Jumat, 20 Maret 2009

QUO VADIS GERAKAN ZAKAT DI PERGURUAN TINGGI


Dua tahun yang lalu seminar regional bertema ”Peranan Pendidikan Tinggi dalam Membangun Peradaban Zakat Asia Tenggara” berlangsung di UIN Malang. Pada seminar itu hadir para akademisi dan praktisi zakat, tidak hanya dari Indonesia, namun juga beberapa pakar zakat dari Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Seminar yang dibuka oleh Menteri Agama, M. Maftuh Basuni, membicarakan tentang pengembangan zakat di Asia Tenggara, salah satunya melalui pintu perguruan tinggi. Sayangnya, tidak terlalu banyak pembicara yang membincang tentang bagaimana perguruan tinggi memainkan peran dalam membangun peradaban zakat secara mendalam di zaman sekarang.

Perguruan tinggi merupakan istitusi tertinggi dalam jenjang pendidikan formal. Di tempat ini, berkumpul para pemikir dan para ahli di berbagai disiplin ilmu yang berjuang melahirkan generasi-generasi handal masa depan. Para profesor dan dosen bersama mahasiswa giat melakukan kegiatan-kegiatan yang telah menjadi agenda utama perguruan tinggi yang terangkum dalam Tri Darma Perguruan Tinggi: Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat. Ketiga komponen ini merupakan tonggak pemancang kemajuan sebuah bangsa. Bila salah satunya terabaikan, otomatis perjalanan roda kehidupan akan kurang maksimal.

Dalam hal pengembangan zakat, selama ini tugas untuk mengkaji dan mencari terobosan baru masih dimonopoli oleh praktisi agama. Mereka dianggap oleh masyarakat sebagai kelompok yang kompeten sekaligus berkepentingan dengan zakat. Apalagi, zakat membutuhkan tenaga teknis yang dianggap tidak perlu berlatar pendidikan formal seperti perguruan tinggi. Tak ayal kalau masalah zakat cenderung menjadi perbicangan terbatas dalam majelis taklim, masjid, atau mushalla. Jarang sekali ditemukan diskusi zakat di lembaga-lembaga formal. Hal ini bisa dimaklumi bahwa masalah zakat adalah urusan pribadi karena sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Orang yang tidak berzakat juga tidak mendapat hukuman sosial yang tegas. Kondisi ini ditambah lagi dengan konsep zakat yang masih dipahami terbatas sebagai zakat fitrah sehingga cukup diurus pada bulan ramadhan saja, tidak lebih dari itu. Pengelolaannya pun jauh dari kata profesional. Kalau kemudian ada ulama atau tokoh agama yang menganjurkan penunaian zakat pada bidang-bidang tertentu, apalagi yang tergolong baru seperti zakat profesi atau investasi, tentu respon masyarakat tidak seperti yang diharapkan.

Perguruan tinggi yang dikenal sebagai agent of social change (agen perubahan sosial) seharusnya tidak berdiri di atas menara gading. Perguruan tinggi harus secara tanggap memberikan jalan keluar untuk mengatasi problema yang berkembang di masyarakat. Persoalan kemiskinan dan ketidakmerataan kesejateraan perlu mendapat porsi yang signifikan dalam program-programnya. Salah satu cara mujarab menyesaikan masalah tersebut adalah memaksimalkan piranti ekonomi yang dimiliki masyarakat, antara lain melalui gerakan zakat. Perguruan tinggi harus mampu menawarkan konsep sekaligus langkah praktisnya dalam pengembangan zakat di Indonesia. Berikut ini akan dijabarkan langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan perguruan tinggi dalam mengimplementasikan Tri Dhama Perguruan Tinggi.

Pertama, dalam pengembangan zakat, pendidikan di perguruan tinggi memegang peranan yang signifikan dalam hal diseminasi konsep zakat. Ada beberapa cara perguruan tinggi dalam mengenalkan konsep zakat kepada mahasiswanya. Kampus yang berasaskan Islam akan memasukkan kajian zakat sebagai salah satu mata kuliah yang ditawarkan sedangkan perguruan tinggi berbasis umum akan menyelipkan materi zakat dalam kajian ilmu agama Islam. Pada gilirannya, para sarjana dengan minat yang tinggi pada manajemen zakat akan menjadi generasi profesional zakat. Ini merupakan kemajuan yang nyata dalam pembumian ajaran zakat di perguruan tinggi.

Bagi lembaga perguruan tinggi yang berbasis umum, bukan berarti mereka tidak bisa menjadi agen penyebar informasi zakat, mereka justru bisa menjadi pengelola zakat dari penerimaan hingga pendistribusiannya. Universitas Brawijaya Malang, misalnya, telah menunjukkan peran signifikannya di bidang zakat dengan mendirikan Lembaga Zakat, Infak dan Sedekah (Lagzis). Dengan demikian, mahasiswa dan mungkin juga dosen dan karyawan, yang ingin mendapatkan informasi tentang seluk-beluk zakat dapat langsung menghubungi pusat zakat di kampus mereka.

Pemahaman mahasiswa akan ajaran penting ini akan mendorong mereka untuk mendalami lebih lanjut melalui forum kajian Islam yang berkembang di kampus. Pengajian-pengajian rutin yang diselenggarakan oleh pelbagai masjid kampus khususnya bulan Ramadhan sering membahas materi zakat. Ini merupakan langkah yang harus selalu dikawal dalam menciptakan akademisi yang ‘melek’ zakat dan suatu saat akan menjadi muzakki yang taat.

Kedua, Perguruan tinggi juga dapat berperan sebagai penyedia tenaga profesional amil zakat. Dalam konteks pengembangan zakat, sumber daya manusia yang memiliki kecakapan di bidang zakat sangat dibutuhkan. Mereka tidak hanya mengetahui tapi menguasai secara mendalam. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang jelas untuk menyediakan tenaga profesional. Dalam operasional zakat, banyak dibutuhkan kualifikasi sumber daya manusia yang terstruktur. Moh. Arifin Purwakananta, sebagai contoh, telah memetakan struktur SDM pengelola zakat. Struktur kebutuhan SDM profesi manajemen zakat tersebut dapat digambarkan dalam bentuk piramida dengan lima komponen, yakni ekspertis atau ahli utama, manajemen atau ahli, tenaga pelaksana, tenaga terampil, dan kelompok terakhir adalah pembantu pelaksana.

Ketiga, penelitian merupakan salah satu pilar pengembang keilmuan secara universal. Di kampus, penelitian telah dinaungi oleh sebuah lembaga, semisal lembaga penelitian dan pengembangan. Di perguruan tinggi tertentu, kegiatan penelitian telah rutin diprogramkan melalui anggaran tahunan untuk memberi kesempatan kepada setiap dosen mengembangkan keilmuannya. Juga para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir studinya dituntut untuk melakukan sebuah penelitian sebagai bukti kesarjanaannya.

Dalam mengembangkan zakat, perguruan tinggi dapat memulai untuk menstimulasi mahasiswa melalui tugas-tugas sederhana terkait dengan fenomena masyarakat dewasa ini. Misalnya, problem kemiskinan yang hingga kini tetap menjadi isu aktual di Indonesia dan kiat-kiat efektif penanggulangannya. Mereka dapat menelaah kejadian-kejadian seputar kesenjangan sosial-ekonomi yang berada di sekitar mereka, baik melalui media elektronik maupun cetak. Hasil penelitian semacam itu dapat dijadikan acuan untuk menggali dan mendayagunakan dana umat secara nyata dan meyakinkan.

Salah satu muara dari program penelitian, kampus dapat menjadikan ajang penelitian sebagai sarana untuk membidik masalah yang benar-benar dihadapi masyarakat sehingga mudah untuk memberikan solusi yang dibutuhkan. Kegiatan ini lazim disebut Participatory Action Research (PAR). Dengan PAR, pengabdian masyarakat perguruan tinggi tidak salah sasaran karena berbasis penelitian.

Keempat, Kegiatan Penyuluhan Sadar Zakat ini sangat mudah dilakukan oleh kampus-kampus yang memiliki tenaga ahli di bidang agama, khususnya zakat. Misi ini dapat diselipkan dalam setiap dakwah dilakukan di majelis taklim atau pengajian yang tumbuh subur di masyarakat. Masyarakat lebih mudah mendapatkan pencerahan melalui siraman rohani yang fleksibel, artinya penyuluhan informal yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah mempunyai posisi di hati masyarakat.

Langkah konkret lain yang dapat dilakukan perguruan tinggi adalah mengumpulkan zakat dari para muzakki baik dari kalangan kampus maupun masyarakat yang berkecukupan. Peran penelitian dalam pemetaan potensi zakat kampus dan lingkungan sekitar akan bermanfaat dalam penjemputan zakat dan pendistribusiannya. Dengan demikian, kampus yang selama ini masih dianggap sebagai dunia lain oleh masyarakat awam akan semakin terasa manfaatnya untuk kemajuan umat. Semoga!

Kamis, 12 Maret 2009

THE RELATION BETWEEN RELIGION AND ECONOMY

A Study on Weber’s Thesis and Sufism Views


Abstrak

Seringkali dijumpai di masyarakat umum sebuah pandangan bahwa konsep agama dan aktifitas ekonomi tidak mempunyai relasi yang kentara. Agama yang diekspresikan oleh para pemeluknya di satu sisi cenderung menfokuskan diri pada kegiatan yang bersifat ritual suci dan ukhrawi sedangkan ekonomi memiliki corak profan yang kental. Namun, dalam sejarah dapat dicermati bahwa agama ternyata memiliki peran yang signifikan dalam membangunkan umatnya dari tidur panjang yang sebenarnya telah membelenggu dan menjebak mereka dalam kemunduran peradaban. Untuk itu, dalam tulisan ini dipaparkan pemikiran Weber tentang etika Protestan yang menyimpulkan adanya relasi positif antara agama dan perkembangan ekonomi. Begitu pula, pemikiran kaum sufi—yang konon lebih suka hidup zuhud—diwakili Witteveen yang mengambil pemikiran gurunya, Inayat Khan, perlu mendapat perhatian khusus. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pengikut Tarekat Syaziliyyah dan Shiddiqiyyah merupakan contoh konkret peran nyata kaum sufi dalam memkombinasikan antara semangat keagamaan dan aktifitas keduniaan.

A. Religious Values and Economic Behaviors

Most people are of the opinion that there is an essential contradiction between religion and economics. Economic science focuses on material activities, such as, how to get the maximum satisfactory life on the earth through better facilities and services. In contrast, religion leads human attention to the opposite direction: God and life in the hereafter. In short, religion is concerned with humankind’s inner life whereas economics is related to the outer life.

The way a religion deals with a worldly agenda tends to vary. Witteveen[1] shows that there is a strong emphasis in Buddhism on the short-term character of the outer life, for instance, birth and death. The samsara (illusion)[2] is the real. Peace and salvation are only available in eternal and everlasting truth, which is realized in Buddha. Thus, the Buddha’s tenet is “extinguish in yourselves every desire that antagonizes Buddha, and in the end of your spiritual evolution you will become like Buddha”.[3] In contrast, in the Bhagavad Gita of Hinduism, there is a gospel, urging people to act in the world. However, the work should be carried out without attachment to the results of the work.[4]

Islamic doctrines tell Muslims that life in the hereafter is much preferable to that in the world. This belief leads them to leave the worldly life.[5] It is more valid if the observation is led to examine the life style of Sufis. Nevertheless, in the current development, some Muslims introduce Islamic economics in order to reconstruct economic ideas and practices by virtue of Islamic values.[6]

In addition, Christianity emphasizes that followers’ goal of work is to reach heaven. Some restrictions on economic programs were enforced in medieval Christianity, particularly the Catholic. Religion had to be superior to worldly activities, for instance, science, ethics and economics. Scientists, such as Galileo and Copernicus were the victims of this rigidly religious understanding. As a result, the development of market capitalism, as a part of worldly development, was challenged.

B. Max Weber’s Thesis

For more than half a century the question, whether the Protestant Reformation and especially its Calvinist branch have a significant influence upon the development of modern capitalism, has been a point of scholarly controversies since 1904-5 with the publication by the famous German sociologist, Max Weber.[7] He published two articles entitled “Die Protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus” (The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism) and “Die protestantische Sekten und der Geist des Kapitalismus” (The Protestant Sects and the Spirit of Capitalism), which appeared in 1906.[8] John Calvin (1509-1564), who introduced Calvinism, as described by Max Weber, showed a close relationship between religion and economics. He used Protestantism as his basis of arguments. Calvin believes that God is beyond people’s imagination that people can never reach him. The divine transcendence of God and humankind is separated by an unbridgeable valley, which excludes the possibility of contact with God. Therefore, they had to turn their attention to the outer life. Weber explained that the Christian ascetic left their monastery and got involved in economic activities. Calvin spread his “theology” and the doctrine of predestination. An individual has to believe that God has chosen him; otherwise he/she would be eternally in hell. The best indicator that they were chosen would be if one worked actively in a calling. Such a calling could be taken into account by the faith caused by God’s grace. Weber defines a calling as

“…a religious conception, that of a task set by God, is at least suggested. The more emphasis is put upon the world in a concrete case, the more evident is the connotation.”[9]

Hence, the concept of calling is something, which a person has to accept a divine ordinance, to which he/she must adapt. In further developments, orthodox Lutheranism emphasized that worldly duties were no longer subordinated to ascetic ones.[10] This faith would encourage people to attain some confidence and produce a powerful religious spirit to work hard and accumulate capital. Consequently, interests and benefits are no longer alien to traders. This spirit has influenced effectively in the Protestant milieu. Fukuyama[11] proves that in Latin America, the growth of Protestantism was correlated to significant rise in hygiene, savings, and education as well as per capita income.[12]

The discussion of Weber’s findings about a correlation of Protestantism (Calvinism) and capitalism is worth noting. Almost immediately following their first appearance, numerous articles attracted the interest of scholars in several different fields because, in its various aspects, the Weber’s hypothesis intersects a number of separate scholarly disciplines. Since Weber was himself as a sociologist, and in this instance he seemed to be attempting to apply a sociological method to a historical problem, both sociologists and historians became concerned. The role Weber assigned to Protestantism drew the attention of both Catholic and Protestant theologians. Some of these scholars attacked Weber’s position; some supported it; some seemed willing to accept a modified version of it. However, if one may judge by what they have written, the authors who commented upon Weber’s work, whether supporting or attacking it, or misinterpreted either Weber’s method or his conclusions, or both.[13]

There are some challenges to Weber’s theory. Sandra Pierotti classifies the criticisms into two major categories: first, Capitalism was a growing force before the reformation and that it would have flourished as well under Catholicism as under Protestantism. Second, the driving force behind capitalism was not ascetism but rationality. Robertson, a historian at the University of Cape Town, asserted that the Roman Catholic Church and the Protestant churches stressed the same principles in the 16th and 17th centuries.[14] He stated that Weber’s assertion that the concept of the “calling” was novel to supports his thesis.[15]

Amintore Fanfani, disagrees with Weber concerning the role that Protestantism played in the development of a capitalist spirit in Europe. He states

“Our investigations have led us to the conclusion …that Europe was acquainted with capitalism before the protestant revolt. For at least a century capitalism had been an ever-growing collective force. Not only isolated individuals, but whole social groups, inspired with the new spirit, struggled with a society that was not yet permeated with it.”[16]

In 1909, a German scholar, F. Rachfall, attacked the Weber’s thesis by arguing that capitalism was much older that Protestantism and that other factor were far more important that Protestantism in bringing about the development of modern capitalism. Three years later, Ernst Troelstch’s impressive work, Die sozialen Lehren der cristlichen Kirchen und Gruppen (The Social Teaching of the Christian Churches)[17] appeared. Troeltsch accepted Weber’s notion of the relationship of Protestantism to Capitalism.[18]

Sombart concludes that the evolution of modern capitalism had begun earlier than people commonly believe. In 1911, Sombart published Die Juden und das Wirtschaftsleben (translated into English as The Jews and Modern Capitalism) in which he argues that the social attitudes and economic practices associated with Judaism had been the primary sources of the spirit of capitalism. Sombart found himself the target of a critical barrage, one of the chief critics being Max Weber. But in 1913 Sombart proceeded to publish an entire book devoted to the study of the spirit of capitalism. This work, entitled Der Bourgeois, was translated into English in 1915 with the title, the Quintessence of Capitalism.[19] Although Sombart’s view of the problem and his method of treating it are very similar to Weber’s, their conclusions tend to disagree. [20]

“Religion and the rise of Capitalism” by H.R. Tawney was published in 1926 which represents the view of an economic historian. While Tawney accepts Weber’s view that there was a causal relationship between the Protestant reformation and the rise of capitalism, Tawney, nevertheless, insists that Weber’s emphasis on the unique role of Calvinism in generating the new spirit of Capitalism is inadequate to explain the broad overall relationship between Protestantism and Capitalism. Tawney tends to place more emphasis on the causative role of the whole Protestant movement as well as general political, social and economic conditions during the sixteenth and seventeenth centuries.[21] In short, Weber’s idea is still interesting to discuss and never disappears.

C. The Views of Sufism on Economy

Sufism--in Witteveen’s view is mysticism—may seem very unworldly to many people. He states that many Islamic Sufi orders in the past focused very strongly on the inner life, the search for God, often neglecting the world. However, Witteveen shows that Inayat Khan, a great Indian mystic and musician, brought a new universal Sufi inspiration to the world at the beginning of the last century. Inayat Khan, calling Sufism “religion of the heart,”[22] promotes the inner unity of all religious ideals and establishes an inspired worldview surrounding it. The Sufi movement makes no propaganda, meaning that the answer can only be given to those in whom the question arises (the owner of the question). In this book, Witteveen strives to describe how the Sufi Movement brings the two essential aspects of life together: spiritual growth and worldly achievement (action in mediation or meditation in action). He follows Inayat Khan’s notion that worldly attainment is a path to spiritual development.[23]

Witteveen hopes we can be active in the material world and still remain faithful to our religious or spiritual ideals and attend to the divine spirit. We can make real progress on the spiritual path without turning away from the world. Universal Sufism may show how this is possible in personal life and make individual work more beneficial. He also believes that Inayat Khan’s concept will influence the world. The more people begin to work in this spirit, the more the capitalist market economy gradually will be spiritualized. As a result, numerous unhealthy and unfair features of market capitalist will be overcome. The idea of universal Sufism is of great importance for developing countries, which are often caught between their religious values and negative effects of market capitalism.[24]

The Sufi ideal is to combine the inner and the outer life: to be active in the world, for instance politicians and economics, and at the same time to be inspired by attuning to the divine ideal. The important thing is balance between these two aspects of life because the inner light can motivate worldly activities.[25]

In his book, Witteveen raises some questions dealing with Sufism in action: (1) how does the new universal Sufi inspiration fit into the present world, in our thinking and culture; (2) how can it influence our active life? (3) what contribution could it make by stimulating a more balanced and harmonious development of the globalized world economy?

Witteveen traces the development of western worldview over the past centuries and notes many great progresses in many areas, but this has left serious problems and fundamental confusion (not organized outlook on the world). The western market economy has produced rapid growth in welfare for modernized countries but also imbalances and dangerous effects on nature and the environment. It triggered a great gap in welfare between the industrial world and the masses of poor people in developing countries. Consumerism potentially undermines moral and social values, which provide meaning for a well-functioning society.

Therefore, a new religious inspiration, which has a mystical spirit, is needed, as a path for personal contact to God. It should offer a comprehensive thought that is in line with science as well as it is universal that accommodates various religions by describing their inner mystical core. This inspiration also has to overcome the antinomy between religion and economics, leading to a new spirituality in action.[26] However, Witteveen’s statement that imbalances and dangerous effects on nature and the environment result from the western market economy should be reconsidered. There are many factors leading to the negative effects of modernization, such as human greediness and cultural clashes which may trigger several wars.

In another part of his book, Witteveen explains how universal Sufism can begin to influence the economy, showing that action and meditation can go together in one’s life. How one can be spiritually inspired while working in the world. This will have a soft transformation on the market economy that can be described as the spiritualization of the market economy. Universal Sufism illustrates how religious and spiritual inspiration may motivate people to work, particularly in economy. That motivation, which brings integrity and harmony into the economy, could replace religious restrictions that create handicaps to economic development, leading to poverty and unemployment. The ultimate purpose of the journey is concluded in Inayat Khan’s words: “Make God a reality and God will make you the truth.”[27]

Unfortunately, Witteveen does not show the real example how a Sufi order gets involved in worldly life. No evidence occurs in any part of his writing. Thus, it is essential to observe some active Sufi orders, for instance, the Tarekat Shādhiliyya in Kudus and the Tarekat S}iddīqiyya in Jombang.

Different from common impression in Sufi life, the Shādhiliyya’s followers have high-working motivation. They have a business network among adherents. However, Mulkhan and Mu’tashim assert that they economic activities have not expanded due to the influence of some tarekat values, which stress the essential function of wealth, work, and social interaction for the hereafter life.[28] The pattern is also applied in the way they seek knowledge and education. Unfortunately, they hold the education internally, which leads most of them have not attained high education.

The followers of the Tarekat Shādhiliyya are not different from common people in terms of appearance and kinds of jobs. They work mostly in the garment industry. The number of the followers with whom Mulkhan and Mu’tashim interviewed in Damaran, Kudus, Central Java, is nineteen people: ten of them working in the garment industry, one in cleaning tools production, one in jenang (a kind of snack) production and one in warung (canteen). Six of them are the workers and laborers in the garment industry.

In terms of the function of the house, the Shādhiliyya followers in Damaran use their houses as center of production. The house is not merely the place to relax or dwelling but also the workplace and production. Therefore, the house of the Shādhiliyya are full of merchandise, also, a place for transaction as well as the place for employee’s work.

For the houses that are not used for production, the house is used for a warung, so that the function of a house is as a commercial center. In the house, they are involved in many things. For them who work in the garment industry, they determine the model of production and designs. Some of them are sewing and finishing. The Shādhiliyya followers play a role as majikan (owners), leaders and workers. The relationship between the majikan (owners) and the workers is not rigid. The owners give the workers the chance to apply their creativity in production as long as they can finish their work on time.

Besides houses, the other important places are markets and Chinese shops. Markets for them are the places for selling products while Chinese shops are the places for getting the raw materials. Their production depends on their activities in both places. If they cannot get the required materials as the buyer demands, the production will decrease or even stop until the materials are available. In contrast, if the raw materials are available, they can fulfill market demand and develop their production in terms of quality and availability and distribution.

By and large, the garment owner continues their parents’ business. Therefore, they are not interested in being civil servants because their parents are traders. However, because they are businesspeople, their experience uncertainty in life which leads to their dependence on the murshid’s baraka (prayers). It is like cocok-cocokan (in Geertz’s word: fittingness).[29] If they are cocok, they can be successful. In contrast, if they are not cocok, even though they work hard, they can go bankrupt.

In an uncertain life, they are urged to find spiritual power through murshid’s grace. Thus, the tarekat is the preferred path to solve the doubtful life. They believe that baraka of the tarekat can help them succeed in their business. They say that their life is in God’s hand. Their beliefs encourage them to consult with the murshid when they have a problem. Then, the murshid shows them the solution. They receive doa (prayer) or amalan (recitation) as the way to solve the problem by expecting Allah’s help. By visiting the murshid, they get the spiritual power, which strengthens self-confidence. For instance a trader of the tarekat who wants to go to Jakarta, they drop in murshid’s home first. In their concept, it is not acceptable to be an arrogant trader since a trader does not know whether their goods will be sold well. Because of the murshid’s prayers and Allah’s grace their merchandise are well sold. Hence, the murshid is their patron whereas they are the clients. They feel anxious when they do not receive restu (grace, prayer) from the murshid.[30]

Next, the Tarekat S}iddīqiyya in Jombang organizes some economic activities, such as the manufacture of fresh water by the Maaqo Corporation. The quality of the Maaqo water can be observed from machines that filter it: RO (Reverse Osmosis) machine.[31] According to Fuad, director of the Maaqo Corporation, this machine is conducive for filtering high quality water since it has no heavy metal (Total Dissolved Solid (TDS) = 0).[32] Up to now, this manufacturer produces about 500-1000 boxes of water each day. Its omzet in 2004 was approximately 1.1 billion rupiahs.

In the case of the S}iddīqiyya, there are some religious reasons (excluding tarekat teachings)[33] based on Islamic values behind the economic activities of the tarekat. First reason why this tarekat gets involved in social welfare programs is the teaching of murshid about the interpretation of Qur’anic verses. For instance, the murshid suggests all murīd to comprehend surā Jumu`a/62: 10,[34] which orders Muslims to spread out and get involved in social life after prayers. Also, from surā al-Mā`ūn/107: 1-7,[35] the murshid interprets that the religious liars and praying forgetters are people who do not help the poor and the orphans. Thus, the murshid ordains all murīds to be active in any angle of social life, particularly economic activities. However, these verses are also accessed by other Muslims. Some preachers often quote the verses in their speeches but rarely implement the concepts, on the contrary, the murshid of the S}iddīqiyya deliberately instructs the followers to take the spirits and apply them into action. It can be shown in their programs, for instance, establishing several social foundations including the Yayasan Z{ilāl al-Mustad}‘afīn (translated as the Poor’s Umbrellas Foundation) and The Yayasan Berkat Rahmat 17 Agustus (translated as the Blessing of 17 August Foundation). The S}iddīqiyya, then, is similar to Muh}ammadiyya or Nahd}a al-‘Ulamā’ which have several foundations in several fields rather than other tarekats, such as Tarekat Qādiriyya wa Naqshabandiyya, in Indonesia.

Another economic motivator for the S}iddīqiyya followers is their philosophy reflected in their motto “wud}ū’, s}alāt, and masyarakat (ablution, prayer, and society)”. Ablution is a way to clean the human body, both within and without (lahir batin) while prayer is a way to establish harmonious relations between human beings and God. Finally, society is a place for life on earth, so it should be well provided for as a reflection of their prayers.[36] The other slogan is santri, which is taken from two words: insan (person) and tri (three), meaning a person who has three promises: to make a harmonious relationship with God, humankind and universe. It is shown that the S}iddīqiyya is creative to introduce a concept by extracting Islamic values into simple phrases. The followers can fast remember the ideas and implement them in their daily life.

The other interesting interpretation introduced by the S}iddīqiyya which may motivate the followers to be active in economy is the meaning of prayer (s}alāt). Prayer in their conception has two meanings. First, prayer is considered as a means to prohibit people from doing bad and dangerous things (known as al-fakhshā’ wa al-munkar). Second, prayer is regarded as a blessing for all humankind and the universe (known as rahma li al-`ālamīn). The latter suggests that members of this tarekat have to be active in promoting the social welfare and harmony. Their prayers, then, are meaningless if they do not have social sensitivity. In other words, if they want to solve the problems of society, including economic inequity, prayer in the second definition is a promising solution. Thus, prayer is a powerful motivator driving tarekat members to get seriously involved in earthly activities.

To understand the pattern of economic activities of the S}iddīqiyya, Max Weber hypothesis is chosen. Weber describes a close relationship between religion and economics using Protestantism as his basis of arguments. Calvin, one of Protestant figures whom Weber observes, believes that God is beyond people’s imagination that people can never reach him. Therefore, they had to turn their attention to the outer life. If an individual would not be eternally in hell, he/she has to believe that God has chosen him/her. The best indicator that they were chosen would be if one worked actively motivated by a calling, which is a religious conception set by God, or at least suggested. This faith would encourage people to attain some confidence and produce a powerful religious spirit to work hard and accumulate capital. Consequently, interests and benefits are no longer alien to Protestant traders.

There is a similarity between the Protestants whom Weber observed and the S}iddīqiyya followers. Weber concludes that the Protestants worked hard because they were motivated by Calvin’s idea of calling which might be considered as religious motivation. Likewise, the S}iddīqiyya followers are motivated to be involved in economic activities because they have to be beneficial Muslims to surroundings as reflected in their slogans above. Nevertheless, there are two differences between the Protestants and the S}iddīqiyya followers. First, the motivation of the Protestants to work hard and accumulate capital was because they wanted to show that they were chosen and had the right to live in heaven. Nevertheless, the S}iddīqiyya followers are involved in economic activities due to their intention to be beneficial creatures, as one requirement to get closer to God. They will never successful in their spiritual travel to God unless they have a social sense. They do not care whether they will enter heavens or hells since God’s love is their goal. Second, the Protestants tended to leave religious life and focused more on world affair by opposing the Catholics. However, the S}iddīqiyya still keep its character as a part of Islamic community and perform various obligatory rituals, such as prayers and fasting.

From the description above, it may be inferred that although there are many factors contributing to economic activities, religious values play a significant role in shaping the worldly views of adherents. The Protestants observed by Weber and the Muslims, particularly the Sufis, which are commonly associated with ‘people of the hereafter,’ are the examples showing that there is a harmonious relationship between religion and economic activities.

REFERENCES

Abdul Hamid, Ahmad Fauzi, “New Trend of Islamic Resurgence in Contemporary Malaysia: Sufi-Revivalism, Messianism, and Economic Activism,” Studia Islamika, vol. 6, No. 3, 1999.

Burhani, Ahmad Najib, Sufi Kota, Berpikir Jernih menemukan Spiritulaitas Positif, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001).

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan 1999).

Dhofier, Zamakhsyari, The Pesantren Tradition, the Role of the Kyai in the Maintenance of Traditional Islam in Java, (Arizona: the Program of Southeast Asian Studies, 1999).

Eliade, Mircea (at.al.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster McMillan, 1993), vol 3.

Fakhry, Majid, An Interpretation of the Qur’an, English Translation of the Meanings, a Bilingual Edition, (New York: New York University Press, 2004).

Fanfani, Amintore, Catholicism, Protestantism and Capitalism, (New York: Sheed and Ward Inc., 1955).

Geertz, Clifford, The religion of Java, (Chicago: The University of Chicago Press, 1976).

Green, Robert, Protestantism and Capitalism, the Weber Thesis and Its Critics, (Boston: D.C. Heath and Company, 1959).

Hudson, Winthrop S., “Puritanism and the Spirit of Capitalism” ,Church History, vol XVIII (March, 1949).

Jarry, David and Julia Jarry, The Harper Collins Dictionary: Sociology, (New York: Harper Perennial, 1991).

Kartodirdjo, Sartono, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel, a Case Study of Social Movements in Indonesia, (S_Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966).

Kuper, Adam and Jessica Puper (ed.), The Social Science Encyclopedia, (New York: Routledge, 2001).

Laan R.J.I. Ter, “Sanūsī Revivalism as Part of the Fundamentalism tradition in Islam”, in Ziadeh, Nicola A., Sanusiyyah, A Study of a Revivalist Movement in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983).

Mu’tashim, Radjasa and Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998).

Peacock, James L., Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam, (California: University of California Press, 1978).

Pirotti, Sandra, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Criticisms of Weber’s Thesis. (Unpublished paper).

Rahma, Awalia, Sufi Order and Resistance Movement: The Sanūsiyya of Libya,1911-1932, Master Thesis, (Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, 1999).

Robertson, H.M., A Criticism of Max Weber and His School, (London: Cambridge University, 1933).

Sombart, Werner, The Quintessence of Capitalism, translated by M. Epstein, (New York: E.P. Dutton & Co., 1915).

Tawney, R.H., Religion and The Rise of Capitalism, (Harcourt, Brace and Company, Inc., 1926).

Trimingham, J. Spencer, The Sufi Order in Islam, (Oxford: Oxford University Press, 1973).

Troeltsch, Ernst, The Social Teaching of the Christian Churches, (New York: Macmillan Company, 1950).

Weber, Max, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (London and New York: Roudledge, 2001).

Witteveen, H.J., Sufism in Action, Achievement, Inspiration, and Integrity in a Tough World, (London, Vega, 2003)

Ziadeh, Nicola A., Sanusiyyah, A Study of a Revivalist Movement in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983).

The Relation Between Religion and Economy: Study on Weber’s Thesis and Sufism Views



[1] He was born in a Sufi family, and was initiated to a Sufi order, the inner school of the Sufi movement when he was eighteen. He followed a worldly career as a professor of economics, then as minister of finance in the Netherlands, in international cooperation as managing director of the International Monetary Fund. And finally, he has been an advisor or director of a number of Dutch international companies. See Witteveen, Sufism in Action, (London: Vega, 2003), p. 7.

[2] Samsara is a Sanskrit word meaning ‘to wander’ or ‘pass through a series of states or conditions.’ It is the name for the theory of rebirth in three major indigenous Indian religion: Hinduism, Buddhism and Jainism. Samsara is the beginningless cycle of birth, death and rebirth. See Mircea Eliade (at.al.), The Encyclopedia of Religion, (New York: Simon & Schuster McMillan, 1993), vol 3, p. 56.

[3] To reach that level, we have to apply eight paths: right of comprehension, right of resolutions, right speech, right acts, right way of earning a livelihood, right efforts, right thoughts, and the right state of peaceful mind. In connection with these, self-interest and attachment to earthly pleasures have to be solved.

[4] It means that we have to act with self-control and reject the fruits of the work. The purpose of doing the duty is self-satisfaction, regardless of economic consideration, since the duty is connected to their being as member of caste system. The caste-system, some people say, is an impediment to economic development. See Joel Beversluis, Sourcebook of World’s Religions, (California: New World Library, 2000), p. 11-17 for Buddhism and p. 50-59 for Hinduism.

[5] The verse of al-Qas}as} (28): 77, “But seek, thanks to what Allah gave you, the Hereafter, and do not forget your proposition on the herebelow. Be charitable, as Allah has been charitable to you, and do not seek corruption in the land; for Allah does not like the seekers of corruption.” See Majid Fakhry, An Interpretation of the Qur’an, English Translation of the Meanings, a Bilingual Edition, (New York: New York University Press, 2004), p. 396.

[6] Timur Kuran, for example, argues that Islamic economics aims at preventing Muslims from taking over the western economic system. See Witteveen, op. cit., p. 49. He refers to Timur Kuran’s work entitled “the Discontent of Islamic Economy morality”, in American Review, May 1996. Witteveen disagrees with Kuran arguing that avoidance of western economic system will slow down economic growth or will arrange hypocrisy, such as interest on deposits is masked as ‘commission’.

[7]Weber studied law as a young man and became a jurist. His career was altered, however, by the appearance of an article he wrote on German agricultural labor, which led to his appointment to the Faculty of Political Economy at the University of Freiberg. He began teaching at the University of Heidelberg in 1897 and later joined the Faculty of the University of Munich.

[8] In these articles Weber admitted his debt to the great economic historian, Werner Sombart, who, in his well-known study, Der Moderne Kapitalismus, published in 1902, has stressed the importance of what he called “the spirit of capitalism” (der Geist des Kapitalismus) as a guiding force in the evolution of modern capitalism. Accepting Sombart’s hypothesis that there was such a thing as a “spirit of capitalism” and that its role had been crucial to the development of the modern capitalistic economy, Weber that went on to speculate as to the origin or source of this special “spirit.” In his essay, Weber proposed the tentative thesis that this crucial element had appeared as a kind of by-product of religious ethic of Calvinism. See Robert Green, Protestantism and Capitalism, the Weber Thesis and Its Critics, (Boston: D.C. Heath and Company, 1959), p. vii.

[9]Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (London and New York: Roudledge, 2001), p. 39.

[10] Ibid., p. 45.

[11] Quoted by Witteveen from Trust: The social Virtues and the Creation of Prosperity, London, 1995.

[12] In the case of Islam, Peacock promotes the concept of Islamic “Protestant” ethic. He shows after doing research in Malaysia, Singapore, and Indonesia, that the reformists’ psychology is rationalized. They interpret Islamic doctrine in actual actions, such as in the field of education and economy. In contrast, the syncretists’ psychology is not rationalized. They still conduct slametan (a kind of feast) and petungan (a mode of coordinating ritual or other events with the cosmos). See James L. Peacock, Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam, (California: University of California Press, 1978), p. 195-196.

[13] Robert Green, op. cit., p. vii.

[14] See Robertson H.M. Robertson, A Criticism of Max Weber and His School, (London: Cambridge University, 1933), p. 10-45.

[15] Sandra Pirotti, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Criticisms of Weber’s Thesis, Unpublished Paper, p. 3.

[16]Amintore Fanfani, Catholicism, Protestantism and Capitalism, (New York: Sheed and Ward Inc., 1955) p. 183.

[17] Published in an English translation, by Olive Wyon in 1931.

[18] See Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches, (New York: Macmillan Company, 1950), p. 641-650.

[19] See Werner Sombart, The Quintessence of Capitalism, translated by M. Epstein (New York: E.P. Dutton & Co., 1915), p. 236-262. By the time the Quintessence of Capitalism had joined the lengthening shelf of studies on the relationship of Protestantism to Capitalism, the problem had become a sort of scholarly conflict. Anyone who criticized the Weber’s thesis, for example, could be fairly confident that himself would be criticized in turn; but the critic-or the critic of the critic-might be either pro-Weber of anti-Weber, historian or economist, sociologist or theologian, Catholic or Protestant, Jew or agnostic, Christian sociologist or Marxist. Furthermore, the valuations placed upon the Weber’s thesis by many of the authors seemed to reflect with unfortunate frequency the economic orientation or the religious affiliation (or lack of it) of the writer involved. If the critic was an admirer of capitalism, he might maintain his particular religious faith had stimulated its development. If, on the other hand, the critic was hostile to capitalism, he perhaps would disavow any possibility that his religion had provided an impetus to capitalistic evolution. The Weber’s thesis, as a result, has become, in some instances, the victim of partisan contention.

[20] Robert Green, op. cit., p. viii.

[21] Not everyone, by any means, has been satisfied with Tawney’s approach to the problem. Winthrop S. Hudson, in an article entitled “Puritanism and the Spirit of Capitalism” which appeared in the journal, Church History, criticized Weber’s concept of Calvinism as oversimplified and considers Tawney’s characterization of Puritanism to be a distortion. Hudson was particularly concerned about the manner in which Tawney made used the writings of seventeenth century Puritan preachers to support his argument. See R.H. Tawney, Religion and The Rise of Capitalism, (Harcourt, Brace and Company, Inc., 1926), p. 79-100 and Winthrop S. Hudson, “Puritanism and the Spirit of Capitalism,” Church History, vol XVIII (March, 1949) p. 3-16.

[22] It seems like Pietist, a new reform movement of Lutheranism orthodoxy.

[23] Witteveen, op. cit., p. 7. In modern world, many people seek spiritual tranquility through Sufism modified in some ways. In Jakarta, Paramadina under Nurcholish Madjid’s leadership is one of the popular organizations developing spirituality among urban people. Also, Amin Syukur with his institution, is concerned on this matter. See Najib Burhani’s book describing the phenomenon of Sufi Kota (Urban Sufism), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001).

[24] Witteveen, op. cit., p. 9.

[25] Witteveen has several experiences; his Sufi practices helped him to maintain his inner balance during periods of great activity and heavy responsibility. They also made the work easier to finish. He could concentrate on the work and keep a particular distance to avoid excitement and intoxication. Money in his view may become intoxication. People may become captured by greed and always wanting more without really needing it. Hence, money can enslave an individual, and block spiritual progress as shown by capitalist market system. Ibid., p. 11-12.

[26] Ibid., p. 12-13.

[27] Ibid., p. 13.

[28] Radjasa Mu’tashim and Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), p. 177-178. In Malaysia, it can be seen that Dār al-Arqām—dispersed, however, in 1994 due to its ‘misleading’ tenets—successfully combined Sufi-Revalism and economic Activism. See Ahmad Fauzi Abdul Hamid, “New Trend of Islamic Resurgence in Contemporary Malaysia: Sufi-Revivalism, Messianism, and Economic Activism,” Studia Islamika, vol. 6, No. 3, 1999.

[29] Clifford Geertz, The religion of Java, (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), p. 91

[30] Mu’tashim and Mulkhan, op. cit., p. 208-210. The Sanūsiyya as represented by King Idrīs al-Sanūsī was still politically dominant in Libya. Idrīs had been accepted as King of Libya after Libya’s Independence in 1951. Support for Idrīs had for the most part come from those sections of society where the old feelings of tribal and religious solidarity were still unquestioned. The Cyrenaicans and Tripolitanians still looked upon Idrīs as the scion of a pious dynasty and as a hero who had participated in Libya’s fight for freedom from Italian domination with his Sanūsi army of Libyan exiles. Nevertheless, during his reign, Idrīs had contributed to the dissociation of religious and political authority in the Sanūsiyya. In 1916 he had assumed political control of Cyrenaica, while his cousin Ah}mad al-Sharīf remained religious head of the Sanūsiyya Sufi order. After Libya’s confirmation as a kingdom under the Sanūsiyya, Idrīs’s reign began to tend towards a moderate secularism. In the new laws of independent Libya no special position was accorded to the Sanūsiyya as a religious organization. Attempts were also made to abolish the shari’a court. Nicola A. Ziadeh, Sanūsiyyah, A Study of a Revivalist Movement in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983), p. 134. Also see Awalia Rahma, Sufi Order and Resistance Movement: The Sanūsiyya of Libya,1911-1932, (Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, 1999), p. 48. She states that this tarekat has an important role in economy, which was interconnected with the commercial pursuits including trading, providing security for storage and exchange, opening warehouses to goods in transit or awaiting sale, and maintaining the caravan route. R.J.I. Ter Laan, “Sanūsī Revivalism as Part of the Fundamentalism tradition in Islam”, in Ziadeh , op. cit., p. 143-144. Kartodirdjo says that the tarekat was an excellent means of organizing the religious movement and of performing the indoctrination of revalistic ideals. There were three tarekats were of signicance in 19th century Java: Qādiriyya, Naqshabandiyya and Sat}āriyya. Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel, a Case Study of Social Movements in Indonesia, (Sgravenhage: Martinus Nijhoff, 1966), p. 157.

[31] This machine is commonly used by the Navy. One type of bottled water using this machine is Cleo.

[32] It is different from other popular products, for instance, TDS of Aqua is around 150 while that of Total about 140. Many stories are told to support the features of the Maaqo, for instance, the story from a doctor in Tulung Agung, East java, that he tells a patient, who does not have any money to buy medicine, to consume the Maaqo regularly. As a result, sickness of patient gradually decrease and he becomes healthy. Many people than believe that the Maaqo has magical power to cure any illness since the murshid has inner power by reciting prayers to that water.

[33] It is difficult to distinguish between religious values and the S}iddīqiyya teachings. Some people from the S}iddīqiyya see that both religious values and the S}iddīqiyya teachings are the same. They argue that the S}iddīqiyya teachings are rooted to Islamic values. However, in this thesis, the meaning of religious values are the norms and beliefs which are commonly known by Muslims because these values are taken from the Qur’ān and hadīth. Without being a Sufi, Muslims know that Islam keep balance between life in the world and life in the hereafter. The economic values can be studied from Islam. In contrast, The S}iddīqiyya teachings are concerned with bay‘a and khalwat, which are explained in Chapter Three, and only the murīds who may access and practice these teachings.

[34] ) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَصِرُوْا فِى اْلأَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوااللهَ كَثِيْرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ“Then, when prayer is over, spread out throughout the land and seek some of Allah’s Bounty, and remember Allah often, that perchance you might prosper,”) Majid, op. cit., p. 568.

[35]أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (“Have you seen him who denies the judgment? (1) It is the one who pushes the orphan around (2) And does not urge the feeding of the destitute (3) Woe unto those who pray (4) Those who are oblivious of their prayer (5) Those who dissimulate (6) And forbid benefaction (7).”), Ibid., p. 634.

[36] Personal interview with Muchammad Munif, a khalifa, on 5 December 2003.

Sabtu, 07 Maret 2009

MASYARAKAT DAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM

A. PENDAHULUAN

Manusia sejak lahir telah bergaul dengan manusia lain di dalam wadah yang bernama masyarakat. Itulah sebabnya kemudian manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Semakin meningkat usianya, manusia semakin tahu bahwa dirinya tidak dapat berbuat sekehendak hatinya. Hal ini karena kehidupan di dalam masyarakat berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian besar masyarakat dipatuhi dan ditaati sebagai pegangan. Hubungan-hubungan antarmanusia serta antara manusia dengan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai dan kaidah sehingga perilakunya semakin lama semakin melembaga dalam pola tertentu (Soekanto, 2004: 1).

Hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hubungan antar warga masyarakat sebagian besar diatur oleh akidah hukum, baik yang tersusun secara sitematis dan dibukukan atau kaidah-kaidah yang masih tersebar serta pola-pola perikelakuan yang dikualifikasi sebagai hukum. Hukum secara sosiologis, dalam pandangan Soekanto (2004: 4) adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.

Hukum di masyarakat ada yang terhimpun dalam suatu sistem yang disusun secara sengaja sesuai dengan pembidangannya. Di Indonesia misalnya, hukum yang mengatur perdagangan terhimpun dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang, begitu pula hukum yang mengatur segala kegiatan agraris dalam masyarakat telah terhimpun dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Sistem hukum tersebut biasanya mencakup hukum substantif dan hukum ajektif yang mengatur hubungan antarmanusia, antara kelompok manusia, dan hubungan manusia dengan kelompoknya.

Pola hubungan manusia dan hukum menjadi obyek kajian yang tak pernah habis dalam sosiologi hukum. Sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses. Dalam hal ini, ahli sosiologi menaruh perhatian besar kepada hukum yang bertujuan untuk mengkoordinasikan aktifitas warga masyarakat serta memelihara integrasinya. Di sinilah kemudian, pikiran Durkheim tentang masyarakat dan hukum menemukan relevansinya dalam pembahasan ini.

Tulisan ini mengulas seputar masyarakat dan hukum yang lebih menekankan kepada pikiran Durkheim. Pada bagian awal akan dipaparkan definisi masyarakat dan hukum. Selanjutnya, pikiran Durkheim tentang masyarakat dan hukum akan diuraikan apa adanya sebagaimana disampaikan Turkel (t.th.: 26-33) dalam bukunya, Law and Society, Critical Approaches. Terakhir, pikiran tersebut akan digunakan untuk memotret masyarakat Indonesia saat ini. Sedikit catatan di sini bahwa istilah masyarakat didahulukan daripada hukum dengan alasan mengikuti logika Durkheim—salah satu tokoh Sosiologi yang tentu cenderung menggunakan kerangka pikir sosiologis dalam setiap langkah ilmiahnya—yang berargumen bahwa tipe masyarakat adalah penyebab pemilihan tipe hukum dan bukan sebaliknya.

B. PEMBAHASAN

1. Definisi Masyarakat dan Hukum

Masyarakat atau “society” dalam kamus Sosiologi karya David Jary dan Julia Jary (1991: 467) dimaknai sebagai totalitas dari hubungan manusia (the totality of human relationship). Secara lebih lengkap Jary mendefinisikannya sebagai sekelompok manusia yang berkuasa atas diri mereka, memiliki wilayah tertentu, memiliki budaya dan lembaga yang unik, seperti kelompok manusia Badui atau sebuah negara yang kokoh semisal Indonesia.[1] Adapun Soejono (1977: 24) sambil mengutip Anderson dan Parker, mengartikan masyarakat sebagai hidup bersama antar manusia yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu a) adanya sejumlah orang-orang, b) tinggal di suatu daerah, c) mengadakan hubungan satu dengan lain secara tetap dan teratur, d) memiliki sistem hubungan antara manusia, e) terikat karena memiliki kepentingan bersama, f) bekerja sama, g) mengadakan ikatan, h) mempunyai solidaritas atau perasaan berbagai rasa, i) sadar akan saling bergantung, j) membentuk norma-norma, dan k) membentuk budaya.

Adapun hukum memiliki definisi yang banyak dan belum ada kata sepakat dari para ahli hingga kini. Namun, setidaknya hukum dapat diartikan sebagai sistem peraturan dan sanksi, institusi para ahli, atau para ahli itu sendiri[2] (Jary and Jary, 1991: 477).

Diakui bahwa definisi-definisi di atas diambil dari buku-buku yang lahir belakangan. Hal ini bukan berarti dimaksudkan untuk mengaburkan makna masyarakat dan hukum sesuai dengan konteks di mana pikiran Durkheim lahir. Akan tetapi, makna masyarakat dan hukum nampaknya tidak mengalami perbedaan yang signifikan antara masyarakat yang dipahami Durkheim dengan pemahaman kontemporer seperti tercermin dalam bukunya, the Division of Labour in Society. Dengan demikian, pikiran Durkheim masih relevan dan dapat digunakan untuk membidik situasi masyarakat saat ini dengan beberapa modifikasi.

2. Pikiran Durkheim tentang Masyarakat dan Hukum

a. Sekilas Biografi Durkheim

Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, pada tanggal 15 April 1858 (Ritzer dan Goodman, 2004: 24). Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh. Ayah dan kakeknya adalah Rabi (pendeta Yahudi) namun kehidupan Durkheim sendiri cenderung sekular.

Pendidikan formal Durkheim antara lain adalah École Normale Supérieure (ENS) yang ia masuki pada 1879. Banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson, menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis di kemudian hari. Di ENS, Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya (www.wikipedia.com).

Ketertarikan Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh faktor politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Sebagian orang menganggap pendekatan Katolik dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang melemah di kawasan Eropa. Durkheim sebagai bagian dari komunitas Yahudi dan aktifis sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Sikapnya sebagai seorang aktivis antara lain dipengaruhi oleh Peristiwa Dreyfus yang terjadi pada 1894 (www.wikipedia.com).

Berdasarkan sejumlah buah penanya, Parson menilai bahwa Durkheim dapat dikatakan sebagai salah satu dari dua pendiri utama Sosiologi modern selain Max Weber. Di dalam empat karya utamanya yang diawali dengan the Division of Labour in Society[3] (1893) dan diakhiri dengan the Elementary Forms of Religious Life[4] (1912), ia membangun suatu kerangka yang luas untuk menganalisis sistem sosial yang tetap merupakan bidang sentral Sosiologi (Parson dalam Durkheim, 1991: xliv). Namun, di bidang hukum, Turkel berani menjulukinya sebagai pionir dalam studi hukum dan masyarakat, yang kemudian dikenal dengan Sosiologi Hukum (t.th: 26).[5]

Hasratnya terhadap ilmu semakin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku di antaranya adalah tentang pengalamannya selama tinggal di Jerman. Penerbitan bukunya itu membantunya untuk mendapatkan jabatan di jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887 (Ritzer dan Douglas, 2004: 24).

Tahun-tahun berikutnya ditandai dengan serentatan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan disertasinya yang berjudul the Division of Labor in Society dalam bahasa Prancis dan tesisnya tentang Mostesquieu dalam bahasa Latin. Buku metodologi utamanya, the Rules of Sociological Method[6] terbit tahun 1895, kemudian disusul oleh bukunya Suicide[7] tahun 1897. Sekitar tahun 1896, ia menjadi profesor penuh di universitas Bordeaux. Kemudian, tahun 1902 ia mendapatkan kehormatan mengajar di Sorbonne. Tahun 1906 ia menjadi profesor Ilmu Pendidikan yang kemudian diubah menjadi profesor Ilmu Pendidikan dan Sosiologi pada tahun 1913. Buku terakhirnya yang sangat terkenal the Elementary Forms of Religius Life terbit tahun 1912 (Ritzer dan Douglas, 2004: 24).

Di usianya yang ke-59, Durkheim meninggal pada tanggal 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis masyhur. Tetapi, karya Durkheim mulai mempengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun kemudian setelah kematiannya, seiring terbitnya the Structure of Sosial Action (1973) karya Talcott Parsons (Ritzer dan Douglas, 2004: 25).

b. Masyarakat, Solidaritas, dan Hukum

Dalam rangka menjelaskan sebab-sebab perkembangan hukum, pembahasan seputar tipe-tipe masyarakat dan teori-teori yang menjelaskan proses yang menentukan suatu masyarakat memilih tipe tersebut dan bagaimana mereka menjalin hubungan satu sama lain nampak sekali urgensinya. Masyarakat bagi Durkheim adalah pijakan awal bagi lahirnya sebuah hukum. Untuk selanjutnya, pada bagian ini akan banyak diungkap pikiran Durkheim melalui tulisan Turkel seputar hubungan masyarakat dan hukum.

Dalam pandangan Durkheim, demikian Turkel memulai, hukum dan masyarakat dapat dipahami sebagai sebuah proses perkembangan dari bentuk sederhana menuju bentuk yang kompleks. Seiring berubahnya masyarakat dari bentuk organisasi yang simpel menuju bentuk yang kompleks, hukum pun berubah menjadi kompleks dan luas. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, hubungan ekonomi dan pasar semakin banyak dan melibatkan banyak orang. Teknologi semakin berkembang dan berubah dengan cepat, pekerjaan manusia semakin spesifik, dan anggota masyarakat semakin individual. Hukum pun menjadi tersebar luas dan secara institusional menjadi regulator khusus bagi interaksi sosial. Hukum berkembang melebihi sanksi kriminal yang represif bagi pelanggaran keyakinan moral[8] agar dapat menyelesaikan masalah yang lebih banyak variannya serta tidak terlalu banyak melibatkan emosi (Turkel, t.th.: 28).

Kita dapat melihat apa yang terjadi di Cina pada tahun 1970-an. Pada tahun tersebut, Cina melakukan modernisasi ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan industri. Pada Desember 1978, pleno ketiga dari Komite Sentral kesebelas Partai Komunis Cina (the Eleventh Central Committee of the Chinese Communist Party), partai utama di Cina, memulai proses reformasi agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Para pemimpin mereka mengutamakan pengembangan pasar ekonomi daripada strukturisasi produksi dan distribusi barang. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan pasar bagi produk pertanian, mendorong kepemilikan bisnis di kota-kota, dan membawa sistem harga yang sesuai dengan bunyi kontrak dan minat pasar.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, lebih dari 3.000 hukum muncul atau dirubah sejak tahun 1979 sampai 1989. Hukum yang mengatur kontrak, barang-barang pribadi, pajak, akuntansi, hak paten, investasi asing, dan aneka isu kegiatan ekonomi bermunculan. Seiring dengan hubungan ekonomi yang lebih kompleks dan ekspansi hukumnya, profesi hukum menjadi lebih berkembang. Pada tahun 1982, terdapat 10.000 orang ahli di bidang hukum di Cina, lalu pada pertengahan tahun 1985, terdapat 14.300 mahasiswa yang mendaftar di 35 institut dan fakultas hukum. Selain itu, lebih dari 3.000 kantor advokat didirikan dan menjelang tahun 1988, terdapat 27.000 orang yang berprofesi pengacara (Turkel, t.th.: 29).

Perubahan di Cina menunjukkan kompleksitas ekonomi yang kian tinggi berjalan seiring dengan kompleksitas hukum yang lebih variatif pula. Namun menanggapi hal ini Durkheim lebih menekankan kepada hubungan organisasi sosial (social organization) daripada organisasi hukum. Untuk memperoleh penjelasan lebih lengkap, Durkheim kemudian menganalisis perbedaan organisasi sosial yang menjadi penyebab perbedaan tipe hukum di masyarakat yang dijembatani oleh solidaritas sosial (social solidarity) (Turkel, t.th.: 29).

Kalimat solidaritas sosial diartikan sebagai harapan tertentu (expectation) dan terus-menerus yang diciptakan masyarakat secara bersama.[9] Harapan yang dimiliki secara merata ini dapat menyebabkan masyarakat menikmati dunia mereka tanpa ragu. Mereka dapat berinteraksi secara normal dalam kehidupan yang stabil. Sebagai contoh, setiap pukul 07.00 pagi, seorang ibu biasa menyiapkan semangkok bubur sereal untuk sarapan bersama anak perempuan yang masih berumur 2 tahun. Mereka, mengeluarkan sereal dari kotaknya secara bersama-sama dan mengambil susu di kulkas. Bentuk interaksi ini telah berjalan berbulan-bulan dan telah menjadi salah satu bentuk harapan, atau seperti kebiasaan, bagi anak perempuan itu. Pada suatu saat, sang ibu kehabisan sereal atau susu sehingga anak perempuannya tadi kemudian bereaksi dengan tangisan yang memilukan nan penuh kemarahan. Harapan dia tentang dunia telah dirusak, dan dia merasa sedih (Turkel, t.th.: 29).

Harapan yang dibangun bersama yang menyebabkan solidaritas dalam masyarakat telah mengakar melalui bentuk asosiasi yang dimiliki secara kolektif dalam masyarakat. Dalam ranah rumah tangga atau hubungan dengan para sahabat dan rekan kerja, kita dapat mengembangkan rasa saling percaya, saling berbagi, dan saling bergantung. Kita menjadi saling membutuhkan bantuan, antara lain dalam hal menjaga rahasia dan bekerja sama (Turkel, t.th.: 29).

Bentuk asosiasi masyarakat yang berbeda menyebabkan solidaritas yang berbeda pula. Harapan kita kepada orang yang kita kenal berbeda dengan harapan kita kepada orang asing. Semakin lama jalinan hubungan kita, semakin kuat pula harapan yang kita cipta. Juga, semakin intim hubungan kita, semakin sakit rasa hati jika kita dikhianati. Ketika rahasia kita dibongkar oleh kawan dekat, kita akan kehilangan solidaritas yang sangat menyakitkan (Turkel, t.th.: 29).

Solidaritas pada level hubungan interpersonal juga dapat diaplikasikan kepada sebuah masyarakat. Di sebuah masyarakat tertentu harapan telah dibangun dari generasi ke generasi yang dapat menyebabkan masyarakat melakukan kehidupan harian yang stabil. Di sini, bentuk asosiasi yang berbeda diekspresikan melalui institusi dan norma khusus, termasuk norma dan institusi hukum. Hukum dapat menjaga bentuk asosiasi dan solidaritas sosial (Turkel, t.th.: 29).

Lebih jauh, Durkheim membuat dua bentuk dasar solidaritas masyarakat: mekanik dan organik. Secara singkat, hubungan bentuk organisasi sosial, solidaritas sosial, dan hukum yang timbul dapat dicermati dalam tabel berikut.

No

Organisasi Sosial

Solidaritas

Hukum

1

Masyarakat Sederhana

Solidaritas Mekanik

Hukum Represif

2

Masyarakat Kompleks

Solidaritas Organik

Hukum Restitutif

Solidaritas mekanik (mechanical solidarity) menjadi karakter masyarakat sederhana. Masyarakat ini jumlahnya masih relatif kecil, teknologinya juga masih sederhana, seperti peralatan yang menggunakan tangan dan pembagian kerja yang ramping. Interaksinya lebih banyak didominasi dengan tatap muka dan diikuti dengan berbagi keyakinan agama. Hubungan sosial dalam tipe ini dibentuk oleh keyakinan terhadap peninggalan budaya leluhur. Orang menganggap diri mereka sebagai bagian dari keluarga besar yang saling bergantung satu sama lain dalam proses tumbuh dan mempertahankan hidup. Mereka berbagi dalam pengalaman hidup masa lalu dan menganggap mereka memiliki nasib yang sama (Turkel, t.th.: 30).

Solidaritas sosial bersandar pada bentuk asosiasi dan harapan yang membuat seseorang menyerupai sesamanya. Karena mereka secara terus-menerus saling bertemu muka dalam interaksi yang sederhana dengan menggunakan peralatan yang sama pula, mereka dapat membangun keyakinan yang sama tentang nenek moyang dan nasib. Dalam berinteraksi, mereka menganggap diri mereka sebagai anggota masyarakat satu keluarga ketimbang individu yang terpisah yang ingin mengejar tujuan personalnya (Turkel, t.th.: 30).

Dalam masyarakat sederhana, pengalaman hidup harian bersama dapat meyakinkan pandangan umum mereka tentang dunia. Di sana terdapat konsensus tentang pandangan benar dan salah yang diterapkan tanpa banyak alasan. Pelanggaran terhadap moralitas konsensus umum cenderung menyakiti perasaan masyarakat secara keseluruhan dan menggugah emosi mereka. Hal yang sama sebenarnya juga dirasakan si pelanggar, karena ia sangat bergantung kepada masyarakat untuk identitas diri dan dukungan material (Turkel, t.th.: 30).

Karena bentuk organisasi sosial yang masih sederhana, solidaritas mekanik sering diungkapkan dalam bentuk hukum yang sangat moralistis. Hukum menggambarkan kemarahan komunal yang dimiliki masyarakat jika ada pelanggaran terhadap keyakinan dan harapan umum. Hukum dalam kondisi ini sangat mengekang. Seluruh masyarakat akan dikejutkan dan dibuat marah oleh suatu pelanggaran. Masyarakat akan dimobilisasi untuk menghukum pelakunya dalam rangka mempertahankan keyakinan bersama yang menjadi inti dari identitas mereka, baik secara komunal maupun individual (Turkel, t.th.: 30).

Hukum represif[10] sering melibatkan sanksi berupa hukuman fisik bagi pelakunya. Kekejaman hukuman bukan dimaksudkan untuk mendefinisikan hukum yang menunjukkan solidaritas mekanik, namun, hukuman ini memiliki arti bagi pelaku dan juga masyarakat. Partisipasi anggota masyarakat yang menekankan kepada sanksi untuk menegakkan hukuman menunjukkan identitas keyakinan umum yang didefinisikan dalam solidaritas mekanik (Turkel, t.th.: 30).

Selanjutnya solidaritas jenis kedua dalam pandangan Durkheim adalah solidaritas organik (organic solidarity) yang identik dengan bentuk organisasi masyarakat yang kompleks. Di sini, teknologi berubah dengan cepat dan mempengaruhi serangkaian bentuk kehidupan dan aktifitas. Selain itu, masyarakat cenderung berpenduduk banyak, pembagian kerja berubah cepat dan bertambah spesifik. Interaksi antar manusia cenderung lebih spesial dalam tujuan khusus. Sebagai contoh, orang yang ingin menghilangkan plak gigi akan pergi ke dokter gigi. Begitu pula jika akan membetulkan mobil, ia akan pergi ke ahli mekanik. Keyakinan melalui interaksi manusia difokuskan kepada kompetensi dalam aktifitas praktikal daripada keyakinan umum tentang leluhur, filosofi, politik atau agama. Sebagai contoh, ketika kita menyetir mobil di jalan tol, kita akan lebih perhatian kepada kompetensi sopir lain daripada berpikir tentang apakah keyakinan kita sama atau tidak dengan mereka (Turkel, t.th.: 31).

Masyarakat kompleks secara terus-menerus berinteraksi dengan dan tergantung pada kerja orang asing untuk keselamatan dan keberlangsungan hidup. Masyarakat diatur dengan cara yang dapat membuat mereka tergantung kepada orang lain yang tidak dikenal sebelumnya untuk pemenuhan kebutuhan makanan, pemeliharaan kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Hal ini mengharuskan seseorang untuk terlibat dalam tugas-tugas yang berbeda dan memiliki bentuk pengetahuan tertentu (Turkel, t.th.: 32).

Solidaritas organik mendorong perkembangan individualisme modern, yakni individu merdeka yang muncul sebagai perseorangan yang memiliki biografi, kebutuhan, dan ruang untuk menjalin hubungan dan aktifitas yang terpisah dari komunitas. Pada waktu yang bersamaan, individu semakin bebas, sehingga orientasi kompetitif semakin kuat. Akibatnya, banyak kesempatan munculnya ketegangan hubungan dengan orang lain. Namun, konflik ini lebih mudah ditoleransi dengan kondisi kompleksitas sosial karena tidak melibatkan seluruh anggota masyarakat. Lebih-lebih, solidaritas organik berkembang dengan bentuk yang dimotivasi oleh harmoni sosial. Setiap bagian masyarakat memberikan kontribusi untuk keberlangsungan hidup masyarakat secara menyeluruh. Pekerjaan yang berbeda-beda yang dilakukan oleh setiap orang dan identitas yang berbeda yang mereka miliki berfungsi untuk mengokohkan masyarakat secara bersama-sama. (Turkel, t.th.: 32)

Solidaritas organik berakar dalam hubungan yang kompleks. Hukum mencerminkan perbedaan-perbedaan ini dengan menjadi lebih kompleks dan luas, sebagaimana hubungan sosial yang diaturnya. Untuk mengintegrasikan pembagian kerja yang semakin berbeda dan spesifik, institusi hukum muncul dengan fungsi khusus untuk membuat dan melaksanakan hukum serta hukumannya. Lembaga pembuat hukum khusus, seperti lembaga legislatif, pun dibentuk. Pengadilan menjadi lembaga yang bebas dari institusi politik. Profesi hukum menjadi terorganisasi melalui pendidikan dan ikatan khusus (Turkel, t.th.: 32).

Dengan berkembangnya lembaga hukum yang terpisah dan spesifik, hubungan secara keseluruhan antara hukum dan masyarakat menjadi berubah. Daripada bentuk hukuman fisik sebagaimana hukum represif--yang menekankan kepada dominasi sentimen dan keyakinan kolektif atas individu dalam masyarakat sederhana dan solidaritas mekanik--kompleksitas masyarakat dan solidaritas organik berjalan seiring dengan berkembangnya hukum restitutif (Turkel, t.th.: 32).

Mari kita perhatian dengan pengalaman Turkel berikut ini. Ketika ibunya mencapai usia 80 tahun, keluarga Turkel memutuskan untuk merayakan di sebuah restoran mewah. Ia, istri, dan anak-anak mereka mengepak pakaian di dalam sebuah tas dan pergi ke rumah ibunya untuk menjemputnya. Dalam perjalanan, mereka berhenti di sebuah musium anak sehingga anak-anak dapat bermain dan dapat membakar energi mereka sehingga mereka dapat duduk nyaman saat makan malam nanti. Ketika mereka keluar dari musium dan kembali ke mobil, mereka terkejut saat melihat seluruh pakaian dan hadiah telah dicuri (Turkel, t.th.: 32).

Reaksi pertama Turkel dan keluarganya, meskipun marah dan kesal kepada pencuri, segera masuk mobil dan pergi ke supermarket untuk membeli baju dan hadiah baru. Ketika mereka selesai merayakan dan pulang, barulah mereka mengadu kepada polisi bahwa barang-barang mereka dicuri orang. Bukti laporan kepada polisi ini menjadi dokumen penting untuk proses klaim pada perusahaan asuransi Turkel agar ia mendapatkan kompensasi atas kehilangan barang. Turkel tidak memikirkan apakah si pencuri tertangkap. Baginya, hal yang paling penting adalah mereka dapat meneruskan pesta dan mendapatkan ganti rugi kehilangan barang mereka (Turkel, t.th.: 32-33).

Diyakini bahwa kehilangan mereka hanyalah hal kecil, tak seorangpun terlukai fisiknya. Tapi contoh ini menggambarkan peran penting hukum restitutif. Hukum restitutif meletakkan nilai tinggi atas individu dan menghindari perusakan atas aktifitas sosial yang sedang berjalan. Tidak seperti hukuman represif, hukum ini akan mengajari pelaku kejahatan untuk dapat kembali ke masyarakat dengan cara mendidik dan mereformasi mereka, juga ia diharuskan mengganti rugi korban kejahatannya atas semua kehilangan. Sebagai ganti dari ritual umum sebagai ekspresi kolektif atas moralitas melalui seremoni dan hukuman sebagaimana dilakukan dalam hukum represif, hukum restitutif lebih bertujuan untuk menjaga dan memelihara bentuk umum tatanan sosial. Hukum menjadi sebuah syarat hidup yang penting bagi manusia yang terpisah satu sama lain untuk melaksanakan kehidupan pribadinya. Peran hukum dalam menjaga tatanan sosial, perlindungan hak-hak khusus dan individu, dan penggantirugian atas hilangnya barang menjadi lebih bermakna daripada melaksanakan moralitas umum melalui jalur hukum. Hukum restitutif membangun kembali hubungan antara individu dan lembaga sehingga gangguan terhadap aktifitas yang sedang berlangsung dapat diminimalisasi (Turkel, t.th.: 33).

Di bawah masyarakat kompleks dan solidaritas organik, hukum tidak hanya lebih restitutif, tapi juga jumlahnya bertambah. Jumlah kode etik hukum, instrumen hukum, dan aksi hukum tumbuh subur sebab jumlah interaksi sosial, baik personal maupun kelompok semakin meningkat. Hukum pun menjadi sekompleks dan sekhusus hubungan individu dan lembaga yang diaturnya. Sebagai contoh, Undang-undang dan pengadilan untuk keadilan bagi anak remaja diatur khusus dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Begitu pula, pengadilan untuk perkara perceraian diatur khusus yang berbeda dengan pidana umum (Turkel, t.th.: 33).

Dengan kompleksitas masyarakat dan solidaritas organik, hukum menjadi lebih dari sekedar ekspresi kemarahan yang didasarkan kepada pelanggaran terhadap moralitas bersama. Namun, harus diakui, demikian kalimat Turkel (t.th.: 33) mengakhiri pembahasannya, bahwa beberapa aspek dari hukum represif masih muncul di dalam masyarakat yang kompleks. Hanya saja, seiring dengan jumlah dan spesifikasi hukum yang kian bertambah lambat laun akan mengurangi hukum yang bersifat represif dalam masyarakat.

3. Meneropong Masyarakat Indonesia dengan Teori Durkheim

Menyimak secara teliti pokok pikiran Durkheim di atas, nampaknya masyarakat Indonesia agak sulit untuk dikelompokkan ke salah satu golongan secara tegas, baik kelompok masyarakat simpel atau masyarakat kompleks. Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa masyarakat Indonesia berada dalam masa transisi di antara keduanya.[11] Alasannya, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat dalam tipe tertentu, akan tetapi merupakan sekumpulan masyarakat yang beraneka ragam sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” bangsa ini sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Contohnya, masyarakat Jawa pedalaman, mereka akan lebih pas dikatakan sebagai masyarakat sederhana yang memiliki solidaritas mekanik dan hukum represif. Mereka dalam tataran tertentu mengagungkan hukum adat atau kepercayaan nenek moyang ketimbang hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun masyarakat perkotaan, Jakarta sebagai misal, tentu akan mudah dikatakan sebagai masyarakat kompleks dengan solidaritas organik dan hukum restitutif yang nyata.[12]

Masyarakat sederhana memiliki kecenderungan untuk memakai hukum adat. Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia masih terkotak dalam budaya masyarakat homogen tertentu dan cukup kuat memegang hukum dan tradisi adat mereka.[13] Setelah kemerdekaan, dengan pembangunan yang cukup pesat dan intensitas interaksi antar personal dan bahkan antar negara meniscayakan adanya solidaritas organik dan hukum restitutif.

Masyarakat Indonesia secara umum dapat dikatakan sebagai masyarakat “menuju” kompleks yang membutuhkan hukum-hukum spesifik dengan jumlah cukup banyak untuk mengatur kehidupan baik pribadi, kelompok, maupun masyarakat luas. Munculnya pembidangan dalam Trias Politika: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif mencerminkan masyarakat kompleks yang meniscayakan pembagian kerja lebih khusus. Begitu juga banyaknya Undang-undang yang lahir menunjukkan betapa kehidupan ini membutuhkan aturan spesifik sehingga konflik antar manusia dalam masyarakat dapat diatasi dengan cepat. Meskipun begitu, Rahardjo (1984: 99) menegaskan bahwa hukum selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya. Hukum tidak akan dapat mengatasi seluruh permasalahan sosial sebab hukum selalu terlambat hadir ketimbang permasalahan masyarakat.

Selanjutnya, hal yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat yang kompleks dengan hukum restitutifnya akan lepas dari sifat hukum yang represif? Pertanyaan seperti ini sudah diantisipasi oleh Durkheim sebagaimana disampaikan Turkel (t.th. : 33) dengan mengatakan bahwa pada akhirnya hukum yang represif akan hilang dari hukum restitutif. Nampaknya Durkheim tidak memperhatikan bahwa dalam masyarakat kompleks sebenarnya banyak hal yang justru lebih bernuansa represif daripada hukum yang dimiliki masyarakat sederhana. Contohnya, dalam masyarakat sederhana akan sulit ditemukan kejahatan yang beraneka ragam karena kontrol sosial dan efek jera hukuman fisik cukup efektif. Dengan demikian, tekanan dalam bentuk ancaman penjara atau hukuman mati yang dialami masyarakat kompleks lebih berat. Secara sederhana, orang dalam masyarakat simpel akan tidak peduli dengan buang sampah sembarangan. Akan tetapi dalam masyarakat kompleks, buang sampah di sembarang tempat akan mengantarnya masuk penjara atau minimal dikenakan denda. Supremasi hukum (rule of law)[14] yang didengungkan terasa membatasi mereka untuk bergerak secara lebih leluasa.

Walaupun demikian, dapat dipahami bahwa tekanan jiwa akibat menggunungnya aturan yang dialami masyarakat kompleks merupakan konsekuensi logis dari keinginan bersama untuk mengembalikan situasi kepada kondisi semula. Tak ayal jika hal-hal yang tidak perlu diatur dalam masyarakat simpel menjadi penting dalam masyarakat kompleks. Hal ini karena mengatur masyarakat heterogen lebih sulit ketimbang masyarakat homogen, lebih-lebih, jika dilihat dari model interaksi yang timbul.

Dari sisi lain, masyarakat Indonesia dapat pula dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas mekanik, jika ditilik dari watak komunal bangsa ini secara umum, meskipun dalam kondisi tertentu dapat dikatakan memiliki solidaritas organik yang agak dipaksakan. Sikap solidaritas ini diungkapkan dalam semangat gotong royong dan kekeluargaan yang terangkum dalam pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” (Ali, 2006: 86).

Dalam pandangan Rahardjo (2006b: 85-87), bangsa Indonesia boleh dibilang telah menjadi tawanan Barat. Dalam hal hukum, para cendekiawan dan penegak hukum diberi kesempatan untuk belajar hukum di luar negeri, misalnya di Belanda, sehingga apa yang mereka terapkan di Indonesia adalah hukum yang jauh dari watak dan kepribadian bangsa. Sistem hukum barat yang berwatak liberal dan menekankan kebebasan individu menolak partisipasi masyarakat dalam urusan penegakan hukum. Jepang sebenarnya memiliki pengalaman yang sama dengan Indonesia, yakni mengalami pemaksaan hukum dari luar. Namun, mereka telah berhasil memberikan polesan hukum khas Jepang setelah mereka sadar bahwa hukum Barat tidak selaras dengan kepribadian mereka.

Masalah budaya hukum ini, Rahardjo (2006b: 85-87) menegaskan bahwa budaya hukum bangsa ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh bangsa itu.[15] Masalah yang dihadapi oleh bangsa-bangsa Timur yang terpaksa mengambil hukum barat akan mengalami masalah yang cukup serius karena hukum modern yang mereka ambil tidak selaras dengan nilai budaya yang mereka anut. Indonesia misalnya, kehidupannya masih bersifat komunal dan kolektif sedangkan ajaran barat menuntun mereka untuk bersifat individualistis. Jika hal ini diteruskan, maka Indonesia akan kehilangan jati dirinya.

Selanjutnya, secara teleologis, manfaat pembahasan tentang kedua jenis hukum ini dalam kajian hukum Indonesia adalah bahwa dua karakter yang dibuat Durkheim ini masih dapat diberlakukan untuk membidik masyarakat masa sekarang. Hanya saja varian-variannya kini lebih banyak. Ketika kita dihadapkan kepada situasi riil masyarakat, kita akan banyak menemukan banyak kesenjangan. Contoh kasus, masalah pemilihan jodoh adalah masalah pribadi, tapi mengapa ketika keluarga tidak setuju, hal ini kemudian menjadi masalah besar? Beranikah kita menikahi seorang pelacur di pinggir jalan dengan maksud ingin membantu sementara keluarga tidak ada yang setuju? Atau persoalan selingkuh, mengapa pasangan yang selingkuh diarak beramai-ramai? Juga, mengapa masalah pornografi diatur negara? Dan masih banyak pertanyaan yang bisa kita sampaikan terkait dengan hal ini.

Dengan demikian, mengetahui tipe-tipe ini dapat digunakan untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan di masyarakat kita. Jika kecenderungannya komunal maka hukumnya bersifat respresif, namun jika cenderung individual, maka hukumnya bersifat restitutif. Adapun seperti masyarakat yang sangat heterogen, seperti Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Meraoke, perlu dilakukan studi lapangan secara hati-hati sebelum merilis sebuah peraturan atau undang-undang sehingga produk hukum tersebut sesuai dengan kehendak masyarakat dan dapat diterapkan secara efektif dan konsisten.

Di akhir pembahasan ini, nampaknya perlu disampaikan bahwa jika peran agama pada suatu masyarakat cukup dominan, umumnya hukum yang berlaku cenderung represif sedangkan dalam masyarakat yang tidak didominasi oleh kekuatan agama, hukum yang berlaku cenderung bersifat restitutif. Dalam kasus Indonesia, Islam merupakan agama mayoritas penduduk. Dengan demikian, cukup wajar jika beberapa perundang-undangan yang dilahirkan parlemen dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terkait langsung dengan kehidupan keberagamaan, misalnya, undang-undang Perkawinan, undang-undang Wakaf dan terakhir undang-undang Pornografi. Semua itu, meskipun tidak menyebut Islam secara jelas, namun nuansa pengekangan dalam produk hukum tersebut cukup mendominasi.

C. PENUTUP

Pemikiran Durkheim seputar hukum dan masyarakat menunjukkan bahwa hukum tidak dapat lepas dari akar sejarah dalam masyarakat. Keluasan dan keluwesan hukum bergantung kepada masyarakat yang menciptakan dan yang menjalankan hukum tersebut.

Masyarakat sederhana berbeda dalam pemilihan hukumnya dibanding masyarakat kompleks. Masyarakat yang masih sederhana akan cenderung memiliki solidaritas mekanik untuk mempertahankan tatanan yang sudah kokoh di masyarakat. Untuk itulah, mereka memilih hukum represif sebagai piranti penegaknya. Sebaliknya masyarakat kompleks memiliki solidaritas organik dengan hukum restitutif sebagai kendalinya. Nampaknya pemilahan semacam ini terlalu menyederhanakan masalah (over simplification).

Pemilahan Durkheim yang terlalu sederhana dalam melihat masyarakat dan hukum sebenarnya akan menimbulkan banyak problem. Masyarakat yang setengah sederhana dan setengah kompleks--atau masyarakat transisi--tidak mendapat sentuhan bahasannya. Begitu pula kelebihan dalam masyarakat sederhana sepertinya tidak menjadi perhatian karena lebih menekankan kepada perlunya hukum restitutif pada era sekarang. Padahal, dalam tataran tertentu, hukum represif masih efektif untuk mencegah berkembangnya ketidakteraturan dalam masyarakat. Wa Alla>h A‘lam bi as-S{awa>b.


BIBLIOGRAFI

Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Black, Donald, 1976, The Behavior of Law, New York: Academic Press.

Durkheim, Emile, 1991, Sosiologi dan Filsafat, diterjemahkan oleh Soedjono Dirdjosisworo, Jakarta: Erlangga.

--------------, 2003, Sejarah Agama, diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: Ircisod.

Gunaryo, Ahmad, 2006, “Dari Rule of Law menuju Rule of Justice” dalam Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hartono, Sunarjati, 1976, Apakah the Rule of Law itu?, Bandung: Alumni

Jary, David dan Julia Jary, 1991, The Harper Collins Dictionary: Sociology, New York: HarperCollin Publisher.

Johnson, Alvin, 1994, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, Jakarta: Rineka Cipta.

Nonet, Philippe, dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, New York: Harper & Row Publishers.

Pals, Daniel L., 1996, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press.

Rahardjo, Satjipto, t,th., Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru.

--------------, 1984, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa.

--------------,2006a, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya.

--------------,2006b, Sisi-sisi lain Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas.

Rasyidi, Lili, dan Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remadja Karya.

Raz, Josep, 1972, the Authority of Law, New York: Oxford University Press.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Alimuddin, Jakarta: Prenada Media.

Soejono, 1977, Pokok-pokok Sosiologi sebagai Penunjang Studi Hukum, Bandung: Alumni.

Soekanto, Soerjono, 1985, Emile Durkheim Aturan-aturan Metode Sosiologis, Jakarta: Rajawali.

--------------, 2004, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Turkel, Gerald, t.th., Law and Society, Critical Approaches, Boston: Allyn & Bacon.




[1] Teks aslinya adalah any self-perpetuating human grouping occupying a relatively bounded territory, having its own more or less distinctive culture and institutions, a particular people, such as the Nuer or a long or well established nation-state, such as US or Britain.

[2] Teks aslinya adalah the system of rules and sanctions, the specialist institutions and specialist personnel.

[3] Buku ini menjelaskan penelitian Durkheim tentang bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern (Pals, 1996: 93-94)

[4] Buku ini sudah dialihbahasakan oleh Inyiak Ridwan Muzier (2003) dengan judul Sejarah Agama. Buku yang tebalnya sebanyak 645 halaman terbagi dalam tiga buku. Buku pertama adalah Pertanyaan-Pertanyaan Persiapan, Buku Kedua menyajikan Kepercayaan-Kepercayaan Elementer, dan buku Ketiga mengetengahkan Bentuk-Bentuk Perilaku Ritual yang Mendasar.

[5] Berbeda dengan Turkel, Rasyidi dan Sidharta (1989: 131) mengatakan bahwa Roscoe Poundlah pendasar aliran hukum sosiologis. Alasannya adalah bahwa banyak hasil karya Sosiologi pada abad ke-20 dilahirkan oleh Pound dan pengikutnya di Amerika Serikat.

[6] Isi buku ini dapat dinikmati dalam ulasan singkat namun padat karya Soekamto (1985) yang memang khusus mengulas pikiran metodologis Durkheim.

[7] Durkheim dalam buku ini menyajikan penelitiannya tentang berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingkat yang rendah (www.wikipedia).

[8] Dalam menjelaskan hal ini, Johnson (1994: 104) memaparkan bahwa Sanksi represif merupakan sanksi yang berupa suatu celaan dari masyarakat, penghinaan terhadap kehormatan, baik hukuman mati atau hukuman badan, serta penghapusan kemerdekaan.

[9] Raharjo (2006a: 294) mengatakan bahwa Durkheim mencari jawaban dari kegelisahannya tentang tatanan sosial yang terdiri dari individu namun mereka tunduk dalam hukum. Ternyata faktor yang paling dominan dalam hal ini adalah adanya solidaritas.

[10] Hukum represif dalam pandangan Nonet dan Selznick (1978: 29-46) adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif, Artinya dengan banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat. Pada umumnya hukum represif menunjukkan karakteristiknya sebagai berikut: a) institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara kepada raison d’etat; b) perspektif resmi mendominasi segalanya dengan mengidentifikasi kepentingan penguasa sebagai kepentingan rakyat; c) Kepentingan rakyat untuk mendapatkan keadilan terbatas; d) bahan-bahan khusus seperti: polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas; e) suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial; f) hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

[11] Penyebutan transisi ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa pikiran Durkheim masih berpeluang untuk dikritisi dan dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya era saat ini.

[12] Berdasarkan contoh di atas, mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa masyarakat sederhana identik dengan masyarakat pedesaan sedangkan masyarakat kompleks lebih sesuai dengan masyarakat perkotaan. Pendapat ini boleh jadi benar, akan tetapi Durkheim, seperti dijelaskan Turkel, sama sekali tidak menyinggung pembagian masyarakat ditinjau dari sisi lokasi atau wilayah, namun lebih kepada pembagian masyarakat berdasarkan karakter penduduknya.

Meski begitu, ada juga salah satu sumber yang membandingkan pikiran Durkheim dengan pikiran Tonnies tentang Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeninschaft memiliki ciri-ciri 1) merupakan masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman 2) memiliki tujuan kesatuan yang esensial, dan 3) orang bekerja sama untuk kepentingan bersama. Adapun Gesellschaft memiliki karakter antara lain 1) kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar, 2) hidup di kota bercirikan perpecahan, individualisme dan mementingkan diri sendiri, dan 3) di kota tidak ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga. Dari sini dapat dilihat bahwa Gemeinschaft memiliki ciri masyarakat pedesaan yang identik dengan solidaritas mekanik. Di sisi lain, Gesellschaft memiliki karakter masyarakat kota yang mirip dengan solidaritas organik. (Rangkuman Modul Sosiologi Perkotaan, Universitas Terbuka, http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online).

[13]Dalam pandangan Hart, sebagaimana dikutip Rahardjo (t.th.: 44), masyarakat yang semacam ini dapat disebut sebagai masyarakat yang berada dalam tingkat primary riles of obligation yang memiliki cirri-ciri antara lain komunitas kecil, didasarkan pada ikatan kekerabatan, memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan berada dalam lingkungan yang stabil.

[14] Pembahasan Rule of Law dapat ditelusuri lebih lanjut dalam pelbagai buku antara lain karya Josep Raz (1972) yang berjudul “the Authority of Law” dan Sunarjati Hartono (1976) dalam buku “Apakah the Rule of Law itu?”, atau artikel Ahmad Gunaryo (2006) dengan judul “Dari Rule of Law menuju Rule of Justice” dalam buku “Menggagas Hukum Progresif Indonesia.”

[15] Hal ini sejalan dengan Black (1976: 63-80) bahwa salah satu yang mempengaruhi penegakan hukum adalah watak sebuah masyarakat.

Catatan: telah diterbitkan di dalam Jurnal Istinbath, Fakultas Syariah IAIN Mataram, 2009

Introduction