebagai institusi yang cukup berpengalaman dalam pengelolaan filantropi Islam sering disebut sebagai pionir dalam penggalangan dan pemberdayaan dana umat, khususnya wakaf tunai. Dengan kualitas SDM yang mumpuni, DD dapat dikatakan telah mengelola dana masyarakat secara profesional karena telah mendapat sertifikasi manajemen, jam terbang tinggi, dan jaringan yang dimiliki sangat solid. DD tidak mengandalkan pada kekuatan seorang tokoh tetapi lebih menekan kepada mekanisme organisasi. TWI yang merupakan bagian integral DD mendapat keuntungan secara langsung dari pencitraan DD yang positif. TWI berusaha menerapkan sistem organisasi yang telah lebih dahulu dilaksanakan di DD.

2. Weakness (Kelemahan)

Kalaulah dianggap kelemahan, ada beberapa titik yang bisa disampaikan di sini. TWI merupakan lembaga yang hanya diurus oleh segelitir orang. Tidak lebih dari 6 orang (direktur, devisi litbang, devisi fund rising, devisi pengelolaan aset, devisi keuangan, front desk dan office boy). Hal ini tentu menjadi kendala ketika TWI ingin mengembangkan sayapnya untuk menjangkau wilayah yang lebih luas, sesuai dengan jaringan DD yang merupakan LAZ tingkat nasional. Ke depan, TWI harus menambah sejumlah karyawan yang memiliki keahlian di bidang wakaf, baik dari sisi keilmuan maupun teknis operasional. Dengan begitu, TWI dapat berkembang pesat dan lebih maksimal dalam melayani umat.

3. Opportunity (Peluang)

Saat ini problem wakaf belum tertangani secara baik padahal jika dilihat dari sisi potensinya, wakaf memiliki peluang yang tak terbatas. Di sinilah TWI memainkan perannya yang fital. Hingga saat ini lembaga-lembaga independen yang khusus menangani wakaf, apalagi wakaf tunai, belum nampak muncul di permukaan. Sementara ini fenomena yang berkembang adalah dibukanya unit-unit usaha yang menerima wakaf tunai tetapi belum berdiri sendiri. Wakaf Tunai Muamalat, misalnya, merupakan salah satu produk dari bank Muamalat, bukan lembaga khusus yang menangani permasalahan wakaf. Begitu pula unit wakaf di Baitul Mal Hidayatullah, sub kerja ini adalah salah satu bagian kecil dari kerja baitul mal untuk mengumpulkan dana umat. TWI meskipun saat ini sedang dalam proses reformasi birokrasi dan manajemen, dengan demikian, berpeluang menjadi pioneer lembaga pengelola wakaf, khususnya wakaf tunai.

4. Threat (Tantangan)

Tantangan yang saat ini sedang menghadang TWI dapat diuraikan dalam beberapa poin berikut ini.

a. Adanya hukum positif, baik Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah yang mengurangi fungsi wakaf. Munculnya kebijakan bahwa penyerahan dana wakaf tunai melalui LKS-PWU merupakan bagian dari skenario pemusatan uang ke Bank.

b. Rumitnya Sertifikasi Wakaf. Sertifitas wakaf, khususnya terkait dengan wakaf tanah, menurut Zaim termasuk menyulitkan. Prosedurnya berbelit dan tidak simpel. Apalagi, jika ada perubahan peruntukan atau pindah lokasi. Birokrasi yang tidak efesien ini membuat banyak orang yang jadi enggan mengurus sertifikat tanahnya.

c. Kebijakan pemerintah yang tidak ramah terhadap lembaga swasta. Menurut Zaim, sering kali kebijakan pemerintah kurang menguntungkan bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semisal TWI. Contohnya, pemerintah mengharapkan investasi dana wakaf tunai dilakukan di LKS-PWU yang ditunjuk.

V. KESIMPULAN

Setelah pemaparan yang mendalam dan luas dalam beberapa bab sebelumnya, pada bagian ini akan ditarik beberapa kesimpulan penting antara lain sebagai berikut.

1. Kaitan TWI dengan keadilan sosial, lembaga ini telah banyak membuat program untuk mewujudkan keadilan sosial, seperti pembentukan rumah sakit dan sekolah yang berpotensi mengembangkan wakaf tunai untuk membangun kesejahteraan masyarakat secara luas dan berkesinambungan. Beberapa bukti konkret program wakaf uang yang dilakukan TWI antara lain adalah a) Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kesehatan kaum dhuafa yang berbentuk rumah sakit mini dengan pelayanan 24 jam, b) Sekolah SMART Ekselensia, c) Wisma Muallaf, dan d) Rumah Baca Lingkar Pena.

2. TWI dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan para donatur telah melakukan beberapa langkah, antara lain membangun citra positif (brand image) TWI, pembukaan website, silaturrahmi, promosi program melalui media harian Republika, melakukan audit, mengadakan Wakif Gathering dan Program Launching, melakukan layanan door to door/ Retail, pembukaan counter di mal, program Radio Trijaya FM, dan penyebaran brosur. Memperhatikan metode yang TWI terapkan, nampaknya prinsip-prinsip good governance telah dilaksanakan dengan baik, antara lain prinsip transparansi dan sistem informasi terbuka. Dari penerapan ini tidaklah aneh jika TWI mampu menggalang dana dengan jumlah besar. Masyarakat merasa aman dan percaya bahwa dana yang mereka serahkan kepada TWI tidak akan disalahgunakan dan akan dikelola secara profesional sebagaimana yang mereka ketahui dari sumber-sumber informasi yang disediakan untuk para donatur.

3. Kekuatan terbesar yang dimiliki TWI adalah adanya kridibilitas TWI. Hal ini tidak lepas dari keberadaan TWI yang merupakan jejaring Dompet Dhuafa (DD). DD sebagai institusi yang cukup berpengalaman dalam pengelolaan filantropi Islam sering disebut sebagai pioneer dalam penggalangan dan pemberdayaan dana umat, khususnya wakaf tunai. Selain itu, TWI dapat dikatakan sebagai lembaga wakaf pertama yang mengelola wakaf tunai secara mandiri. Hal itu terbukti bahwa wakaf tunai yang baru disahkan melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 dan baru dijelaskan melalui Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006, telah dilakukan TWI sejak tahun 2005. Kalaulah dianggap kelemahan, ada beberapa titik yang bisa disampaikan di sini. TWI merupakan lembaga yang hanya diurus oleh segelitir orang. Tidak lebih dari 6 orang. Kendala lain yang sedang dihadapi TWI adalah adanya restrukturisasi di badan DD. Saat ini problem wakaf belum tertangani secara baik padahal jika dilihat dari sisi potensinya, wakaf memiliki peluang yang tak terbatas. Di sinilah TWI memainkan perannya yang fital. Hingga saat ini lembaga-lembaga independen yang khusus menangani wakaf, apalagi wakaf tunai, belum nampak muncul di permukaan. Sementara ini fenomena yang berkembang adalah dibukanya unit-unit usaha yang menerima wakaf tunai tetapi belum berdiri sendiri. Adapun tantangan yang saat ini sedang menghadang TWI adalah adanya hukum positif, baik Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang mengurangi fungsi wakaf, rumitnya sertifikasi wakaf, dan kebijakan pemerintah yang tidak ramah terhadap lembaga swasta.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Penelitian

Abubakar, Irfan, dan Bamualim, Chaider S. (ed.), 2006, Filantropi Islam & Keadilan Sosial, Jakarta: CSRC UIN Jakarta.

Ain, Fatimawati, 2007, “Pengelolaan Wakaf di Tabung Wakaf Indonesia Jakarta Selatan,” Skripsi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ekonomi Islam.

Antonio, Muhammad Syafii, “Pengelolaan Wakaf Secara Produktif”, dalam Djunaidi dan Thobieb, 2007, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing.

Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.

Bisri, Cik Hasan, 2004, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ad-Dardiri, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Davis, Gordon B., 1999, Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen, Bagian I: Pengantar, Penerjemah: Andreas S. Adiwardana, Jakarta: Ikrar Madiriabadi.

---------, 1998, Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen, Bagian II: Struktur dan Pengembangannya, Penerjemah: Andreas S. Adiwardana, Jakarta: Ikrar Madiriabadi.

Dessler, Gary, 1997, Manajemen Sumberdaya Manusia, Penerjemah: Benyamin Molan, Jakarta: Prenhallindo.

Djunaidi, Achmad (et.al.) 2007, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat.

Endang, Noviati, t.th., “Pengalaman Tabung Wakaf Indonesia Dalam Mengelola Wakaf Tunai,” Makalah, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia.

Fuad, Muhammad, 2008, Membangunkan Raksasa Tidur, Problematika Pengelolaan dan Pendayagunaan Wakaf di Indonesia, Depok: Piramedia.

Hafidhuddin, Didin, 2004, dalam Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Al-Hafsaki, Alauddin Muhammad bin Ali, t.th., al-Dur al-Mukhtar, t.tp.: t.p.

Ibn Hanbal, Ahmad, t.th., Musnad Ahmad, t.tp.: t.p.

Handoko, Hani, 2001, Manajemen, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Hasanah, Umrotul, 2005, “Cash Waqf dan Kontribusinya dalam Perekonomian Nasional,” El-Qisth, Volume 1, Nomor 2.

Hasanah, Uswatun, 1997, "Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan),” Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Hornby, 1987, Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press.

Abu Ishaq, Ibrahim bin Ali, t.th., al-Muhadzab, t.tp.: t.p.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 2004, Hukum Wakaf, diterjemahkan oleh Ahrul Sani Fathurrohman (et.al.), Jakarta, IIMaN Press.

Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.

Mannan, M.A., 2001, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen keuangan Islam, Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI.

Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya.

Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, t.th., Sunan Ibn Majah, t.tp.: t.p.

Najib, Tuti A. dan al-Makasary, Ridwan (ed.), 2006, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta.

An-Nawawi, t.th., Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, t.tp.: t.p.

Nazir, Moh., 2005, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.

Neufeldt, Victoria (ed.), 1996, Webster’s New World College Dictionary, New York: A. Simon & Schuster, Inc.

O’Brien, James A., Pengantar Sistem Informasi Perspektif Bisnis dan Manajerial, Penerjemah: Dewi fitriasari dan Deny Arnoz Kwary, Jakarta: Salemba Empat.

Ibn Qudamah, Abdurrahman bin Abu Umar, t.th., al-Syarh al-Kabir, t.tp.: t.p.

Robbins, Stephen P., 1996, Perilaku Organisasi, Konsep Kontroversi Aplikasi, Penerjemah: Hasyana Pujaatmaka, Jakarta: Prenhallindo.

Sunarto, 2007, Manajemen 2, Yogyakarta: Amus.

Saidi, Zaim, “Kemitraan Investasi Wakaf Produktif,” Makalah, Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia.

---------, 2007, Ilusi Demokrasi, Jakarta: Dompet Dhuafa

Scott, George M., 2002, Prinsip-prinsip Sistem Informasi Manajemen, Penerjemah: Achmad nashir Budiman, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Siagian, Sondang P. 2004. Manajemen Abad 21. Jakarta: Bumi Aksara.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan (ed.), 2006, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES.

Al-Siwasi, Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, t.th., Fath al-Qadir, t.tp.: t.p.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

Sudjana, Nana dan Ahwal Kusumah, 2000, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi, Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sumarni, Murti, 2002, Manajemen Pemasaran Bank, Yogyakarta: Liberty.

Sumayang, Lalu, 2003, Dasar-dasar Manajemen Produksi & Operasi, Jakarta: Salemba Empat.

Syaukani, Imam, “Pemberdayaan Pengelolaan Wakaf Rumah Sakit Islam Sunan Kudus Kabupaten Kudus”, dalam Karim, Muchit A., (et.al.), 2006, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Turban (et.al), 2006, Pengantar Teknologi Informasi, Jakarta: Salemba Infotek

At-Turmudzi, Muhammad bin ‘Isa, t.th., Sunan at-Turmuzi, Kairo: Mauqi‘ Wizarah al-Auqaf al-Misriyyah.

Warson, Ahmad, 1984, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, t.tp.: t.p.

Williams, Chuck, 2001, Manajemen, Penerjemah: Sabaruddin Napitupulu, Jakarta: Salemba Empat.

Az-Zuhayli, Wahbah, t.th., al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

B. Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 105.

C. Majalah

Majalah Modal, No. 19/II Mei 2004



[1] Hadis nomor 9079, Kitab al-Musnad, bab Musnad Abu Hurairah.

[2] Sementara ini data telah dicoba untuk ditanyakan langsung pada tanggal 31 Maret 2009 ke bagian pemberdayaan wakaf Departemen Agama, namun hingga saat ini belum terdapat data yang akurat karena informasi dari pengelola wakaf di daerah belum semuanya terdeteksi.

[3] Fatwa merupakan salah satu bentuk dari pemharuan hukum Islam, selain penyusunan ensiklopedi fiqih, pembentukan undang-undang, kajian ilmiah dan penelitian, dan putusan pengadilan (Abdul Manan, 2006:185-204)

[4] Sekilas kegiatan mereka dapat dilihat dalam Sudirman dan Risma Nur Arifah (ed), 2008, The Power of Zakat, Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara, Malang: UIN Malang Press, 351-362. Atau secara online dapat dinikmati perkembangan mutakhir WAREES dalam situs resminya www.warees.com.

Introduction