Senin, 31 Agustus 2009

MALAM SERIBU BULAN ITU...

Malam itu...
Suasana hening merasuk kalbu
Aku menunggu termangu
Di sini tanpa ragu

Suara alam begitu teduh
Seiring hati yang bergemuruh
Menanti kekasih yang nun jauh
Beri salam di ujung jenuh

Malam kian berseri
Telah datang yang dinanti
Rembulan indah munculkan diri
Kian merekah penuh arti

Harapan baru mulai terperi
Menghunjam dalam di sanubari
Tuk lebih dekat lagi
Dengan kekasih abadi

Malam ini oh amboinya
Kuterawang langit tanpa mega
Sinar rembulan yang lembut
Membasuh jiwa yang salut

Kapan lagi kunikmati
Malam indah seribu janji
Menyongsong hari tanpa henti
Hidup sekali di alam surgawi

Wahai malam seribu bulan...
Kutunggu lagi ...

TANTANGAN AMIL DALAM ZAKAT FITRAH

Zakat fitrah merupakan salah satu kewajiban seorang muslim yang ditunaikan di bulan ramadhan. Aturannya cukup detail antara lain besarnya satu sha' yang setara dengan 2,5-2,7 Kg makanan pokok semacam beras yang biasa dikonsumsi, difokuskan untuk kelompok fakir miskin, dan diutamakan dibayar di akhir ramadhan. Amil dalam pengelolaan zakat fitrah cukup marak bermunculan di perbagai masjid maupun di mushala, namun jarang diprogramkan oleh lembaga pengelola zakat profesional yang lebih senang mengurus zakat mal. Peran amil dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat fitrah menjadi salah satu aktifitas yang cukup menyenangkan sekaligus menantang karena banyak masalah yang terjadi dalam hal pengelolaan zakat jenis ini.

Setidaknya ada tiga masalah yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan zakat fitrah.
Pertama, soal status amil. Ketika ditanya kelompok mana yang berhak menerima zakat, termasuk di dalamnya zakat fitrah, para ulama fikih sepakat bahwa amil termasuk salah satu dari 8 golongan yang berhak menerima zakat. Namun, apakah amil yang ditunjuk oleh takmir mushala atau masjid yang sifatnya temporal termasuk jenis amil yang berhak menerima bagian zakat? Kalau merunut sejarah amil di masa nabi, para amil merupakan petugas yang ditunjuk secara resmi untuk mengurus zakat, termasuk zakat fitrah. Mereka bukanlah tenaga musiman yang bekerja bila punya kesempatan. Mereka digaji karena mereka ditunjuk untuk mengurus zakat dari penjemputan hingga pendistribusian. Alhasil, amil zakat di mushala yang biasa kita lihat bukanlah tipe amil yang ada pada zaman nabi sehingga konsekuensinya tidak berhak mendapat bagian zakat.

Namun, ada sebagian ulama yang melonggarkan pengertian amil, misalnya Abu Zahrah, yang memberikan definisi amil sebagai orang yang bekerja untuk menghimpun, menghitung, mencari mustahiq, serta membagikan zakat kepada mereka. Dari pengertian ini nampak jelas bahwa amil, baik yang diangkat oleh imam atau tidak, berhak mendapatkan bagian zakat.

Masalah kedua adalah pembagian zakat fitrah. Sebuah hadis Nabi SAW dari Ibnu Umar menyebutkan bahwa zakat fitrah diutamakan untuk diberikan kepada fakir miskin. Persoalannya yang mucul antara lain adalahsulitnya mendeteksi apakah seseorang itu fakir atau miskin. Status miskin bagi sebagian masyarakat dianggap status sosial yang rendah sehingga tak jarang seseorang menolak untuk diberi zakat fitrah padahal sebenarnya ia berhak menerima. Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembagian zakat ini adalah tidak ditemuinya mustahiq zakat fitrah pada saat dibagikan. Hal ini bisa jadi karena menjelang idul fitri, sebagian besar masyarakat kita melakukan ritual sosial berupa mudik lebaran. Pada kondisi ini, amil bisa mengalihkan hak orang tersebut kepada mustahiq yang lain. Namun, apabila dalam pertimbangan amil bahwa si mustahiq yang tidak mendapatkan jatah akan memicu keresahan sosial di kemudian hari, misalnya permusuhan dan pertengkaran, maka amil dapat menyerahkan kepada tetangga yang amanah atau disimpan oleh amil untuk diberikan kepada si mustahiq tersebut setelah hari lebaran. Dalam aturannya, zakat fitrah memang harus diserahkan sebelum shalat idul fitri. Begitu pula pendistribusiannya diutamakan sebelum shalat id kecuali adanya pertimbangan darurat.

Masalah ketiga adalah status zakat fitrah berupa uang. Masyarakat kita masih bingung tentang status zakat fitrah berupa uang ini. Umumnya ulama, seperti Imam Syafi'i dan Maliki, mensyaratkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok karena tujuan utama zakat fitrah adalah mengenyangkan fakir miskin di hari raya idul fitri. Namun, Imam Abu Hanifah membolehkan untuk membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena manfaatnya lebih besar bai mustahiq. Sebagai jalan tengah, kita patut mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat dimana kita berada. Kita dapat memberlakukan kedua pendapat tersebut secara proporsional sesuai dengan kebutuhan. Apabila masyarakat cenderung membayar dengan uang, maka pembagiannya pun bisa dalam bentuk uang, tidak perlu dirubah bentuknya menjadi beras. Namun, jika kecenderungan masyarakat memilih membayar zakat dalam bentuk beras, maka amil dapat merubah uang menjadi beras sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pihak amil. Dengan demikian, masyarakat akan tetap terlindungi dari perbedaan pendapat ini.

BELAJAR SABAR


Siapa sih yang tak ingin hidupnya tenang, senang, aman, dan sejahtera? Pastilah, semua orang akan dengan semangat mengacungkan tangan sebagai tanda setuju bahwa hidup harusnya bahagia. Hanya kemudian, seberapa banyak dari kita mampu mewujudkan impian manisnya dalam hidup ini. Tantangan yang menghadang silih berganti berusaha menggagalkan imajinasi kita akan kesejahteraan lahir dan batin. Aneka masalah dari urusan rumah tangga hingga pekerjaan tak habis-habisnya mendera kita. satu kata mujarabnya adalah sabar!

Apa sih sabar itu? Bukannya banyak orang sudah merasa dirinya sabar? Sabar bukan hanya menahan diri dari sikap merusak, seperti marah, tengkar, atau umpat. Lebih dari itu, sabar adalah ulasan senyum, ketenangan sikap, pandangan luas, dan kemampuan merubah suasana panas menjadi sejuk. Butu waktu untuk menjadikan sabar sebagai bagian dari hidup kita. Salah satu metode praktis untuk menjadi sabar adalah adanya kesadaran bahwa Allah adalah zat penentu segalanya. Allah telah membuat rencana terbaik buat kita. Jadi, tak usah sedih berkepanjangan karena apa yang terjadi pada kita adalah sesuai dengan kehendaknya yang aan menjadikan diri kita lebih mulia, asalkan tetap bersabar.

Pernahkah kita mendengar sebuah cerita tentang orang tua yang habis-habisan membiayai anaknya yang sedang sekolah hingga harus menjual apa saja yang dimilikinya? Ia hanya percaya bahwa Allah akan mengganti seluruh hartanya kelak, entah di dunia atau di akhirat. Ia sabar untuk prihatin demi cita-cita anaknya. Ia sadar bahwa harta warisan berupa ilmu akan menjaga anak dan keluarganya ketimbang ia wariskan dalam bentuk harta yang justru membutuhkan penjagaan yang ketat. Ia rela makan seadanya dengan sisa gaji yang secara rasional yang cukup untuk sebulan, asalkan anaknya kelak menjadi orang yang bermanfaat. Pengorbanan semacam ini tak akan tulus jika tidak dibarengi dengan kesabaran. Buahnya, suatu saat, Allah akan memberikan kemuliaan baginya dan juga untuk anaknya karena tawakkal kepada Allah dengan tulus ikhlas.

Sabar kadang harus mampu menahan tangis. Sabar kadang meniscayakan senyum dalam kedukaan. Sabar perlu latihan dan pengendalian. Tingginya jabatan atau popularitas tak seiring sejalan dengan kuatnya kesabaran. Ilmu tentang sabarlah yang akan mengikat seseorang untuk tetap teguh menjejakkan kakinya di jalan kesabaran. Sabar bukan kata-kata, tapi fakta yang nyata. Allah memang akan meningkatkan derajat seseorang setelah orang itu diuji kualitas iman dan kesabaran. Jika lulus, niscaya Allah akan memuliakan orang itu dengan berbagai cara. Sebaliknya, jika gagal, ia akan tetap di tempatnya atau bahkan turun peringkatnya. Dus, sabar harus dilatih, dipelajari dan diterapkan dalam setiap detak kehidupan kita, betapapun beratnya. Usaha keras untuk mewujudkan kesabaran dalam hidup ini adalah salah bentuk kesabaran pula. Semoga kita diberi kekuatan dalam menghadapi kehidupan ini. amin.

Minggu, 30 Agustus 2009

MENIMBANG FATWA HARAM MENGEMIS

Hidup di dunia ini memang tidak mudah. Tiap-tiap manusia memiliki nasibnya sendiri: ada yang kaya raya namun ada yang miskin papa. Kondisi ini memang cukup memprihatinkan, apalagi pemerataan kekayaan belum nampak benar. Tak aneh jika profesi mengemis masih menjadi salah satu pilihan.

Fatwa MUI Sumenep tentang haramnya mengemis belum lama ini sempat menjadi kontroversi. Mensos, Aburizal Bakrie mendukung keputusan ini. Mengemis di satu sisi adalah salah satu profesi yang sangat menjanjikan bagi sebagian orang, karena mengemis dapat mendatangkan rezeki secara langsung dan relatif mudah. Pada sisi lain, mengemis dianggap tindakan yang dapat mengganggu ketertiban umum. Apalagi, saat meminta sedekah orang disertai dengan sedikit ancaman. Hal ini tentu menjadi wajar jika mengemis dihukumi haram.

Saat menentukan suatu hukum, ulama tentu tidak dengan gegabah. Banyak pertimbangan syara' yang harus dijadikan pijakan. Selain itu, pijakan sosiologis tentu tidak boleh diabaikan. Efek dari lahirnya suatu fatwa sudah pasti akan menjadi salah satu unsur penentu ketentraman masyarakat. Dengan demikian, MUI Sumenep yang mengeluarkan fatwa haramnya mengemis dianggap telah membuat pertimbangan-pertimbangan matang tentang positif dan negatif dari munculnya fatwa tersebut.


Pada tataran praktis, kekuatan fatwa memang tidak akan sedasyat kekuatan undang-undang. Ia hanya menjadi salah satu pengisi kekosongan hukum untuk menjawab problema kontemporer. Masyarakat boleh menjalankan dan juga bisa mengabaikan. Namun, bagi sebagian masyarakat yang taat kepada ulama, munculnya fatwa merupakan bentuk aturan yang harus dijalankan. Hanya kemudian, kedewasaan masyarakat dalam menyikapi suatu produk hukum akan menentukan efektif tidaknya suatu fatwa. Jangankan fatwa, hukum yang berupa undang-undang pun tak jarang hanya menjadi dokumen tertulis ketika tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Alhasil, fatwa MUI Sumenep tentang haramnya mengemis tinggal menunggu waktu. Jika masyarakat peduli, fatwa itu akan efektif. Namun jika tidak, fatwa itu akan mengalami nasib serupa dengan fatwa-fatwa lain yang awalnya kontroversial namun kemudian ditinggalkan.

Sabtu, 22 Agustus 2009

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA

Kami sekeluarga mengucapkan

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA RAMADHAN 1430H

Semoga amal ibadah kita diterima dan segala dosa kita diampuni oleh Allah SWT

Amin

Jumat, 07 Agustus 2009

MBAH SURIP: SEMANGAT YANG TAK KUNJUNG PADAM

Kematian Mbah Surip (4/8/09) cukup mengejutkan banyak pihak. Penyanyi yang sedang naik daun melalui lagunya “Tak Gendong Kemana-mana” nampaknya memiliki penggemar dari berbagai kalangan. Bahkan, presiden pun menyempatkan untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa. Seperti apakah Mbah Surip?

Pria nyentrik asal Majokerto bukanlah penyanyi muda profesional yang memang dicetak untuk menjadi seorang artis. Usianya yang sudah berkepala enam bisa jadi untuk ukuran umum bukan merupakan masa keemasan. Meraih popularitas di usia senja jarang sekali terjadi di kalangan selibritis. Justru, ketika seseorang berstatus kakek biasanya akan menarik diri dari keramaian untuk mempersiapkan diri menjalin lebih intensif hubungannya dengan sang pencipta mengingat usia hidup semakin menipis. Hal yang terjadi untuk Mbah Surip justru sebaliknya. Di kala orang-orang sepantarannya menikmati masa pensiun dan menimang cucu, ia malah menemukan momen tepat untuk menjadi seorang selibritis. Lagu-lagunya yang santai dan sederhana mendapat apresiasi di kalangan pecinta musik indonesia sehingga ia harus keliling Indonesia untuk menggelar promosi album dan konser. Alhasil, tubuhnya yang sudah tidak muda lagi merasakan kelelahan yang serius sehingga membuatnya tutup usia. Sayang memang, tapi Tuhan punya kehendak yang tak dapat dikendalikan oleh siapapun.

Sebagian kelangan menilai bahwa kepergian Mbah Surip yang begitu cepat disebabkan oleh pola hidupnya yang kurang sehat. Rokok yang terus sambung-menyambung di bibirnya dipadu dengan kopi hitam sekitar 20 gelas sehari dianggap menjadi pemicu utama serangan jantung. Ditambah lagi, kegiatannya yang mendadak padat tanpa dibarengi istirahat yang cukup membuat fisiknya ambruk. Oleh sebab itu, popularitas yang kurang diimbangi dengan gaya hidup sehat bisa membuat seseorang kehilangan segala impiannya.

Mbah Surip yang sudah lama terjun di bidang musik sejak menjadi pengamen jalanan di ibu kota sebenarnya sedang menikmati hasil kerja kerasnya di akhir usianya. Lagunya sudah mengalirkan uang sekitar 5 milyar dalam waktu yang kurang dari satu semester. Jadwal manggung yang padat, baik on air maupun off air, berpeluang untuk terus meningkatkan jumlah rupiah yang diterimanya. Ia bak tokoh musik yang sudah lama ditunggu penggemarnya. Jadilah ia sebagai idola baru di kancah blantika musik tanah air.

Terlepas dari takdir Tuhan yang mengharuskannya berhenti berkarir, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari panggung kehidupan Mbah Surip.

1. Istiqamah dalam bekerja. Mbah Surip adalah sosok sederhana yang memiliki cita-cita tinggi. Walau ia bukan penyanyi yang terkenal di saat muda, ia tetap berkarya melalui album-album sederhananya yang dijual di pinggir jalan. Ia mungkin tidak menyangka kalau setelah lebih dari sepuluh tahun, lagu-lagunya akan dikenal luas seperti sekarang. Bahkan namanya bisa melebihi popularitas Mbah Marijan yang berani melawan opini publik saat Gunung Merapi meletus. Istiqamah dalam satu karir seringkali membuat seseorang akan mendapat berkah atas ketekunannya. Kemiskinan dan kehinaan yang pada satu saat dialami akan berubah menjadi kekayaan dan kemuliaan di waktu yang lain asalkan istiqamah, teguh dalam pendirian yang positif. Mbah Surip yang tidurnya menggelandang di emperan toko dan sering berurusan dengan petugas trantib DKI Jakarta kini dielu-elukan banyak orang. Semoga saja, semangat yang tak kunjung padam dalam ditiru oleh generasi muda saat ini.

2. Nyentrik. Dandanan Mbah Surip yang agak aneh di samping gaya tertawanya yang agak ekstrim membuatnya mudah dikenali. Rambut gimbalnya yang dikepang panjang menjadi ikon dirinya dalam beraksi. Ditambah lagi, lagu-lagunya yang menyuarakan gaya hidup masyarakat menengah ke bawah menjadi daya tarik tersendiri. Ini berarti ia memiliki orisinalitas yang tinggi. Dengan demikian, untuk menjadi terkenal, seseorang harus mempunyai jati diri yang khas dan kreatif sehingga mampu menyedot perhatian masyarakat.

3. Hidup seimbang. Masyarakat yang merasa terhibur oleh lagu dan lagak Mbah Surip tentu kaget dengan meninggalnya artis baru ini. Rasanya tidak rela kalau orang yang menjadi favoritnya menghembuskan nafas terakhir begitu cepat tanpa didahului oleh berita sakitnya. Setidaknya, jika pernah diberitakan sakit, psikologi masyarakat sudah siap jika tiba-tiba sang idola menghadap sang Khalik. Mbah Surip yang biasanya santai dalam hidup yang jauh dari kesibukan yang padat mendadak menjadi artis papan atas. Konsekuensinya, ia tidak lagi bisa mengontrol dirinya dan mengatur waktunya untuk sekedar istirahat. Walau ia selalu tampil ceria dengan gaya tertawa khasnya, ia tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa tubuhnya butuh melepas lelah. Belum lagi pola konsumsi Mbah Surip yang tidak seimbang. Oleh sebab itu, belajar dari kematian Mbah Surip, satu hal yang harus diperhatikan adalah perlunya hidup seimbang, tidak hanya berkaitan hanya soal fisik, tapi juga masalah kejiwaan. Jiwa yang gersang dengan fisik yang kurang tertata akan memudahkan seseorang mengalami gangguan kesehatan yang fatal. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mendekatkan diri kepada sang pencipta melalui agama.

Terakhir, apapun yang terjadi terhadap Mbah Surip, kita patut berdoa semoga amal Mbah Surip diterima di sisi-Nya. Amin.

Minggu, 02 Agustus 2009

UJUNG KEHIDUPAN

Akhirnya hidup harus berakhir
Ketika nafas sulit terukir
Dalam dada yang penuh getir
Air mata pun jatuh berbulir

Kemana kita harus pergi
Setelah keranda mengusung diri
Menuju ruang sempit terkunci
Gelap, pengap, sepi, sendiri

Nesehat kematian begitu terasa
Mengajak kita terus mengaca
Setiap saat sang ajal bisa tiba
Menjemput jiwa tanpa aba

Untuk apa congkak iri
Gersangkan hati hancurkan nurani
Ulasan senyum sulit dicari
Bila murka menutupi diri

Mata merah tersulut marah
Dendam kesumat bertumpah darah
Berujung maut tertimbun tanah
Raga lebur bercampur nanah

Lalu,
Masihkah bersantai mengenyam dunia
Menumpuk harta lupa saudara
Tertawa bercanda tanpa jeda
Dekati mati tanpa terasa

Ah,
Makna kematian begitu indah
Nasehat mujarab untuk ibadah
Menata hari semakin cerah
Benahi diri luruskan arah

Kematian itu pasti
Ia datang tanpa permisi
Tinggalkan dunia masuki peti
Menuju Allah Rabul Izzati

Adakah orang yang ingat kita
Satu dua tahun masih terasa
Sepuluh dua puluh tahun mulai sirna
Seabad dua abad tanpa sisa

Kita sendiri menghitung hari
Datangnya kebangkitan sangatlah ngeri
Pertanggungjawaban atas semua bakti
Kaki tangan jadi saksi

O....
Mengapa kita tidak sadar
Hidup sesaat tanpa sinar
Dalam dunia silaukan afkar
Jalani waktu maut menyambar

Mumpung masih punya waktu
Tanpa harus banyak menunggu
Mulai hari lembaran baru
Allah di hati sebagai pandu

















Ingat waktu yang kian pendek

Sabtu, 01 Agustus 2009

MERDEKA ATAU MATI

Kemerdekaan adalah kekayaan. Mengapa kita masih mau dijajah, atau bahkan menyerahkan diri untuk rela dijajah? Kemerdekaan adalah api yang menyulut kemajuan dan kejayaan. Jangan pernah main-main dengan kemerdekaan. Sekali lengah, kemerdekaan itu akan pindah tangan.

Kemerdekaan adalah anugerah. Ia merupakan karunia terindah yang dimiliki manusia. Jika ia pergi, manusia serasa mati. Kebebasan hidup menjadi terbelenggu. Nafas saja harus ditebus mahal. Oleh karenanya, pertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan.

Merdeka atau mati! Pekik heroik itu masih bergema hingga kini bagi anak negeri yang punya nurani. Harga diri adalah segalanya, bukan untuk dijual atau digadaikan. Kematian akan lebih baik daripada harga diri terinjak. Putih mata lebih terhormat daripada putih tulang. Anak bangsa yang merdeka adalah mereka yang gigih bertarung dengan segala daya untuk memberikan bakti terbaik untuk kemakmuran negeri, bukan malah mencari keuntungan untuk perut sendiri.

Mari merdeka! Ayo bebaskan jiwa kita dari kekerdilan! Maju ke depan dan bulatkan tekad untuk menjadi pengawal bangsa yang bermatabat! Kalau bukan kita, siapa lagi?

Introduction