Rabu, 16 Maret 2011

KUNJUNGAN EL-ZAWA KE PT KEPURUN PAWANA INDONESIA DI KLATEN


Bulan ini, tepatnya tanggal 7 Maret 2011, Pusat Kajian Zakat dan Wakaf “eL-Zawa” UIN Maliki Malang berkesempatan untuk studi banding ke sebuah lembaga yang telah sukses mengelola pertanian terpadu. Lembaga itu adalah PT Kepurun Pawana Indonesia (PT KPI) yang berlokasi di lereng Merapi, wilayah Klaten. Lembaga yang berdiri pada tahun 1997 ini awalnya merupakan Pusat Pelatihan (Training Center) untuk karyawan PLN yang menjelang purna tugas. Lambat laun, lembaga ini  berubah menjadi pusat kegiatan pembelajaran untuk pertanian terpadu yang gaungnya telah menyebar hingga manca negara.

Konsep keterpaduan yang diusung PT KPI ini berorientasi pada penggabungan tiga potensi utama yang umumnya dimiliki bangsa Indonesia sebagai negara agraris, yakni pertanian organik, peternakan, dan perikanan.  Ketiga kegiatan tersebut bersumber dari semangat untuk “kembali ke alam.” Sungguh sangat disayangkan bangsa kita yang dulunya pernah dikenal sebagai bangsa yang berswasembada pangan kini menjadi pengimpor aktif bahan makanan pokok termasuk beras. Ironis sekali, bukan?

Tanaman yang dikembangbiakkan di lembaga ini dirawat tanpa campuran pupuk kimia. Sejumlah tanaman sayuran,semisal tomat dan terong, berkembang biak dengan baik  hanya cukup diberi limbah peternakan. Usaha ini tentu dalam rangka menjaga tubuh agar tetap sehat.  Selain itu, tanaman organik bila diproduksi dalam skala besar akan dapat menjadi salah satu sumber penghasilan yang menjanjikan karena harga tanaman organik di pasaran cukup tinggi. Namun, bila hanya memiliki lahan tidak terlalu luas, cara penanaman yang efisien pun dapat dilakukan. Caranya adalah dengan menanam sayuran di pot gantung, paralon berdiri dengan lubang kecil di kanan kirinya, hingga menggunakan botol minuman bekas. Dengan demikian, kebutuhan sayuran keluarga dapat terpenuhi dengan biaya yang sangat rendah tapi sangat menyehatkan.

Fungsi lain dari limbah peternakan adalah sebagai bahan pembuatan sumber energi gas baru (biogas) yang dapat digunakan untuk memasak. Caranya adalah kotoran sapi yang sudah dicampur dengan air dimasukkan ke dalam bak penampung tertutup yang kemudian dibuat pipa khusus yang disambungkan ke kompor. Alhasil, uap yang diproduksi oleh limbah tadi dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti gas elpiji. Kompor yang berbahan bakar biogas ini bebas dari kekhawatiran meledak karena bersifat alami dan bertekanan rendah.

Penanaman ikan merupakan salah satu program unggulan PT KPI ini. Berbagai ikan dibudidayakan di sekitar lokasi pelatihan. Pembibitan hingga pembesaran ikan dapat dipelajari di sana. Makanan ikan pun dapat diperoleh secara gratis dengan meletakkan kandang ayam atau itik di atasnya. Limbah dari peternakan ini dapat digunakan sebagai bahan makanan alami ikan.

 Kesimpulannya, eL-Zawa bekerja sama dengan Unit Pengembangan UIN Maliki Malang akan melakukan terobosan baru dengan membuka lahan seluas 5 ha di daerah Batu sebagai salah satu pusat pertanian terpadu. Dana zakat yang jumlahnya kian banyak akan diinvestasikan dalam proyek produktif yang hasilnya nanti akan didistribusikan kepada masyarakat kurang beruntung. Semoga berhasil! Amin.

Senin, 14 Maret 2011

BILA SEMANGAT ITU PUDAR...

Belakangan ini saya dihadapkan pada pelbagai masalah, baik dalam keluarga, pekerjaan, hingga persoalan deadline studi. Masalah tersebut datang begitu saja tanpa peduli apakah saya bisa menghadapinya atau tidak. Pokoknya, semua harus selesai tepat waktu padahal kesempatan dan energi yang saya punya sangatlah terbatas. Kepala ini rasanya mau pecah….hehehe…Wow!!!

Saya tahu setiap orang punya masalah, baik kecil maupun besar. Itu merupakan garis ilahi yang diformat sebagai sarana ujian untuk mengetahui kualitas diri kita. Tapi, umumnya, kebanyakan orang, dan saya termasuk di dalamnya, mudah sekali tertekan dengan keadaan. Maunya sih semua sukses, beres tuntas tanpa ganjalan. Tetapi, nyatanya, ada saja yang membuat harapan itu pupus. Geram bukan? Tetapi, setelah saya pikir-pikir, tak ada gunanya saya berkeluh kesah. Toh, masalah akan tetap ada dan kita harus berani menghadapi “mimpi buruk” itu. Lalu apa solusinya?

Memang tidak mudah mencari solusi di kala pikiran sedang kalut. Langkah pertama yang tepat adalah menenangkan diri, khususnya pikiran dan hati. Gemuruh kekecewaan pada kenyataannya hanya mengakibatkan tekanan darah naik, situasi jiwa kacau, dan efeknya adalah pekerjaan menumpuk tak terselesaikan. Dengan jiwa damai, alur nalar bisa kembali pulih dan semangat pun bisa muncul kembali.

Adapun cara penenangannya bisa disesuaikan dengan kondisi. Bila ada kesempatan untuk rekreasi ke tempat yang sejuk dan teduh, ada baiknya dibuat satu jadwal khusus untuk hal tersebut. Di Malang, saya punya banyak pilihan, seperti Sengkaling, Jatim park atau Taman Kota. Semua memberikan sentuhan penyegaran di tengah penatnya otak yang terus dipacu. Bercengkerama dengan anggota keluarga adalah pilihan yang baik. Bercanda dengan anak atau ngobrol dengan saudara di sela-sela kelelahan psikis dan fisik bisa memberikan relaksasi. Alternatif lain untuk penenangan adalah meditasi. Sudah banyak pakar menjelaskan bahwa meditasi yang antara lain dikemas dalam sebuah acara ritual keagamaan dapat menenangkan batin. Kesadaran bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara yang dipadukan dengan kepasrahan penuh kepada sang Pencipta akan memberikan efek positif kepada jiwa manusia sehingga kesehatan raga pun kembali pulih.

Langkah kedua adalah mencari jawaban penyelesaian masalah dengan segera. Saya biasanya membuat catatan permasalahan di buku agenda dan mencoba mereka-reka jawabannya. Jika saya harus berkonsultasi dengan seseorang, saya akan meluangkan waktu untuk menelepon atau menemuinya. Kawan dekat atau pasangan dapat berperan sebagai partner diskusi untuk mencari solusi jitu. Dengan berbagi rasa dengan seseorang, biasanya akan ditemukan berbagai pilihan penyelesaian yang terkadang tidak terpikir sebelumnya.

Langkah ketiga adalah tawakkal. Entahlah, tawakkal bagi saya merupakan langkah terakhir yang harus saya lakukan setelah rangkaian usaha maksimal telah selesai. Saya masih memegang satu keyakinan bahwa apa yang saya terima dan hadapi merupakan hal terbaik yang direncanakan oleh Tuhan. Jika kehendak Tuhan tidak sesuai dengan keinginan saya, saya pun menyerah. Dia pasti tahu mana yang pas buat saya. Walau terkadang kecewa berat atau malu sangat, saya berusaha untuk khusnudzan kepada-Nya. Hanya kepada-nya saya memohon dan kepada-Nya pula saya akan kembali. Saya yang lemah, berawal dari tiada akan kembali ke tiada. Nah, nampaknya, dengan begitu, saya akan kembali bersemangat untuk menyongsong hari esok yang penuh dinamika. Semoga kita semua sukses dalam menggapai cita…walau jutaan rintangan datang menyapa…Ok…hehehe

INGIN SUKSES BESAR? IKUTI AYAM MENGERAM!


12999004801092695600
Ilustrasi/Admin (lawiemasseramafarm.blogspot.com)
Siapa tidak tahu proses penetasan anak ayam? Sebagai orang yang dibesarkan di pedesaan, saya sangat paham pengembangbiakan ayam mulai dari telur, pengeraman hingga penetasan. Saya suka sekali menunggu pecahnya telur satu-persatu di bawah kolong kaki dan sayap induknya. Lucu sekali! Kalau sudah memasuki hari yang ke-21, saya selalu setia mengecek kondisi telur yang mulai mengeluarkan suara anak ayam. Dari ujung paruh yang nongol di salah satu sisi kulit telur, terdengar suara jeritan anak ayam dari dalam yang ingin segera bebas menghirup udara segar. Ayam yang baru menetas pasti jalannya sempoyongan. Maklum, posisi anak ayam dalam telur adalah melingkar dengan posisi kepala berada di antara kakinya. Mengikuti proses “kelahiran” anak ayam memberikan pengalaman unik tersendiri.


Mengapa telur ayam bisa menetas? Selain adanya proses pembuahan oleh ayam jantan, telur tidak akan menetas jika tidak dierami. Itu artinya, ada proses kesabaran yang sangat demi suksesnya perkembangbiakan keturunan. Dalam hal ini saya tidak ingin membahas penetas ayam melalui mesin penetas lho! Induk betina dengan sabar harus mengerami telur-telurnya hingga ia tidak bisa sesuka hati beraktifitas, misalnya makan, minum, hingga membersihkan diri di bawah terik matahari. Ia harus konsisten memberikan kehangatan kepada calon anaknya yang masih di dalam telur. Begitu setia dan sabarnya, ayam betina harus puasa menikmati keindahan dunia. Ia akan sabar di sarangnya sampai telur-telur itu menetas. Ia tidak bisa seenaknya pergi meninggalkan sarangnya meski perutnya keroncongan. Tubuhnya dibiarkan kotor dan kurus yang memberikan bukti keikhlasan hatinya mengemban tugas mulia sebagai calon ‘”orang tua”. Bila sang induk tidak sabar menjalani proses itu, telur-telur itu akan busuk dan tidak ada gunanya. Telur gagal itu tidak bisa diolah lagi menjadi hidangan makanan. Baunya yang menyengat akibat gagal menetas itu hanya layak untuk dibuang ke tempat sampah.

Apa yang bisa kita petik dari aktifitas mengeram tadi? Untuk mencapai kesuksesan, kita perlu ulet dan sabar. Penyakit umum manusia adalah ingin meraih sukses dengan cara instan, tanpa pengorbanan banyak tetapi hasilnya jelas dan besar. Memang ada di dunia ini sejumlah manusia mujur yang tidak banyak mengeluarkan biaya dan energi dalam meraih kesuksesan. Tetapi, hampir semua tokoh besar dunia sepanjang sejarah merupakan sosok manusia yang tangguh dan gigih dalam memperjuangkan usahanya di berbagai bidang. Para rasul, misalnya nabi Muhammad, harus berjuang gigih hingga harus berdarah-darah demi mengemban amanat mengubah masyarakat menjadi lebih beradab. Para saintis, seperti Thomas Alfa Edison, harus melakukan riset dan uji coba ratusan hingga ribuan kali untuk mempersembahkan satu karya monumental. Itu artinya, pengeraman yang dapat dimaknai sebagai kesabaran tinggi yang terus menerus dalam menggapai cita adalah satu hal mutlak. Jika hanya sekali-kali “dierami”, “telur-telur” kesuksesan itu hanya akan berubah menjadi mimpi buruk. Berbagai godaan dan rintangan pasti ditemui dalam proses meraih sukses. Hampir dapat dipastikan bahwa tak ada prestasi membanggakan bila tidak diiringi dengan keuletan dan kegigihan. Oleh sebab itu, “mengeram” menjadi sebuah keniscayaan bagi siapa saja yang ingin sukses.

Sebagai contoh, saya ingin menunjukkan salah satu prestasi yang diraih oleh Islamic Relief Amerika yang sempat saya kunjungi beberapa waktu lalu. Lembaga ini sekarang menjadi lembaga filantropi Islam terbesar Amerika dalam usianya yang masih belia. Salah satu kuncinya adalah kepemimpinan sang CEO yang gigih “mengerami” lembaganya. Ia selalu berangkat lebih awal dan pulang paling akhir. Ia juga membuka kesempatan konsultasi dengan siapapun dengan kebijakan “open door”nya. Ia tak sungkan- sungkan turun sendiri mengecek hasil pekerjaan mitra kerjanya baik di kantor maupun di lapangan. Alhasil, kepercayaan masyarakat ke lembaga ini kian meningkat dan popularitas lembaga filantropi ini semakin menanjak.

Kesimpulannya, tradisi mengeram bisa menjadi salah satu filosofi bagi kita yang ingin meraih impian. Kesuksesan jarang sekali dicapai dengan cara instan. Kesabaran, keuletan, dan kegigihan adalah rumus-rumus jitu untuk mewujudkan harapan di masa depan. Semoga bermanfaat!

Selasa, 08 Maret 2011

NAPAK TILAS KE MAKAM MBAH MARIDJAN

Kemarin pagi, aku punya acara penting di Klaten. Sejak Minggu malam, aku berangkat bersama rombongan satu mobil dari Malang untuk belajar secara langsung ke PT Kepurun Pawana Indonesia (KPI) yang lokasinya hanya 14 km dari puncak gunung Merapi. Perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis ini sempat tutup satu bulan tatkala Merapi menyemburkan asap tebalnya. Walau tidak parah terkena imbas musibah alam itu, PT KPI sempat mengungsikan puluhan sapi dan hewan ternak lainnya ke tempat yang lebih aman. Ikan dan angsa yang tak sempat dievakuasi harus tewas diterjang awan panas dan abu beracun. Namun, saat ini, kondisi perusahaan itu sudah pulih kembali.

Kami keliling menikmati alam sejuk di kaki gunung itu. Tanaman organik menghijau dan hewan ternak yang sehat membuat kami betah berlama-lama di PT KPI itu. Aneka tanaman dalam pot yang tersusun ke atas menginspirasiku untuk membuatnya di pekarangan rumah. Daripada ditumbuhi rumput dan bunga liar, alangkah baiknya jika aku bisa menanam sayuran atau tanaman sehat tanpa pupuk kimia di halaman rumah. Nantinya, aku bisa memetik dedaunan untuk lauk tanpa mengeluarkan biaya. Asyik, bukan?

Nah, setelah puas melakukan observasi dan diskusi sambil jalan, aku dan kawan-kawan diajak untuk mengunjungi kawasan korban Merapi. Kami diantar menaiki gunung hingga tampak dekat sekali gunung Merapi itu. Sebelum sampai di kaki gunung, terhampar olehku pemandangan yang tak lazim. Ribuan pepohonan tumbang dengan warna kehitaman akibat terbakar saat wedus gembel turun. Pohon kelapa yang gundul, pohon bambu yang berserakan, serta serpihan bangunan rumah terhampar di mana-mana. Aku tak bisa membayangkan betapa dasyatnya peristiwa alam itu. Aku yakin orang-orang yang berada di sekitar gunung berapi itu pasti sangat panik ketika awan panas menimpa mereka. Kata kawan dari PT KPI, penduduk yang berada tepat di kaki gunung sudah lama mengungsi sehingga mereka aman. Namun, justru korban banyak berjatuhan dari kawasan yang diperkirakan tidak terkena musibah.

Saat ini puluhan rumah semi permanen dibangun di sekitar gunung. Para warga korban Merapi bisa tinggal di rumah bambu itu selama dua tahun dan mendapat bantuan berupa 15 kg beras dan uang lauk sebesar 5 ribu per orang. Uang tersebut nampaknya hanya bisa mengganjal perut demi bertahan hidup. Adapun kebutuhan sandang dan peralatan keluarga bisa jadi sulit dipenuhi. Sedih nian kehidupan mereka. Harta benda yang hilang musnah ditelan lahar panas tak ada yang bisa diselamatkan. Begitulah kisah sedih dari dua kampung telah rata dengan tanah.

Di tengah keharuan itu, kami ditunjukkan sebuah lokasi yang menyimpan keharuan mendalam. Tempat itu adalah makam Mbah Maridjan. Hampir semua orang di penjuru tanah air mengenal sosok penunggu Merapi ini. Keberaniannya sempat menjadi buah bibir di sepanjang tahun 2010. Kematiannya tanggal 26 Oktober 2010 menggegerkan masyarakat karena beliau meninggal dalam keadaan sujud setelah tersambar wedus gembel. Seminggu kemudian, Merapi meletus lebih dasyat lagi sehingga banyak korban yang berjatuhan. Makam Mbah Marijan sendiri yang berada di sekitar gunung itu sempat dipenuhi abu panas sehingga nisannya yang terbuat dari kayu pun kelihatan agak kehitaman gosong.

Makam Mbah Maridjan sangat sederhana. Kukira makam beliau ditempatkan di lokasi khusus karena beliau adalah salah satu abdi dalem. Ternyata tidak, makam tokoh iklan yang terkenal dengan kata “Rosa” itu dikebumikan di tempat pemakaman umum dan kondisinya “sangat biasa” untuk seorang tokoh sekaliber beliau. Bahkan kuburan itu lebih biasa dari beberapa makam di sekitarnya. Tak ada bangunan nisan panjang di atasnya. Makamnya hanyalah tanah dengan tinggi sejengkal dan dua buah kayu penanda di kedua ujungnya. Ada dua kendi besar yang berada di sekitar nisan. Aneka bunga yang mulai layu masih banyak ditemukan di atas makamnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pengunjung yang sempat berziarah ke makam tersebut beberapa hari ini.

Apa yang bisa kita petik dari Mbah Mardjan? Salah satunya adalah kesederhanaan. Mbah Maridjan adalah sosok manusia yang tak mabuk oleh popularitas. Banyak orang yang menganggapnya sebagai orang “pintar.” Keahlian ruhaninya sebagai juru kunci telah membuatnya “berhasil” meredam gunung Merapi yang tidak jadi meletus tahun 2006. Beliau tetap tidak mau beranjak untuk “menjaga” gunung hingga akhir hayatnya. Kebersahajaan Mbah Marijan hingga kini masih terpancar melalui makamnya yang sama sekali tak mewah. Ini adalah sebuah pesan moral yang agung bagi generasi masa kini.

MENDIDIK ANAK TANPA AMARAH, MEMANG BISA?

Anak adalah anugerah. Hampir semua orang ingin memiliki keturunan sebagai generasi penerus sekaligus investasi masa depan. Bagi pasangan yang tidak memiliki anak, mereka rela mengeluarkan biaya besar demi hadirnya sang buah hati di tengah-tengah keluarga. Berbagai ikhtiyar lahir seperti mengunjungi dokter spesialis kandungan hingga dukun tiban pun dilakukan. Tak ketinggalan pula, ikhtiyar batin semisal menjalankan wirid tertentu sampai mengunjungi baitullah di Mekkah juga menjadi salah satu alternatif. Pendeknya, anak merupakan salah satu penyempurna kebahagiaan hidup. Kekayaan melimpah serasa tak lengkap bila tanpa anak. Begitu pula jabatan tinggi, popularitas mencorong, hingga kemolekan tubuh serasa hambar bila tak bisa mendatangkan keturunan.

Namun, ternyata, tidak semua orang tua bisa melaksanakan amanat Tuhan untuk memelihara dan menjaga anak dengan baik. Banyak anak-anak yang akhirnya hidup terlunta-lunta akibat dibuang atau disia-siakan oleh orang tua,. Bahkan, tidak sedikit anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Perdagangan anak yang kini kian marak menjadikan anak-anak itu kehilangan masa depannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, semestinya kita bersyukur bahwa kita telah dipilih menjadi salah satu orang yang pantas menerima amanat mulia, yakni menjadi penyambung garis keturunan dari sebuah generasi mendatang. Kita tentu sadar bahwa kita bisa hidup hingga detik ini berkat curahan kasih sayang orang tua. Bagaimana jadinya bila orang tua kita menyia-nyiakan kita? Tentu, kita tak mungkin bisa menikmati hari ini. Oleh sebab itu, syukur adalah salah satu tindakan mulia atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepada kita.

Kedua, kita seharusnya memperlakukan anak secara lemah lembut dan penuh kasih sayang. Kita pasti masih ingat betapa kita dulu pernah dihinggapi perasaan harap-harap cemas tentang kehadiran anak. Pernah terpikir oleh kita jangan-jangan kita tidak mempunyai anak, atau anak kita nanti tidak sempurna. Ada saja kegalauan hati sebelum akhirnya kita dapati anak-anak kita lahir dengan selamat dan tumbuh sesuai dengan usianya. Bangga sekali, bukan? Hanya, tak dapat dipungkiri bahwa tindakan anak tidak selalu sesuai dengan kemauan kita. Ada saja tingkah polahnya yang kadang menyebalkan, menjengkelkan, dan bahkan membuat kita naik darah. Marah adalah salah satu ekspresi umum yang dipertunjukkan oleh para orang tua ketika mereka tidak dapat meraih impian dari anak-anak mereka. Ini tentu sangat merugikan banyak pihak, terutama orang tua dan anak-anak. Misalnya, pertumbuhan psikologis anak akan terhambat seiring dengan emosi orang tua yang kian tidak stabil. Lalu bagaimana cara bijak memperlakukan anak? Jujur, saya bukanlah orang tua yang baik untuk anak-anak saya. Oleh sebab itu, tulisan ini juga berfungsi untuk menyadarkan saya atas kekeliruan dalam mendidik anak. Mungkin, cara bijak mendidik anak adalah poin tiga di bawah ini.

Ketiga, menyikapi anak sesuai dengan usianya. Anak tumbuh dari bayi hingga besar dan dewasa. Setiap perkembangan itu menuntut pelayanan yang berbeda. Sejauh pengalaman saya hingga enam tahun mendidik anak (anak tertua saya umur 6 tahun), saya melihat bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh usia dan lingkungannya. Saya belum mendeteksi tentang pengaruh genetika dalam perkembangan anak kecuali bentuk fisiknya. Ketika anak usia 0-2 tahun, mereka menunjukkan fase yang menyenangkan. Tubuhnya yang imut dan gerakannya yang masih polos dan belum tkkordinasi seringkali menimbulkan kegelian tersendiri sehingga orang tua pun terhibur. Hiburan ini penting karena orang tua harus melayani hampir 100% kegiatan anak, dari makan, pakaian, hingga membersihkan badan. Kemudian, ketika usia anak memasuki usia 3 tahun, anak kian mandiri. Ia sudah mulai mempunyai obsesi tersendiri sehingga sering membuat emosi orang tua kian tertantang. Anak mulai membangkang dan minta semua keinginannya dituruti. Jika tidak, menangis dan mengamuk adalah senjata utamanya. Reaksi umum orang tua adalah memarahi anaknya yang dinilai bandel. Barang-barang di rumah kian berantakan dan rusak akibat ulah anak. Apakah sikap marah orang tua bisa menyelesaikan masalah? Ternyata tidak, tingkah anak malah menjadi-jadi. Ia bahkan melakukan tindakan-tindakan lain yang justru membuat hati orang tua kian terbakar. Lalu apa solusinya?

Saya sering membaca artikel tentang tumbuh kembang anak. Salah satu saran utama yang selalu disampaikan adalah mendekati anak dengan hati. Artinya, anak bandel tidak seharusnya disikapi dengan keras oleh orang tua. Meskipun secara reflek orang tua akan marah bila menemukan banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sikap tahan diri dan mengajak anak untuk berdiskusi nampaknya menjadi pilihan terbaik. Boleh saja orang tua marah dalam batas kewajaran, tetapi frekuensinya jangan sampai melebihi dari sikap sayangnya orang tua kepada anak. Dalam pengalaman saya, saya pernah bertanya kepada anak saya ketika saya selesai memarahinya, “Apakah kakak senang dimarahi ayah?” jawabnya, “Tidak.” “Lalu bagaimana biar ayah tidak marah?” “Ayah harusnya bilang pelan-pelan, jangan membentak!” Eh, ternyata menyuruh anak dengan membentak ternyata membuat anak malah membangkang. Anak saya berkata lagi, “Kalau membangunkan kakak, ayah harusnya bilang, kakak yang cantik, bangun dong, sudah siang nih! Nanti kalau bangun pagi terus, ayah akan beri hadiah!” O, ternyata saya harus mengucapkan dengan lembut dan memberikan janji “reward” bila sang anak bisa melakukan dengan baik. Baru tahulah saya kemudian tentang cara mengasuh anak-anak agar bisa patuh dengan saran dan nasehat orang tua. Sikap lemah lembut penuh kasih sayang nampaknya masih tetap menjadi pilihan utama bila menginginkan anak-anak kita tumbuh dengan sempurna. Gimana, setuju? Semoga tulisan bermanfaat! Amin.

Introduction