Senin, 12 September 2016

BERCERMIN DARI KELUARGA SAKINAH NABI IBRAHIM


Khutbah Pertama
اللهُ اَكْبَرْ٣×) ( اللهُ اَكْبَرْ (٣×) اللهُ اَكبَرْ 
اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ
اَلْحَمْدُ للهِ الْقَائِلِ (وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)، أَشْهَدُ أنْ لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ،
اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ| وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين .
(أَمَّا بَعْدُ)
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ وَأَحثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Kaum Muslimin dan Muslimat yang mulia,
Maha besar Allah yang telah melimpahkan segala nikmat kepada kita, sehingga pada kesempatan pagi yang segar ini, kita dapat melaksanakan  shalat Idul Adha bersama-sama. Semoga kita senantiasa mendapat ridha-Nya dan  menjadi hamba-Nya yang kian bertaqwa. Amin.
Hadirin hadirat yang berbahagia,
Pada setiap perayaan Idul Adha, kita tidak akan lupa dengan Kisah Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Kekasih Allah. Beliau  rela menyerahkan apa saja demi cinta dan baktinya kepada Allah SWT.
Kehidupan Nabi Ibrahim sudah berlalu lebih dari 3.900 tahun, namun hingga kini kisah Nabi Ibrahim masih sangat layak untuk diteladani.  Nabi Ibrahim telah memberikan banyak contoh dalam kehidupan.  Kisah Nabi Ibrahim erat hubungannya dengan sejarah dibangunnya Ka’bah, munculnya air zam-zam, rangkaian ibadah haji,  ibadah qurban,  hingga teladan membangun keluarga bahagia. Khusus potret keluarga sakinah beliau akan menjadi bahasan utama pada pagi hari ini.
Hadirin hadirat yang berbahagia,
Sejarah keluarga Nabi Ibrahim dapat dimulai dari kisah pernikahannya dengan Siti Sarah. Mereka tinggal di Palestina. Namun sayang, pernikahan ini tidak kunjung melahirkan keturunan. Akhirnya, atas saran Siti Sarah, Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar yang selama ini melayani rumah tangganya. Dengan ijin Allah, Siti Hajar melahirkan seorang putra, bernama Ismail.
Lahirnya Ismail merubah situasi rumah tangga Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim harus berpisah dengan Siti Hajar dan Ismail yang sangat ia cintai.  Allah telah mengutus Nabi Ibrahim membawa pergi Siti Hajar bersama putranya ke suatu tempat yang belum diketahui. Dengan penuh ketaatan dan rasa tawakkal kepada Allah, Nabi Ibrahim pun meninggalkan Palestina menuju suatu tempat yang sangat jauh, sekitar 1500 KM, seperti perjalanan dari Surabaya ke Jakarta lalu balik ke Surabaya lagi, yang kini dikenal dengan nama Mekkah. Saat itu, Mekkah adalah suatu tempat yang hanya berupa hamparan padang pasir yang kering dan tandus. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tidak ada orang, tidak ada hewan, tidak ada tumbuhan, apalagi mata air kehidupan.
Setelah melakukan perjalanan berminggu-minggu,  sampailah Nabi Ibrahim dan keluarga kecilnya di tempat yang dikehendaki Allah. Nabi Ibrahim menyiapkan tempat tinggal sederhana di lokasi itu. Tatkala dirasa cukup, Nabi Ibrahim pun pamit meninggalkan Siti Hajar dan putranya untuk kembali ke Palestina. Sebenarnya, Nabi Ibrahim merasa sedih tatkala harus meninggalkan istri dan putranya di tempat yang gersang. Hati Siti  Hajar pun diliputi rasa takut karena harus hidup sebatang kara di padang pasir bersama putranya yang masih kecil. Tak terbayang betapa perpisahan itu bagaikan pertemuan terakhir antara mereka. Kalau tidak ada pertolongan Allah, mustahil seseorang akan bisa bertahan hidup di tengah padang pasir yang panas dan sunyi.
Hadirin hadirat yang mulia,
Ada sebuah percakapan menarik sebelum perpisahan itu.
Siti Hajar berkata “Wahai Nabi Ibrahim, kemana engkau hendak pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami?” tanya Siti Hajar seraya memegang ujung jubah Ibrahim dengan cemas. Namun, Ibrahim hanya diam seribu bahasa.
“Apakah ini perintah Allah?” tanya Siti Hajar lagi.
“Ya” jawab nabi Ibrahim.
“Kalau begitu, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan kami” tegas Hajar dengan keimanannya yang kuat.
Lalu Ibrahim berpesan kepada Siti Hajar:
"Bertawakkallah kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepada kekuasaan-Nya. Allah Yang Maha Perkasa tidak akan melantarkan kalian berdua tanpa perlindungan-Nya. Insya Allah." 
Lalu Ibrahim berdoa kepada Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Ibrahim: 37
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah  rezeki kepada mereka dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.
Ayat di atas menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya dapa dimaknai sebagai bentuk kepasrahan Ibrahim setelah Allah memberi tugas untuk membangun Ka’bah sebagaimana surat Ali Imran: 96 dan 97.
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ () فِيهِ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آَمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali Imron:96-97)
Setelah Nabi Ibrahim pergi, Siti Hajar dan Ismail menjalani hidup berdua  dengan bekal yang tidak banyak. Setelah bekal mereka habis, Siti Hajar dan Ismail mulai kehausan. Siti Hajar berusaha mencari air. Diletakkannya Ismail, lalu ia mulai lari mendaki bukit Shafa untuk melihat siapa tahu ada orang yang bisa menolongnya. Namun, tidak ada seorang pun yang dilihatnya. Siti Hajar lalu lari  mendaki bukit Marwah. Tetap saja tidak ada orang yang dilihatnya. Siti Hajar berulang-ulang berlari sampai tujuh kali mendaki bukit Shafa dan Marwah sambil berdoa agar Allah menolong mereka. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai ibadah sai.
Di tengah kelelahan, kehausan, dan kelaparan, Allah kemudian menunjukkan kekuasaan-Nya. Muncullah air zam-zam dari kaki Ismail. Air ini kemudian menjadi sumber kehidupan siti Hajar, Ismail, dan orang-orang yang berdatangan.
Ketika kemudian Nabi Ibrahim menjenguk siti Hajar dan Ismail, betapa terkejutnya beliau karena padang pasir yang dulunya sepi sunyi kini menjadi ramai dengan banyaknya kafilah yang datang dan bermukim di sekitarnya. Ini adalah bentuk jawaban dari doa Nabi Ibrahim yang tulus kepada Allah.
Hadirin hadirat yang mulia,
Dari kisah ini, dapat dipetik pelajaran bahwa untuk membangun keluarga sakinah ada  4 syarat yang harus dipenuhi.
1.      Ketaatan kepada Allah
Iman dan taqwa menjadi penentu kualitas seseorang di hadapan Allah. Nabi Ibrahim telah menunjukkan bahwa cintanya kepada Allah melebihi cintanya kepada keluarganya. Cinta yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada Allah menunjukkan bahwa Allah adalah tujuan hidup dan Allah adalah tempat bergantung. Dengan ketaatan kepada Allah, sebuah keluarga akan senantiasa mendapat pertolongan dan perlindungan Allah.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.
2.      Kepatuhan kepada Suami dan Penghormatan kepada Istri
Hajar begitu patuh kepada Ibrahim meskipun harus berpisah secara fisik. Ibrahim pun begitu sayang kepada Siti Hajar. Ini adalah sebuah cermin bahwa dalam keluarga, harus ada kepatuhan kepada suami dan perhormatan kepada isteri. Ketika seorang suami menjadi kepala rumah tangga, maka anggota keluarga termasuk istri harus taat dan patuh kepada suaminya. Bagi suami, ia wajib menghormati hak-hak isterinya dan memberikan tempat terbaik untuk kehidupannya.

3.      Iktiyar Maksimal
Betapa Siti Hajar tidak saja menyerah kepada nasib. Meskipun ia tahu Allah akan menolongnya, tetapi dengan cara apa? Sambil berdoa dan berharap, ia melakukan ikhtiyar maksimal. Tidak hanya sekali atau dua kali, ia harus melakukan ikhtiyar mencari air sampai tujuh kali, bolak balik dari bukit Sofa dan Marwah. Ini adalah  sebuah bukti bahwa untuk menjaga keutuhan rumah tangga dalam menghadapi gelombang kehidupan, kita harus berjuang keras tanpa kenal lelah dan putus asa. Dengan begitu, niscaya pertolongan Allah akan datang.

4.      Tawakkal kepada Allah dengan Doa
Untuk mewujudkan keluarga sakinah, harus ada kepasrahan yang tulus kepada Allah SWT.  Doa adalah senjata seorang muslim. Ketika usaha sudah maksimal, kita serahkan sepenuhnya keputusan terbaik kepada Allah. Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, Allah akan memberikan jalan keluar yang terbaik untuknya.
Allah berfirman dalam surat At-thalaq: 2-3
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.
Demikian khutbah ini, semoga kita dapat mencontoh keluarga Nabi Ibrahim dalam mewujudkan keluarga sakinah dengan cara selalu taat kepada Allah, saling menghormati antara suami, isteri, dan anak, ikhtiyar secara maksimal, dan selalu tawakkal dan doa kepada Allah. Semoga khutbah ini bermanfaat. Amin
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَر١َ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ٢ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ ٣
بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْاَنِ اْلعَظِيمْ|  وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ اْلحَكِيْم| وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ| إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ




Khutbah Kedua
  
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ،| اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ،| اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ.| اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى جَعَلَ اْلأَعْيَادَ بِالأَفْرَاحِ وَالسُّرُوْرِ| وَضَاعَفَ لِلْمُتَّقِيْنَ جَزِيْلَ اْلأُجُوْرِ،|  فَسُبْحَانَ مَنْ حَرَّمَ صَوْمَهُ وَأَوْجَبَ فِطْرَهُ وَحَذَّرَ فِيْهِ مِنَ الْغُرُوْرِ،| أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَهُوَ أَحَقُّ مَحْمُوْدٍ وَأَجَلُّ مَشْكُوْرِ.
أَشْهَدُ أَنَّ لآ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ| وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ| اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ| وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين| أَمَّابَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ |اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى|
وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ.| فَأَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِىِّ الْكَرِيْمِ.
 وَقَالَ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ؛| إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِىِّ |يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تسْلِيْمًا.| اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ| سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ |وَعَلَى أٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ| وَتَابِعِى التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْهِمْ| بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمٍِالدِّيْنِ.| وَارْحَمْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللّٰهُمَّ اغْفِرْ| لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ| وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ| اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأْ َمْوَاتِ،| إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.| اللّٰهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ |وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ| وَدَمِّرْ أَعْدَاءَنَا أَعْدَاءَ الدِّيْنِ| وَأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمَشْرِكِيْنَ،| وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.| اللّٰهُمَّ اكْفِنَا شَرَّ الظَّالِمِيْنَ |          وَاكْفِنَا شَرَّ الْحَاسِدِيْنَ. وَاكْفِنَا شَرَّ مَنْ يُؤْذِيْنَا | يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.| رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ| وَلاَتَجْعَلْ فِى قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا | رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.
اللهُ أَكْبَرُ،| عِبَادَ اللهِ،| إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ| وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ |يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.| فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ،| وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ| وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Wassalamu’alaikum wr. wb                                                                                                      


Rabu, 07 September 2016

GELAPNYA HATI DAN SOLUSINYA




Tahukah kalian kapan hati menjadi gelap? Setiap orang pasti mempunyai pengalaman yang berbeda dalam merasakan hati. Hati adalah kunci kebahagiaan namun juga sumber kegelisahan. Ketika seseorang melakukan sebuah kebaikan, hatinya akan senang. Satu kebaikan menanamkan satu kebahagiaan. Namun, di saat satu keburukan dilakukan, hal ini menjadi investasi kegelisahan di dalam hatinya. Misalnya, ketika seseorang dapat membantu meringankan beban hidup saudaranya, dengan memberikan uang semampunya, ia akan merasakan getaran jiwa yang dasyat yang memberikan sinyal bahwa hidupnya memiliki makna bagi orang lain. Hasil jerih payahnya bekerja tidak hanya untuk menambah jumlah rekeningnya, namun dapat membuat orang lain lepas dari derita. Tatkala hal ini ia nikmati, maka ia tidak hanya mendapat senyuman mengembang dari saudaranya itu, tetapi ia akan memperoleh kedamaian hati yang mendalam. Kedamaian ini merasuk dalam relung jiwanya yang mengirimkan sensasi kebahagiaan luar biasa. Oleh sebab itu, orang yang biasa peduli dengan lingkungan sekitarnya dan berusaha membantu semaksimal yang ia bisa lakukan, niscaya ia akan merasakan bahagianya hidup dalam hatinya.
Jika hal ini dikaitkan dengan ajaran Islam, banyak ayat yang memberikan dorongan untuk melakukan hal ini. Misalnya, firman ALLH SWT dalam Ali Imran 92 yang intinya “tidaklah kalian akan mendapatkan kebaikan sampai kalian mampu memberikan apa yang kalian sukai kepada orang lain.” Ayat ini sering ditafsirkan sebagai ayat yang memotivasi seseorang untuk memberikan harta terbaiknya. Cukup sampai di situ. Ternyata tidak!  Ayat ini bisa dimaknai bahwa seseorang tidak akan merasakan kebahagiaan hakiki dalam hatinya jika ia belum bisa berbagi dengan orang lain, terlebih dapat memberikan harta yang layak diterima. Dengan kata lain, salah satu sebab kecerahan hati seseorang adalah kemampuan orang itu mengurangi egonya dan mau mencerahkan hati orang lain sehingga kebahagiaan hati orang lain itu memantul kepada hatinya.
Hal lain yang dapat menenteramkan hati adalah bangunan relasi antara manusia dengan tuhannya. Allah SWT adalah sang pencipta. Ia telah memberikan resep terbaik agar seseorang mencapai kebahagiaan hakiki. Misalnya, Allah SWT memberikan tuntunan seseorang untuk tidak melakukan maksiat. Maksiat berarti perbuatan tidak baik yang dilarang oleh Allah SWT. Larangan ini tidak jarang  sangat sesuai dengan hati nurani manusia. Sebagai contoh konkret, Allah SWT tidak mengizinkan kita melihat aurat orang lain. Aurat adalah hal yang semestinya ditutupi. Ketika seseorang menggunakan inderanya melihat aurat orang lain, maka ia akan merendahkan harga diri orang lain itu sekaligus merendahkan harga dirinya sendiri. Ia telah merusak etika yang semestinya ia jaga. Kesalahan yang demikian ini akan berbekas dalam hatinya yang berefek pada kegelapan hati. Sadar atau tidak, dipungkiri atau tidak, semakin banyak kesalahan yang kita lakukan, sebanyak keburukan yang kita perbuat, lambat laun akan meredupkan sinar hati. Akibatnya, orang tersebut akan kehilangan keseimbangan hatinya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, memutuskan dengan teliti, atau mengerjakan tugas dengan sempurna. Hati yang kotor ibarat cermin yang tertutup oleh debu keburukan yang akhirnya memudarkan cahaya hatinya. Hidup menjadi kehilangan arah, pikiran jadi keruh, sikap yang diekspresikan pun cenderung keras dan tak beraturan. Itulah pentingnya menjadi kejernihan hati. Semakin banyak kebaikan yang kita lakukan, semakin bening hati kita. Semakin bening hati kita, semakin cerah wajah kita dan semakin besar semangat kita untuk hidup lebih optimistik. Jadi, jangan pernah berhenti menebar kebaikan. Semoga hati kita tetap jernih sepanjang masa. Amin....
    

Introduction