Kamis, 29 September 2011

ANAK NAKAL=ANAK HEBAT, LHO KOK BISA?

Seringkali kita dengar banyak orang tua yang begitu kesal melihat tingkah polah anaknya yang dianggap sudah berada di luar kontrol. Anak, apalagi di usia empat hingga enam tahun , akan mengalami masa petualangan yang dasyat. Mereka akan berusaha mengeksplorasi lingkungannya dengan segala kemampuan indrawinya. Ia akan sering ditemukan di selokan, tempat sampat, lapangan bola, atau gorong-gorong dengan pakaian yang luar biasa kotor. Ia mungkin juga sering kepergok mengobrak-abrik lemari ibunya sambil menghabiskan lipstik dan sejumlah peralatan kecantikan.  Mainan yang baru dibeli satu jam yang lalu sudah rusak berantakan. Ketika bertamu, tak ada rasa malu sedikit pun mengambil makanan sebanyak-banyaknya sambil mengacak-acak ruang keluarga. Peringatan orang tua untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya ibarat lagu dangdut yang kian membuat mereka rajin mencari “mainan” baru yang menantang. Gejala apa ini?

Menghadapi anak di usia “nakal” ini  seringkali membuat kepala ini serasa mau pecah. Kesal bercampur marah dan malu. Anak-anak itu begitu senang ketika perbuatannya telah membuat gelisah orang seisi rumah. Mereka bak pahlawan yang telah berhasil memborbardir medan pertempuran. Teriakan ibunya dibalas dengan gelak tawa. Kadangkala, anak-anak semacam ini usilnya bukan main. Ketika ada orang berjalan di depannya, tangan mungilnya menarik baju orang tersebut. Saat jalan-jalan di Mall, semua makanan dan mainan dimasukkan keranjang. Bila tidak dituruti, tangisnya meledak sehingga membuat merah padam muka orang tua. Hemm, adakah cara “menikmati” situasi seperti ini? Ada, dong!!!

Pertama, anak adalah anugerah. kalimat ini jika diresapi lebih jauh pastilah akan membuat hati kita akan syukur. Bersyukur punya keturunan, bersyukur memiliki teman bermain, dan bersyukur dipercaya membimbing satu generasi yang akan mengisi dunia masa depan. Tanpa kita, mereka tidak akan pernah ada. Sebagai anugerah, sudah selayaknya kita merawat dan menyayangi sang buah hati, apapun kondisinya. Dulu, sebelum mereka dititipkan kepada kita, bukankah siang malam hati berdebar jangan-jangan kita tak akan mempunyai penyambung garis keturunan? Tatkala kita diberi tahu bahwa ada janin milik kita, tentu sungguh gembira, bukan? Apalagi, ketika bayi mungil nan suci lahir ke dunia, tangisannya meredakan segala rasa sakit dan lelah yang kita derita. Gembira! Ya, sangat gembira!

Nah, ketika anak beranjak tumbuh besar, kelucuannya kian nampak. Cara merangkak, latihan berdiri, hingga komat-kamit melafalkan kata yang kita ajarkan membuat kita tersenyum. Sungguh pengalaman yang tak ternilai harganya. Namun, di saat anak memasuki usia pra sekolah, kelucuannya yang dulu lugu kini terasa menyebalkan dan kadang memang dibuat-buat. Tawa renyah kini berganti wajah yang tegang. Kalau itu terjadi pada kita, ada baiknya kita “flash-back” pada pengalaman masa lalu, saat indahnya awal menikmati hidup sebagai orang tua. Dengan begitu, kita akan bisa meredam hati yang mulai gerah.

Kedua, hindari mengukur cara berpikir anak dengan pola pikir kita. Anak adalah anak. ia akan tetap anak dengan dunianya sendiri. Haruskah mereka kita paksa untuk mengikuti gaya hidup kita? Lumrahkah mereka kita tekan agar bisa memahami kemauan orang tua? Jawabnya, mungkin, tapi caranya harus sesuai dengan tingkat berpikir anak.   Sungguh aneh sekali jika kita ajari anak untuk bisa berperilaku seperti kita yang sudah dewasa dan kaya pengalaman. Intimidasi kita bisa berakibat buruk pada tumbuh kembang mereka. Trauma masa kecil tak akan bisa mudah hilang dari ingatan mereka dan bahwa bisa menghancurkan masa depannya. Oleh sebab itu, kita harus bijak menghadapi tingkah laku anak-anak kita yang tergolong “nakal”.

Anak yang aktif sebenarnya justru merupakan indikasi bahwa otak mereka hebat. Ia tak ingin bertingkah biasa-biasa saja. Ia justru haus tantangan dan ingin memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, tutur kata yang lembut akan membuat anak tetap nyaman menikmati dunianya. Bolehlah sekali-kali kita bertindak akan tegas kepada anak jika perilaku anak sudah dianggap kelewatan. Pemanjaan berlebihan juga bukan pilihan bijak. Ibaratnya kita sedang bermain layang-layang, sikap kita kepada anak kadangkala perlu sedikit keras namun harus segera dibarengi dengan sikap penuh kasih sayang. Kelak, ketika anak-anak kita dewasa, mereka akan bisa memahami betapa perilaku mereka dahulu memang tidak elok untuk dilakukan.

Kesimpulannya, sebagai orang tua, kita harus pandai-pandai mensyukuri nikmat Allah SWT berupa anak yang harus kita didik sedemikian rupa sehingga akan menjadi generasi penerus yang membanggakan. Reaksi berlebihan terhadap tingkah polah anak dapat menyebabkan anak-anak kita trauma yang bisa jadi akan membunuh kreatifitas mereka. Semoga kita dapat menjadi pintu bermulanya generasi unggul masa depan. Amin!!!

EL-ZAWA LAUNCHING “YATIM UNGGUL”



Bulan Ramadhan yang lalu, eL-Zawa meluncurkan program baru yang bernama “Yatim Unggul”. Program ini bertujuan untuk memberikan pendampingan di bidang pendidikan kepada anak yatim dari keluarga kurang mampu. Program ini diharapkan akan dapat menumbuhkan semangat belajar anak yatim untuk meraih cita-citanya. Rasanya tidak adil jika anak yatim kehilangan masa depan ketika salah satu atau kedua orangnya tidak lagi bisa mendampingi tumbuh-kembang mereka. Mereka patut untuk maju bersama-sama dan berkompetisi dengan kawan-kawannya yang lebih beruntung. Oleh sebab itu, program Yatim Unggul akan menjadi salah satu bentuk implementasi kepedulian UIN Malang melalui eL-Zawa kepada warga sekitar kampus.

Munculnya gagasan program Yatim Unggul diawali dengan observasi eL-Zawa ke beberapa panti asuhan anak yatim yang terdekat dari kampus. Hasil observasi itu menegaskan bahwa anak-anak yatim yang berada di bawah naungan lembaga panti asuhan mendapatkan curahan perhatian yang berlebih dari masyarakat ketimbang anak yatim yang tersebar di keluarga-keluarga kecil. Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya donatur yang tidak ingin berlelah-lelah saat menyalurkan zakat atau sedekahnya. Mereka cukup datang ke panti asuhan tanpa proses yang rumit. Oleh karena itu, eL-Zawa sebagai salah satu lembaga pengelola dana zakat kampus berniat untuk memberikan perhatian khusus kepada anak yatim yang belum banyak ditangani. Saat ini, sasaran yang dikelola adalah anak yatim di sekitar kampus yang tersebar di 6 Rukun Warga (RW) dengan jumlah 39 orang anak dengan pendidikan TK hingga SMP. Program Yatim Unggul ini diharapkan akan melahirkan anak-anak muda berbakat dengan kemampuan unggul sehingga siap bersaing di kancah kehidupan yang kian ketat.

Program Yatim Unggul sementara ini difokuskan kepada penyaluran beasiswa pendidikan bagi anak yatim setiap bulan. Besar bantuan bervariasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang sedang ditempuh. Siswa TK akan mendapat bantuan sebesar Rp. 75.000,- siswa SD sebesar Rp. 50.000,- dan siswa SMP sebesar Rp. 75.000,-. Untuk tahun 2011 ini, beasiswa akan diberikan selama setahun penuh atau 12 bulan. Beasiswa dua bulan pertama, Juli dan Agustus, telah diserahkan secara tunai dalam kegiatan buka puasa bersama tanggal 25 Agustus 2011. Adapun untuk 10 bulan berikutnya, beasiswa akan langsung ditransfer ke rekening anak. Oleh sebab itu, orang tua/wali dan anak harus membuka rekening di Bank Mitra UIN Malang, yakni Bank Tabungan Negara (BTN).  Untuk siswa TK dan SD, jenis tabungan yang disarankan adalah tabungan BTN Junior, sedangkan untuk siswa SMP adalah Tabungan BTN Juara. Perlu ditegaskan di sini bahwa Tabungan BTN Junior maupun BTN Juara tidak dikenakan biaya administrasi bulanan sehingga tidak ada potongan apapun selama menjadi nasabah bank.

Program Yatim Unggul merupakan program yang sedang mencari bentuk terbaiknya. Untuk sementara, program Yatim Unggul 2011 direncanakan akan berakhir pada bulan Juni 2012. Akan tetapi, bila nanti program ini dilanjutkan, eL-Zawa akan menginformasikan kepada para orang tua/wali paling lambat bulan Mei 2012.

Untuk tetap terjalinnya komunikasi antara eL-Zawa dan peserta program Yatim Unggul, eL-Zawa akan melakukan komunikasi berkala, baik secara langsung melalui temu peserta yang dikemas dalam bentuk acara silaturrahmi atau secara tidak langsung melalui telepon. Orang tua/wali juga mempunyai hak untuk bertanya ke eL-Zawa seputar program ini. Jalinan komunikasi ini diharapkan akan mampu mempererat hubungan antara eL-Zawa dan peserta program sehingga tujuan program Yatim Unggul dapat tercapai.  Semoga!

Senin, 26 September 2011

REKTORKU IDOLAKU

Tak pernah kusangka kalau aku akan bisa dekat dengan idolaku. Ia adalah rektorku, rektor UIN Malang tempat kumengabdi saat ini. Aku bersyukur bahwa pada akhirnya aku bisa bercengkerama dengan beliau beberapa kali.

Nama rektor UIN Malang, Prof Imam Suprayogo, sudah tak asing lagi di jagad Kementerian Agama. Sebagai pemimpin kampus nomor 1 PTAIN se-Indonesia membuat harum namanya kian semerbak. Dulu, sewaktu aku masih pertama kali menginjakkan kaki di bumi Malang, aku belum begitu tertarik mengenal lebih jauh tentang jati diri beliau. Namun, seiring waktu dan setelah sejumlah kali tatap muka, aku jadi kian terpesona. Entahlah, tanpa aku sadar, Prof Imam menjelma jadi salah satu idolaku.

Di antara sederet pengalaman bercengkerama dengan beliau, hari ini aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Saking berharganya momen itu, aku tak tahan untuk mencurahkan di blog pribadiku ini. Seperti biasa, beliau memanggil kami, pengelola zakat di kampus, ke ruang kerja beliau. Dalam benak, aku  menduga bahwa aku dan kawanku tak akan banyak waktu menemui beliau. Tapi, kali ini, waktunya sangat tepat, di kala tak banyak tamu dan saat beliau sudah selesai menuntaskan tugas-tugas kampus.

Setelah cukup berbasa-basi dan mengungkapkan tujuan beliau memanggil kami, berkembanglah pembicaraan lebih luas tentang Islam, ilmu pengetahuan, watak manusia, hingga pertanyaan kapan aku lulus. Satu demi satu uraian yang menyejukkan mengalir dari bibir beliau: untaian kalimat nan teduh, motivasi yang tiada henti, dan siraman rohani yang menentramkan. Kami ibarat mendapatkan kuliah atau pengajian 3 sks bersama beliau. Betapa tidak, dalam waktu tidak kurang dari dua jam kami duduk berdampingan dengan beliau seperti seorang sahabat bertemu kawan lamanya, ya, bukan lagi hubungan atasan bawahan yang menimbulkan jarak menganga. Beberapa cuplikannya akan saya uraikan di bawah ini.

Mengawali wejangannya, beliau mengajak berpikir tentang perlunya rukyah dan hilal. Bagi beliau, rukyah hilal mungkin penting, tetapi ada yang lebih penting dari hal ini, yaitu merukyah dan menghisap dompet istri. Lho? Setengah tertawa tapi penasaran, kami terus mendengarkan uraiannya. Beliau mengatakan bahwa merukyah bulan untuk menentukan awal Syawal itu penting. Tapi bila kita tidak merukyah dompet istri yang menjadi kewajiban suami untuk mengisinya, kita akan celaka. Istri akan cemberut dan marah-marah karena kebutuhannya tidak terpenuhi. Setelah merukyah, seyogyanya kita juga menghisap jumlah uangnya. Kita tak boleh lupa menghitung. Jangan sampai belum akhir bulan jatah belanja sudah habis. Ini bisa jadi akan menjadi awal perang dunia ketiga hehehe....

Cerita lain lagi adalah tentang menulis. Kata beliau, banyak orang yang mengaku dirinya dosen. Tapi sayangnya,  tak banyak yang mau menulis. Padahal, menulis merupakan refleksi dari ilmu seseorang. Lalu beliau mengibaratkan dosen itu seperti tanaman. Ada tanaman yang bila diberi pupuk langsung besar dan berbuah. Sebaliknya, ada pula tanaman yang jika diberi obat dan vitamin, ia tetap saja tak bisa besar dan malahan layu. Ini perumpamaan dari dosen yang sudah disekolahkan, diberi beasiswa, dan diberi sejumlah insentif agar bisa berkarya dan berprestasi. Tapi nyatanya, banyak yang hanya menjadi dosen ala kadarnya dan kuliahnya tak kelar-kelar...hehehe...untuk yang satu ini aku boleh tersinggung...hehehehe

Terakhir, beliau bilang kalau beliau kasihan kepada tuhan. Lho, tuhan kok dikasihani? Beliau mengatakan bahwa Allah SWT berulangkali berfirman dalam surat ar-Rahman: "Dengan alasan apa lagi kamu dustakan Tuhanmu?" atau "Fa biayya alai robbikuma tukadzdziban..." Kasihan ya Tuhan, sepertinya sudah putus asa mengajari manusia, sudah diberi wahyu, diberi rasul, diajari dengan al-Qur'an, tapi masih ada saja yang tak percaya dan tak mau mengikuti jalannya. Ayat-ayat Tuhan dalam al-Qur'an yang begitu indah dan dalam maknanya serta ayat-ayat kauniyah di alam semesta yang tak berujung pangkal ternyata masih belum bisa membuat orang ingat dengan sang Penciptanya. Banyak sekali orang yang kafir di muka bumi ini dengan segala tingkah polahnya. Tuhan sudah memberi garis-garis besar kehidupan, dari awal penciptaan hingga kehidupan setelah dunia ini, tapi sedikit sekali yang peduli. Duh, kasihan betul Tuhan ya?....hehehehe...Prof Imam ini membuat saya semakin kagum saja.....Kapan ya kami bisa mewarisi keluasan ilmu dan kedalaman spiritual Prof Imam....? Hanya waktu yang akan membuktikan....

Sabtu, 17 September 2011

ENAKNYA JADI MANUSIA PEMAAF

Hidup berdampingan di dalam komunitas heterogen tak jarang memunculkan sekian banyak masalah. Perbedaan agama, aliran dalam agama, hingga perbedaan suku dan ras kerap kali memicu permusuhan. Awalnya mungkin hanya bercanda atau sekedar tak sama dengan sekitar, namun bila disulut terus-menerus maka  persoalan kecil akan bisa menimbulkan malapetaka besar di masyarakat yang lebih luas.

Alangkah indahnya jika masyarakat kita mempunyai imun untuk kesabaran. Sabar memang mudah dilidah namun sulit untuk dilakukan. Meskipun begitu, sabar sudah terbukti manjur untuk meredam gejolak amarah dalam dada dan mendinginkan suasana. Apa yang akan terjadi jika kita bertengkar dengan tetangga dekat? Apa pula yang akan kita alami bila kemudian kita beradu fisik hingga berlumuran darah? Ah, rasanya sia-sia hidup ini jika hanya digunakan untuk memperuncing masalah-masalah kecil yang sebenarnya akan mudah teratasi dengan sedikit menahan diri.

Menahan diri efektif dalam mengatur volume emosi kita. Saat kemarahan meluap, ada baiknya kita berwudhu untuk menenangkan pikiran. Kalau masih juga belum berhasil, mungkin kita sejenak rehat dari hiruk pikuk kehidupan kita yang memenatkan. Kita bisa menghela nafas sambil menatap langit yang luas nan biru. Di sana ada keteduhan yang dipancarkan Tuhan melalui makhluk-Nya yang setia melindungi segenap insan di bumi. Sinar matahari sebagai sumber energi kehidupan begitu istiqamah memancarkan cahaya kepada siapapun, tak peduli ingkar atau iman kepada sang Khalik. Ia tidak emosi ketika ada manusia yang menyekutukan Tuhan atau bahkan tak percaya adanya Tuhan. Matahari tetap menahan diri dan tunduk patuh dengan sunnatullah yang ditetapkan untuknya. Andai kiranya kita bisa meneladani sikap sang raja siang itu, niscaya kita akan tetap berjalan ke depan tanpa harus terbebani dengan emosi yang bergejolak akibat huru-hara persoalan di sekitar kita.

Ada satu hal lagi yang patut ditekankan di sini selain tahan emosi, yakni keluasan hati untuk memaafkan. Kata maaf bisa bermakna permohonan peleburan kesalahan. Ilustrasinya, maaf itu seperti ombak yang meratakan  istana pasir di pantai. Bangunan yang dibuat dari pasir itu lenyap tak tersisa dan tak berbekas karena kembali jadi hamparan pasir seperti semula. Bila maaf hanya sekedar melenyapkan kesalahan seperti kerja penghapus terhadap tulisan pensil di kertas, maka maaf itu akan tetap memberikan bekas yang tak mungkin terurai. Maaf dalam kategori ini masih bersifat semu, hanya bersalaman tangan tapi belum bersalaman hati. Andai kita bisa memaafkan kesalahan orang lain seperti gelombang di pantai, tentu hidup ini akan terasa nikmat dan selalu segar. Ingatan kita hanya akan dipenuhi oleh pandangan-pandangan khusnuzhan terhadap orang lain. Kita patut meneladani sifat Allah yang Maha Pengampun dan Maha Lembut terhadap hamba-Nya.

Mari kita jadikan diri kita sebagai anggota masyarakat yang pemaaf. Mari kita hilangkan semua dendam dalam hati. Rasa dendam hanya akan membuat wajah kita merah padam. Kerutan muka kita akan semakin nampak sehingga usia kita bisa jadi  tak akan panjang. Hidup damai dengan hati bersih tanpa dendam akan membuat hidup ini penuh gairah dan penuh warna. Senyum akan lebih menentramkan daripada wajah muram nan menyeramkan. hehehe. Setuju, kan?


 

Rabu, 07 September 2011

BALI AND KOMODO ISLANDS


 
As one of the richest countries with cultural and animal diversities, Indonesia at least has two wonderful islands to visit. The first place is Bali Island. This beautiful island is located in the central part of the country, between Java and Nusa Tenggara Islands. Most foreign visitors put Bali as their first priority when they come to Indonesia.  Indeed, Bali is probably more popular than Indonesia itself. Not only Bali is famous for its amazing beaches, such as Kuta beach and Sanur beach, but also it has a lot of cultural performances, such as unique traditional dances and Hindu ceremonies. Thus, many people are interested in traveling to Bali due to its natural views as well as cultural heritance. Another interesting place to visit is Komodo Island. The island is the original habitat of Komodo, an ancient species dating back over 100 million years. This giant reptile was discovered by Van Steyn in 1911. Furthermore, this year Komodo is a candidate to become one of the 7 wonders of nature in the world. If it is selected to be one of the winners, the descendent of the dinosaur will be universally acknowledged as the original ancient animal from Indonesia.  In short, Bali and Komodo Islands may become the most attractive choices when people take a trip to Indonesia.

                                                  
                                                  

MY MOTHER


Someone that I admire a lot is my mother. She is really patient to rear me since the beginning of my life. For instance, when I was a child, I got a serious illness. I was so thin and weak that I almost died. However, my mother never gave up facing this crisis situation.  She sincerely poured her love to support me. She went to many doctors several times to get some suggestions. One day, a wise doctor advised her to feed me a durian, a kind of fruit which I liked most. Soon, she brought me to my grandfather’s home at the village where the durian tree was located. I was such a happy child that I could eat my favorite fruit. As a result, my health condition gradually got better and became a healthy boy. Once I remember this personal experience about my mother’s struggle for my life, I promise to serve the best for her.

Introduction