Kamis, 30 April 2009

P U L A N G

(Cerpen ini telah dimuat dalam Majalah Pembangunan Agama Jawa Timur)


Gelap malam berangsur memekat. Sinar rembulan tersengal-sengal di peraduan. Rupanya ia letih menjelajahi kaki langit yang menyembunyikan batas, seperti aku yang tertatih mencari perlindungan di segenap kolongnya. Angin sibuk membenahi selendang yang tersangkut di reranting pohon. Ditarik-tariknya selendang itu dengan segenap tenaga untuk melepaskan diri dari cabikan duri-duri hutan. Jeritan yang menyayat membuat malam semakin senyap.

Tapi aku tidak takut! Tetap saja kuteruskan langkahku tanpa henti. Kubiarkan saja suasana sekelilingku menatap dengan seribu rasa. Karena aku sudah tak punya peduli pada indraku. Wewangian kuburan tak membuatku merinding. Biasa-biasa saja. Persetan dengan dedemit yang mulai menjalankan operasinya. Masa bodoh dengan binatang malam yang siap menerkam. Aku terus bergerak maju. Kelamnya malam sekelam hatiku yang rapuh.

Aku begitu tegap dalam menyibaknya. Berlalu menumpas serpihan ranting berduri. Aku harus kebal. Tekadku sudah bulat untuk melepaskan diri dari keramaian hidup yang telah menggusarkan bahkan cenderung mematikan jiwaku. Untung saja aku tidak gila dibuatnya. (Untuk ini, terkadang aku kurang percaya atas kewarasanku).

Sambil setengah berlari, kutelusuri jalan setapak yang membelah dua kampung itu sunyi dan dingin. Binatang mungil yang beradu suara malam ini terkesiap oleh langkahku yang serupa petugas ronda memburu maling. Seketika mereka seperti terserang penyakit tenggorokan yang ganas. Binatang-binatang buas yang merajai hutan rupanya pun terbuai oleh alunan musikal dedaunan. “ Aman!” Pikirku.

Beberapa kali kusempatkan mengusap peluh yang menghujan di segenap pori. Tak kuhiraukan sabitan onak beracun mencabik sekujur tubuh. Sayang tak ada waktu untuk merasakan apalagi merawatnya. Kuterjang kebisuan dengan keperkasaan. Apapun yang akan menimpaku setelah keputusan akhirku, akan kuhadapi dengan penuh tanggung jawab, seperti pesan guruku di bangku SD bahwa hidup harus diselimuti oleh rasa tanggung jawab. Walau aku tak tamat sekolah itu masih juga tersisa keterangan guruku yang paling tak kusuka karena terlalu kaku seperti tiang listrik yang tak peduli terpaan angin—begitulah olokan konyolku padanya. Tapi barangkali karena kebencian itu membuat beliau terbayang saat genting seperti ini. Barangkali ini yang banyak disebut kiyai kampungku sebagai ilmu yang bermanfaat. Tapi bagaimana mungkin manfaat, lha wong aku anak super bengal begini...! Ah, aku susah memahaminya dan barangkali dunia memang sering terbolak-balik.

Kelelahan yang cukup panjang kelihatannya menderu-deru mematahkan langkahku untuk sekedar rebahan di atas rerumputan basah sambil merenungi peristiwa hidup yang baru saja terjadi. Sungguh begitu rumit. Aku benci pada diriku yang susah diatur, keluargaku yang sok kuasa, para tetangga, sahabat-sahabat yang belakangan ini tak segan-segan mengusik ketenanganku, tapi aku tak dapat membenci Tuhan.

“Tuhan, aku terima apa yang Kau putuskan, barangkali ini salahku, tapi mungkin yang terbaik bagiku, karena aku tak tahu apa yang Kau maksudkan dengan menciptaku sebagai salah satu pelaku dunia ini.”

Alangkah senangnya bila aku dapat mengikuti jejak Tarsan, yang telah menyatu dengan alam tanpa harus pusing memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup yang menyesakkan, semuanya telah tersedia di sini, di hutan yang ramah.

Keteganganku menapaki kesendirian mulai beringsut. Gelap telah mengajariku arti keteguhan. Malam tak pernah dengan gegabah meloncati siang ‘tuk sekedar unjuk kekuasaan merayu alam tersungkur di ujung kakinya. Malam bagai gumpalan-gumpalan kerinduan yang tersimpan dalam hati seorang perjaka. Manusia muda yang terpikat akan keelokan cahaya rembulan di ketiak awan. Dingin bawaan cukup ampuh menenggelamkan imajinasi setiap ciptaan akan kelembutan yang tulus tanpa pamrih.

Sepoi-sepoi yang menepis kelopak mata memaksaku tepekur dalam keterasingan—sebuah penggalan fragmen kebisuan yang menggoda. Tiba-tiba, ada keanehan yang membuatku sedikit merinding. Kurasakan tubuhku begitu ringan menari-nari di antara potongan ranting yang terhempas badai baru-baru ini. Seribu mata pepohonan menonton aksiku tanpa berkedip. Aku semakin tak dapat menahan diri. Kulambungkan jasadku menyusuri batang-batang kekar dengan kerimbunan daun mengembang.

“Ah, masihkah aku hidup...?!!” Kucoba mencubitkan jemariku ke sekujur tubuh. “Aduh, aku belum mati, tapi mengapa keadaanku jadi ringan begini...?!!”

Terbayang asyiknya kawanan burung menghinggapi dahan dan ranting, bercengkrama penuh keakraban, dan aku kini juga bisa. Bahkan aku tanpa perlu lagi mengepakkan tanganku untuk meliuk-liuk di antara pagar alam yang menjulang.

Kulayangkan pandanganku kepada ratusan bahkan ribuan penduduk hutan yang terlelap dalam impian. Aku masih menikmati raut wajah rembulan yang seakan bertanya tamu asing yang belum pernah dilihatnya. Lewat sorot cahayanya yang hinggap di dedauan, kudapat pesan agar aku mendongakkan mukaku dan menyampaikan gundah gulana yang barangkali ia mempunyai resep mujarab untuk menolongku. Aku—karena rasa egoisku—menolak tawaran yang merendahkan derajat lelakiku. Aku tak mau menjalin hubungan dengan apapun di dunia ini yang telah begitu nyata memporakporandaku kecuali kalau ia mau bertekuk lutut di hadapanku sehingga aku bebas memainkannya.

Tak kusangka rembulan begitu murung atas keputusan kasarku. Ia tak mau lagi memperlihatkan keelokan yang beberapa saat telah memikat perhatianku. Pelan pelan semburat awan gelap menutupi pesonanya bagai seorang gadis manis yang malu-malu menghampari kerlingan matanya dengan lembaran kerudung.

Tapi aku tak ambil peduli dengan kelentikan yang menebar bius. Aku tetap setegar pohon jati yang kukuh menembus langit hingga tetes darah penghabisan. Aku tak gampang terayu oleh tipuan-tipuan murahan yang dilancarkan siapapun. Hemm!!

Bersamaan dengan itu terdengar derap angin ribut mencari mangsa. Keheningan hutan mulai terkoyak dengan deritannya yang menggelegar. Kilatan cahaya putih memotong dedaunan. Letusan alam mengguncang. Tapi aku tetap bertahan di lengan pohon.

Rembulan mulai tak mampu mengusai perasaannya. Barangkali ia tahu apa yang akan terjadi padaku. Ditumpahkannya aliran air mata bersama hujan yang panas. Seluruh penduduk hutan terperanjat dari tidurnya dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi, Akankah kiamat semakin dekat? Terbayang kematian masal yang merenggut kenikmatan. Bayi-bayi yang di peluk ibunya. Bunga-bunga yang bermekaran. Semua pasrah bila berhadapan dengan putusan alam. Aku memahami kegelisahan di segenap penjuru.

“Hai penduduk hutan, jangan risau, perubahan ini hanya tipuan belaka. Tetaplah dalam rumah-rumah kalian. Badai buatan ini akan segera berlalu.”

Angin memperburuk perangainya. Ditumbangkannya pepohonan untuk menunjukkan bahwa ia begitu kuasa. Ditebasnya daun-daun dan ranting, lalu dihamburkannya sehingga menutupi sorot pandangku.

“Sialan, Jangan kau sok kuasa di hutan ini, heh, lawan aku kalau kau memang benar-benar jantan, jangan kau rusak mereka yang tak bersalah, tunjukkan wujudmu dan mari kita beradu..!!!”

Angin tersinggung, kali ini ia menghentikan sabetannya, mulai ia mereda. Bersamaan dengan itu muncullah wajah hitam legam dengan mata merah padam dalam ukuran yang sangat menyeramkan. Kali ini ia berkata,

“ Hai, Ton, kenapa kau masih juga mengikuti nafsu gilamu, mengapa kau begitu bodoh mengasingkan diri di tempat ini sedang mereka yang kau tinggalkan telah babak belur mencarimu…?”

“ Peduli apa kau dengan mereka..! Itu bukan urusanmu…Enyah kau dari hadapanku…!” Bentakku tak kalah sengitnya.

“ Rupanya kau belum puas setelah membunuh ayahmu, membunuh saudara-saudaramu, dan sekarang yang tinggal hanya ibumu, itu pun kalau ia ada di sana saat itu, ia pun akan kau habisi juga.”

Aku terkejut. Aku telah lupa semua yang kulakukan. Aku lupa. Telmi-ku mulai merajuk. Apa benar kata angin, jangan-jangan ia membual merayuku agar aku kembali pulang.

“ Hai angin jahannam, jangan sekali-kali kau menipuku, katakan pada mereka aku di sini baik-baik saja dan katakan pula aku tak ingin kembali. Biarkan aku menyatu dengan kedamaian yang ditebar penghuni hutan.”

“Tidak bisa, kau harus mempertanggungjawabkan ulahmu, ingat ibumu telah renta, kini ia terbaring lemas dan menyebut-nyebut namamu, tidakkah kau ingin mencium tangannya sekedar meminta kerelaannya sebelum kau dipancung ...?”

Dipancung? Bergetar seluruh sel-selku. Terbayang pisau bermata dua yang diayunkan algojo saat eksekusi maling kelas kakap atau perampok berdarah dingin, tapi aku bukan maling aku bukan perampok.

“Tapi kau pembunuh...! Itu lebih kejam dari maling atau perampok...!!!” Suara angin memecahkan otak udangku. Ia seakan tahu yang sedang berkecamuk di hatiku.

“ Hai angin, aku masih tak percaya atas semua celotehmu, mari kita buktikan siapa yang benar di antara kita. Ayo bertanding menguji keperkasaan...!”

Rupanya angin sudah dapat menebak keras kepalaku. Tanpa banyak bicara sebelum aku betul-betul siap, disambarnya aku yang kini telah benar-benar ringan dan diterbangkan melewati pekatnya malam dan sunyinya hutan.

“Kau curang, kau curang.” Kucoba melepaskan diri dari dekapannya seperti mayat meronta-ronta dari pelukan malaikat maut. Tapi aku terlalu lemah. Tulang-tulangku yang sejak tadi gemeretak kini kian tak berdaya.

***

Aku dilepas angin tepat di atas halaman rumahku, gubuk tempat pertama kali kuenyam keteduhan, dan kini telah sirna. “Tunjukkan kepada mereka bahwa kau benar-benar jantan...!!” Pesan terakhir angin mengejek sambil melemparkanku dengan kasar.

Bruuuuk......!!!.....Aaaaaah.......” Semua mata mencari arah suara. Ditemukannya aku dalam keadaan memar berlumuran darah laiknya orang kalah perang. Tapi aku tetap berusaha berdiri dan...lari.

“Hah....Tono pulang.....Tangkap dia...!” Suara gaduh mulai mengisi keheningan para tetangga yang sejak kemarin menunggu ibuku yang tak sadar. Aku tak bisa berkutik. Aku menyerah pasrah. Sambil digandeng beberapa orang, akhirnya aku bersimpuh di hadapan ibu dan mencoba menciumi tangannya.

“ Ibuuu.....!!!” Rupanya ibu mendengar suaraku lamat-lamat. Ia mengedip-ngedipkan matanya mencariku. Diangkat tangan itu gemetar, perlahan... untuk mengusap rambutku yang koyak.

“To.....To.....no... a..nak.....ku.! suara itu terputus-putus dan.....takkan kudengar lagi untuk selamanya. Rupanya masa kritis ibu hanya menunggu kedatanganku.

Ibuuuuuuuuuu.....!!! Aku tak dapat menahan rasa sedihku, sedih yang sesungguhnya. Berbeda dengan pembacokan yang kulakukan kepada ayah dan saudara-saudaraku. Semua berjalan justru sangat menyenangkan. Barangkali aku kesal dan kalap saat itu. Dan aku benar-benar lupa.

Air mataku kering kerontang, seperti keringnya darahku yang sedari tadi mengucur deras. Semua telah terlambat. Dan mungkin aku telah puas. Menyandang berbagai predikat “istimewa” yang digelarkan para tetangga. Aku rela diciduk dan segera menerima hukuman pancung sebagai penebus dosa setimpal bagi seorang pendurhaka, dan itu akan mempercepatku segera menyusul ibu. Astaghfirullahal Adzim...!!!

BELAJAR DARI SEMUT


Mahasuci Allah yang menyediakan segala sesuatu di muka bumi ini untuk kemaslahatan hidup manusia. Sandang, pangan, dan papan sudah tersedia bahan bakunya semuanya sehingga kelangsungan hidup manusia dapat dipertahankan. Untuk memenuhi kebutuhan jiwa atau ruhani, Allah menurunkan Al-Qur’an dengan aneka kandungannya yang dapat memberikan sinaran kalbu sehingga manusia tetap menapaki jalan-Nya yang lurus.

Salah satu pelajaran yang diceritakan Al-Qur’an adalah hewan semut. Nama semut bahkan telah diabadikan dalam sebut surat, an-Naml. Seberapa hebatkah hewan satu ini sehingga Allah memberikan sebuah penghargaan di antara para binatang lainnya? Mengapa tidak singa, gajah, atau jerapah? Atau mungkin yang lebih besar lagi semacam dinosaurus? Allah Maha Besar, namun dalam mmeberikan teladan, Allah tidak malu membuat perumpamaan hewan-hewan kecil, seperti nyamuk, lebah, dan laba-laba yang mungkin dipandang lemah dan remeh oleh manusia, namun dalam pandangan Allah, mereka dapat menjadi teladan dalam rangka menundukkan keangkuhan manusia.

Semut! Bentuk badannya kecil, warna umumnya hitam, jalannya lambat, hobinya menggigit, suka mengotori makanan dan minuman yang manis. Hampir, tidak ada yang menarik dari hewan ini. Serinhkali kita kesal gara-gara makanan kesukaan kita dikerubuti semut. Tak jarang kita melihat bahwa dinding indah rumah kita juga jadi jalan tol para semut itu. Alhasil, semut yang diagungkan namanya dalam al-Qur’an praktis sungguh menyebalkan. Tapi mengapa Allah sekali lagi tertarik mengangkatnya?

Alkisah dalam al-Qur’an, nabi Sulaiman sedang bepergian dan melintasi sebuah jalan yang banyak dihuni semut. Melihat tentara Sulaiman, raja semut berseru, “Wahai kaum semut, menyingkir dan bersembunyilah di rumah-rumah kalian, karena Sulaiman dan tentaranya akan melintasi kawasan kita. Ia tentu tidak akan tahu kalau kita ada di bawahnya. Janganlah kita binasa oleh kelengahan kita.” Demikian seruan yang diumumkan oleh pimpinan semut itu. Mendengar seruannya, Sulaiman yang dikaruniai Allah kelebihan memahami bahasa binatang tertawa terpingkal-pingkal dan memuji kebesaran Allah. Betapa memahami bahasa hewan kecil itu membuat dirinya lebih mulia dari orang lain.

Kisah di atas menyiratkan bahwa semut peduli dengan nasib sesamanya, dalam konteks ini keselamatan kawannya. Seruan itu begitu bijak dan masuk akal. Semua semut pun menuruti seruan itu demi kelestarian hidupnya. Persatuan dan kesatuan di masyarakat semut begitu berharga. Kepatuhan kepada pemimpin yang bijak menjadi suatu kensicayaan. Tidak perlu mereka berdebat berlarut-larut hanya untuk memastikan kebenaran seruan itu. Ada satu kesadaran bahwa keselamatan semut lain adalah tanggung jaab bersama. Artinya, mereka tidak hanya mementingkan diri sendiri dengan melarikan diri lalu bersembunyi di liangnya tanpa peduli dengan nasib orang lain. Peringatan yang disampaikan oleh raja semut menunjukkan sikap bijak seorang pemimpin untuk melindungi kaumnya.

Hal lain yang dapat kita cermati dari tradisi semut adalah kerja keras tanpa kenal lelah. Cobalah kita lihat tatkala kawanan semut sedang bergotong royong mengangkut seekor kecoak. Secara nalar, nampaknya tak mungkin bila semut mampu mengangkat kecoak yang besarnya berkali lipat dari postur tubuh semut yang imut. Namun, dengan kerja keras dan gotong royong, kecoak besar itu dapat dipindahkan sedikit demi sedikit namun pasti ke rumahnya. Sikap seperti ini patut dicontoh oleh manusia yang sering saling serobot dan menguasai kekayaan hanya untuk kepentingan perutnya sendiri. Begitu pula, manusia mudah putus asa dan merasa tidak mungkin mampu menyelesaikan perkerjaannya tepat waktu. Kita kadang harus mengaku kalah dengan semut karena semut berani berjam-jam bahkan berhari-hari mondar-mandir mencari dan mengangkut makanan untuk pentingan bersama. Semoga dengan kejernihan pikiran dan kelapangan hati, kita tidak sungkan-sungkan belajar dari makhluk Allah yang mungil ini untuk kebaikan hidup kita di masa mendatang. Amin!

Rabu, 29 April 2009

TAREKAT AND SOCIAL CHANGE

A Comparative Study on the Economic Activities of

Tarekat Sadzîyyah in Kudus and Tarekat Shiddiqîyyah in Jombang

By S U D I R M A N

A. Introduction

As a kind of religions covering all aspects of life, Islam may potentially become the most complete religion since its teachings have perfectly focused on the internal and external needs. It can be obviously seen in various rituals and social activities belonging to such a religion as implementation of their beliefs to the Almighty. Simply, it is possible to say that Islam has a concept of making a balance between man-Creator ‘vertical’ relationship and man-man ‘horizontal’ relationship (habl min Allâh wa habl min al-nâs).

To get closer to God, many ways are constantly practiced by humankind. Zahri clearly mentions at least three approaches applied by muslims to seek God. First, the jurists (Fuqaha’) who prefer seeking God by implementing His laws through understanding deeply the Koran and Prophetic tradition (hadith). Next, the theologians (mutakallimîn), they tend to choose rational way to understand God by rationalizing and analyzing the God’s revelation. Finally, the Sufis (ahl al-tasawwuf) who are keen on performing rituals and spiritual experience to get closer to God.[1] The latter group commonly organize their religious activities through tarekat. That catagorization is inextricably intertwinned with their personal observation and beliefs in acknowledging the existence of God.

Tarekat is one way to realize the exixtence of God in terms of rituals and spiritual experience. Tarekat, according to Nicholson as quoted by Simuh, is a path used by Sufis to seek God.[2] Their activities concern the life in hereafter by performing purgative, comtemplative and illuminative steps. They seems to have inadequate time to think the earthly agenda.[3] The programs of this group, therefore, are basically referred to takhallî, tahallî and tajallî. Takhallî means keeping the soul far away from the bad manners whereas tahallî is to fill the empty spirit, as a result of the first step, with the admirable attitudes. Then, tajallî will be the last stage in sufis’ path by realizing God’s existence and watch in each part of life.[4]

Al-Ghazali—a prominent Sufism leader—explains in his famous book ihya’ ulum al-din, seven stations which should be done by Salik (a candidate of Sufi), i.e. taubah, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakal, and ridha. Taubah, as the first step, means to repent from all sins and ghaflah (forgetting God). It should be followed by wara’, avoiding all unclear law-based things (subhat), just consume the halal (allowed) ones. Zuhud is the next station, that is avoiding everything related to the worldly life. It finally leads to faqir, feeling as poor people with no eagerness to seek wealth. If Salik may reach that station successfully, he will experience another station, sabar, that is reconciling himself to sufferings. Then, tawakkal is the higher one. Tawakkal is surrenderring and submitting the soul and body to God as if a death man was lain in front of the Modin (a man who has responsibility to clean the body of death people). Finally, the last station is ridha, meaning willing and feeling happy with every decision of God. [5]

In historical point of view, many scholars believe that sufi has occurred since the beginning of Islam. In prophet era, many people called ahlu al-shuffah did not have houses nor a jobs. They slept in the mosque and dedicated all the time to God.[6] Initially, they did not have an organization in performing their rituals. Nevertheless, as time went by, some people tended to organize their rituals under a certain leader so-called Mursyîd with a particular way (tarîqah or tarekat). Since then, many types of tarekat have emerged in Islamic world.

It is worth noting that there is a clear line deviding the tarekat into two categories, i.e. before and after 11th century. Tarekat before 11th century was defined as the way to guide people to get closer to God. No certain rule nor organization was there in this stage. But then, tarekat has had a wider meaning as an organization of Sufi people who do certain ritual under their mursyîds. Consequently, the position of mursyîds is very inportant to shape the beliefs and understanding of their followers (murîds).[7] For instance, Mursyîds may forbid the murîd getting involved in political arena or governments in order to keep their heart clean from thinking of earthly life.

But in this era, there are kinds of tarekat with their own characters numbering at least 44 groups.[8] Some of them are involved in economic, social, even political activities. Tarekat Sadzîliyyah and tarekat Shiddîqiyyah for instance, pay more attention to social activities modified in economical one. But, the former is considered as mu’tabarah and the latter is often said as ghairu mu’tabarah. The other interesting thing to note is that people of Sadzîliyyah perform their economic activities by their own selves whereas those of Shiddîqiyyah is still centered in Ploso. However, it is possible to compare between both to know the characterictic of their economic activities. To avoid the misperception between both, it is better to put these tarekats as ‘piety groups’ promoting the economic activities in worldly life.

The main source of Sadzîliyyah will be the work of Mu’tashim and Mulkan while the Shiddîqiyyah will be based on preliminary research of mine since I will do research deeply for my thesis. Mu’tashim and Mulkan have seriously conducted research on the tarekat Sadzîliyyah’s disciples in Kudus, Central Java written in their book Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri” whereas I just did interview with the successor of tarekat Shiddîqiyyah and some adherants in Ploso as a brief observation to that tarekat. However, this paper will be useful for me to know further about the activities of both tarekats in economy as well as the basic concept of tarekat, Social Change and Economic Acitivities.

B. Tarekat, Social Change, and Economic Activities

1. Tarekat

The meaning of tarekat is a way, path, method, or system of belief. According to Nicholson as quoted by Simuh, tarekat is a path used by Sufis to seek God. Sufis who set out to seek God call themselves as “travellers”, they advance by slow “stages” (maqâmat) along a”path” (tarîqah) to the goal of union with the Reality (fanâ’ fi al-haq). [9] Another definition is stated Fuad Saidi saying that tarekat is the way to get closer to God by performing the teology, laws, and sufism.[10]

Tarekat always consists of Mursyîd, Murîd, and teachings.[11] Mursyîd has a specific role and position in tarekat. Becoming a mursyîd is not an easy job since he should fulfill some qualification, for example, he has to have a high level of morality, tolerance, patience, scholarship, honesty, and trusteeship. On the other hand, murîd has to devote himself, body and soul, to his mursyîd in order to guide him to seek God. It is forbidden for murîd, therefore, to refuse or deny the mursyîd’s order.

2. Social Change

The phrase of Social change can be defined through literal and terminological perspectives. Literally, it comprises two words, “social” and “change”. Social means living in group, or people living in communities[12] whereas change is defined as different condition or move from one place to another.[13] But the meaning of social change according to social scientist such as David Jarry and Julia Jarry is “the different between the current and the antecedent condition of any selected aspect of social organization or structure, for example, the family voting patterns, religious attitudes, economic activity”. Furthermore, both Jarry explain the sources of social change, for instance, social conflict, the need of adaptation within social systems, and the impact of ideas and belief system on social action.[14]

Dealing with sufism, many literature focus on the movement generated by sufi leaders (clergy). In Banten and Iranian Revolution, for instance, sufism had an significant role in shaping opinion and belief that eventually might motivate people to move against the colonials and enemies. In these cases, we may draw a brief conclusion that tarekat is not only a tool related to the devine happiness in the next life but also a huge power to persuade people in doing the earthly activities.

3. Economic Activities

Economic activities means all activities done by people to earn money and make a living. These activities are related to economic development defined by two Jarry as ‘any change that results in increased economic productivity and prosperity.[15]’ Economic activities may also promote social welfare which can be measured from two parameters: real income and its distribution.[16]

In the paper, the economic activities are limited only in Shiddîqiyyah’s economic activities including agriculture, handicraft home industry, and drinking water manufacture. This economic activities is distinguishing aspect of such a tarekat among others. In addition, this paper portrays the economic activities of tarekat Sadzîliyyah’s disciples in Kudus, Central Java. They usually works as traders or workers of garment industries possessed by a couple of the tarekat’s adherents.

C. Sadzîliyyah and Shiddîqiyyah : A Comparative Study

1. Sadzîliyyah

a. Historical Background

Sadzîliyyah was a kind of tarekat established in 13th century by Syekh Abu Hasan Ali bin Abdullah bin abdul Jabbar bin Hormuz al-Syadzili al-Maghribi al-Husaini al-Idrisi, a descendant of Hasan bin Ali bin Abi Thalib. He was born in 1195 AD in Grahamah, a small village near Sabtah, Africa. He developed his knowledge about tasawwuf in Tunis. Since he lived in Sadzili, his tarekat was popularly called ‘Sadzîliyyah’. After along journey through out eastern countries, doing pilgrimage, and visitting Iraq, he finally lived in Iskandariyyah and passed away in 1219 AD (615 AH). Syekh Abu hasan Ali Al-Sadzili left some memorable ‘inheritance’ such as a party entitled ‘hizbu al-Syadzîli’ and some books i.e. ‘Al-Amîn’ and ‘Al-Sir Al-Jalîl Fi Khawâshi Hasbun Allâh Wa Ni’m Al-Wakîl’.[17]

Related to the emergence of Sadzîliyyah in Kudus, it was started in early 1980s, as reported by Syariq—a member of Sadzîliyyah, and now as a leader accompanying khalîfah (successor). But some of members, for instance H Maskub and H Mukhlas, admitted that they became Sadzîliyyah adherent in 1979., Sadzîliyyah, compared with other tarekats, may be regarded as a ‘new comer’ in Kudus besides its narrowly spreading regions in Java. Tarekat Khalidiyyah wa Naqsabandiyyah, for example, has developed in this area since 1955 under its current Mursyid, KH Marwan. In addition, tarekat Qâdiriyyah wa Naqsabandiyyah was folowed by people in this region some year earlier. Its Mursyid, Kyai Sidiq claims that he has become a follower of such a tarekat since 1951.[18]

Based on Mu’tashim and Mulkan’s work on which most of data of Sadzîliyyah in this paper rely, Syariq—that time a young man who often travelled to several places such as Jakarta and Lampung, tought a ‘misleading’ teaching, which consist of tawassulan through reciting Yâsîn and other sacred recitation resulting in jadzab or crying. They believe that these tears may heal various diseases. Since surrounding people consider that this activity was categirzed as black magic (sihir), Syariq and his followers were expelled from the village and they finally went to Habib, a mursyid of Sadzîliyyah in Pekalongan. They were suggested by Habib to be disciples of such a tarekat. After getting adequate information about this tarekat, they finally did initiation (bay’at) and became faithful adherants of Sadzîliyyah.[19]

b. The economic activities

As mentioned earlier, it is quite unusual for tarekat to participate in worldly agenda particularly in economic activities since they are suggested to spend all their time on remembering Almighty God and increasing the spiritual levels. However it is the fact that tarekat Sadzîliyyah has promote their adherants to get involved in economic activities for the sake of their welfare and prosperity.

The basic idea which may cause the to become a good traders, for instance, is the spirit showed by Abu Hasan al-Sazily by his attractive performance. He was famous for his good clothes and perfume since he did not want the Sufis to be percieved as the poor and weak.

Therefore, the disciple of Sadzîliyyah in Kudus, or partly in Damaran, attempt to work hard whatever they may do. Since the popular job in that area is garment industry, they function their house as the place for making a variety of clothes, designs and models. In Mulkan’s notes, there are 10 people working as garment bussinessmen in this area. In addition, there are some disciples working as ‘Jenang’ maker and food producer. None of them, nevertheless, are interested in being civil servant. This situation is strongly caused by their tradition as traders and also related to the rate of income. According to them, being traders is more promising rather than being civil servants. They also may freely manage the time based on their own schedules. It can be assumed as, perhaps, a matter of independence.

Most people joining in this tarekat feel safer when doing their job due the ‘barakat or restu (blessing) from the mursyîd that usually belong to Haba’ib (descendants of the prophet Muhammad) group. They realize that their life pattern is uncertain, everything can change fast that may possibly cause bankruptcy. When the situation of their economy is stable, they still visit their mursyid in Pekalongan to ask the blessing, moreover when they face problems in their life, they of course increase their visit to the mursyid to get some ‘amalan’ (kind of prayer).

2. Shiddîqiyyah

a. Historical Background

Tarekat Shiddîqiyyah is one kind of developing tarekats in Indonesia. Expanded by Kyai Mukhtar Mu’thi—after getting a will from Sheikh Syuaib Jamal from Banten who was the spiritual heir of Sheikh Yusuf Makasar--since 1958 in Losari, Ploso, Jombang, tarekat Shiddîqiyyah has had a distinguishing aspect which can be identified as its character, i.e. various economic programs implemented by this tarekat.[20] It may be regarded as a new phenomenon in sufi world.

The name “Shiddîqiyyah” is closely related to the prophet’s companian, Abu Bakar Al-Shiddîq, as the main source of this tarekat. As mentioned in “Tanwîr al-Qulûb”,[21] this tarekat was established by Abu Bakar Al-Shiddiq then developed by a number of faithful disciples until spreaded in Indonesia by KH Muhktar Mu’thi as an official founder of this tarekat. However, some people say that this tarekat is not really accounted as mu’tabarah” because of its missing chain in “silsilah” (transmission).

b. Economic Activities

Different from common tarekats which mostly concentrate on the life in the hereafter especially to reach the devine happiness in the heaven such as Qadiriyyah-Naqsabandiyyah[22], Shiddiqiyyah has various programs to promote the welfare of society. For example, it build some houses for poor people every year launched on every 17 August. Particularly in 2003, Shiddiqiyyah built twenty new houses in Blitar to replace a number of improper dwellings.

This tarekat also has several economic activities. It has a big home industry for producing handicrafts from bamboo and pandanus leaves. This industry is located in Kabuh village, 12 kilometres from the pesantren, and has about 20 young workers. It regularly trains a number of teenegers to be professional employees in this industry as well. Furthermore, it cultivates approximately 1500 trees of mango behind pesantren kept and supervised by Santri (Murîd). The income from this farming is used to give allowance to Santri. In addition, it has “NAAQO” fresh water manufactorer producing bottled water which is distributed to some shops around Ploso.

Furthermore, the employees working in those various economic activities are not always santri nor members of the tarekat. In this point, Shiddîqiyyah tries to act as an open “agent of social change”. Consequently, it does not select the workers in terms of their “belief”, but the qualification standard. Therefore, it may be observed, for instance in handicraft home industry, there are some common inhabitants surrounding pesantren participating in that activity. They are trained to be hard, professional workers. Accordingly, they can get income without being member of that tarekat.

The background of those economic activities of this tarekat is very interesting to observe. One reason why this tarekat gets involved further into generating society’s welfare is their slogan “wudhu, sholat, masyarakat (ablution, prayer, society)”.[23] Ablution is the way to clean the human body, inner and outer (lahir bathin). Then, prayer is the way to make a good relation between human beings and God. Finally, society is the place for life on the earth, so it should be provided well as a reflection of their prayers which are ended by salam meaning spreading the freedom and welfare to other people. Therefore, the mursyîd always suggests his murîd to be generous.

To support this tenet, One of the real programs is “shadaqah” program which means the member of tarekat Shiddîqiyyah should sincerely allocate a certain amount of money summitted to particular committee. That money is wisely spent on implementing the pesantren’s program, such as building the pesantren—now in the process of building a new auditorium—and helping accidentally the victims of particular disaster. Some years ago, for example, the tarekat sent finantial and material support to Bengawan Solo’s victims in Bojonegoro since this river flooded a large number of lands and houses.

Also, they regularly collect zakat (alms) in ramadhan numbering nearly 50 tons. Even though there is no certain rule enforcing the members to send their zakat to the pesantren, in fact, most of them have a sense of awareness to collect their alms, fitrah (soul) or mâl (wealth) in Ploso. Then, they pack these alms in branded plastic bags and distribute them to the poor people in whole sub-districts all over Jombang in the night before Id al-Fitri as the busiest hour during ramadhân.

Additionally, even though this pesantren has 28 branches, it does not mean that the economic program has been implemented by all members in every branch. It possibly happen since the situation of each place has its own challenges and chances. For example, in the case of realizing home industry, it is really hard for a branch with a small number of adherents to do. Kuncung may be a representative one in south part of Jombang. Nevertheless, this branch cannot apply the same programs as those in ploso because of the limited number of members.

3. Analysis and Conclusion

From the description above, we may analyze these two tarekats from several points below:

Firstly, both tarekat have the spirit of economic activities. We can see that Sadzîliyyah has a great support to its deciples since the founder of such a tarekat, Abu Hasan Ali Al-Sadzili, was a succesful man with good performance. Therefore, most diciples of this tarekat usually work hard. On the other hand, Shiddîqiyyah tries to implement its tenets ‘ablution, Prayer, and society’ (wudhu, sholat, masyarakat) in real life by producing handicrafts from bamboo and pandanus leaves, cultivating mango trees, and manufactoring “NAAQO” fresh water.

Secondly, the role of mursyid in tarekat Sadzîliyyah is not quite clear since he just gives some ‘amalan’ to the disciples. In contrast, tarekat Shiddîqiyyah’s mursyid has a real function by providing some workplaces even though not all workers are its members.

Thirdly, In Sadzîliyyah, the people work individually in their home. They do not have a special program for togetherness. Therefore, they do not have a particular social action in sociey. It probably results from the limitation of their number (around 20 people in Damaran). On the contrary, the disciple of Shiddîqiyyah may collect money to help the poor people in other region. They have a special program, i.e. sedekah which may collect millions of money to build house for poor people as well as pesantren’s facilities.

To sum up, tarekat is not always closely related to the hereafter matter, but some tarekat, Sadzîliyyah and Shiddîqiyyah for instance, are seriously concerned with earthly agenda including economic activities. Both tarekat, even though they have different level of acceptance in terms of mu’tabarah and ghairu mu’tabarah, are not widely spread in Indonesia. However, they obviously participate in promoting their adherants’ and surrounding society’s welfare as can be seen in their tenets and values. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.

BIBLIOGRAPHY

Baldick, Julian, 1989, Mystical Islam, An Introduction to Sufism, New York: New York Press

Al Bamar , Khalili, and Hanafi, 1996, Ajaran Tarekat (Suatu Jalan Pendekatan Diri terhadap Allah SWT) Surabaya: Remaja Surabaya

Bruinessen, Martin van, 1999, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan

Buckhardt, Titus, 1976, An Introduction to Sufi Doctrine, Northhamptonshine: Weatherby Woolnough

Dhafier, Zamakhsari, 1994, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES

Editor, 1994, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve

Hornby, AS, 1987, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press

Al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim, Madariju al-Salikin, Beyrut: Dar al-Kitab al-Rabi

Mu’tashim, Radjasa, and Abdul Munir Mulkhan, 1998, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

al-Naisaburi, Imam Al-Qusyairi, 1996, Risalah al-Qusyairiyyah, Surabaya: Risalah Gusti

Praja, Juhaya S., 1995, Model Tasawuf Menurut Syariah, Penenrapannya dalam Perawatan Korban Narkotika dan berbagai Penyakit Rohani, Tasikmalaya: Latifah Press

Saidi, Fuad, 1999, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, Jakarta: Al-Husna Zikra

Shah, Idries, 1974, The Way of The Sufi, Victoria: Pinguin Book

Shiddiqiyyah Team, 2003, Tuntunan Pelajaran Pertama, Jombang: Shiddîqiyyah Press

______________, 2003, Kausaran, Jombang: Shiddîqiyyah Press

______________, 2003, Penjelasan Lambang Organisasi, Jombang: Shiddîqiyyah Press

Simuh, 1996, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Sirriyeh, Elizabeth, 2003, Sufi dan Anti Sufi, Yogyakarta, Pustaka Sufi

Al-Taftazani, Abu al-Wafa Al-Ghanimi, 1997, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Pustaka

Yasmadi, 2002, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Tangerang: Ciputat Press

Zulkifli, 2003, Sufism in Java, The Role of The Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java, Jakarta: INIS



[1] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), p. 49

[2] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), p. 41

[3] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu tarekat, Kajian Historis tentang Mistik, (Solo: Ramadhani, 1996), p. 23

[4] Ibid., p. 25

[5] Al-Ghazali, Ihya’ ulum al-din, volume III

[6] The history of Sufi may be found in many books related to Sufism, such as Julian Baldick, Mystical Islam, an Introduction to Sufism, (New York: New York University Press, 1989) and Idries Shah, The Way of The Sufi, (Victoria Pinguin Book, 1974).

[7] Ibid.,

[8] Editor, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), vol. 5, p. 67. Shiddiqiyyah is the 34th.

[9] Simuh, op. cit., pp. 40-1

[10] Fuad Saidi, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1999), p. 6

[11] Khalili Al Bamar and Hanafi, Ajaran Tarekat (Suatu Jalan Pendekatan Diri terhadap Allah SWT), (Surabaya: Remaja Surabaya, 1990), p. 21-46.

[12] AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1987), p. 818.

[13] Ibid., p. 139

[14] Jary D and Jarry D, The Harper Collins: Dictionary Sociology, (USA:Harper Perennial, 1991) , p. 134

[15] Ibid.,, p. 136

[16] Adam Kuper and Jessica Puper (ed.), The social Science Encyclopedia, (New York: Routledge, 2001)

[17] Fuad Saidi, Hakikat Tarikat Naqsabadiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1999), p. 15-16

[18] Radjasa Mu’tashim and Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), p. 112-114

[19] ibid.,

[20] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999) III, p. 204, also see Zamakhsari Dzafier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994)

[21] Honestly speaking, this book is still in Pak Munib’s hand which may not be read by non-member. I just got that information from interviewing him.

[22] This tarekat has a concern with dikr (remembering God).

[23] Interview with Pak Munib, on 5 December 2003,

Selasa, 28 April 2009

EL-ZAWA GO INTERNASIONAL, WHY NOT?

Kecil-kecil cabe rawit, begitu barangkali ungkapan yang tepat diarahkan ke Pusat Kajian Zakat dan Wakaf “eL-Zawa” UIN Malang. Lembaga yang masih terbilang baru ini diam-diam sudah bisa menyita perhatian publik UIN akhir-akhir ini karena eL-Zawa telah berhasil menjalin kerjasama dengan Institut Kajian Zakat (IKaZ) Universiti Teknologi Mara Malaysia. Lembaga yang pendiriannya resmi ditandatangi oleh Menteri Agama RI Maftuh Basuni tanggal 22 Nopember 2006 tidak hanya ingin dikenal di kalangan civitas Akademika UIN Malang saja namun kiprahnya dapat dirasakan oleh negara-negara jiran. Lawatan yang dilakukan oleh tim eL-Zawa pada tanggal 28 Januari-2 Pebruari 2008 ke Malaysia dan Singapura akan dilaporkan oleh Sudirman Hasan, M.A. berikut ini.

Berawal dari semangat mengemban amanat internasionalisasi kampus, eL-Zawa menyambut baik undangan UiTM untuk membicarakan lebih lanjut naskah kerjasama (MoU) yang telah ditandatangani oleh rektor UIN Malang dan Naib Conselor UiTM pada tanggal 22 Nopember 2006 yang lalu. Untuk itu, ditunjuklah sebuah tim eL-Zawa yang terdiri dari Ketua eL-Zawa, Drs M. Fauzan Zenrif, M.Ag. beserta sekretaris Sudirman Hasan, M.A., dan satu orang lagi, Aunur Rofiq, L.C., M.Ag., dosen UIN Malang yang sedang studi di Malaysia. Namun, karena satu dan lain hal, ketua eL-Zawa sangat disesalkan tidak jadi berangkat.

Sesampai di Bandara Kuala Lumpur dengan menggunakan pesawat Air Asia, kami dijemput oleh utusan UiTM dan langsung diantar ke hotel UiTM yang berada di tengah-tengah kampus. Pemandangan indah perkebunan kelapa sawit sepanjang jalan setidaknya mengurangi kepenatan perjalanan dari Malang yang memakan waktu setengah hari. “Selamat datang di Malaysia, pak Dirman” sambut Prof. Hasan Bahrom ramah. Beliau merupakan wakil ketua IKaZ yang selama ini aktif berkomunikasi dengan eL-Zawa untuk mengatur agenda kegiatan. Suasana hotel UiTM yang asri dan keramahan staf IKaZ yang menemani membuat perasaan seperti di negeri sendiri, hanya persoalan bahasa yang agak beda. Maklum, kami belum pernah bergaul dengan orang-orang yang berbahasa melayu secara kental. Seperti perkataan mereka, “Ape Encik merase seronok di sini?” karena kami tidak tahu maksudnya kami diam saja. Ternyata yang mereka maksud adalah apakah kami merasa senang selama tinggal di Malaysia. Padahal, seronok dalam pikiran kami adalah identik dengan hal-hal yang negatif, tapi ternyata maksudnya justru sebaliknya.

Pertemuan informal dengan ketua IKaZ dalam acara makan malam merupakan agenda pertama. Dalam pertemuan itu kami saling menyampaikan salam dari pimpinan kampus masing-masing yang tidak dapat hadir dalam acara tersebut. Dr. Rahimi Osman, ketua IKaZ, memberikan sambutan luar biasa atas kehadiran eL-Zawa di UiTM. Mereka berharap kerjasama dengan UIN Malang dapat berlangsung erat dengan bentuk yang saling menguntungkan. Karena Dr. Rahimi masih baru menjadi ketua IKaZ dan belum pernah berkunjung ke UIN, maka latar belakang lahirnya MoU serta kegiatan seminar dan ekspo Zakat Asia Tenggara setahun yang lalu menjadi topik pembicaraan menarik malam itu.

Agenda selanjutnya adalah acara formal dalam forum kecil yang dihadiri oleh para pengurus IKaZ yang berjumlah sekitar 15 orang. Adapun tim eL-Zawa didampingi oleh para dosen yang sedang mengambil program doktor di Malaysia, tepat di Universiti Malaya. Dialog hangat berlangsung secara kekeluargaan, diawali dengan sambutan ketua IKaZ dengan menampilkan profil UiTM dan sekilas profil IKaZ. Beberapa saat kemudian, delegasi UIN diberi kesempatan yang sama untuk mempromosikan UIN dengan kemajuannya terkini. Gedung-gedung baru yang ditampilkan dalam bentuk film sempat membuat decak kagum para peserta. Dan yang lebih menarik lagi, model pesantren yang digabungkan dengan kecanggihan peralatan modern menjadi catatan tersendiri yang memang tidak mudah ditemui di Malaysia. “UIN Malang ternyata maju ya…” ucap mereka.

Diskusi mengalir dengan cair saat beberapa orang bertanya tentang perkembangan UIN ke depan. Misalnya, “Apa yang dimaksud dengan model pesantren di UIN?” atau “Bagaimana budaya akdemik yang dikembangkan UIN?” Dengan antusias dan penuh semangat, delegasi UIN bergantian menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan. Alhasil, mereka merasa sangat tepat menjalin kerjasama dengan UIN Malang yang memiliki ciri khas dan kesamaan visi dengan mereka. Break untuk shalat dhuhur dan makan siang membuat diskusi tersebut harus dihentikan sementara. Namun perbincangan akrab rupanya terjalin lebih nyata antar personal pada acara makan siang yang dilangsungkan di ruang terbuka.

Istirahat telah selesai. Kini tiba saatnya perbincangan antara IKaZ dan eL-Zawa memasuki tahap yang paling inti. Satu persatu poin usulan konkret kerjasama yang telah dikirimkan eL-Zawa via email berapa waktu lalu dicermati bersama. Poin pertama adalah tentang seminar internasional. eL-Zawa merencanakan untuk menggelar seminar internasional pada tahun 2009 dan mengharap dukungan dari IKaZ. Ternyata, IKaZ merencanakan untuk mengadakan World Zakat Conference pada tahun 2008. Mereka menyatakan siap untuk melibatkan eL-Zawa di kepanitiaan dalam kegiatan mereka tanpa harus membebankan persoalan biaya dalam pelaksanaan. Ini merupakan kesepakatan yang luar biasa karena tanpa harus menunggu hingga tahun 2009, eL-Zawa akan dapat merealisasikan obsesinya menyelenggarakan seminar bertaraf dunia.

Materi kedua dalam diskusi IKaZ-eL-Zawa adalah tentang penelitian. eL-Zawa mengusulkan kerjasama dalam penelitian tentang filsafat zakat yang berkembang di Indonesia dan Malaysia. Keinginan eL-Zawa direspon secara positif dan bahkan mereka siap memberikan jalan untuk mendapatkan dana penelitian. Mereka juga menawarkan untuk melakukan penelitian di bidang wakaf. Kebetulan di IKaZ ada seorang pakar di bidang wakaf. Mereka ingin menggali informasi wakaf yang berlaku di Indonesia. Akhirnya, model kerjasama yang disepakati adalah joint venture research, yakni penelitian dengan tim gabungan eL-Zawa dan IKaZ. Dengan model seperti ini kekuatan tenaga dan data yang ada di Indonesia dan Malaysia akan terintegrasi dalam sebuah tim yang solid.

Selanjutnya, materi pembicaraan ketiga adalah tentang jurnal internasional. Awalnya eL-Zawa akan menerbitkan jurnal intrenasional sendiri dan berharap ada beberapa orang IKaZ yang bersedia untuk menjadi reviewer atau board. Maksud eL-Zawa direspon melebihi yang diharapkan, yakni mereka menawarkan untuk menerbitkan jurnal secara bersama, dengan mencantumkan kedua institusi di halaman kover. Tentu tawaran baik dari IKaZ tidak disia-siakan oleh eL-Zawa. eL-Zawa siap untuk bekerja sama untuk menerbitkan jurnal internasional dengan tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Melayu/Indonesia.

Pokok pembicaraan berikutnya adalah tentang pelatihan manajemen. IKaZ rutin mengadakan pelatihan manajemen zakat untuk alumni UiTM. Namun mereka membuka kesempatan bagi eL-Zawa untuk mengirimkan staf dalam rangka mengikuti pelatihan. Tentu eL-Zawa tidak ingin melewatkan kesempatan ini begitu saja. Rencananya eL-Zawa akan mengirimkan 3-5 orang untuk mengikuti pelatihan ini. Dengan pemagangan ini, eL-Zawa akan mampu mengadopsi kesuksesan manajemen yang telah mengantarkan UiTM menjadi salah satu perguruan tinggi yang maju di bidang pengelolaan zakat.

Terakhir, kesepakatan yang juga akan banyak menguntungkan kedua belah pihak adalah pertukaran dosen tamu. UIN Malang akan mengirimkan tenaga pengajar terbaiknya untuk mengajar di UiTM begitu pula mereka akan mengirimkan pengajarnya untuk berbagai ilmu di UIN Malang. Sementara ini, dalam waktu dekat mereka akan mengirim pakar zakatnya untuk mengajar di Indonesia, baik dalam model kuliah sehari ataupun kuliah yang dipadatkan dalam dua minggu.

Kunjungan eL-Zawa selanjutnya adalah ke Unit Zakat, Sedekah, dan Wakaf UiTM yang dikomandani Dr. Nazruddin. Menariknya, lembaga ini telah mendapat lisensi (MoU) dari Lembaga Zakat Selangor untuk menarik zakat dan mendistribusikannya ke para mahasiswa yang telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Para mahasiswa harus mengajukan lamaran untuk mendapatkan bantuan dengan kategori fakir, miskin, sabilillah, dan muallaf. Dengan demikian, separoh dari mustahiq telah ditangani oleh UiTM.

Melongok manajemen yang dilakukan oleh Unit Zakat ini, mereka nampaknya telah menerapkan teknologi canggih untuk menyeleksi para pelamar yang saat ini telah dilakukan secara online. Para peserta yang telah diseleksi oleh sistem komputer akan dipanggil untuk wawancara. Dari hasil wawancara tersebut, unit zakat akan mengetahui posisi yang sesungguhnya dari calon penerima dana bantuan: apakah tergolong fakir, miskin, mualaf, atau sabilillah.

Lawatan lanjutan setelah UiTM adalah kunjungan ke Lembaga Zakat Selangor. Lembaga ini bernaung di bawah Majlis Agama Islam Selangor (MAIS). Program kerja mereka cukup komprehensif untuk menarik muzakki sekaligus mustahiq. Mereka melakukan ceramah dan penerangan, Seminar, Kolokium, Kursus dan Bengkel, Kampanye Bulan Muharram sebagai bulan Zakat Negeri Selangor, Promosi dan kampanye melalui media massa, billboard, iklan bus, banner, SMS dan Skuad Dakwah Zakat (SDZ), dan Pertemuan dengan ahli politik, ahli profesional, ahli akademik & golongan pengusaha. Lembaga Zakat Selangor memiliki 22 cabang yang tersebar di berbagai tempat di negeri Selangor. Kemudahan lain yang menyebabkan para muzakki giat membayar zakat adalah adanya konter zakat bergerak LZS, melalui Pos, Skim Potongan Gaji (SKIM BERKAT), Maybank Phonebanking, Internet Banking, SMS Bank Islam, Kartu Kredit Bank Islam, Ambank, Kartu debit bank, dan Agen Kutipan Zakat.

Hasil perbincangan eL-Zawa dan LZS antara lain menegaskan bahwa eL-Zawa dan LZS akan melakukan kerjasama di bidang zakat. LZS siap membantu eL-Zawa dalam hal manajemen pengelolaan zakat. LZS juga berkenan untuk menerima eL-Zawa dalam rangka magang dan latihan kerja. Mereka berprinsip bahwa ilmu merupakan milik Allah yang tidak boleh disembunyikan, apalagi untuk kepentingan kemajuan umat Islam.

Kunjungan terakhir yang dilakukan eL-Zawa adalah lawatan ke Singapura. Di negeri mungil ini, eL-Zawa menemui Warees yang digawangi oleh cik Zahid Yacob dan cik Jamal Munip. Warees merupakan lembaga pengelola manejemen wakaf yang berada di bawah naungan Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Visi Warees adalah menjadi sebuah perusahaan real estate yang memiliki sensitifitas kemasyarakatan. Adapun misinya adalah menyediakan layanan real estate yang dapat menambah nilai tambah wakaf.

Warees mendefinisikan wakaf lebih fleksibel, yakni semua barang yang diberikan oleh seorang muslim, baik bergerak maupun tidak bergerak, untuk tujuan suci, religius, dan kedermawanan (pious, religious, and charitable) sebagaimana diatur oleh hukum Islam. Dengan konsep tersebut, Warees membuat konsep berani dalam menggunakan tanah wakaf untuk perhotelan, apartemen, dan perumahan. Hal ini sejalan dengan fungsi Warees, yakni untuk memaksimalkan fungsi wakaf bagi kemaslahatan ummat Islam.

Wakaf pertama di Singapura yang tercatat adalah wakaf masjid Umar pada tahun 1820. Kemudian, wakaf yang tercatat hingga tahun 1961 hanya enam lokasi. Sejak wakaf ditangani oleh Warees, hingga kini wakaf yang dikelola sudah mencapai 150 lokasi yang sebagian besar bukan untuk masjid, tapi untuk keperluan produktif baik berbentuk hotel maupun apartemen.

Prestasi yang patut dicontoh dari Warees adalah keberanian mereka untuk memberikan interpretasi baru tentang wakaf serta kemampuan mereka untuk bekerjasama dengan pemilik modal (bank/baitul mal) dan pemilik usaha/manajemen. Dengan demikian, proyek yang sesungguhnya berdiri di atas tanah wakaf mereka poles sedemikian rupa sehingga tetap megah dan gagah tanpa harus merasa risih terhadap status wakaf. Renovasi dan relokasi tanah wakaf merupakan salah satu proyek Warees yang mendapat dukungan penuh dari MUIS dan masyarakat muslim Singapura. Untuk itulah, program Warees menjadi salah satu ikon wakaf dunia (menurut klaim mereka) yang menyebabkan mereka sering keliling dunia untuk memaparkan konsep modern yang telah mereka hasilkan.

Diskusi eL-Zawa dan Warees dalam kunjungan tersebut melahirkan beberapa kesepakatan, antara lain bahwa Warees siap bekerjasama dengan eL-Zawa dalam pengembangan fungsi wakaf di Indonesia. Model-model kerjasama itu dapat berbentuk pemagangan tenaga eL-Zawa di Warees serta penelitian seputar Warees dan perkembangan wakaf mutakhir di Singapura. Sikap antusias dan kooperatif yang ditunjukkan oleh Warees perlu direspon secara positif untuk pengembangan wakaf di Indonesia.

Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya tim eL-Zawa harus dengan berat hati menyudahi perjalanan yang penuh tantangan ini. Semoga apa yang diusahakan oleh eL-Zawa ke depan berbekal informasi dan kerjasama dengan negeri jiran akan memperkukuh eL-Zawa sebagai lembaga zakat terdepan di negeri tercinta ini dan dapat mengurangi ketegangan politik Indonesia-Malaysia. Amin!

Introduction