Minggu, 31 Januari 2010

ESENSI BACAAN BASMALAH

“Awali harimu dengan basmalah.” Demikian pesan sederhana yang seringkali kita dengar. Sejak kecil, kita tentu telah diajari oleh orang tua kita untuk selalu mengawali setiap pekerjaan dengan basmalah, seperti sebelum makan, sebelum berangkat sekolah, sebelum naik kendaraan, hingga sebelum tidur. Basmalah ibarat pintu pembuka berkah. Jika setiap pekerjaan dimulai dengan basmalah, niscaya Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan dan keselamatan.

Namun, seiring dengan proses perkembangan jiwa dan bertambahnya pengalaman, nampaknya basmalah tidak lagi populer. Beruntunglah bagi sebagian kita yang akrab dengan lingkungan religius. Basmalah sudah menjadi bagian dari rutinitas. Namun, bagi sebagian kita yang lain yang terjun dalam dinamika dunia sekuler, nampaknya basmalah merupakan benda asing. Logika kita mengatakan, tanpa basmalah pun semua keinginan dapat diwujudkan asalkan ada perencanaan yang matang, pelaksanaan yang prosedural, pengawasan yang ketat hingga evaluasi yang komprehensif. Allah yang termaktub dalam lafal basmalah hanyalah kata klise yang berlaku bagi orang-orang awam yang terbelakang pendidikannya.

Dalam pengalaman keseharian yang lain, kita bisa sukses tanpa memulai dengan basmalah. Misalnya, saat makan, tanpa basmalah, kita pun bisa kenyang. Ketika kita berkendara, tanpa basmalah pun kita bisa selamat sampai tujuan. Tatkala kita mengerjakan tugas-tugas kantor, kita mampu menyelesaikannya dengan hasil sempurna. Apalagi kalau kita melihat bahwa berbagai prestasi telah ditorehkan para pakar sains yang tidak pernah membasahi muka mereka dengan air wudhu. Lalu, apa makna esensi bacaan basmalah? Benarkah pekerjaan tanpa basmalah akan terputus dan gagal?

Pada dasarnya ada alur pikir yang terputus ketika kita mengikuti cara pandang di atas. Benar memang, basmalah bukanlah kata-kata mantra yang diucapkan para penyihir. Basmalah juga bukanlah kalimat yang bisa merubah gunung menjadi emas (kecuali mukjizat). Tetapi, esensi basmalah adalah adanya pengakuan kita kepada kekuatan ghaib Tuhan yang Maha Perkasa. Kalau kita mau jujur, seberapa besar kemampuan manusia mengontrol segala keinginannya? Pernahkah kita teliti berapa banyak orang yang depresi berat gara-gara hanya mengandalkan logika matematika belaka? Di sinilah letak fungsi basmalah yang dapat menjadi perisai seorang mukmin untuk tetap bekerja keras sesuai dengan keahliannya lalu berserah diri atas segala usahanya. Ia akan bersyukur ketika semua usahanya sukses dan akan tabah serta tawakkal tatkala usahanya gagal. Ia selalu memiliki tempat berteduh dan bergantung di saat suka dan duka.

Ada beberapa contoh yang bisa diambil dari perjalanan sejarah untuk menguatkan esensi basmalah. Fir’aun dan Abrahah adalah dua sosok manusia yang ingin mengungguli kekuatan Allah. Fir’aun dengan segala kekuasaan dan keangkuhannya menyatakan diri sebagai tuhan yang dapat menimpakan azab kepada orang yang menentangnya, seperti kisah Masyitah. Perempuan yang biasa membantu merawat anaknya itu harus rela dihukum akibat melafalkan kata basmalah ketika sisirnya terjatuh. Abrahah pada kisah yang lain ingin merobohkan Ka’bah agar pusat ibadah itu pindah ke negerinya. Menurut logika biasa, Fir’aun pastilah berada di atas angin karena tidak ada pesaing yang bisa mengalahkannya. Bahkan saat mengejar Musa dan kawan-kawannya, sebenarnya Fir’aun akan dengan mudah menangkap mereka untuk segera disalib. Tetapi, Allah menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Laut merah tiba-tiba terbelah, lalu rombongan Musa lewat dengan selamat, sedangkan Fir’aun dan pasukannya harus rela meregang nyawa di laut itu. Begitu juga Abrahah dan pasukan gajahnya seakan-akan tak ada yang bisa menghalangi keinginannya. Tapi, Allah mengirimkan kawanan burung ababil yang membawa kerikil panas sehingga meluluhlantakkan mereka seperti dedaunan yang dimakan ulat. Inilah sebagian dari tanda-tanda keperkasaan Allah SWT yang ditunjukkan agar manusia tidak tertipu oleh pikiran piciknya.

Dengan memahami kisah di atas, tampak jelas bahwa lafal basmalah merupakan bentuk pertahanan bagi seorang muslim dalam mengarungi samudera kehidupannya. Walau manusia dikarunia kemampuan untuk merencanakan hidupnya, tetapi Allahlah yang berhak menentukan jalannya. Sedetail apapun pikiran manusia untuk mengantisipasi segala kemungkinan, ia tidak akan berani menjamin 100% kebenaran perkiraannya. Dalam dunia ilmiah, hal ini pun diakui sebagai unsur probabilitas, atau faktor X yang umumnya ditulis dengan angka sekitar 1%. Faktor X itu mampu membalikkan 99% keyakinan perhitungan manusia dalam waktu sekejap. Itulah kekuatan Allah yang tak terdeteksi oleh daya nalar manusia.

Akhirnya, membaca basmalah selain bernilai ibadah, juga bermanfaat sebagai penyandaran diri kita kepada zat yang Maha Gagah. Kepada-Nyalah kita bermohon dan kepada-Nyalah kita berharap. Tak ada kekuatan apa pun yang bisa menandingi kebesaran-Nya. Karena Dia memang pemilik segala sesuatu di langit dan di bumi. Dia Maha Satu dan Maha Kekal. Usaha keras yang disertai dengan kepasrahan yang tulus kepada-Nya adalah kombinasi harmonis bagi kesuksesan seseorang, baik untuk keperluan dunianya maupun untuk kepentingan akhiratnya. Semoga kita bisa membiasakan diri dengan membaca basmalah secara tulus di setiap aktifitas serta mampu menghayatinya dengan penuh kesadaran. Wa Allah a’lam.

MANAGEMENT BY PRODUCT VIS A VIS MANAGEMENT BY PROCESS

Dalam menjalankan sebuah organisasi, lazimnya ada dua model manajemen yang biasa diterapkan dalam mencapai tujuan, yakni management by product dan management by process. Kedua jenis ini memiliki logika yang berbeda. Manajemen tipe pertama lebih menekan kepada produk yang dicapai tanpa banyak memperhatikan proses yang dilakukan. Pendeknya, tujuan utama adalah hasil pencapaian. Proses memang diperlukan tetapi kalau hasilnya tidak maksimal maka proses apapun tidak akan diperhitungkan. Sebaliknya, manajemen tipe kedua meniscayakan organisasi itu memperhatikan lebih banyak kepada upaya pencapaian tujuan. Hasil tidaklah menjadi prioritas utama. Logika yang dibangun adalah bahwa proses lebih penting ketimbang hasil. Cara pandang seperti ini bukan berarti tidak mengindahkan arti sebuah prestasi, tetapi dengan proses yang baik, harapannya hasil maksimal pun dapat diraih dengan gemilang.

Menyikapi kedua jenis manajemen di atas, perlu kiranya kita menimbang jenis manajemen yang tepat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kehidupan personal. Kita tentu memiliki visi dan misi sebagaimana sebuah organisasi, meskipun hal itu tidak tertulis dan dirancang dalam sebuh rapat kerja. Namun, hal yang pasti, kita perlu menggunakan sebuah manajemen sesuai dengan karakter kita. Pada saat kita memilih management by product, berarti kita termasuk orang yang lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Kita termasuk orang ambisius yang bisa jadi akan terjebak dalam kebiasaan menghalalkan sebagai cara, jika hal itu mampu mengantarkan kita kepada tujuan. Misalnya, kita ingin menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten. Dalam bayangan kita, status sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah jabatan yang cukup prestisius sehingga dapat mengangkat martabat kita dari warga biasa menjadi tokoh yang diagungkan. Tatkala kita belum mendapatkan simpati publik, maka kita akan melakukan apa saja, mulai dari pencitraan positif, bagi-bagi sembako, hingga politik uang demi tercapainya tujuan tersebut. Uniknya, apabila kita terpilih tanpa dukungan yang tulus, keberadaan kita sebagai tokoh masyarakat hanya akan menjadi buah mulut yang cukup menyiksa.

Berbeda dengan situasi ketika kita lebih mengutamakan proses. Kita tidak mematok target bahwa kita harus menduduki jabatan tertentu. Tetapi, kita telah melakukan proses panjang untuk mendulang dukungan khalayak ramai. Misalnya, kita telah melakukan banyak peran di masyarakat, kita tidak selalu mengkalkulasi setiap usaha kita dengan materi. Bahkan, saat ada kesempatan menjadi anggota dewan, kita justru tidak memaksakan diri untuk menduduki jabatan tersebut. Sebaliknya, aspirasi masyarakatlah yang mendorong kita untuk mencalonkan diri. Pandangan masyarakat yang obyektif terhadap segenap karya kita akan menjadi mesin kampanye yang jauh lebih efektif ketimbang panggung terbuka dengan orasi penuh janji dalam waktu terbatas. Dukungan masyarakat pun akan mengalir saat kita benar-benar terpilih menjadi pemimpin mereka. Istilah politiknya kita benar-benar legitimate (didukung penuh).

Dalam kasus lain, ketika kita memiliki seorang anak yang duduk di bangku sekolah, kalau kita menerapkan management by product, maka kita akan memaksa sang anak untuk meraih prestasi setinggi-tingginya tanpa peduli usaha apa yang ia lakukan. Sang anak akan terbebani untuk selalu meraih ranking di kelas, dengan cara apapun. Kalau memang ternyata tidak mampu, ia akan terbiasa mencontek atau bahkan melakukan hal-hal naif untuk mengalahkan para pesaingnya. Berbeda halnya kalau kita menerapkan sikap management by process. Kita memang menginginkan anak kita berprestasi, tetapi kita tidak membiarkannya begitu saja. Kita beri dia buku-buku yang dibutuhkan, kalau perlu malah kita kursuskan dalam berbagai lembaga bimbingan belajar (semacam lembaga Privasia dan Askia di Semarang, Primagama dan Nurul Fikri di Jakarta atau Neutron di Yogyakarta) sehingga ia akan bersemangat belajar. Masalah studi yang dia hadapi dapat dipecahkan dengan tuntas sehingga kecerdasannya pun semakin terasah. Ia tidak akan stres dengan hasil belajarnya tetapi ia akan puas bahwa ia telah mengerahkan segala upayanya untuk meraih prestasi. Semangat yang tinggi yang dikuti dengan usaha keras biasanya akan diiringi dengan prestasi yang cemerlang.

Pada akhirnya, kita bebas menentukan tipe manajemen yang kita terapkan. Kedua model manajemen di atas memiliki karakter yang berbeda. Hanya saja, management by product cenderung akan memberikan beban lebih berat karena pencapaian target sangat kaku sementara management by process lebih menekankan kepada pemahaman situasi dan proses yang nampak natural. Semoga pilihan kita dapat mengantarkan kita untuk meraih impian di masa depan. Amin. Wa Allah a'lam.

Sabtu, 30 Januari 2010

KETIKA BADAN MENUNTUT HAKNYA

Setiap hari, kita tentu melakukan sejumlah aktifitas yang menguras energi. Tubuh kita yang merupakan fasilitas utama kegiatan harian itu memiliki kapasitas tertentu yang memang berbeda pada setiap individu. Meskipun begitu, ambang batas maksimal mesti kita pedulikan bila tidak ingin mengalami ketidakseimbangan. Tubuh memiliki ukuran sendiri kapan ia harus bekerja keras dan kapan pula ia menuntut kesempatan rileks. Dalam kondisi kerja, seluruh perhatian dan tenaga dikerahkan untuk meraih apa yang kita inginkan. Dorongan jiwa menjadi pemacu utama kinerja tubuh untuk memberikan prestasi yang terbaik. Tatkala tujuan telah tercapai, badan membutuhkan pemulihan yang tidak sebentar. Ia ibarat mesin yang jika tidak diistirahatkan dalam jangka waktu tertentu akan cepat aus dan terbakar. Oleh sebab itu, kita perlu mengalokasikan waktu yang cukup untuk bersantai dan bersenda gurau.

Terkait dengan bahasan ini, Rasullah pernah mendapat aduan dari isteri seorang sahabat yang begitu getol beribadah. Sang suami itu saking semangatnya hampir-hampir melupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Ia lupa kalau ia punya isteri dan anak yang membutuhkan curahan kasih sayangnya. Pada kesempatan lain, Rasullah sempat mendengar obrolan para sahabat yang beradu kesalehan. Salah satu sahabat ingin menggunakan seluruh waktu siangnya untuk berpuasa sementara sahabat yang lain ingin memanfaatkan segenap waktu malamnya untuk mendirikan shalat. Dari kedua peristiwa ini, Rasullah bersabda bahwa untuk menjadi seorang mukmin sempurna, tidaklah lazim bagi mereka untuk menggunakan seluruh waktunya demi menjalankan ibadah. Ia harus pandai membagi waktu untuk bekerja di pasar, mengurus keluarga, dan beribadah. Dalam hadis itu disebutkan bahwa setiap mata mempunyai hak untuk dipejamkan, setiap bagian tubuh memerlukan waktu untuk memulihkan tenaga, dan setiap isteri mempunyai hak atas diri suaminya. Pesan Rasullah yang sangat manusiawi tersebut nampak relevan dengan tulisan ini, karena memang badan kita bisa diforsir sedemikian rupa untuk kepentingan pencapaian ambisi, namun ia juga membutuhkan waktu untuk masa pemulihan. Oleh karenanya, menjaga tubuh agar tetap bugar merupakan kewajiban bagi kita, sang empunya badan.

Tubuh yang dilayani secara seimbang cenderung akan memberikan pelayanan yang prima. Sebaliknya, badan yang dieksploitasi tanpa dibarengi dengan upaya perawatan suatu saat pasti akan ‘berontak.’ Salah satu bentuk ‘pemberontakan’ itu adalah munculnya rasa sakit. Dalam kondisi sakit, seseorang biasanya baru sadar bahwa selama ini ia tidak mempedulikan nikmatnya sehat. Baginya, waktu adalah uang, sehingga ia merelakan masa istirahatnya untuk mengejar karir dan prestise. Tatkala ia tergeletak tak berdaya, muncullah kesadaran bahwa apa yang ia kejar selama ini hanyalah fatamurgana. Mungkin ia sukses, tapi ternyata ia tidak dapat menikmati kesuksesannya itu. Ia bisa jadi akan dikeluarkan dari pekerjaannya akibat tubuhnya yang tidak lagi berfungsi dengan sempurna. Penyesalan tinggallah penyesalan. Nasi sudah menjadi bubur. Tinggallah kesempatannya untuk menggunakan bubur itu sebaik mungkin, tanpa harus meratapi kenapa sudah menjadi bubur.

Tubuh mempunyai batas masa pakai. Ia perlu regenerasi sel. Kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan jika tubuh benar-benar rileks. Untuk itu, para ahli kesehatan menyarankan agar kita menyediakan waktu untuk istirahat total sekitar 6-7 jam setiap harinya. Itu artinya kita dapat melakukan aktifitas penuh seharian lalu kita bisa tidur mulai pukul 9 malam dan bangun sekitar pukul 3-4 pagi. Waktu yang masih dini itu bisa diisi dengan shalat malam menjelang subuh. Ini nampaknya bisa menjadi salah satu alternatif jadwal rutin seorang muslim yang ingin memposisikan tubuhnya sebagai sarana ibadah. Semoga kita dapat menjadikan badan kita yang masih segar bugar ini sebagai modal ibadah demi meraih kebahagiaan yang hakiki. Amin.

Jumat, 29 Januari 2010

MENJADI SUAMI SEJATI

Predikat suami sejati merupakan dambaan setiap lelaki. Ia akan bangga ketika dapat melakukan segala usaha yang terbaik untuk keluarganya: istri dan anak-anaknya. Suami bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada keluarganya sejak pertama kali ia mengikrarkan akad nikah di hadapan penghulu. Kewajiban yang tumbuh atas ikatan suci itu meniscayakan suami untuk tidak lagi egois memikirkan kepentingan diri sendiri namun harus mulai berbagi dengan pasangan jiwanya. Saat masih bujang, ia dapat menggunakan seluruh waktunya untuk memenuhi segala keinginannya. Tetapi, ketika sudah beristri, ia harus mampu mendengarkan keinginan pujaan hatinya itu sehingga mau tidak mau perlu menyisihkan waktu dan perhatiannya untuk mempertahan biduk rumah tangga. Alhasil, suami sejati harus belajar banyak untuk dapat menjadi partner hidup ideal sang istri secara total.

Perlu disadari, menjadi suami sejati tidaklah mudah. Halangan dan rintangan seakan tiada habisnya menghadang setiap orang yang menginginkannya. Ditambah lagi dengan karakter dan pola pikir yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Lelaki biasanya mengutamakan kekuatan rasional sedangkan perempuan cenderung mendahulukan emosi. Cara pandang ini seringkali harus diselaraskan demi terwujudnya keharmonisan. Jika tidak, rasanya sulit terciptanya suasana damai dalam rumah tangga. Untuk itu, menjadi suami sejati harus mampu memilah kapan ia harus menggunakan naluri maskulinnya dan kapan pula harus merelakan diri untuk mengikuti watak feminin pasangannya. Dengan demikian, kecerdasan emosional menjadi suatu keniscayaan bagi suami teladan.

Dalam beberapa kasus, lelaki harus berani menanggalkan egonya saat suasana rumah tangga dalam situasi sulit. Sebagai misal, ketika istrinya sakit sedangkan anak-anaknya yang masih balita membutuhkan perawatan ekstra, seorang suami harus rela bangun pagi untuk memasak air, memandikan anaknya, menggoreng telur, membuat mi rebus, menyuapi makan, kemudian mengantar ke sekolah. Ia juga harus siap mencuci piring, memasak nasi, ataupun mencuci pakaian yang dalam tatanan rumah tangga biasanya ditangani istri. Suami harus mampu menjalankan tugas-tugas tersebut dengan tulus agar ia dapat melakukan pekerjaan itu dengan tuntas. Bila demikian, suami akan mudah mandiri ketika sang isteri berhalangan untuk menjalankan tugas-tugas rutinnya. Istri akan bangga ketika suaminya dapat menyelesaikan tugas rumah tangga tanpa perasaan risih atau kesal. Istri akan semakin sayang kepada suami yang mengerti tentang pekerjaan rumah yang memang harus ditopang bersama. Inilah wujud suami ideal, suami yang layak mendapat predikat suami idaman. Pertanyaannya kemudian, bisakah kita menjadi suami sejati? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

ISTIQAMAH…LAH...!!!

Jalan hidup selalu berputar
Kadang naik kadang turun kadang datar
Memantul-mantul dan berpendar
Menguji murninya emas anti pudar

Tapi,
Bila kau ingin raih impian
Jangan sering tengok kiri-kanan
Luruskan pandangan
Tatap ke depan
Istiqamah sepanjang jalan…!!!

Simpan air mata
Sirnakan duka lara
Hadapi rintangan
Tunjukkan ketabahan
Tancapkan keberanian
Teguhkan tekad maju ke depan
Niscaya kau raih semua harapan…




URAIAN

Kata istiqamah sering kita dengar bahkan kita begitu lancar melafalkannya. Tapi, apakah kata itu sudah meresap dalam relung hati kita?

Terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang sulit. Satu sisi kita ingin mengubah jalan hidup, sisi lain nasib saat ini belum begitu menggembirakan. Jadi, kita sering terombang-ambing di tengah-tengah banyak pilihan. Apalagi, kolega kanan-kiri sering menghembuskan kata-kata indah agar kita segera berubah pikiran untuk melepas apa yang ada dan berganti haluan menuju jalan lain yang belum kita kenal. Bahayanya, apabila tidak didasari perenungan yang matang, kita bisa jadi kehilangan dua-duanya: pekerjaan awal yang sudah digeluti dan pekerjaan akhir yang lebih tidak pasti.

Satu kata yang harus tetap terpatri dalam hati adalah istiqamah. Kata ini meniscayakan kita untuk tetap teguh melaksanakan tugas dan pekerjaan kita. Kata ini pula akan menjadikan kita tahan terhadap apapun resiko yang menghadang saat kita memperjuangkan cita-cita kita, sebuah visi yang sudah sekian lama kita pancang. Jika kita tetap pada pendirian, niscaya kita akan mampu meraih sukses kelak kemudian.

DAKWAH DENGAN TULISAN

Setiap ucapan yang dituturkan memuat satu pesan
Pikiran yang dilontarkan
Akan ditangkap oleh indera pendengaran
Sekali didengar, sekali dipahami, sekali dilakukan

Tapi tidak jarang,
Sekali didengar, sekali tidak dipahami, selamanya hilang
Sungguh sayang
Dakwah dengan lisan tak berusia panjang

Itulah mengapa Allah memerintahkan kita untuk membaca
Membaca dengan nama Tuhan yang mengajarkan dengan pena
Pena ibarat pahat baja
Menorehkan pikiran di atas batu pusaka

Dakwah dengan tulisan
Akan kekal sepanjang zaman
Tulisan akan lebih tahan
Walau tidak dipahami kini
Masih mungkin dihayati nanti

Selama tulisan itu masih ada
Selama goresan itu bisa dibaca
Dikenang sepanjang masa
Meski sang penulis telah tiada

Mari menulis
Mengabadikan diri dalam bahasa
Mengubah dunia dengan kata

Kamis, 28 Januari 2010

INDAHNYA SENYUMAN

Manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya. Adakalanya potensi itu dapat ditemukan sendiri namun tidak sedikit potensi yang tidur lelap hingga perlu ada orang lain yang membangunkannya. Potensi marah sebagai misal, tanpa ada orang lain yang mengajari marah, anak bayi pun ketika keinginannya tidak terpenuhi akan mengekspresikan kekesalannya dalam bentuk marah. Orang tidur lalu diganggu akan langsung marah tanpa harus ada aba-aba untuk segera marah. Dengan demikian, potensi marah bisa kita sebut sebagai potensi yang mudah muncul. Berbeda dengan senyum, potensi ini merupakan ekspresi kondisi jiwa seseorang, seperti halnya marah. Namun, dalam kenyataannya seseorang tidak mudah mengekspresikan senyuman, tetapi perlu ada faktor pendorong untuk tersenyum. Senyum membutuhkan hati yang teduh, perasaan yang damai, situasi yang tenteram, dan kesadaran untuk tersenyum. Seseorang yang biasa cemberut akan sulit untuk sekedar berbagi senyuman kepada orang lain.

Senyum merupakan salah satu wujud keindahan. Allah adalah pecinta keindahan. Rasulullah adalah sosok panutan umat nomor wahid yang selalu menyungging seulas senyuman. Ketika bertemu orang yang baru kita kenal, senyum adalah sinyal persahabatan. Senyum juga dapat mencairkan suasana komunikasi yang beku. Bayangkan ketika kita ingin berkenalan dengan tetangga baru namun ia tidak pernah melempar senyum sedikitpun, tentu kita akan berpikir seribu kali atau kalau perlu sejuta kali sebelum kita menyapanya. Jangan-jangan senyuman kita tidak berbalas. Atau, kalau ternyata ia orang yang sangat perasa, senyum sapaan kita bisa-bisa membuatnya tersinggung sehingga malah memicu kemarahan. Hal ini akan berbeda suasananya ketika tetangga itu membalas sapaan kita dengan senyuman. Tentu, kita akan mudah menjalin komunikasi lebih lanjut.

Senyum dapat meredakan jiwa yang gelisah. Di saat kita menghadapi masalah besar, senyum adalah salah satu penawarnya. Dengan senyum jiwa kita akan sedikit rileks, tekanan darah kembali normal, orang-orang sekitar kita pun akan menganggap kita begitu tegar dan sabar (he..he..walaupun sebenarnya dalam hati ini…huhhh…gerrrramm dan kesal tak terkira…!!!). Paling tidak, senyuman dapat merubah suasana tegang mencari santai, suasana sedih menjadi sedikit ceria, suasana curiga menjadi penuh keakraban.

Senyum dapat pula menyamarkan kekurangan di wajah kita. Cobalah kita ambil cermin dan melihat pantulan wajah kita. Mari kita bandingkan raut muka kita saat marah, diam, dan senyum. Dengan jujur, mana gambar muka yang paling menyenangkan dan enak dipandang? Saya yakin, wajah yang kita pilih adalah dalam posisi tersenyum. Jangankan wajah kita yang sudah lumayan cakep (wah jadi ge’err) ini tersenyum, wajah anak bayi atau bahkan orang manula pun akan lebih nyaman dipandang ketika mereka menyuguhkan seulas senyuman. Lega rasanya kalau kita melihat senyum mereka. Seakan-akan darah ini kembali mengalir dan matahari pun kembali bersinar. Beda halnya kalau kita cemberut, selain akan menguras tenaga otot-otot muka untuk semakin tegang--yang oleh sebab itu akan membuat orang akan nampak lebih berumur--wajah kita yang mungkin tergolong pas-pasan tidak ada lagi sisi-sisinya yang enak dipandang. Wah, ini tentu musibah ganda, sudah jatuh tertimpa tangga!

Mengingat pentingnya sebuah senyuman, nampaknya kita perlu latihan senyum, senyum yang tulus tanpa dibuat-buat. Saat kita bertemu kawan, senyum adalah pembukanya. Saat kita dirundung kesedihan, senyum adalah penawarnya. Saat kita marah besar, senyum adalah peredanya. Tapi kalau sedang tidak punya uang, senyum tentu tidak akan mendatangkan uang secara langsung, tetapi setidaknya orang akan simpati kepada kita yang murah senyum (he..he..). Mereka akan dengan ringannya mengulurkan bantuan kepada kita yang dianggap baik hati (wow!!). Dengan demikian, senyum ternyata memiliki banyak manfaat. Nah, oleh sebab itu, mengapa kita tidak segera membiasakan diri untuk tersenyum tulus mulai sekarang? Wa Allah a’lam.

Rabu, 27 Januari 2010

PERLUNYA BELAJAR "BOHONG"

Kita tentu sepakat bahwa secara umum, kebohongan adalah perbuatan tercela. kebohongan merupakan awal dari kehancuran, baik bagi si pelaku atau bagi korbannya. Sekali seseorang berbohong, ia akan terus-menerus dituntut membuat kebohongan lain demi menutupi kebohongannya. Misalnya, seorang laki-laki belum menikah, tetapi mengaku sudah beristri, maka ia akan sibuk mengarang cerita tentang asal-usul istrinya, watak mertuanya, atau pertumbuhan anak-anaknya. Oleh sebab itu, sebuah hadis nabi menegaskan bahwa kebiasaan berbohong akan mengantarkan seseorang keburukan, sedangkan keburukan akan mengantarkannya ke neraka. Dalam redaksi lain, Rasulullah juga mengingatkan kepada kita bahwa salah satu dari tanda-tanda orang munafik adalah berkata bohong. Oleh sebab itu, kebohongan nampak jelas sebagai perbuatan yang sangat merugikan.

Namun, adakalanya tidak dipungkiri bahwa kita terkadang dipaksa oleh keadaan untuk berbohong. Berkata jujur ternyata justru akan mengakibatkan keburukan atau bahkan malapetaka bagi orang lain. Kondisi semacam ini sering disebut kebohongan putih (white lie). kenapa harus berbohong? Coba kita renungkan kasus berikut ini. Ada seorang ibu memiliki anak balita yang sakit keras. Anak itu dibawa ke rumah sakit dan setelah dilakukan sejumlah perawatan, tim dokter menyatakan bahwa sang anak akan menemui ajalnya dalam waktu tidak terlalu lama. Pendeknya, jiwa anak itu dalam kalkulasi medis tidak dapat diselamatkan. Perwakilan dokter memanggil salah satu anggota keluarga itu, paman si balita, untuk menyampaikan hasil akhir pemeriksaan. Sang paman pun kaget namun tidak serta merta menyampaikan hal itu kepada ibu si balita. Ia mencoba mengatakan kepada kakaknya itu bahwa sang anak akan sembuh jika dirawat dengan baik dan diberikan kasih sayang setulus hati. Sang ibu, meskipun agak kurang yakin, namun atas penyataan adiknya itu, bertambah gigih untuk memompa semangat hidup anaknya. Hingga pada akhir perawatan, keajaiban pun datang. Kondisi si anak membaik dan akhirnya bisa pulang dengan kondisi sehat seperti sediakala.
Dari kasus ini, andaisaja si paman tadi berkata jujur apa adanya seperti pernyataan dokter, tentu sang ibu akan shock dan bisa-bisa ikut-ikutan sakit sementara sang anak akan semakin kritis. Inilah bukti bahwa mempelajari kebohongan putih menjadi niscaya.

Contoh lain, ketika seorang suami menikmati hidangan buatan istrinya, ia merasa ada yang kurang. tetapi menghadapi hal itu, sang suami dengan bijak berkata lembut kepada istrinya seraya memuji menu masakan yang dihidangkan. sang istri pun tersipu malu sambil berjanji akan terus berlatih memasak agar suaminya semakin senang. Pada kondisi ini, seandainya sang suami berkata jujur, bahwa rasa masakan istrinya sungguh sangat mengerikan (he...he...), tentu bukan hanya istrinya mogok memasak, tetapi perang dunia ke-3 akan segera terjadi. Piring-gelas bisa beterbangan dengan suara dentuman bak meriam yang meledak di Herosima dan Nagasaki diiringi tangisan yang menyayat hati. (weleh...weleh!!!).

Dari dua contoh di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa berbohong untuk kebaikan ternyata sangat diperlukan dan oleh sebab itu harus dipelajari. Latihan untuk membuat pernyataan-pernyataan yang menyejukkan perlu dilakukan agar ketika kondisi genting menghampiri kita, kita tidak serta merta dengan lugu berkata apa adanya. Di sana ada kebijakan demi suatu kebajikan. Di sana ada kedewasaan untuk mewujudkan kedamaian. Semoga kita bisa melakukannya secara tepat demi kemaslahatan yang lebih besar. Amin.

ADA DEMAM BLOG DI JATISARI ELOK

Ngeblog merupakan aktifitas yang menyenangkan. Apalagi, kalau hasil karya kita yang terpampang di layar blog dapat dinikmati oleh kolega kita pada khususnya atau bahkan masyarakat luas pada umumnya. Ngeblog sebenarnya tidaklah membutuhkan keterampilan yang rumit. Rasa-rasanya juga tidak perlu kursus serius. Kita cukup membuka layanan blog gratis lalu mengikuti instruksinya. Paling lama 10 menit, blog sudah dapat kita miliki. Dengan blog, kita dapat menulis apa saja sekehendak kita; mulai cerita harian, pengalaman unik, foto pribadi, hingga kata-kata mutiara yang dapat menggetarkan jiwa. Pendek kata, ngeblog tidak kalah seru dengan facebook-an atau nge-game. Apa yang kita sajikan akan dapat diakses oleh semua orang, di mana pun dan kapan pun. Siapa tahu, dengan ngeblog, kita memperoleh sumber baru cadangan amal untuk tabungan akherat. Wow, keren kan?

Berkaitan dengan blog-mengeblog, ada satu pemandangan yang menarik di kampung saya, Jatisari Elok, akhir-akhir ini. Meskipun blog sudah populer beberapa tahun lalu, namun nampaknya baru belakangan ini kawan-kawan saya sibuk mengaktifkan dan mengisi blog. Motifnya pun bervariasi. Ada yang sudah bosan dengan tren facebook-an, sebagian ada yang ingin menjadikan sebagai tempat dakwah (ini pasti tergolong calon ahli surga, he..he), ada pula yang ingin menjadikan blog sebagai sarana komunikasi bisnis dan marketing (nah, yang ini tentu pengusaha…). Lumayan kan, itung-itung kita punya website gratis. Wah, saya jadi ikutan senang ngeblog lagi setelah beberapa bulan vakum tidak mengisi lembaran blog.

Bagi saya, blog adalah sarana menyampaikan pikiran ke khalayak ramai. Blog milik saya yang berjudul “Islamic Philanthropy” dimaksudkan untuk memaparkan gagasan, pemikiran, renungan, dan unek-unek yang berkaitan dengan semangat berbagi dalam Islam. Di samping itu, blog tersebut saya dedikasikan sebagai media untuk menyampaikan pengalaman langsung/tidak langsung, hasil observasi, atau perasaan yang muncul ketika suatu kejadian menimpa saya. Dengan demikian, saya dapat berekspresi, bereksplorasi, dan berimajinasi tentang apa saja. Saya berharap, semoga blog sederhana ini dapat memberikan manfaat untuk diri saya sendiri dan untuk siapa pun yang berkenan mampir demi sekedar membaca satu atau dua kalimat. Dengan demikian, blog bisa memberikan manfaat luar biasa, tidak hanya untuk sekarang dan jangka pendek tetapi bisa juga untuk masa mendatang dan jangka panjang. Siapa tahu, jika suatu saat nanti kita sedang mengalami krisis amal jariyah, ternyata blog dapat menyumbangkan segudang kebaikan untuk kemuliaan dan keselamatan kita. Wa Allah A’lam.

Senin, 25 Januari 2010

GURU KEHIDUPAN

Pernahkah kita merenung siapa sebenarnya orang yang paling berpengaruh dalam hidup kita hingga detik ini? Secara ideal, seorang muslim nampaknya harus meletakkan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh idolanya. Ya, nabi akhir zaman ini telah memberikan suri tauladan yang baik dan sempurna untuk kita dan bahkan untuk seluruh umat manusia. Beliau telah diakui sebagai tokoh nomor satu paling berpengaruh sepanjang zaman. Namun, ada satu hal yang sulit kita peroleh dari beliau, yakni visualisasi akhlak mulia itu dalam realitas kehidupan.

Dalam teori pendidikan, contoh langsung memegang kunci penting dalam upaya mentransfer sebuah perilaku atau pengetahuan. Sebagai contoh, beberapa tahun lalu dunia pendidikan kita secara massif digerakkan untuk mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Itu artinya, bahwa kompetensi yang memang harus dimiliki peserta didik perlu dikaitkan dengan realitas kehidupan, bukan semata-mata hanya dalam tataran teoritik. Murid harus dibawa ke alam bebas untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa alam agar lebih memahami apa yang diajarkan di kelas. Begitu pula dalam hal etika, murid harus diberi contoh oleh guru, kalau perlu diberi tugas untuk menyusun drama pendek tentang pentingnya menghormati orang tua, sebagai misal. Jika dikaitkan dengan visualisasi Nabi Muhammad sebagai ikon manusia sempurna untuk diteladani, nampaknya untuk saat ini agak sulit diwujudkan. Oleh sebab itu, cara termudah untuk melihat keagungan akhlak beliau dalam realitas dapat dilihat pada akhlak sejumlah ulama, kiayi, atau tokoh yang dapat diakses oleh siapa pun dan dimana pun.

Sehubungan dengan sosok idola, saya sebenarnya telah memiliki sejumlah nama yang telah berhasil mewarnai pola pikir dan kerja saya hingga saat ini. Sedari kecil, seperti anak-anak seusia saya waktu itu, saya sudah mampu menilai dan menentukan pilihan siapa tokoh terdekat yang berhasil mencuri perhatian. Waktu itu, saya kagum kepada guru matematika saya, yakni Pak Mahalli. Hampir seluruh murid di Madrasah Ibtidaiyyah tempat saya sekolah mengidolakan beliau. Beberapa sifat mulia yang beliau tunjukkan kepada kami adalah sikap sopan, lembut, murah senyum, tidak pernah marah, dan penyayang, di samping secara fisik, orangnya gagah dan tampan. Oleh sebab itu, saya waktu itu sempat berpikir, mungkin ini adalah nabi Muhammad yang datang pada masa saya.

Seiring perkembangan waktu, saat saya memasuki sekolah Madrasah Tsanawiyyah, saya kembali menemukan sosok baru yang alim, penyabar, dan dihormati. Beliau adalah guru pelajaran akhlak dan al-Qur’an bagi kami di kelas. Namanya pak Anam. Saya selalu dibuat kagum oleh cara beliau mengajarkan nilai-nilai agama dengan metode yang sangat mudah kami pahami. Hampir seluruh murid mengidolakan beliau. Bagi saya, beliau adalah pengganti pak Mahalli yang telah lebih dulu saya idolakan. Tetapi, pak Anam memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang ilmu agama. Beliau adalah alumnus pesantren. Di akhir studi, saya sempat belajar kitab kuning Fathul Qarib secara mandiri di rumah beliau sebagai persiapan saya untuk ujian masuk Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang. Saya sungguh berhutang budi kepada beliau karena materi yang beliau ajarkan kepada saya merupakan materi yang diujikan dalam seleksi tersebut. Limpahan ilmu baca kitab yang beliau ajarkan merupakan bekal yang sangat berharga saat saya mondok kelak.

Ketika saya diterima di Madrasah Aliyah Program Khusus Denanyar, sosok “Nabi Muhammad” justru saya temukan dalam jumlah banyak. Pertama-tama yang saya kenal adalah ustad Mughni, lalu ustad Najib. Begitu terkesannya saya kepada kedua guru saya itu membuat saya ingin menjadi seperti mereka. Ustad Mughni adalah guru bidang Bahasa Arab dan Tahfidz sedangkan Ustad Najib adalah guru bidang fikih. Ustad Mughni selaku pengasuh asrama sangat dekat dan sayang kepada seluruh murid tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Tidak ada satu pun dari kami yang luput dari kasih sayangnya. Semua sama dan semua rata. Adapun Ustad Najib adalah guru muda energik yang mampu membaca kitab kuning tanpa harus belajar terlebih dahulu. Kalau boleh dibilang, beliau adalah sosok Gus yang memiliki bakat ilmu laduni. Saya semakin kagum saja kepada beliau. Adapun guru lain yang kemudian saya kenal dan mampu mewarnai hidup saya adalah pak Agus yang mengajar Bahasa Inggris. Meskipun beliau adalah orang yang disiplin dan keras, tetapi kemampuan beliau memformat Bahasa Inggris menjadi materi pelajaran yang menyenangkan telah membuat bakat saya di bidang ini menjadi sangat menonjol. Saya patut bersyukur kepada Allah yang telah memberikan sejumlah guru yang begitu gigih mencerdaskan anak didiknya hingga kami dapat meraih impian di kemudian hari.

Ketika saya melanjutkan kuliah di Jakarta, hidup saya terasa gersang. Dosen-dosen di UIN Jakarta tak satu pun yang mampu menyita perhatian saya. Ada satu dua memang, tetapi saya tidak berhasil menjadikan mereka sebagai idola. Banyak dosen yang bergelar profesor, tetapi menurut saya, mereka tidak bisa menjadi pengajar yang baik, apalagi berani dekat dengan mahasiswa. Mereka ibarat mesin yang hanya datang mengajar lalu pulang. Pola hubungan dosen-mahasiswa bersifat transaksional, ibarat antara pedagang dan pembeli. Ketika mereka telah mengajar di kelas, berarti tugas mereka selesai, seperti pedagang yang telah menyerahkan barang yang diinginkan pembeli. Persoalan apakah barang itu bisa digunakan atau tidak, berkualitas atau tidak, nampaknya, tidak menjadi perhatian mereka. Jujur, pada awal kuliah saya merasa kecewa dengan dunia kampus. Meskipun begitu, selama sepuluh tahun saya belajar di Jakarta, untuk program S1 dan S2, saya bisa mencatat beberapa dosen yang patut dikagumi. Pertama adalah Prof Amin Suma, dan kedua adalah prof Fathurrahman Djamil. Prof Amin adalah orang yang konsisten dengan ilmunya serta gigih dalam berkarya dan berkarir. Adapun prof Fathur adalah orang yang ramah dan kompromistis di samping kedalaman ilmu dan wawasannya.

Namun, di antara kekecewaan itu, ada sepenggal waktu yang sempat saya nikmati tentang profesionalitas dosen, yakni ketika saya mengambil kursus bahasa Inggris di IALF Bali. Kursus ini merupakan persiapan bahasa untuk mengambil magister jurusan Social Science dalam program Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) di UIN Jakarta. Ini adalah master kedua bagi saya. Di Bali, saya menemukan sosok guru ideal yang memiliki orientasi memajukan anak didik tanpa kenal lelah dan batas waktu. Beliau adalah Elisabeth Hunt. Liz begitu kami memanggil adalah guru senior asal Inggris yang memiliki telenta pengajaran yang mengagungkan. Dia mampu membawa suasana kelas begitu meriah dan hidup sehingga masa kursus selama enam bulan itu tidak terasa harus berakhir. Kami sangat terkesan dengan cara beliau melayani kebutuhan akademik setiap siswanya tanpa pamrih. Beliau selalu mengalokasikan waktu khusus untuk konsultasi bagi siswa untuk diskusi tentang apa saja. Beliau tak segan-segan pula memberikan saran kritik membangun kepada setiap siswa agar mereka mampu menguasai bahsa Inggris secara mahir. Saya merasa, ia adalah ibu kedua bagi saya. Kasih sayangnya kepada murid bak cinta kasih seorang ibu kepada anak-anaknya. Gabungan antara profesionalitas pengajaran dan totalitas pembimbingan Liz telah menjadikan beliau sebagai inspirator saya dalam pola pengajaran dan pembimbingan saya kepada mahasiswa saat ini.

Ketika saya kuliah di program Interdiciplinary Islamic Studies, saya menemukan satu lagi sosok yang luar biasa. Beliau adalah prof Buckley. Bule satu ini adalah dosen filsafat. Meskipun pada awalnya saya tidak begitu senang dengan filsafat, tetapi dengan metode pengajaran beliau, saya menjadi tertarik. Hal lain yang sangat mengagumkan dari beliau adalah metode pengajaran dan pelayanan kepada mahasiswa. Hampir sama dengan Liz, Prof Buckley menggunakan metode pendekatan personal dan emosional untuk menggugah semangat belajar mahasiswa. Satu peristiwa yang tidak akan saya lupakan selama interaksi dengan beliau adalah ketika saya sakit parah dan tidak bisa mengikuti kelas beliau. Saat mengumpulkan tugas, saya tidak bisa maksimal. Bukannya saya dimarahi, tetapi justru saya dipanggil ke ruangannya dan diajari cara mudah menyelesaikan masalah dalam soal itu. Dengan sabar beliau mengatakan bahwa tulisan saya termasuk sudah bagus, apalagi dibuat di saat kondisi fisik kurang mendukung. Lalu beliau memberikan beberapa cacatan jika saya ingin membuat tugas itu menjadi lebih sempurna. Saya senang sekali ketika pada akhirnya nilai A penuh diberikan kepada saya di akhir semester. Alhamdulillah, betapa mengagumkan pengalaman ini!

Begitulah, sekelumit cerita tentang orang-orang yang telah berjasa mewarnai hidup saya. Mereka telah mendedikasikan hidup mereka untuk generasi penerus yang lebih berkualitas. Saya tidak segan-segan menyebut mereka sebagai guru kehidupan. Mereka adalah “nabi Muhammad” dalam bentuk senyatanya pada zaman di mana saya hidup. Ternyata, ada satu kunci yang bisa saya tarik dari mereka, yakni melayani manusia dengan setulus hati tanpa pamrih. Andai saja saya bisa meneladani mereka, sungguh betapa bahagianya hidup ini. Wa Allah a’lam.

Minggu, 24 Januari 2010

SELAMAT UNTUK SAHABATKU, PAK SEMBODO!

Hari ini adalah hari bahagia buat sahabatku, Pak Sembodo

Beliau sekeluarga sedang merayakan hari ulang tahun pernikahan yang ke-5

Semoga kebahagiaan selalu menaungi kehidupan rumah tangga beliau

Sesuai dengan nama beliau, semoga sembodo selalu, ya penuh dengan curahan kasih sayang

Sembodo selalu, ya penuh dengan limpahan karunia ilahi

saat ini, esok, hingga akhir nanti...Amin...

BERKAH BERPIKIR SOLVENSI

Minggu ini merupakan salah satu penggalan waktu terberat bagi saya. Cobaan silih berganti yang mengharuskan saya berpikir keras menyelesaikan masalah yang datang bertubi-tubi. Dari persoalan pribadi saya sebagai seorang mahasiswa yang punya banyak tugas akademik, sebagai dosen yang harus melakukan kegiatan pengajaran, hingga posisi saya sebagai penanggung jawab lembaga zakat dan wakaf yang sedang dirundung masalah. Ibarat seorang prajurit, saya harus berani menghadapi lawan yang terus melancarkan sejumlah serangan dan saya harus menyiapkan jurus-jurus jitu untuk menangkisnya. Jika salah sedikit saja, nasib saya akan berada di ujung tanduk. (Wah, seru sekali nampaknya!!! He..he..)

Pada hari Senin lalu, saya dihadapkan kepada masalah yang berkaitan dengan tempat kerja saya di Malang. Rektor UIN sedang tersinggung berat oleh ulah seorang mahasiswa Universiti Malaya Malaysia yang sedang melakukan penelitian tentang aplikasi zakat di lembaga Pusat Kajian Zakat dan Wakaf “eL-Zawa”, tempat saya mengabdi. Si mahasiswa yang kurang etika itu mengadu kepada rektor bahwa dana zakat, infaq, dan sedekah yang dikelola eL-Zawa tidak memiliki laporan keuangan. Setelah mendengar laporan itu, kawan-kawan saya dipanggil dan dimarahi habis-habisan bahkan beliau mengancam akan menutup lembaga filantropi itu. Saya sebagai penanggung jawab lembaga merasa perlu melakukan klarifikasi kepada beliau secepatnya.

Tetapi, kemarahan beliau ternyata tidak hanya sampai di situ, beliau juga tidak setuju tentang susunan kegiatan yang akan dilakukan oleh lembaga kami pada minggu ini, yakni acara launching wakaf uang di kampus. Menurut beliau, para pembicara yang diundang haruslah mereka yang bergelar profesor sehingga ilmu yang ditularkan dapat memberikan manfaat yang besar. Sementara, para pembicara yang kami rancang adalah mereka yang ahli di bidang wakaf uang meskipun belum bergelar profesor. Walau agak kecewa, saya mencoba menganggap peringatan keras itu sebagai pil pahit yang harus saya telan agar kemudian kelak menjadi sehat. Sehat dalam arti saya dapat memahami cara berpikir rektor dan tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya dan kawan-kawan akhirnya mencari alternatif pembicara dan membatalkan seluruh pembicara yang telah lama kami kontak sebelumnya. Malu campur bingung! Begitulah rasanya.

Belum satu masalah selesai, timbul persoalan baru. Salah satu jaminan yang dititipkan ke lembaga kami ternyata hilang. Benda berupa cincin emas bermata merah delima itu diserahkan kepada kami sebagai jaminan atas hutang sejumlah Rp 2 juta. Saya sangat terkejut atas kejadian tersebut apalagi si pemilik menganggap cincin tersebut memiliki nilai sejarah panjang yang tak ternilai. Ia tidak mau menerima ganti rugi berapa pun jumlahnya. Pokoknya, ia hanya menginginkan barang itu kembali. Si pemilik menunggu saya di Malang untuk menuntut kerugian material dan immaterial itu. Saya yang sedang mempersiapkan presentasi makalah hasil penelitian saya tentang wakaf uang merasa cukup kalut. Di satu sisi, saya harus memikirkan penyelesaian masalah itu, di sisi lain saya harus menyiapkan tahap akhir materi yang akan saya pertahankan dalam seminar kelas. Kacau juga ya…!

Untungnya, saya terinspirasi untuk menerapkan berpikir positif dengan paradigma solvensi. Cara berpikir model ini meniscayakan saya untuk menganggap masalah yang hadir merupakan tantangan yang harus dicarikan solusinya. Saya harus tidak meratapi kehadiran masalah tersebut, tetapi sebaliknya, saya harus segera menyediakan penawarnya. Cara berpikir yang hanya berorientasi kepada mengapa masalah itu terjadi hanya akan menambah masalah baru sementara masalah yang lama tetap tidak terselesaikan. Saya mencoba untuk meyakinkan diri bahwa sikap selalu mencari solusi akan mengantarkan saya lebih dewasa dan tidak emosional saat menghadapi aneka problematika kehidupan.

Presentasi laporan penelitian saya, Alhamdulillah, berjalan dengan lancar. Untungnya, materi presentasi tersebut sudah saya persiapkan jauh-jauh hari sehingga di hari H, saya tinggal menyempurnakannya. Setidaknya, satu tahap masalah telah saya lewati. Saya kemudian memutar haluan untuk memikirkan pekerjaan saya di Malang. Saya harus segera pesan tiket untuk berangkat ke Malang.

Sesampai di Malang, hari Jumat, belum satu jam saya istirahat, saya sudah ditelepon oleh si A yang kehilangan cincin itu. Saya harus segera siap-siap menyambutnya untuk mendengar keluhan sekaligus meredam emosinya. Saya harus menyiapkan mental kuat untuk menghadapinya. Alhamdulillah, dengan berparadigma mengutamakan solusi, saya dapat menghadapi hari berat itu tanpa menimbulkan iritasi sedikit pun. Bahkan, karena kemampuan saya mengendalikan emosi, ternyata hal itu bisa meluluhkan hatinya yang sedang meranggas dibakar api kemarahan. Saya katakan kepadanya bahwa kita tidak bisa hanya meratapi kenapa harus terjadi dan kenapa barang dia yang hilang. Menuduh bendahara telah melenyapkan barang itu tanpa bukti nyata justru akan membuat masalah semakin pelik. Saya minta kepadanya untuk membantu menyelesaikan masalah dengan mengajukan beberapa opsi untuk mengganti barang itu jika tetap tidak ditemukan. Ia pun pulang dengan sedikit tenang.

Hari Jumat itu, saya harus menemui pak rektor yang sebelumnya sudah memarahi kawan saya. Saya sekali lagi harus menyampaikan permohonan maaf sekaligus memberikan klarifikasi tentang masalah yang membuat beliau merasa gerah. Saat saya memasuki ruang beliau, belum sempat saya mengambil tempat, beliau langsung mengungkap keheranan bercampur kemarahan tentang apa yang telah terjadi di eL-Zawa, mulai administrasi keuangan yang tidak transparan hingga acara yang dikemas secara tidak tepat. Saya mencoba memberikan penjelasan kepada beliau bahwa laporan keuangan eL-Zawa selalu kami buat setiap bulan dan kami terbitkan dalam bentuk buletin berkala. Bahkan pada tahun 2009, kami sudah membuat laporan tahunan yang merangkum seluruh laporan keuangan bulanan yang tertera di setiap buletin. Barulah beliau bisa menerima. Kemudian, soal acara pelatihan wakaf uang yang akan kami selenggarakan hari Sabtu besoknya, pembicara sudah kami ganti sesuai dengan keinginan beliau, yakni dengan profesor dari Universitas Brawijaya. Nampaknya, pak rektor kelihatan puas setelah mendengar penjelasan saya. Alhamdulillah, ternyata saya bisa menghadapi hari genting itu dengan mudah.

Hari Sabtu, saya dan kawan-kawan mengadakan pelatihan wakaf uang untuk perwakilan civitas akademika kampus UIN Malang. Acara yang sempat dikritik oleh rektor tersebut dapat berjalan lancar. Penyemaian semangat berwakaf uang telah berhasil masuk ke relung hati para peserta terbukti dengan antusiasme mereka untuk bertanya tentang seputar wakaf uang dan metode penjaminan kelestariannya. Para nara sumber termasuk saya telah berhasil meyakinkan bahwa wakaf uang yang mereka titipkan ke eL-Zawa akan diserahkan ke Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) yang telah ditunjuk Menteri Agama, misalnya BNI Syariah. Dana bagi hasil yang diperoleh nanti akan digunakan untuk kemaslahatan umat. Adapun dana utama wakaf uang akan tetap di rekening tanpa berkurang sedikit pun. Setelah acara berakhir, sejumlah peserta mendekati panitia untuk menyatakan kehendaknya menjadi peserta dalam program wakaf uang dengan cara memotongkan wakaf uang melalui gaji. Alhamdulillah, untuk yang kesekian kali.

Setelah acara usai, saya tentu senang sekali. Meski lelah, saya merasa puas bahwa acara yang sempat terancam gagal dapat terlaksana dengan sukses. Tetapi, masih satu masalah lagi yang sedang menunggu penyelesaian. Ternyata, tanpa saya duga sebelumnya, si A yang kehilangan cincinnya datang ke kantor saya sore itu. Di saat badan saya yang energinya sudah habis terkuras, si A menyatakan bahwa cincinnya yang hilang itu akan diikhlaskan, tanpa mengungkit-ungkit nilai sejarahnya. Ia hanya ingin diganti dengan sejumlah uang, persis seharga cincin itu, Rp 1,3 juta. Saya agak kaget bercampur haru. Ternyata, Allah telah membukakan pintu kemudahan bagi kami untuk menyelesaikan masalah pelik itu. Alhamdulillah berkali-kali saya ucapkan karena cara pandang berpikir solvensi yang saya coba terapkan ternyata membuahkan hasil yang menggembirakan, jauh melebihi dari apa yang saya bayangkan. Di tengah lautan masalah, ternyata masih banyak dermaga penyelesaian yang bisa kita gunakan, tergantung kita mau mengambilnya atau tidak. Semoga pengalaman menarik ini dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk selalu berpikir positif, ikhtiyar maksimal, selalu berorientasi pada solusi, dan disertai dengan doa tulus kepada Allah. Sungguh, dari-Nya masalah itu datang dan dari-Nyalah masalah itu menemukan penyelesaian. Wa Allah a’lam.

Jumat, 22 Januari 2010

MENGUBUR BINATANG DI JALAN?

Beberapa waktu lalu, saya sering melihat beberapa tikus mati yang dibuang di tengah jalan umum. Pikiran saya, mengapa binatang pengerat itu harus dilindas motor dan mobil yang meluluhlantakkan bentuknya? Mengapa penduduk sedemikian senang mengubur binatang ini di tengah jalan?

Satu jawaban yang mungkin dapat saya duga adalah bahwa warga sangat geram atas ulah tikus di rumahnya. Saya juga punya pengalaman tentang ini. Di rumah saya, tikus-tikus berkeliaran di atap rumah dan kalau malam sudah larut, mereka turun ke dapur untuk mencari kalau-kalau ada makanan yang tersisa. Tatkala tidak ada makanan di dapur, biasanya tikus-tikus itu akan mengoyak-ngoyak tempat penyimpanan sayur, buah, atau bahan makanan. Alhasil, istri saya sering marah karena merasa tidak nyaman dengan kehadiran tamu tak diundang itu. Saya pun akhirnya sering mengejar para tikus tersebut dengan membawa gagang sapu. Dengan bismillah, saya sempat berhasil memukul satu tikus dan ia pun mati. Lega rasanya bahwa saya telah bisa mengurangi satu tikus pengganggu di rumah saya. Saya pun mengambil plastik untuk membungkus tikus itu dan membuangnya ke tempat sampah. Harapan saya, besok pagi tukang sampah akan mengambilnya dan membawanya ke tempat pembuangan akhir. Sampai di situ, kekesalan saya selesai.

Namun, ketika saya melewati jalan-jalan utama perumahan, aneh sekali, hampir tiap hari ada tikus yang mati di jalan. Saya yakin, itu bukan tikus yang terlindas mobil atau motor saat melintas, akan tetapi tikus yang mati karena dipukul atau diracun lalu dibuang di tengah jalan. Masya Allah! saya heran, mengapa mereka tidak membuangnya ke tempat sampah? Mungkin, mereka sama dengan saya, kesal atas ulah tikus. Mereka puas ketika tikus yang sudah tak berdaya itu hancur berkeping-keping. Tetapi, haruskah mereka dibuang di jalan? Bukankah kita bersemboyan bersih itu indah? Bau itu salah? Coba kita renungkan, tikus yang dibuang di jalan akan terlindas motor, mobil, atau bahkan terinjak kaki. Ia akan membusuk dan mengirimkan aroma busuk ke semua pengguna jalan. Itu tidak hanya sehari, seringkali beberapa hari. Nah, kalau setiap hari ada orang yang membuat tikus di jalan, itu berarti akan ada sejumlah bangkai tikus yang akan mengotori jalan sekaligus mencemari udara di sekelilingnya. Kita pun akan menderita menghirup udara tak sehat setiap melintas bangkai tikus tersebut.

Barangkali, kesadaran akan lingkungan yang sehat belum banyak menyentuh relung hati masyarakat kita. Belum lagi ditambah etika menghargai binatang. Meskipun tikus adalah binatang yang menyebalkan, tapi ia adalah makhluk Allah yang punya hak hidup dan mati secara wajar. Meskipun kita kesal, mungkin ada baiknya kita basmi tikus dengan tetap menghargai dia sebagai makhluk Tuhan. Ia patut dikubur di tanah, atau paling tidak dibuang di tempat yang tepat. Jangan sampai, kemarahan kita justru akan menimbulkan masalah baru bagi kita dan orang lain. Kita yang kesal, namun orang lain yang menerima dampak negatifnya. Oleh sebab itu, sekali lagi, mari kita hindari membuang bangkai tikus dan kawan-kawannya (ular, kucing, ikan)di jalan umum. Mari kita jaga lingkungan kita agar tetap sehat dan nyaman untuk semua.

BERSANDAR KEPADA ALLAH: SOLUSI MUJARAB MUKMIN SEJATI

“Aku adalah orang terkaya, aku adalah raja paling berkuasa, aku adalah Tuhan…ya aku layak menjadi Tuhan, ha..ha..ha.. Sembahlah aku, niscaya kau selamat!!! Demikian kiranya ilustrasi singkat kesombongan Fir’aun tatkala berseru kepada segenap rakyatnya. Ia merasa sebagai manusia sempurna, mengungguli seluruh makhluk di jagad raya. Ia bahkan mengaku layak untuk disembah dan siap memberikan pahala keselamatan kepada penyembahnya serta mengancam akan menimpakan siksaan bagi penentangnya. Rasa angkuh ini ternyata bisa menjangkiti hampir setiap manusia, termasuk kita. Hal ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an, surat al-Syams: 8 yang menerangkan bahwa Allah telah memberikan dua potensi kepada diri setiap jiwa manusia, yakni baik dan buruk. Perangai buruk berarti melestarikan potensi negatif dalam diri manusia sementara perilaku baik berarti menghidupkan potensi positif yang diberikan Allah tersebut. Oleh sebab itu, watak semacam Fir’aun tidaklah aneh terjadi.

Masalahnya, bisakah kita terus-menerus mengatakan bahwa kita selalu unggul ketimbang orang lain? Sepertinya, tidak ada lagi makhluk yang lebih baik dan cerdas ketimbang kita. Jika pikiran ini dipelihara, bukannya kepuasan hidup yang kita dapat, tetapi sebaliknya, kekecewaan mendalamlah yang akan kita peroleh. Mari kita renungi beberapa fase hidup kita yang menggambarkan betapa lemahnya kita dan betapa kita bergantung kepada orang lain. Sejak dari awal penciptaannya, kita sangat tergantung kepada makhluk lain. Kita lahir di muka bumi ini dengan perantara ayah dan ibu kita. Lalu kita tumbuh bergaul dengan sesama hingga dewasa yang selalu membutuhkan energi yang disuplai oleh tumbuhan dan hewan. Akhirnya, saat waktu telah berakhir, kita pun meninggal dan harus meminta bantuan orang lain untuk menguburkan jasad kita. Saat dalam tanah, untuk mengembalikan ke bentuk awal kita, kita memerlukan bantuan binatang tanah untuk memprosesnya.

Dengan memperhatikan beberapa fase tersebut, pertanyaannya kemudian, apa yang dapat kita banggakan pada diri kita yang sangat lemah ini? Tentu saja, jika kita masih sehat kesadarannya, kita hanya bisa menunduk dan kalau perlu menangisi kebodohan kita. Ternyata tak ada yang patut disombongkan. Tak ada yang benar-benar milik kita. Subhanallah, pesona hidup ini telah membutakan kita.

Kemudian, hal yang yang patut kita sadari selanjutnya, kepada siapa kita bergantung? Ketika kita masih ada kawan, kita tentu akan meminta pertolongannya. Tetapi, seberapa banyak seorang kawan dapat menemani dan mememenuhi seluruh permintaan kita? Apalagi ketika kita susah, tak banyak orang yang sudi duduk berdampingan dengan kita walau hanya untuk sekedar mendengar keluh-kesah kita. Penyandaran yang terbaik adalah hanya kepada sang pencipta, Allah SWT. Hidup ini akan tenang, jiwa ini akan tentram jika kita sadar bahwa Allah-lah pemilik segala. Dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua akan kembali.

Mari kita bandingkan dua keadaan ketika kita menghadapi sebuah masalah. Tentu saja kita harus mencari solusi. Tetapi, bagaimana caranya? Umumnya orang akan menyampaikan keluhannya kepada kawan atau keluarganya. Hanya saja, betapa banyak kekecewaan yang sering timbul dari hubungan ini. Kalau semua bergantung kepada kawan dan keluarga, siap-siaplah kecewa. Alih-alih memberi bantuan, justru cibiranlah yang kita terima. Belum lagi, efek samping dari keluhan kita yang telah diungkapkan, ini akan jadi momok buat kita di masa mendatang karena kita akan dicap sebagai orang yang sangat rapuh dan tidak mandiri. Jadi, belum tentu dapat bantuan, tetapi sudah pasti aib kita sudah terpampang. Beda halnya kalau kita mengadu kepada Allah, seperti yang dilakukan Nabi Ishak ketika Yusuf hilang dan Benyamin dipenjara. Ia berkata, “Aku adukan kesedihanku kepada Allah. Hanya Dialah yang Maha Tahu mengapa ini semua terjadi. Dia Maha Penyayang kepada makhluk-Nya yang beriman.” Ya, bersandar kepada Allah menjadi amunisi paling produktif untuk meredakan kekesalan dan kekecewaan dalam hidup kita. Memang, kita boleh berbagi cerita dengan sesama, tetapi itu bukan yang paling utama. Yang jelas, ketika kita dekat hubungannya dengan Allah, Allah akan membukakan pintu penyelesaian terbaik buat kita. Tentu bukan Allah akan datang sekonyong-konyong kepada kita, tetapi Allah akan mengutus seorang makhluk, entah kawan atau handai tolan untuk memberikan solusi kepada kita. Misalnya, ketika kita kehabisan uang, tiba-tiba datang seorang tamu yang memberikan sejumlah uang tanpa kita minta. Itulah skenario Allah bagi hamba-Nya yang bertakwa. Dengan kepasrahan yang tinggi kepada Allah disertai usaha maksimal, semoga kita dapat menghadapi aneka warna hidup ini dengan senyuman yang ikhlas dan hati yang luas. Amin.



Selasa, 12 Januari 2010

LIVE TOGETHER WITH PARENTS OR NOT?

Living together with family is one of wonderful experience. Moreover, young people will be able to rely much on their parents in terms of food, clothing, and shelter. However, some of them think the opposite. They feel free and independent if they can support their expenditure by themselves. In my opinion, being independent is more challenging for some reasons.

First, young adult will be able to decide their own dreams. Since they have enough knowledge and experience how to solve the problem and to earn money, they can easily decide their own goals. For example, when they want to be a trader, they can build the relation and communication with their friends directly without being burdened by the permission from parents. They may go wherever and whenever they require as long as they consider beneficial.

Second, they can reduce the tension with the parents. It is quite common that young adults have the problems with their parents. They feel that parents too much control their activities. As a result, parents are often angry with them and the young adult feel disappointed by this attitudes. Therefore, living independently may become a wise solution to reduce the tension among them.

Third, young people will have more experience and responsibility. For instance, when they want to have a car, they just ask parents. They do not have the chance to experience the process to have a car. Furthermore, they just ride the car and do not understand how to maintain the machine. They lack the sense of responsibility since they just rely on parents' role. Therefore, the longer they stay with parents, the less experience and responsibility they have.

Finally, young people may choose their preference whether they want to live together with the parents or they stay away from them. For me, independent life when possible is better than dependent life with family since it will help young people have more responsibility and experience to prepare for their future.

Minggu, 10 Januari 2010

MANUSIA TRIPLEK DAN MANUSIA BATU BATA

Hampir tak ada yang menyangkal bahwa hidup ini penuh dengan masalah. Tiap hari, manusia dihadapkan kepada situasi yang menuntut kerja keras, baik fisik maupun pikiran. Bagi orang yang menyukai tantangan, hidup ini begitu dinamis sehingga setiap lembar waktu selalu berubah dengan tampilan barunya. Sebaliknya, bagi orang yang mencintai kemapanan, laju kehidupan membuatnya selalu tegang dan berjaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam kenyamanannya. Itu berarti, menjalani hidup di muka bumi ini tergantung pada sikap kita merespon fenomena.

Tulisan ini ingin mengungkap model manusia dalam merealisasikan impiannya. Tipe pertama adalah manusia triplek. Manusia jenis ini adalah orang yang memiliki keinginan tinggi untuk sukses namun dengan cara instan. Ia bercita-cita menjadi orang sukses, maju, terkenal, dan kaya dalam waktu singkat. Cara yang ditempuh persis seperti orang ingin membangun rumah secara cepat dengan menggunakan triplek. Memang, dalam waktu yang relatif pendek, rumah tersebut akan segera dapat dinikmati. Ia tidak terkena teriknya panas dan tetesan hujan. Pendek kata, tujuannya bisa dicapai dalam hitungan tidak begitu lama.

Sebaliknya, tipe kedua adalah manusia batu bata. Maksudnya, manusia tipe ini adalah orang yang ulet dan gigih dalam memperjuangkan harapannya secara istiqamah. Ia ibarat rumah yang dibuat dari batu bata. Dari bawah, rumah itu ditopang satu persatu dengan batu bata yang direkatkan satu sama lain. Memang, impian manusia jenis ini tidak lekas terwujud sebagaimana manusia triplek, akan tetapi dengan kesabarannya, ruma pun akan berdiri megah dan kokoh. Dalam perjalanannya, tak sedikit orang mencelanya sembari melabelinya sebagai manusia lambat. Namun, dengan kebulatan tekad dan manajemen yang baik, akhirnya impiannya pun dapat terwujud.

Ada persamaan dan perbedaan yang dapat diamati dari kedua jenis manusia ini. Persamaannya adalah adanya usaha yang dilakukan dan tujuan yang diharapkan. Dalam hal usaha, kedua tipe manusia ini sama-sama melakukan beberapa langkah untuk meraih impian. Mereka juga sama-sama ingin meraih impian yang telah ditetapkan sebelumnya.

Hanya saja, perbedaan mendasar dari keduanya adalah model usaha yang dilakukan dan ketahanan prestasi yang mereka capai. Dari sisi usaha, manusia triplek lebih cenderung ingin mewujudkan cita-citanya dalam waktu singkat. Kalau bisa cepat mengapa harus lambat, begitulah kira-kira slogannya. Mungkin, tipe ini bagus, karena ia dapat mencapai tujuannya tanpa harus berpayah-payah terlalu banyak. Sekali dayung, seribu pulau terlampaui. Namun, dari sisi ketahanannya, mereka ibarat rumah triplek. Satu dua tahun mungkin masih bisa bertahan. Tapi, pada tahun ketiga, ia mulai digerogoti rayap dan mulai lapuk. Tak lama kemudian, rumah ini terancam roboh.

Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan manusia batu-bata. dari sisi usaha, ia memang relatif membutuhkan waktu yang lebih lama. Ia harus berjuang mati-matian jika ingin menyamai prestasi manusia triplek. Tetapi, jika ia mau, ia juga tidak kalah cepat dengan manusia triplek yang santai, asalkan ia tidak kenal lelah menata sebongkah demi sebongkah batu bata untuk membangun impiannya. Ia pun berpeluang mendahului prestasi manusia triplek. Kemudian, dari sisi ketahanan prestasi, jelas manusia batu bata tak tertandingi. Manusia triplek hampir dipastikan tidak pernah menandingi prestasi manusia batu bata. Rumah yang dibangun dengan batu bata selalu lebih kuat dan kokoh daripada rumah yang terbuat dari triplek. Ia akan melindungi penghuninya dari panas dan hujan dalam waktu yang lama. Dengan demikian, manusia batu bata akan memberikan manfaat dan menikmati kejayaannya lebih langgeng ketimbang manusia triplek yang cepat memberikan manfaat namun hanya bersifat sementara.

Alhasil, kita dapat memilih tipe yang sesuai dengan karakter dan keinginan kita, tentunya dengan kesadaran penuh akan konsekuensi yang mengiringinya. Perpaduan antara keduanya mungkin bisa diharapkan, namun tentu sulit dilakukan. Oleh sebab itu, masa depan kita sangat bergantung keputusan kita hari ini. Wa Allah a'lam.




Rabu, 06 Januari 2010

STUDY ABROAD

Study abroad is a dream of many students. They think that study in a foreign country is really challenging. There are several advantages and disadvantages of studying in a oversee university.

The advantages of study abroad are many. Some of them are as follow. First, access of library. I believe that an excellent university will provide a huge number of books for students. The books will facilitate them to develop their knowledge and to broaden their understanding about a certain subject. The library will give the chance for students to read, copy, or even borrow the books. Hence, the more diligent the students visit the library, the more the information they get. Second, warming professors. The students can access professors during office hours if they have a particular problem. They can consult with them about the materials in the class or even discussing a personal handicap. Most professors will be available for their students and are willing to help them overcome their problems.

On the other hand, there are some disadvantages experienced by a foreign student that should be taken into account. First, adaptation is the most common challenge. A student should adapt with the current situation, such as their meal, housing, and friends. It is not easy for students to eat something that they are not accustomed to. Also, they have to prepare their mind to stay together with the completely different partners. They have to adjust quickly if they want to be safe from adaptation suffer. Once they can establish a good relationship with food as well as friend, they may become comfortable with the new situation. Second, missing the family. When staying in other country, they will feel lonely. They cannot meet their family. Some students who usually depend much on their family, will suffer from loneliness feeling. If they cannot overcome this problem, they will decide to return to their home country regardless their study. Of course, it will make them loose their chance to be quality people.

Finally, study in an oversea country has advantages as well as disadvantages. Nevertheless, I am certainly sure that the advantages outweigh the disadvantages. Therefore, study abroad should be one choice for people who want to advance their knowledge and experience.

Introduction