Sabtu, 31 Juli 2010

TINGGAL SEMINGGU...


Tak lama lagi, saya harus angkat kaki dari New York. Saya harus beres-beres barang untuk segera pindah ke Iowa. Satu bulan, ya satu bulan saya menikmati suasana Buffalo yang sejuk dan alami. Tanah terhampar luas, pohon-pohon rindang diiringi dengan kicauan burung yang bersahutan, semua tentu tak mudah dilupakan. Selain itu, banyak kawan baik yang sudah kenal akrab dan nyaman: dari Indonesia atau pun dari negara lain, pastilah menjadi kenangan indah yang menyenangkan. Begitulah, program kursus hampir usai. Hari ini, Jumat,30 Juli, para peserta kursus mengikuti ujian terakhir. Hasilnya akan dibagi minggu depan saat closing ceremony yang akan diadakan pada hari Kamis. Berarti, saya hanya punya waktu tiga hari lagi untuk kuliah kelas, menyelesaikan tugas-tugas akhir yang menjadi penutup perkuliahan.

Di Buffalo, saya punya kawan yang sangat banyak membantu, yakni Ali dari Saudi, selain kawan-kawan Indonesia yang memang ringan tangan. Anak muda ini pertama kali ketemu saya ketika pihak pengelola kursus, Kathy, memintanya untuk mengajak saya ke masjid untuk shalat Jumat. Waktu itu saya sedang ngantri menunggu giliran untuk daftar menjadi peserta dalam acara yang digelar kampus. Saya senang sekali ketika Ali menyapa dan mengatakan kalau ia diberi amanat oleh Kathy untuk menjemput saya.

Beberapa kali Jumatan bersama Ali, hari Jumat kali ini tergolong spesial. Sepulang Jumatan, Ali mengajak saya untuk mampir ke rumahnya. Saya pun setuju saja. Di rumahnya, ternyata Ali sudah menyiapkan beberapa bahan makanan yang sengaja digunakan untuk menyambut kedatangan saya. Sesampai di rumah, ia menyilakan saya duduk di ruang tamu sementara ia mulai mengolah makanan khas Arab Saudi. Kali ini ia membuat semacam nasi kebuli dengan racikan bumbu khusus. Ia juga menyiapkan menu pelengkapnya berupa ayam panggang dan jus buah. Wah, senangnya punya kawan baik.

Minggu depan, saya berencana akan membuat masakan Indonesia di rumahnya. Rencananya saya mau membuat kare ayam atau rawon. Lho kok bisa? Saya bawa bumbu instant dari Jakarta. Jadi, biar nantinya tidak memalukan, saya sudah siap senjata pamungkasnya. Untuk itu, saya hanya tinggal beli dagingnya. Beres kan? Hehe

Kamis, 29 Juli 2010

INTERNATIONAL SUMMER FUN DAY

Wow, senangnya hari kemarin. Setelah lelah melakukan aktifitas kelas, kebetulan saya kebagian giliran presentasi tentang Bali, kuliah berakhir lebih cepat. Hal ini dilakukan oleh pihak pengelola kursus karena ada even penting di kampus, yakni International Summer Fun Day. Acara ini adalah acara rutin tahunan yang mengumpulkan seluruh mahasiswa non-Amerika untuk bergabung dalam acara seni dan hiburan. Ramai banget. Ada pertandingan voli, hula hop, sepak bola, hingga layang-layang. Mahasiswa tumpah ruah di lapangan menyaksikan berbagai pertandingan.

Ada satu hal yang paling saya suka, yakni stand makanan berbagai negara. Awalnya saya ragu, jangan-jangan harus bayar. Ternyata, setelah saya tanya, gratis, alias free. Wah, kesempatan nih. Beberapa minggu lalu, dalam acara Taste of Buffalo saya harus merogoh saku untuk bisa mencicipi masalah khas Buffalo, kini saya bisa menikmati aneka makanan berbagai negara tanpa bayar. Langsung saja saya gabung di baris antrian. Saya akhirnya bisa mencicipi masakan Thailand, Vietnam, Arab, Belanda, Inggris, Rumania, dan banyak lagi...lupa nama-namanya. Amerika menawarkan makanan berupa brownis. Wah, kenyang juga akhirnya sepulang sekolah....

Rabu, 28 Juli 2010

MENGGUNAKAN MONEYGRAM


Saya termasuk orang yang tidak banyak punya pengalaman tentang teknik mengirim uang selain bank dan pos. Pagi ini saya dapat tantangan baru untuk mengirim uang melalui MoneyGram atas permintaan teman. Saat membaca email kawan tadi yang sangat berharap untuk dibantu, saya sempat bingung karena tidak tahu cara membantunya. Lengkap ceritanya begini.

Kawan saya, Dion, sesama Fulbrighter dari Jogja, hingga kini belum berangkat. Ia baru saja selesai mengurus visa yang akan keluar minggu depan. Meskipun begitu, ia sudah mulai menata diri dengan mencari penginapan di Ohio, tempat risetnya. Untungnya, ia punya kenalan di sana, Peter namanya. Dion sudah lama mengontak Peter untuk mencarikan tempat tinggal. Peter menyanggupi, bahkan ia menawarkan tempat tinggalnya jika Dion mau. Kebetulan, Peter sudah selesai masa studinya dan akan pulang ke Afrika. Peter akan meninggalkan Ohio sebelum kedatangan Dion.

Berhubung Peter akan segera balik kampung sedangkan ia punya sejumlah barang yang diperlukan Dion, maka Peter menawarkan barang tersebut jika memang Dion mau dan bisa membayar sebelum kepulangan Peter. Dion agak bingung, satu sisi ia memang membutuhkan barang-barang itu, seperti dipan dan kasur (kebetulan tempat tinggal Peter hanya menyewakan tempat saja, soal perabotan harus beli sendiri), tapi ia tidak tahu harus bagaimana mengirim uang ke Amerika dengan cepat. Untuk mengatasi hal itu, Dion meminta bantuan saya agar mengirim sejumlah dolar ke Peter. Karena jumlahnya tidak terlalu besar, saya pun menyanggupi. Saya meminta Dion untuk mengirimkan nama, alamat, dan nomor rekening bank yang dituju. Saya rencananya akan tarnsfer via bank yang bagi saya sangat mudah.

Selang beberapa hari, Dion kemudian mengirim email bahwa Peter minta agar uangnya dikirim melalui MoneyGram. Ia memberikan alamat lengkap rumahnya. Peter menyarankan agar transaksi dilakukan di Swalayan Walmart. Ketika saya menerima email tersebut, satu hal yang langsung terjadi adalah saya bingung. Mengapa? Saya ini belum pernah mengirim uang via MoneyGram dan saya tidak tahu di mana Walmart berada (lucu kan...hehe). Selain itu, saya tidak bisa begitu saja meninggalkan kuliah yang sangat padat dari pagi hingga sore. Kalaulah saja jadi ke Walmart, saya pasti 'ngrusuhi' kawan-kawan yang punya mobil untuk mengantarkan saya ke sana. Padahal, kawan saya, seperti mas Faisal, bekerja dari pagi hingga sore. Lalu kapan saya bisa melaksanakan tugas 'mulia' ini?

Di tengah kebingungan itu, saya terpikir untuk menghubungi kawan senior yang dulu pertama kali menolong saya. Mbak Nuning namanya. Di saat break kuliah di siang hari, saya coba telepon Mbak Nuning. Saya awali dengan basi-basi sebentar kemudian menjurus kepada persoalan utama yakni minta tolong. Namun, sebelum meminta tolong untuk mengantarkan saya ke Walmart, saya sempat iseng mengharap saran dari Mbak Nuning tentang cara saya mengirim uang melalui MoneyGram. Tak disangka, tak diduga, tak dikira, ternyata Mbak Nuning sudah punya pengalaman mengirim uang via MoneyGram dan tidak harus ke Walmart, cukup datang ke semacam pusat bisnis kampus SUNY Buffalo dan menemui petugas kasir di sebuah Farmasi, CVS namanya. Tanpa pikir panjang, saya langsung bergegas mencari lokasi tersebut yang saya juga belum pernah ke sana. Setelah putar-putar dan tanya sana-sini akhirnya sampailah saya di farmasi CVS.

Sesampai di depan kasir, saya kemudian menanyakan kemungkinan saya mengirim uang ke Ohio via MoneyGram. Weladalah, saya hanya disuruh menuju satu selepon di atas meja dan mengangkatnya. Sambil terheran-heran, saya turuti saja perintahnya. Awalnya, saya pikir saya bisa mengirim uang lewat kasir itu yang kemudian tinggal menunggu slip transaksi. Tapi ternyata, saya malah disuruh berhadapan dengan benda mati, yakni sebuah telepon. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan terhadap telepon tersebut. Setelah bertanya lagi ke petugas kasir, lalu saya diberitahu bahwa saya harus mengangkat gagang telepon itu dan mengikuti bunyi perintah yang didengar. Dengan agak ragu, saya pun mencoba mengangkat pesawat telepon itu mendengarkan dengan seksama.

Bunyi pertama yang saya dengan adalah bahwa saya harus memencet tombol pemilihan bahasa, 1 untuk Inggris, 2 utuk spanyol, 3 dan seterusnya banyak pilihan lain. Langsung saja saya pencet angka satu. Kemudian terdengar perintah lagi, suara otomatis itu menanyakan apakah saya mau mengirim, mengambil, atau melakukan transaksi lainnya melalui MoneyGram. Saya yang masih tidak paham maksud perintah itu diam sejenak. Suara itu pun kembali terdengar. Dengan agak kurang yakin saya pun bilang, "send" (mengirim). Rupanya suara saya direkam oleh mesin itu. Beberapa saat kemudian ada perintah baru lagi yang menanyakan negara tujuan. Di sini saya pun dibuat bingung. Saya ini kan mau mengirim uang ke Amerika, kok masih ditanya mau mengirim kemana? Saya pun menjawab sekenanya "America". Ternyata, jawaban saya salah. Pertanyaan itu kembali terdengar. Saya pun merubah jawaban saya dengan "United States". Nah, untuk kali ini, mesin itu bisa merekam. Lalu, ada bunyi lagi, "You say United States?" Saya pun menjawab "Yes". (Walah, mau ngirim uang sedikit aja kok ribet banget ya..pikir saya.) Setelah beberapa saat, mesin itu berbunyi, "tunggu sebentar, anda akan dihubungkan dengan petugas MoneyGram." (Yah...kenapa nggak dari tadi....)

Petugas MoneyGram di seberang sana menyapa dengan ramah. Kemudian menanyakan kota tujuan, jumlah uang, nama pengirim, nomor telepon, dan alamat pengirim beserta kode posnya. Saya harus mengeja nama saya beberapa kali karena memang nama saya cukup asing bagi si petugas itu. Terakhir, petugas meminta saya untuk menyebutkan nama penerima. Lho kok cuma nama saja? Begitu tanya saya. Petugas itu menjelaskan bahwa sistem MoneyGram itu hanya cukup menyebut nama penerima. Sang penerima nantinya akan mendatangi kantor MoneyGram di mana saja untuk mengambil uangnya. (Ooo, begitu tho, pikir saya. Maklum, orang kampung bergaya kota...hehe)

Setelah menyetujui jumlah uang dan biaya kirim, saya pun menutup telepon itu. Tapi kemudian, saya bertanya-tanya lagi, kemana saya membayar transaksi tadi? Uang masih ada di tangan dan belum berkurang sedikit pun. Petugas tadi juga tidak memberitahu dan saya pun tidak bertanya. (Nah, klop kan? Beginilah nasib orang yang tak punya ilmu, bisanya cuma bingung terus hehe). Agar tidak terjadi kesalahan yang berlipat-lipat, saya mendekati kasir farmasi tadi. Ternyata, saya bisa membayar lewat kasir itu namun saya harus menunggu proses elektronik laporan pengiriman beberapa saat. Tak lama kemudian, mesin ke meja kasir mengeluarkan kertas panjang yang isinya laporan bahwa saya sudah melakukan transaksi pengiriman lewat MoneyGram di konter CVS. Setelah membayar semuanya, saya pulang dengan lega. (O.., begitu tho cara kirim uang via MoneyGram. Aneh banget ya...)

Sesampai di kelas, saya langsung menyalakan komputer untuk segera mengirim kabar ke Dion dan Peter bahwa uang sudah saya kirim sesuai dengan harapan. Menurut berita, uang bisa langsung bisa diambil dalam tempo 5 menit dari pengiriman. Saya pikir tugas saya telah selesai dan kini kembali konsentrasi kuliah hingga sore.

Malam hari, saya coba buka yahoo untuk melihat perkembangan email saya. Ternyata, ada email masuk dari Peter yang menerangkan bahwa ia membutuhkan nomor referensi yang tertulis di surat bukti transaksi. Saya pun mencari nomor yang dimaksud dan akhirnya saya bisa menemukan. Saya kemudian membalas email itu dengan mencantumkan nomor referensi yang diinginkan. Sudah selesaikah? Ternyata belum, tadi pagi sesaat sebelum kuliah, saya mendapat email dari Peter bahwa uangnya belum bisa diambil karena ia harus menunjukkan kepada petugas MoneyGram informasi seputar nama pengirim, alamat, dan nomor teleponnya. Lho kok begitu ya aturannya? Bukannya semuanya sudah tertulis saat transaksi kemarin? Tapi tanpa pikir panjang, saya pun memberikan rincian informasi yang saya sampaikan kepada petugas saat pengiriman kemarin.

Okay. saat ini saya sedang menunggu kabar teakhir dari Peter, apakah ia sukses mengambil uangnya atau masih ada masalah lagi. Saya berharap ia bisa lancar mengurus administrasinya di MoneyGram. Wah, pengalaman baru yang bagi saya sangat menantang ya.....Wa Allah a'lam.

Selasa, 27 Juli 2010

DI BUMI MANA KITA BERPIJAK



Di bumi mana kita berpijak
Kita bisa bentang sajadah untuk sembahyang
Di bumi mana kita berpijak
Kita dapat lantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an
Di bumi mana kita berpijak
Kita boleh berdzikir siang dan malam
Karena
Di bumi mana kita berpijak
Tuhan selalu menjaga tanpa diam

Meskipun begitu
Walaupun kita tahu
Di bumi mana kita berpijak
Kita bisa belakangi Tuhan
Pura-pura lupa kalau Ia ada di sana
Memandangi kita tanpa jeda

Di bumi mana kita berpijak
Kita tetap bisa santai
Lupa akan janji-janji mengabdi
Habiskan waktu untuk menumpuk dosa
Menggunungkan maksiat tiada tara

Di bumi mana kita berpijak
Ada tantangan ada bahaya
Ada hitam, putih atau merah merona
Banyak tipuan penuh sandiwara
Lalai sedepa derita sepanjang masa

Di bumi mana kita berpijak
Nurani tetap mampu bicara
Apapun kondisinya

Masih ada kekuatan doa
Masih ada harapan dan asa

Hanya orang-orang yang mau ingat
Pastikan ia akan selamat

Sekali jatuh ke jurang
Sesal sungguh tak perikan
sepanjang hayat dikandung badan

ASYIKNYA MENCUCI DI KAMPUNG UWAK SAM


Mencuci merupakan aktifitas rutin untuk membersihkan pakaian yang telah dipakai dalam jangka waktu cukup lama, bisa beberapa jam atau beberapa hari. Caranya bisa dikucek dengan tangan, dibilas lalu dijemur, atau dimasukkan ke mesin cuci lalu tinggal jemur. Kedua teknik ini biasa saya lakukan saat masih berkumpul dengan keluarga. Namun, saat di perantauan kini, saya tidak dengan mudah melakukan itu karena ternyata ada cara yang belum saya kuasai dalam hal mencuci.

Pertama-tama, saya tanya kawan-kawan tentang teknik mencuci. Mereka mengatakan bahwa cara mencuci adalah memasukkan pakaian ke mesin cuci dengan terlebih dahulu mengatur waktu cuci. Untuk yang satu ini mungkin saya pikir sama dengan mesin cuci di tanah air. Kemudian, saya harus memasukkan sabun ke tempatnya. Sabun yang dimaksud adalah sabun cair, seperti sabun cair untuk mandi. Diterjen seperti yang biasa saya pakai, misalnya rinso atau soklin, tidak boleh digunakan. Lho, lalu gimana saya bisa mencuci? Tanya saya dalam hati. Terpaksa, sabun cuci bawaan saya tidak dapat digunakan dan saya harus belanja ke supermarket untuk membeli sabun cair itu. Saya pada awalnya tidak tahu perbedaan hasil cucian jika menggunakan diterjen atau sabun cair tersebut. Namun, setelah beberapa kali mencuci, ada memang hasil yang tidak saya sangka, yakni pakaian bisa langsung digunakan tanpa disetrika.

Setelah mencuci dengan menggunakan mesin cuci dalam waktu sekitar 30 menit, saya harus memindahkan semua baju ke mesin pengering. Nah, untuk tahap ini, saya pernah punya pengalaman saat di Kanada, jaket saya yang masih baru jadi rusak gara-gara panas dalam mesin pengering sudah terstandarkan, tidak bisa diatur. Oleh sebab itu, pada awal mencuci di sini, saya tidak mengeringkan di mesin pengering, tetapi saya jemur saja di kamar dengan menggantungnya di hanger. Kering juga kok cuma butuh waktu agak lama, sekitar dua hari. Tetapi, saya kemudian memberanikan diri untuk mencoba mengerikan dengan mesin setelah saya tahu waktu pengeringan bisa disesuaikan. Saya coba dengan waktu 30 menit, dan ternyata pakaian sudah kering meskipun belum maksimal.

Setelah semuanya selesai, pakaian saya bawa ke kamar dan langsung saya lipat. Nah, di sinilah keanehan terjadi, semua pakaian saya jadi mudah dilipat dan diratakan, persis seperti diseterika, atau seperti diberi pelembut. Kaos saya yang biasanya tidak berani saya pakai kecuali diseterika dengan cukup lama, ternyata hanya dirapikan dengan tangan dan dilipat sudah bisa dipakai esok harinya tanpa malu karena lecek atau kumal. Jadilah saya mengerti mengapa kawan-kawan saya tidak memiliki seterika ketika saya ingin pinjam. Memang, nampaknya, tanpa disterika pakaian-pakaian berbahan katun pun bisa dengan santai digunakan. Ini pengalaman baru yang belum saya peroleh tatkala dulu di Kanada. Asyik bukan? Jadi, kini saya tidak perlu berlelah-lelah mensetrika tumpukan pakaian sebagaimana biasanya. hehehe

Minggu, 25 Juli 2010

BAYI DI NEGERI ASING


Bayi mungil itu dibawa terbang oleh garuda raksasa
Tinggi...tinggi sekali menerobos awan
Sayapnya mengepak melintas pulau
Membelah lautan
Mengarungi samudera
Menembus batas negara


Bayi itu diam serasa ditimang
Meski batinnya bergemuruh
Ia tak tahu akan dibawa kemana
Ia hanya diam menanti nasibnya

Setelah lama mengangkasa
Garuda pun mengarahkan moncongnya
Mendarat ke bumi
di tengah hutan belantara yang sunyi

Tanpa banyak pertimbangan
Bayi itu pun diletakkan
Di bawah pohon yang rindang
Lalu,
Garuda pun kembali terbang

Sang bayi mulai sadar
Saat perutnya mulai keroncongan
Ia menggigil gemetar
Tatkala tubuhnya kian kedinginan
Ia pun mulai menangis
Meraung menjerit
Memanggil-manggil orang yang dicintai

Tapi,
Tak terdengar derap kaki menuju
Tak ada satu tangan terulur
Mengangkat tubuhnya
Mendekap dalam pelukan

Ia kian meronta
Melolong sejadi-jadinya
Tapi tetap saja
Tak ada beda

Hewan-hewan hutan
Satu persatu datang
Saling memandang
Ada apa gerangan?

Mereka diam
Dengan mata penuh tanya
Makhluk dari mana ini?

Bayi itu mencoba bangkit
Berkata-kata sebisanya
Bertanya dimana ibunya ayahnya
Saudaranya kawannya

Para hewan hanya menggeleng kepala
Tanda tak paham dan heran
Kemudian permisi
Satu-persatu pergi

Sang bayi semakin tak mengerti
Mengapa ia berada di sini
Di lingkungan yang sama sekali baru
Dengan beragam makhluk yang tak ia tahu

Ia pun berusaha tegar
Berlatih keras untuk duduk dan bangkit
Dengan kaki dan tangan yang masih lemah
Merangkak setapak demi setapak
Mencari sumber kehidupan

Bumi asing di negeri seberang
Belahan dunia yang sangat pirang
Mengajarinya untuk kokoh
Mengajaknya untuk tetap bertahan
Berjuang sebisanya
Berdoa semampunya
Seraya menunduk dan menghiba
Berharap berkah dan pertolongan Tuhannya

Rabu, 21 Juli 2010

THE WORLD TURNS GRAY, HOW COME?

The article entitled “the World Turns Gray” is really interesting. It illustrates an aging world that the elders will outnumber the youths in about 2040. There are many problems faced by people due to this situation. Some of them are the responsibility for taking care the elderly and economic crisis because of the decrease of workers.

To overcome the problem of the responsibility of the elderly nursing, the government, the local community, the religious organizations, and family may have to share the responsibility. For instance, the government should provide sufficient health facilities for the retired people whereas the religious organizations support them with psychological and mental treatments. However, the family has to play the most important role to take care of the elderly. For instance, if the parents become old, the children have to pour their attention and love to them as the proper reward. They have to feed and dress their parents just like the way their parents nurtured them when they were in childhood. In case that the children, who now become busy workers, do not have enough time to take care the elderly, they may ask other people to help them. The elderly will feel more comfortable when they stay at home with their children rather than stay at nursing house.

Another problem is the decline of national income caused by the decrease of workers. It may be solved by two possible ways. The first solution is the extension of retirement age. Some people who are still possible to work should continue to go to the workplaces. They may choose the type of work based on their current capability. For example, teachers may have the chance to teach their students up to 65 years-old of their age instead of 60 since they are still able to share their knowledge in the class. It is also applicable for professors who have to teach university students until 70 years-old. It means that the elderly people will have the chance to get involved in social activities in order that they may enjoy their life more meaningfully. The other solution is that the government may increase the rate of taxes. Since the retirement age is lengthened, the tax payment does not only belong to the young workers but also to the old employees. Therefore the income from this sector is still high. As a result, the percentage of taxes can be minimized, not as high as when the taxes are only the responsibility of the young workers.

To sum up, the problem of global aging may be overcome by introducing several policies. All elements of society may take the role to share the responsibility.

Senin, 19 Juli 2010

HALAQAH DI MASJID AL-FALAH PHILLY-SISI SPIRITUAL AMERIKA

Salah satu pengalaman baru yang saya dapatkan selama tinggal di Amerika adalah jamaah shalat dan halaqah. Sulit saya percaya bahwa kehidupan Amerika yang jauh dari semangat agama ternyata mampu dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang memiliki ghirah religius tinggi untuk senantiasa menegakkan Islam dimana pun mereka berada. Di Buffalo ada sebuah masjid yang bernama Masjid An-Noor dengan bangunan artistik yang diformat sebagai pusat kegiatan Islam. Para penggeraknya adalah imigran dari Timur Tengah.

Dalam hal jamaah, saya tidak akan mudah mendapatkan kesempatan ini kecuali saat shalat Jumat di masjid itu. Itu pun butuh perjuangan untuk bisa tiba di masjid tersebut. Minggu lalu, saya hampir tidak bisa melaksanakan shalat Jumat karena tidak ada satu kawan pun yang berkenan mengantar saya. Sedikit catatan, jarak kampus ke masjid sekitar 10 KM dan tidak ada public transport yang melewatinya. Alhasil, saya hanya tergantung kepada kawan yang punya mobil untuk menjalankan salah satu ritual ini. Jumat lalu, kawan yang biasa menjemput saya sedang keluar kota sehingga saya tidak bisa 'nunut'. Saya pun hunting sana-sini kalau kalau ada kawan yang bersedia mobilnya ditumpangi. Pertama-tama saya hubungi sejumlah kawan Indonesia, namun mereka tidak mengangkat telepon. Saya pun menghubungi kawan dari Turki. ia pun tidak bisa diakses. Di tengah keputusasaan, saya ingat salah satu kawan dari Saudi, Ali namanya. Ia pernah berjanji akan siap membantu jika saya kesulitan di bidang transport. Saat saya telepon, Ali sudah berada di masjid. Saya pun ceritakan bahwa saya tidak bisa ke masjid. Ternyata alhamdulillah, ia berkenan keluar masjid dan mencari alamat rumah saya. Ini suatu anugerah di saat tak banyak orang peduli jumatan, ada orang yang dengan ikhlas meluangkan waktu demi saudaranya yang kesulitan beribadah.

Pengalaman menarik lainnya adalah saat saya berkunjung ke Philly. Saya kagum dengan semangat kawan-kawan di sana yang berjuang untuk menyewa dua lantai apartemen untuk kegiatan shalat dan pengajian. Di lantai satu, anak-anak belajar mengaji al-Qur'an sementara di lantai dua, para orang tua bisa melaksanakan jamaah shalat lima waktu termasuk shalat Jumat. Selain itu, setiap malam minggu, para jamaah berdatangan dengan membawa makanan-makanan buatan sendiri untuk dihidangkan seusai pengajian mingguan atau halaqah. Saya sangat senang bisa hadir di tengah-tengah mereka yang kebanyakan adalah mahasiswa dan karyawan. pengajian diawali dengan shalat maghrib berjamaah pada pukul 9 malam. Lalu kegiatan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Setelah itu, pengajian pun dimulai. Ustad Rafiq, teman saya sekelas saat kursus di Bali yang kini mengambil S3 di temple University, memimpin jamaah untuk membaca al-Qur'an bersama, lalu memberikan ringkasan isinya dalam ceramah singkat (persis seperti yang dilakukan oleh ustad Nurodin di Jatisari Elok, Semarang). Setelah itu, tamu dari Korea, Dr. Hamid, diminta untuk memberikan ceramah ilmiah tentang perjalanannya baru-baru ini ke Syeikh Gelan, salah satu sufi terkenal Amerika. Sang sufi memiliki semacam kawasan pesantren yang pengunjungnya tak habis-habis. Bahkan, menurut informasi, para tamu sudah rapi didaftar hingga akhir tahun ini. Dengan demikian, setiap orang atau kelompok yang ingin bertemu dengan sang Kyai, harus mendaftarkan diri jauh-jauh hari, mungkin satu tahun sebelum berkunjung. Satu pelajaran yang dapat saya petik adalah bahwa kegiatan spiritual yang kental ternyata bisa dilaksanakan di negeri sekuler semacam Amerika.

JALAN-JALAN KE PHILADELPHIA


Sejak kedatangan tamu dari Philly, saya terdorong untuk jalan-jalan ke sana. Kebetulan kawan saya yang datang minggu lalu membawa mobil pribadi sehingga jika saya ikut, saya bisa menghemat ongkos. Maklum, perjalanan ke sana membutuhkan waktu sekitar 12 jam dengan biaya sekitar 100 dollar (900ribu, wow). Awalnya saya memutuskan untuk tidak ikut ke Philly, namun karena mereka rela menunggu hingga akhir pekan (padahal mereka sudah berada di Buffalo sejak Selasa), saya pun bisa numpang sampai ke Philly. Alhamdulillah, gratis nih.

Berangkat dari Buffalo sekitar pukul 3 sore, kami sampai rumah sekitar pukul 1 malam. Lelah dan letih setelah menempuh perjalanan panjang membuat saya harus segera istirahat. Pagi-pagi, Mas Jun, begitu nama suami teman saya, Nuraini, sudah siap mengajak jalan-jalan menggunakan bis umum menuju Downtown Philly.

Di downtown, terletak sejumlah pusat perbelanjaan dan bisnis. Juga, saya bisa menikmati beberapa tempat bersejarah Amerika. Philly yang merupakan salah satu kota tua Amerika ternyata pernah menjadi pusat pemerintahan pertama sebelum pindah ke Washington DC. Dengan demikian, banyak tempat penting yang dulu menjadi simbol negara, misalnya Liberty Bell dan istana presiden. Liberty Bell merupakan bel penanda kemerdekaan Amerika pada tanggal 4 Juli 1776, 234 tahun lalu. Bentuknya seperti bel pada umumnya dengan ukuran besar, warna coklat tua dengan keliling sekitar dua rangkulan tangan orang dewasa. Selain itu,istana presiden tempat Washington bekerja dapat dikunjungi di Philly. Rumah dinas presiden lengkap dengan fasilitasnya juga dapat dinikmati. Pendeknya, berkeliling kota Philadephia akan mengingatkan kita pada sejarah Amerika pada awal kemerdekaan hingga perpindahan pusat pemerintahan ke kota baru.

Satu obyek wisata yang dapat didatangi adalah Penn Landing. Tempat ini merupakan tempat berlabuhnya kapal Eropa penemu Philadelphia pertama kali. Di sini dibuat patung besar berupa kapal yang sedang menurunkan penumpang yang terdiri dari orang tua hingga bayi. Sungai luas terbentang di sebelah patung itu. Penn landing diyakini sebagai titik mula sejarah Philadephia.

Jumat, 16 Juli 2010

KEJADIAN KECIL YANG UNIK

Sejak menginjakkan kaki di bumi Amerika, banyak hal-hal aneh yang menyita perhatian saya. Pertama, saat masuk asrama mahasiswa, saya tidak bisa masuk karena pintu asrama tertutup untuk umum. Artinya, hanya penghuni saja yang bisa masuk dengan menggunakan kartu mahasiswa yang digesek secara elektronik. Untungnya, saya sudah diberitahu oleh pihak pengelola via email untuk menggunakan fasilitas telepon umum yang ada di depat pintu masuk untuk minta bantuan petugas jaga malam. Kalau tidak, pasti deh, tidur di emperan asrama, kasihan banget ya...hehehe

Kedua, Saat masuk kamar, saya ingin mandi. Badan sudah gatal semua dan berkeringat. Tapi, saat ingin mengalirkan air dari kran, ternyata tidak ada air. Lha, gimana nih? Hampir saja saya turun lagi ke lobi untuk meminta tolong Ikea, petugas yang menolong saya, untuk membantu saya agar air bisa mengalir. Untungnya, dengan berbekal pengalaman seadanya, saya putar ke kanan-ke kiri, bahkan saya tarik ke atas ke bawah, ternyata airnya bisa mengalir dengan deras dan bahkan bisa diatur suhunya. Wow, caranya mengucurkan air adalah menarik ke depan dahulu (seperti mencabut), baru diputar ke kanan dan ke kiri. Ada-ada saja ya...

Ketiga, di pagi hari, saya harus ke kampus. Bingung juga, mau ke arah mana, lha wong kampusnya besar banget. Nama-nama gedungnya aneh-aneh, tapi warna dan bentuknya sama semua. Saya pun bertanya kepada petugas, kalau saya mau ke tempat kursus harus ke arah mana. Jawabnya, saya harus naik bis. Lha, bis mana, trus gimana? Sendirian lagi, seperti orang ilang. Saya pun diantar dan dititipkan ke sopir bis, persis anak kecil yang tersesat di tengah kota..hehehe. Bis itu ternyata milik kampus yang melayani rute dari kampus selatan ke kampus utara yang jaraknya sekitar 5 KM, tanpa dikenakan biaya. Lumayan, jalan-jalan pagi dengan gratis. Pintu bis ada di sebelah kanan, bukan di sebelah kiri seperti di Indonesia. Bis berjalan di sebelah kanan juga. Asing banget rasanya...

Keempat, masih tentang bis, ternyata hampir separuh bis yang pernah saya naiki dikendalikan oleh sopir perempuan, padahal ukuran bis tergolong besar lho. Ternyata gender telah sukses mengantarkan perempuan menjadi sopir angkutan umum. Keren ya? hehehe. Para sopir tergolong ramah, setiap ada penumpang yang naik, ia selalu menyapa "good morning" atau "hello"...begitu pula kalau turun, sopir selalu mengucapkan "have a nice day" dengan senyum lebar. Ini menunjukkan bahwa sopir-sopir itu telah dilatih untuk melakukan tugas secara profesional sehingga para penumpang merasa nyaman.

Kelima, Berkaitan dengan jalan di sebelah kanan, saya sering hampir nabrak orang yang berlalu dari arah berlawanan karena di Indonesia biasa berjalan di sebelah kiri. Untung saja orang tersebut langsung pindah jalur, kalau tidak bisa berabe nih. Kalau di jalan umum, kadang saya masih bisa mengingat kalau harus di sebelah kanan, tetapi kalau sedang naik tangga, sering banget kaget saya hampir nambrak orang yang sedang turun atau naik tangga. Lucu sekali kalau ingat hal ini...hhihi

Terakhir, tentang minum. Saat di asrama, saya tidak punya air minum sama sekali. Padahal, saya haus banget. Ingat di Kanada, air minum bisa langsung diambil dari keran. Tapi, di Amerika, sama nggak ya? Sebelum memutuskan minum air keran, saya baca-baca sebendel map informasi yang diberikan petugas tadi. Saya pun mendapatkan satu informasi kalau air keran siap untuk diminum. Wah, langsung saja saya ambil gelas dan minum sepuasnya.

Itu dulu untuk sementara. Nanti disambung lagi...bye bye...wassalam...

Kamis, 15 Juli 2010

NIAGARA FALLS, WOW SO LOVELY...



Subhanallah,
Keagungan itu begitu dekat
Keindahan karya terasa nyata
Menunjukkan hakikat sang pencipta

Betapa perkasa
Betapa kuasa
Takjub dalam riak gelombang
Tunduk dalam kepasrahan

Niagara Falls
Dalam deras airmu terdapat pesan
Bagi mereka yang berkenan
Menerima tanda-tanda kebesaran Tuhan.

Rabu, 14 Juli 2010

TAMU DARI PHILADELPHIA

Kemarin sore, saya kedatangan tamu spesial dari Philadelphia. Kawan satu ini sudah lama tinggal di Amerika, sekitar 3 tahun. Nuraini--demikian namanya--dan suaminya datang ke rumah untuk sekedar silaturahmi. Nuraini adalah kawan waktu kuliah di Jakarta, sama-sama mengambil program Interdisciplanary Islamic Studies (IIS). Teringat waktu masih kuliah, saya dan beberapa kawan termasuk Nur membuat study group untuk membahas berbagai materi kuliah sekaligus persiapan ujian-ujian. Terkadang, saat diskusi, ada hidangan sederhana yang dimakan bareng-bareng.
(Wow senangnya jadi anak kos...hehe)

Nur mendapat kesempatan ke Amerika melalui Fulbright untuk program guru bahasa Indonesia selama 9 bulan. Setelah program selesai, ia meminta ijin ke Fulbright untuk memperpanjang masa kontrak dengan perjanjian baru. Akhirnya, hingga kini, ia masih bisa menghirup udara bebas di Amerika dan bahkan telah menikah dengan orang Banjarmasin yang bekerja di Philadephia. Saat ini Nur sudah mempunyai anak perempuan yang lahir di Amerika. Ini berarti, anak mereka secara otomatis menjadi warga Amerika. (Wah ini jadi inspirasi untuk memperpanjang masa kunjung di US nih, tapi kayaknya nggak mungkin, soalnya harus segera balik untuk menyelesaikan disertasi...sayang banget ya...hehehe)

Semalam Nur sekeluarga nginap di rumah tempat saya tinggal. Untungnya mas Faisal tidak keberatan. Kami menggelar makan malam bersama dengan menu ala Indonesia. Uih, serasa tidak di Amerika: ketemu orang Indonesia, bicara Indonesia, dan makan masakan Indonesia. Hal ini beda banget dengan situasi ketika saya berada di Goodyear Hall atau saat berada di kampus. Tak ada seorang melayu pun dan mau nggak mau bicaranya harus casciscus alias bukan Indonesia.

Nur dan keluarga akan jalan-jalan hari ini. Sebenarnya mereka mengajak saya untuk turut serta menikmati wisata alam di New York. Tapi sayang, karena saya hari ini harus masuk kelas mengikuti kursus intensif, saya tidak bisa ikut mereka berkeliling kota. Saya pingin absen tetapii saya sudah absen sekitar 10 hari akibat visa saya yang terlambat. Jadi, malu kalau nanti dinyatakan tidak lulus gara-gara sering jalan-jalan (hehehe, sok rajin nih yeee). Tapi, saya rencananya ikut gabung jalan-jalan ke air terjun Niagara seusai kursus sore hari. Niagara adalah salah satu tujuan wisata internasional yang dimiliki Amerika. Semoga saja rencana ini dapat terlaksana. amin.

Selasa, 13 Juli 2010

CERITA DALAM FOTO

Atas saran pak Kuat (thank you, Pak Kuat), saya buat satu album tentang New York. Karena saya juga belum lama di Amerika, jadi mungkin ceritanya belum komplit. Pertama-tama, perlu saya tekankan di sini bahwa tempat tinggal saya adalah di kabupaten Buffalo, Propinsi New York. Jadi, New York itu bukan nama kota, tetapi propinsi. Untuk nama kota, ada memang, namanya New York City. Jarak antara kabupaten Buffalo dengan Kota New York sekitar 7 jam perjalanan darat. Oleh sebab itu, nampaknya saya tidak mungkin berkunjung ke patung Liberty (sayang banget ya...tapi gimana lagi...tidak ada waktu dan.....eem...biaya hehehe). Tetapi, Buffalo punya banyak keunikan dan tempat wisata terkenal di dunia, di antaranya adalah air terjun Niagara (Nigara Falls). Letaknya tidak jauh dari kampus di mana saya sekarang berada, sekitar 20 menit. Saya belum ke sana, tapi Insya Allah akan menyempatkan ke sana (kalau ini murah dan harus itu...hehehe).

Kembali ke album, dari foto-foto itu saya cantumkan sedikit informasi di bawahnya. Lengkapnya sebagai berikut. Palagan SUNY (State University of New York) Buffalo adalah bangunan semacam tiang-tiang yang terdiri dari tiga pilar. Saya belum tahu filosofinya, tetapi yang jelas, palagan itu selalu muncul di beberapa atribut kampus, seperti kartu mahasiswa dan buku panduan. Saya mengambil gambar palagan itu saat ikut menghadiri perayaan kemerdekaan Amerika tanggal 4 Juli lalu. Di tempat itu, yang bersebelahan dengan danau luas, sedang digelar pesta kembang api. Bagus banget, seperti gambar-gambar di atas.

Ada juga satu foto tentang kampus. Itu adalah salah satu gedung di kampus SUNY Buffalo bagian utara. Ada kampus lain di bagian selatan. Mahasiswa yang belajar di sini sekitar 27 ribu orang dengan jumlah mahasiswa internasional yang sangat banyak dan beragam. Sekedar info, kawan satu kelas saat ini tidak ada yang bicara bahasa melayu, apalagi Indonesia. Mereka datang dari berbagai negara, seperti Kostarika, Saudi, Senegal, China, Taiwan, Hongkong, Syiria, dan Korea. Wow...keren...

Kemudian, ada foto tentang jalan-jalan ke Rochester. Kota ini cukup terkenal dengan penemu Kodak (saingan Fujifilm) dan Xerox (jenis mesin fotokopi). Di sana saya menemui salah satu teman, lalu di ajak jalan-jalan ke Rochester View yang dapat melihat kota Rochester dari atas bukit. Cantik sekali, serasa di Gunungharjo, atau Bogor atau Batu...Di Rochester, saya sempat mampir ke rumah makan untuk sekedar nonton piala dunia yang seru itu...

Foto yang lain menunjukkan hiruk pikuk di kota Buffalo yang sedang menggelar festival makanan khas Amerika tanggal 10-11 Juli lalu. Nama kegiatan itu adalah "Taste of Buffalo" artinya rasa masakan khas Buffalo. Puluhan masakan dengan aneka rasa tumpah ruah di jalan, berkilo-kilo meter. Capek juga jalannya. Lumayan, bisa menikmati hidangan dengan prosi kecil dan harga terjangkau.

Oke...itu dulu kayaknya...cerita akan disambung dengan gambar-gambar yang lain, Insya Allah...

Jumat, 09 Juli 2010

PLUS MINUS PERKEMBANGAN MEDIA

Media informasi dan komunikasi saat ini begitu banyak jenisnya. Orang tua hingga anak-anak sudah terbiasa dengan aneka media. untuk sekedar mencari informasi, rasanya tidak perlu harus keluar rumah, bahkan tidak perlu bergeser sekalipun. Televisi misalnya, dengan remote kontrol kita bisa langsung menonton siaran berita, hiburan, hingga iklan. Dengan komputer apalagi, internet dapat diselami sesuka hati sepanjang waktu. Saat bepergian, musik dapat senantiasa didengar dengan ratusan album pilihan dalam satu perjalanan. Untuk sekedar tahu kabar saudara atau kawan, juga tidak harus mencari wartel dan mengangkat gagang telepon. Penjet nomor-nomor tujuan sudah bukan jamannya. Kini tinggal klik dan klik semua sudah dapat dilakukan. Pendeknya, media begitu lekat dengan kehidupan dengan sedikit usaha dan biaya terjangkau.

Masalahnya kemudian, dapatkah kita menggunakan begitu banyak ragam media untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan, dan iman kita? Bagaimana strategi menata hati dan pikiran sehingga selalu mampu memanfaatkan media dengan baik? Bagaimana kita mampu membentengi diri dan keluarga agar terhindar dari massifnya efek negatif dari media? Pertanyaan-pertanyaan itu jelas membutuhkan perenungan sekaligus aksi konkret dalam kehidupan kita.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu disadari bahwa media sebenarnya bersifat netral. Teknologi yang dikembangkan dengan sedekian pesat harus disikapi dengan wajar dan dewasa. Ini berarti kita harus belajar banyak untuk bisa menguasai penggunaan media secara proporsional dan profesional. Misalnya, komputer. Seberapa ahlikah kita menggunakan media komputer untuk menambah dan mengasah ilmu kita? Dalam hal mengetik, kita tentu tidak perlu lagi mencari pita atu karbon seperti yang dilakukan orang pada 10-20 tahun yang lalu. Hasil ketikan (tulisan) kita pun bisa diperbaiki setiap saat tanpa memulai dari awal. Dengan komputer (dengan segala variannya, seperti laptop atau netbook), kita bisa mengakses berbagai sumber informasi terkini, baik yang tersedia di database tertentu atau internet. Khusus untuk yang terakhir, internet yang dapat menghubungkan orang dengan dunia maya yang laur biasa besar bisa memberikan kesempatan orang untuk beribadah di satu sisi dan berbuat maksiat di sisi lain. Agar bernilai manfaat yang kemudian bernuansa ibadah, internet dapat digunakan untuk mengakses informasi yang kita butuhkan, seperti informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang kita gandrungi. Tulisan-tulisan religius juga tak kalah banyaknya. Kita bahkan bisa menanyakan apa saja kegalauan kita kepada ahlinya melalui internet. Internet benar-benar menjadi sarana pertama dan bisa jadi utama bagi seseorang yang ingin memulai dan kemudian mendalami ilmunya, tentu saja masih perlu disempurnakan dengan sumber yang lain.

Sayangnya, sarana komunikasi mutakhir saat ini sering disalahgunakan orang untuk hal-hal yang berbau dosa. Media yang tadinya sifatnya netral ditarik menjadi sarana untuk menyebar berita, gambar, atau film tak layak konsumsi. Belum lagi, sensor untuk penyalahgunaan tersebut sungguh tak mudah atau bahkan tak mungkin dilakukan. Di sinilah peran agama menjadi penting. Agama menanamkan pada diri seseorang bahwa suatu perbuatan salah bukan selalu berarti karena dilihat orang atau terdapat dalam aturan hukum negara. Perbuatan dosa itu menyangkut keyakinan dan ketulusan hati (iman dan ikhsan). Kalau kita yakin kalau agama melarang, maka dengan sekuat tenaga, apapun rayuan maksiat yang dilancarkan orang lain melalui media, tentu tidak akan berpengaruh apa-apa baginya. Ia juga tidak gentar untuk melakukan ibadah di saat tak seorang pun peduli dengan ajaran agama. Selain itu, di saat media begitu gencar digunakan untuk keperluan negatif, justru ia bangkit untuk memanfaatkan media secara positif. Dengan demikian, hatinya akan kukuh menjalankan perbuatan baik meskipun tak ada seorang pun yang mendukungnya. Juga ia tidak akan berbuat kesalahan walau tak ada seorang pun yang melihatnya. Inilah manfaat konkret ada kuatnya pemahaman agama dalam menghadapi era informasi yang begitu canggih dengan aneka media.

Alhasil, kita perlu memiliki skil dalam memanfaatkan media. Di samping itu,kita perlu bentengi diri dengan kekuatan agama. Hanya kepada Allah SWT kita bermohon dan hanya kepada-Nya pula kita bergantung. Semoga, di era teknologi informasi yang serba canggih ini, kita tidak terperosok ke jurang maksiat, tetapi sebaliknya, kita mampu memanfaatkan kekuatan tersebut untuk dakwah Islam secara kaffah. Wa Allah a'lam.

Kamis, 08 Juli 2010

INDONESIA TERNYATA LEBIH BAIK DARI AMERIKA

Indonesia ternyata lebih menyenangkan dibanding Amerika. Percaya? Kalau tidak, di sini akan saya paparkan betapa hidup di Indonesia lebih nyaman ketimbang hidup di Amerika.

Pertama, dalam hal transportasi, saya sangat kesulitan untuk bisa hanya sekedar pergi ke pasar atau swalayan. Mengapa? Karena saya tidak punya mobil. Adapun transportasi umum, jumlahnya tidak banyak dan tidak selalu melewati tempat-tempat strategis. Bus atau kereta hanya melayani rute khusus yang sangat terbatas. Alhasil, ketika mahasiswa ingin jalan-jalan, mereka lebih sering carter bis atau mobil ketimbang menggunakan fasilitas umum. Hal ini tentu berbeda dengan situasi di Indonesia. Kita bisa kemana saja dan kapan saja. Bisa pakai bis, kereta, angkot, hingga ojek. Di Amerika, tidak ada motor apalagi ojek. Hanya mobil pribadilah yang memenuhi jalan dan lapangan parkir.

Kedua, tentang telepon. Di Amerika yang luasnya lebih besar dari Indonesia, provider komunikasi hanya dua perusahaan, T-Mobile dan T&T Mobile. Alhasil, komunikasi menjadi sangat mahal di Amerika. Masyarakat tidak punya pilihan. Kemudian, sistem yang berlaku adalah langganan bulanan atau sistem kontrak. Jadi, kita tidak bisa sesuka hati beli kartu dan tidak mudah pula menemukan konter-konter isi ulang pulsa. Berbeda dengan Indonesia, provider telepon banyak sekali jumlahnya. Kita bisa memilih dan membeli kartu perdana hingga di jembatan penyebrangan sekalipun. Biaya komunikasi juga sangat murah. Aneka paket gratis juga ditawarkan. It is really amazing!!!

Ketiga, cuaca. Di Amerika sebagai salah satu negara yang memiliki empat musim, kita tidak mudah menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca yang ekstrim. Di musim panas seperti sekarang ini yang katanya musim paling menyenangkan, ternyata panasnya tidak menentu, kadang dingin, kadang panas biasa, hingga menyengat. Besok bahkan diprediksikan akan ada hujan deras. Wow, beda kan dengan hidup di Indonesia yang hanya punya dua musim, panas atau hujan. Kita tak perlu beli pakaian dingin yang mahal, sepatu boot, hingga pemanas ruangan.

Alhasil, hidup di Indonesia nampaknya lebih nyaman dan menyenangkan di Amerika. Setuju kan?

PINDAH TEMPAT TINGGAL

Setelah satu minggu tinggal di asrama, saya merasakan sepi sekali. Saya ibarat burung dalam sangkar yang sunyi. Belum lagi perubahan cuaca yang cukup ekstrim di New York. Hari ini dingin segar seperti Malang, besok panas menyengat serupa Jakarta. Meskipun begitu, saya harus betah dengan situasi tersebut. Jika tidak, misi mulia belajar bahasa di negeri Paklik Sam bisa berantakan.

Di saat galau, datang pertolongan Allah SWT yang tak saya duga. Saat Shalat Jumat di masjid, saya bertemu dengan seorang mahasiswa Indonesia yang bernama Faisal. Ia sempat menanyakan keadaan saya di asrama. Saya pun bercerita kalau di asrama saya tak punya kawan. Semua sibuk dengan kegiatannya sendiri. Mas Faisal sempat janji akan mencarikan alternatif tempat baru jika ada. Ia pun sempat menawarkan kalau-kalau saya mau pindah ke rumah kontrakannya. Katanya ada kamar kosong yang belum berpenghuni. Sekedar informasi tentang sistem yang berlaku di Amerika, jika ada rumah dengan beberapa kamar, maka kamar-kamar itu bisa dikontrakkan secara mandiri oleh pemilik rumah. Artinya, jika ada kamar kosong di rumah itu, maka siapapun bisa daftar untuk menjadi penghuni dengan menghubungi pemiliknya. Jadi, kalau saya mau, ia akan menanyakan kepada sang empunya rumah tentang boleh tidaknya saya ngontrak di salah satu kamar miliknya.

Alhamdulillah, sang pemilik tidak keberatan menerima saya meskipun hanya satu bulan. Padahal, biasanya, kontrak itu minimal untuk satu semester. Oleh sebab itu, saya patut bersyukur ternyata ada jalan untuk bisa lebih leluasa menikmati Amerika dengan panduan salah satu kawan Indonesia yang kebetulan punya mobil itu. Jika tidak, maka saya hanya termenung di kamar di saat kegiatan belajar di kampus usai.

Sekarang, saya sudah tinggal di tempat baru, Jalan Sweet Home Nomor 2021 Buffalo, NY. Saya merasa betah tinggal di rumah itu. Kamarnya bersih, berkarpet dengan AC yang nyaman. Peralatan dapur juga lengkap. Kulkas, TV, kompor listrik, dan mesin cuci telah tersedia. Kalau mau pergi belanja atau ke masjid bisa ikut mas Faisal. Sungguh, betapa banyak nikmat yang harus saya syukuri. Hamdan Laka Ya Allah...

Senin, 05 Juli 2010

SUSAHNYA MENDIRIKAN SHALAT

Selama di Indonesia, masalah shalat hanya masalah keinginan. Kalau mau, shalat bisa dilakukan di mana saja, dari kota hingga pelosok desa. Air wudhu tersedia di jutaan masjid an mushalla. Kalau dalam perjalanan, belanja atau rekreasi sekalipun, mendirikan shlat bukan perkara susah. Pendeknya, kalau adzan terdengar, shalat bisa langsung dilakukan.

Namun, berbeda dengan kondisi di Amerika. Seperti kata Mas Yas, di negara sekuler ini harus pandai mengatur diri sendiri. Tak ada adzan, tak banyak masjid, tak mudah menemukan mushalla. Jadi, kalau sedang bepergian, waktu shalat sering begitu saja lewat tanpa bisa berbuat apa-apa.

Masalah ini sebenarnya sudah saya rasakan semenjak meninggalkan Jakarta. Tatkala berada di Bandara Changi, Singapura, saya tidak mudah melaksanakan shalat. Saya harus bertanya kepada pada petugas Bandara, kalau-kalau ada semacam prayer room atau worship room. Alhamdulillah, saya pun bisa menemukan ruang tersebut di salah satu pojok bandara. Agak sulit juga menemukan ruang terpencil ini. Tetapi, senangnya bisa shalat dengan normal.

Kemudian, ketika sampai di Jepang, saya tak dapat menemukan tempat semacam itu. Juga, saat mendarat di San Fransisco. Saya sempat bertanya kepada salah satu petugas konter informasi, tetapi hasilnya nihil. Yah...terpaksa salat sebisanya dengan cara seadanya.

Kini ketika saya di New York, bayangan saya benar-benar seperti kenyataan. Saya akan sering dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit. Mau shalat tetapi tak ada tempat shalat dan tak ada tempat wudhu. Kalau bepergian, jelas tak mudah menjaga shalat. Akhirnya, saya masih sering menjalankan shalat dengan dijama saat sampai di rumah. kalau sekarang masih mungkin karena masih tergolong musafir, tetapi kalau udah lebih dari satu minggu (ada sih yang berpendapat 3 hari, satu bulan, hingga selama di luar tempat tinggal termasuk musafir), saya agak sulit kalau masih juga menjama' shalat.

Masalah lain yang saya hadapi terkait dengan shalat adalah soal waktu. Di sini, waktu shubuh adalah pukul 4 pagi, pukul 5.30 udah terang benderang. Lalu dhuhur, pukul 13.30, ashar 17.30, maghrib, 21.00 dan isya 23.00. Jadi, ashar itu waktunya sama dengan magrib di Indonesia, lalu shalat isya itu waktunya sudah larut malam di saat mata udah ngantuk. Bangun-bangun udah subuh. Untungnya saat ini saya masih mengalami jetleg sehingga saat malam sulit tidur karena biasanya pada saat tersebut saya biasanya sedang aktif melakukan kegiatan. tetapi jika nanti sudah terbiasa dengan jam malam, maka bisa jadi shalat Isya saya sering tergadaikan. Saya hanya berdoa, dengan kekuatan-Nya serta luas pengampunan-Nya, saya masih bisa mendirikan shalat sebagaimana mestinya. Amin.

SUKA DUKA TINGGAL DI APARTEMEN

Tinggal di apartemen ternyata tak selamanya enak. Memang, saat datang, ketersediaan penginapan yang siap huni sangat membantu. Bayangkan, jika pihak kampus tidak memesankan satu kamar untuk saya, tentu saya akan terlantar di saat tiba di tengah malam. Saya patut bersyukur, namun, hampir seminggu ini saya seperti berada di dalam sangkar. Tak ada teman, tak ada kawan. Kalaulah ada kawan yang sama-sama menginap di apartemen, mereka tentu memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Saya pun tak bisa sesuka hati mengganggu mereka.

Untungnya, saya dapat mengontak satu kawan Indonesia yang sedang belajar di sini. Namanya Mbak Nuning. Dialah orang yang paling berarti di hari-hari pertama di negeri asing ini. Saya diantar untuk keliling Buffalo untuk membeli ricecooker agar saya bisa hidup normal kembali. Wow, dengan punya alat memasak nasi itu, saya sekarang bisa masak sayur dan goreng ikan di dapur umum apartemen. Selain itu, saya juga diantar ke konter T-Mobile untuk membeli kartu perdana yang aturannya sama sekali berbeda dengan provider di Indonesia. Dengan kartu itu, komunikasi dengan keluarga dapat lebih mudah terjalin dengan biaya terjangkau. (Untuk kawan-kawan yang ingin kontak, silakan dicatat nomor saya: +1 716 235 6042. Kalau nelpon dari Indonesia lebih murah dari pada nelpon dari Amerika. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan kode 01016 lalu nomor 17162356042. Ini khusus untuk pengguna indosat. satu menit sekitar Rp 1000)
Ada kejadian yang mengejutkan baru-baru ini. Dua hari yang lalu, sehabis shalat Jumat, saya pulang dan ingin istirahat. Baru saja merebahkan diri dan mulai mengantuk, tiba-tiba terdengar suara lonceng keras di kamar melalui speaker yang memberitahukan bahwa ada kebakaran di salah satu bagian apartemen. Uh, saya yang masih lemes lari tunggang langgang dari lantai lima melalui tangga. Bagaimana tidak panik, suara itu benar-benar keras dan mengharuskan seluruh penghuni keluar untuk menyelamatkan diri. Setelah di luar, saya duduk terdiam, sambil mengamati para petugas pemadam kebakaran yang mulai berdatangan. Mata masih ngantuk akibat jetleg.
Tak lama kemudian, para petugas itu meninggalkan lokasi. Lho? Ternyata, tidak terjadi apa-apa, mungkin tadi alat pendeteksi kebakaran menangkap ada asap mengepul di salah satu bagian apartemen. Dengan perasaan kesal dan kecewa,saya pun kembali ke kamar. Jantung pun masih berdebar. Itulah salah satu konsekuensi tinggal di apartemen besar yang pengamanannya sangat ketat.

Saya nampaknya akan mencari tempat baru untuk lebih dekat dengan kawan-kawan Indonesia. Kemarin, saya ketemu lagi dengan mahasiswa Indonesia di sini. Namanya mas Faisal. Dia menawarkan diri untuk mencarikan tempat tinggal yang lebih dekat dengan rumahnya. Harganya juga lebih murah. Moga saja dalam waktu dekat, saya bisa mendapatkan penginapan baru yang lebih baik.

Sabtu, 03 Juli 2010

JADI DUTA BANGSA, REALLY?

Sejak di New York, saya harus beradaptasi dengan banyak hal.
Kawan-kawan kursus berasal dari berbagai negara, China, Taiwan, Hongkong, Costarica, Turki, Saudi, Senegal, dan masih banyak lagi.
Ternyata banyak yang belum tahu dimana letak Indonesia.
Wow, saya harus menjelaskan dengan semangat 45 agar bangsa yang besar itu dikenal generasi muda berbagai negara
Serasa jadi duta bangsa nih
Promosi kekayaan alam, budaya, dan karakter bangsa

Jumat, 02 Juli 2010

HARI PERTAMA DI NEW YORK

Senang campur sedih, begitulah kira-kira perasaan saya ketika saya memasuki asrama kampus, Goodyear Hall. Saya senang karena saya telah selesai melakukan panjang menyeberangi lautan dan benua yang luas, hampir separuh bumi saya lewati. Ketegangan-ketegangan kecil yang terjadi selama berada di setiap bandara yang saya singgahi pupus sudah. Tempat yang sebelumnya seperti jauh dan mustahil dikunjungi kini sudah di depan mata. Kekhawatiran tentang keamanan sesampai di bandara terakhir Buffalo-Niagara di tengah malam telah hilang. Allah SWT telah menurunkan rahmat dan bantuan-Nya melalui tangan-tangan banyak orang. Begitulah, saya bisa mendapat kunci kamar di saat orang-orang sedang lelap tidur termasuk petugas jaga pada pukul 00.30 dini hari.

Pagi, pukul 5 saya sudah bangun. Hari masih gelap dan saya pun melakukan shalat shubuh. Karena tidak bisa tidur lagi, saya memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kampus untuk sekedar menghilangkan penat duduk 30 jam di pesawat. Pemandangan kampus SUNY Buffalo masih asri, banyak pepohonan dan lapangan rumput. Jalan-jalan masih lengan, maklum hari masih pagi. Udara dingin menyengat begitu saya keluar gedung, persis seperti di Kota Batu. Di sini, cuaca masih terpengaruh musim semi yang baru berakhir. Sekarang, di musim panas, kampus sedang libur panjang sehingga suasananya tidak terlalu ramai.

Gedung kampus terlihat unik. Semuanya berwarna coklat dan berbentuk balok dan kubus. Tidak ada atap seperti gedung-gedung di Indonesia. Tak ada warung dan toko di sekitar kampus. Juga tidak ada perumahan warga yang biasa ditempat mahasiswa. Benar-benar murni kampus. Kalau ada warung, itu bukan kaki lima, tetapi toko besar dengan fasilitas supermarket atau rumah makan. Jadi, mereka berada di dalam kampus di ruang-ruang tertentu.

Setelah cukup berkeliling, saya balik ke kamar untuk siap-siap ke tempat kursus. Saya tidak tahu harus kemana karena masih buta dengan peta kampus. Saya akhirnya bertanya ke petugas asrama untuk menunjukkan lokasi kursus. Ternyata, saya harus naik bus sekitar setengah jam menuju kampus Utara. O ternyata SUNY Buffala ini punya dua are kapus, Utara dan Selatan. Asrama saya kebetulan berada di wilayah selatan.

Sesampai di kampus utara, saya bingung lagi. Gedung-gedungnya sangat banyak dan saya harus menuju Baldy Hall yang entah dimana lokasinya. Saya pun bertanya kepada beberapa orang dan ahirnya saya bisa sampai di gedung tersebut. Di tempat kursus, saya menemui Kathy yang selama ini kontak via email. Ia begitu gembira menyambut kedatangan saya yang memang ditunggu-tunggu. Saya mendapat sejumlah dokumen dan instruksi seputar kursus. Saya diajak Kathy keliling kampus sambil ditunjukkan pos-pos kegiatan yang akan saya lalui. Saya juga diajak ke ruang administrasi utuk membuat kartu mahasiswa, UB Card namanya.

Setelah cukup lengkap petunjuk dari Kathy, saya pun diarahkan untuk segera membuka rekening di M & T Bank. Saya pun mencari lokasi bank milik kampus itu. Cukup lama juga saya berjalan-jalan mengitari gedung-gedung kampus sambil tanya sana-sini. Akhirnya, sampai juga saya di bank tersebut.

Setelah itu, saya mampir ke pusat belanja milik kampus, TOPS namanya. Di swalayan itu, saya beli penggorengan, telur, roti, dan kebutuhan harian. Wah, saya bisa masak nih. Sayangnya saya belum bisa beli ricecooker untuk masak nasi. Terpaksa deh, makan roti dengan telur ceplok. hehehe. tapi lumayan, setidaknya saya bisa lebih irit dan sehat dalam memilih makanan.

Kesimpulannya, kari pertama berlalu dengan baik, kartu nama, rekening bank, dan keperluan makanan dapat saya peroleh dengan baik. saya masih tidak masuk kursus karena disarankan Kathy untuk istirahat. Besoknya, saya baru mengikuti kursus di English Language Institute (ELI) SUNY Buffalo yang sebenarnya telah dimulai seminggu yang lalu.

SEKILAS CERITA SAAT MASUK PORT ENTRY DI SAN FRANSISCO

Saat saya menginjakkan kaki di bumi Amerika, saya mulai khawatir akan sulitnya urusan imigrasi di Port entry, San Fransisco. Banyak berita beredar bahwa seorang pendatang dari negara yang masih dicurigai sebagai sarang teroris, termasuk Indonesia, akan dipersulit untuk meneruskan langkah ke proses selanjutnya. Saya yang sebelumnya sudah berstatus “pending visa” tentu wajar jika nantinya akan masuk daftar orang yang patut dicurigai. Meskipun begitu, mendarat setelah perjalanan panjang 6 jam dari Singapura ke Jepang, lalu 9 jam dari Jepang ke Amerika, saya harus tetap mengucap syukur karena telah selamat menyentuh bumi kembali. Badan yang lelah, mata yang sulit dipejamkan, hati yang berdebar, mengiringi tapak kaki untuk memasuki area imigrasi.

Petugas yang kebetulan lumayan ramah menyampaikan beberapa pertanyaan. Saya pun menjawab sejujurnya dengan energi yang tersisa. Saya harus diambil gambar dan sidik jari. Kemudian, sang petugas menyilakan saya untuk masuk ke ruang khusus untuk wawancara kedua. Ini ternyata persis dengan banyak cerita kawan bahwa saya tidak begitu saja langsung mengambil bagasi. Di ruang inilah, banyak kawan yang kemudian ketinggalan pesawat gara-gara prosesnya yang berbelit dan lama. Saya pun pasrah mengikuti prosedur ini.

Masuk ruang ‘secondary interview” saya diminta untuk mengisi formulir yang isinya berupa sejumlah pertanyaan tentang latar belakang keluarga, termasuk nama ayah, nama ibu, pekerjaan, dan kontak kawan di Amerika. Setelah semua lengkap saya diarahkan menuju ruang wawancara. Di sana ada dua petugas, satu perempuan dan satu laki-laki.Petugas yang memproses saya adalah petugas laki-laki yang namanya sulit saya lupakan, yakni Ngliyen, yang mirip dengan nama kecamatan tempat IAIN Walisongo berada, yakni Ngaliyan. Tentu saya tidak bisa tertawa tatkala menyadari hal itu. Saya harus konsentrasi menjawab sejumlah pertanyaan yang kemudian diluncurkan.

Peserta yang kebetulan hanya saya diminta maju untuk menjelaskan sejumlah dokumen dan formulir isian. Saya ditanya tentang banyak hal, seperti siapa yang mensponsori, berapa lama akan tinggal, apa yang akan dikerjakan, dan alamat tinggal.Tak lama kemudian, saya diminta untuk meletakkan jari telunjuk kanan untuk pengambilan sidik jari. Setelah itu saya diambil foto degan membawa berkas NSEERS yang diletakkan di dada. Setelah semua selesai, saya pikir, saya masih harus menjalani proses selanjutnya. Ternyata dokumen saya yang sudah disahkan diserahkan kembali dengan secarik kertas I-94 yang menerangkan bahwa saya boleh tinggal di Amerika sampai batas waktu yang ditentukan oleh pihak Fulbright. Wah, alhamdulillah, senangnya hati ini karena saya bisa melanjutkan perjalanan ke New York yang masih butuh 5 jam lagi dengan dua kali penerbangan, ke Chicago dulu, baru ke Buffalo New York. Tetapi, sudah terbayang bahwa saya akan lancar tanpa harus repot mengurus penerbangan yang tertunda. Saya langsung menuju Gate keberangkatan yang cukup jauh. Kaki sempat kram dibuatnya. Tapi tak masalah, saya sudah sah masuk Amerika.

Introduction