Senin, 28 September 2009

JALAN MASIH PANJANG

Pernahkah Saudara putus asa? Pernahkah Saudara hilang kesabaran? Pernahkah Saudara berada dalam situasi yang membingungkan sekaligus menegangkan? Saya yakin, hampir semua di antara kita pernah mengalaminya dengan tingkat dan kadar yang bervariasi. Dalam hidup yang bergelombang, ada siang ada malam, ada suka ada duka, ada sulit ada longgar, terus saja bergelinding dari waktu ke waktu. Tatkala kita dirundung masalah, misalnya di seputar pekerjaan atau keluarga, kita sering kali mengeluh, aduh mengapa harus begini, mengapa harus kita yang mengalami...dan semacamnya. Ujung-ujungnya, kita diterpa rasa putus asa dan hilang harapan. Hidup sepertinya redup dan gelap. Tanpa sinar, tanpa jalan. Semua tertutup dan beku. Jika rasa itu telah hinggap di hati, itu berarti kita telah putus asa.

Kadang saat menghadapi ganjalan, sikap yang muncul adalah marah. Mengapa orang memperlakukan kita seperti itu, mengapa agenda kita tidak berjalan seperti rencana, mengapa kita yang disalahkan....merupakan awal kemarahan. Apalagi, kita merasa bahwa kita telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan melayani orang setulus-tulusnya. Giliran kita yang butuh, nampaknya orang di sekeliling kita bersikap acuh tak acuh dan mengabaikan kita. Marah adalah ekspresi ketidakpuasan antara cita dan realita. Marah yang wajar dapat mengurangi ketegangan, namun jika berlebihan justru akan memunculkan ketegangan baru yang lebih rumit. oleh sebab itu, pikiran kita harus longgar, kita harus mampu menghadapi segala situasi dan beradaptasi dengan karakter orang yang berbeda-beda. Andai saja kita bisa sedikit mengalah dan memahami situasi dengan lebih bijak, niscaya kita akan melihat banyaknya celah jalan keluar yang bisa kita ambil. Bila kita mengutamakan marah sebagai bentuk ekspresi kekecewaan, alih-alih menyelesaikan masalah, justru yang muncul adalah masalah-masalah baru yang akan menambah beban pikiran kita. Dengan demikian, sikap bersabar dan memandang jalan masih panjang akan membuat kita mampu tersenyum di kala situasi sedang kalut. Senyum simpul kita yang tulus akan meredakan emosi yang tak terkendali. Memang, masalah tidak dengan begitu saja hilang dengan senyum kita, namun setidaknya sikap dewasa kita akan menjadikan masalah cepat terselesaikan oleh pikiran yang dingin.

Mengaca dari berbagai peristiwa yang pernah kita alami dan respon kita terhadap situasi itu, nampaknya dapat disimpulkan bahwa sikap ikhlas menerima setiap jengkal kenyataan hidup dengan tetap terus menerus berusaha agar kita mampu menanganinya dengan baik adalah sikap pilihan yang dapat kita jadikan bekal untuk fase kehidupan kita berikutnya. Sebaliknya, jika kita lebih mengutamakan emosi yang tak terkendali dengan dalih mencurahkan kekesalan agar plong, malah berbuah sebaliknya. Masalah tetap ada dan justru bertambah panjang.

Sebagai kata akhir, marilah kita sejenak menenangkan diri dengan tetap berdoa dan berusaha sekuat tenaga sebagai bagian dari bentuk ikhtiyar kita, agar kita mampu menghadapi segala masalah dengan sikap tenang dan bijaksana. Allah akan menolong seorang hamba jika ia menyerahkan diri dan memohon pertolongan kepada-Nya. Amin.

Minggu, 27 September 2009

SYUKUR NIKMAT

Kalau kita mau jujur, betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, bahkan tanpa kita minta. Tubuh yang indah, pikiran yang sehat, rezeki yang cukup, anak-anak tumbuh, istri patuh, pekerjaan mapan, dan masih banyak lagi nikmat yang kita terima. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah bersyukur?

Seringkali kita tidak menyadari bahwa nafas yang kita hirup secara gratis setiap saat adalah bagian dari nikmat yang tak terperi. Jantung yang berdegup tanpa komando, darah yang mengalir, mata yang berkedip dan alatalat tubuh yang berjalan sempurna adalah karunia tak terhingga. Nikmat sehat ini akan terasa kehadirannya di kala kita dirundung sakit. Batuk saja yang wilayah kerjanya di bagian leher sudah menyiksa kita hingga tidak dapat melakukan aktifitas dengan optimal. Sakit kepala yang lokasinya hanya di bagian atas kepala sudah dapat merobohkan kinerja kita.

Dengan merenungi nikmat yang tak terhitung, niscaya kita akan menyadari betapa agungnya karunia Allah yang dicurahkan kepada kita. Lantas, sudahkah kita menjadi hamba yang sebenarnya? Sudahkah kita melaksanakan perintah-Nnya dan menjauhi larangan-Nya? Sungguh, kalau kita mampu mendekatkan diri kepada-Nya melalui sarana ibadah, baik ritual maupun sosial, niscaya kita akan menjadi hamba terpilih yang kelak mewarisi surga-Nya. Amin.

Sabtu, 26 September 2009

INDIKATOR KESUKSESAN IBADAH RAMADHAN

Ramadhan telah pergi. Umat Islam pun merayakan hari kemenangannya di hari raya Idul Fitri. Agenda silaturrahim menjadi kewajiban integral di bulan Syawal ini. Kegembiraan di mana-mana. Baju bagus dan aneka hidangan khas lebaran menjadi menu utama. Ya, sebuah pesta kecil atas usaha berat menahan nafsu sebulan penuh memang patut dihargai, namun juga perlu dihayati.

Ramadhan adalah bulan latihan. Berbagai macam ujian harus dihadapi demi meraih takwa sejati. Tidak diperkenankannya makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa merupakan tantangan tersendiri bagi setiap muslim. Di malam hari, ritual shalat tarawih menjadi bagian unik dari kemegahan Ramadhan. Di akhir bulan menjelang Syawal, umat Islam yang memenuhi syarat diwajibkan meningkatkan ibadah sosialnya dengan membayar zakat. Dengan demikian, pendidikan lahir dan batin selama Ramadhan diharapkan akan menjadi bekal bagi umat Islam untuk menjadi orang-orang yang bertakwa pada 11 bulan berikutnya. Permasalahannya, adakah indikator keberhasilan seseorang setelah menempuh ujian selama bulan Ramadhan?

Secara khusus memang tidak ada formula khusus untuk mengukur tingkat ketaqwaan seseorang, apalagi dikaitkan dengan sukses tidaknya ibadah di bulan Ramadhan. Hanya saja, ada kaidah umum yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan seseorang seusai beribadah, yakni munculnya sikap positif yang lebih banyak, baik menyangkut ibadah ritualnya yang kian intensif atau ibadah sosialnya yang makin mempesona. Kebiasaan shalat sunnah dan membaca al-qur’an selama Ramadhan telah mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa dekat dengan sang pencipta. Rasa ini akan lebih bermakna jika tetap dipelihara sepanjang tahun seusai lebaran. Sebagai contoh, shalat tarawih yang umumnya dilakukan sehabis Isya dapat digantikan dengan shalat malam sebelum subuh atau shalat dhuha sebelum berangkat kerja. Jika masih terasa berat, setidaknya, shalat sunnah yang ditambahkan menjadi kebiasaan adalah shalat rawatib yang mengiringi shalat wajib. Selain itu, kebiasaan merenungi kandungan al-Quran dapat dilakukan dengan melibatkan diri dalam berbagai majelis taklim, baik di masjid, mushala, atau organisasi sosial. Pesawat HP atau laptop bisa juga menjadi salah satu sarana untuk mendengarkan ayat-ayat suci al-qur’an agar selalu merasa dekat dengan Allah. Kesemuanya itu akan menjadikan nilai taqwa yang sudah tertanam di bulan Ramadhan dapat dijaga kelestariannya.

Ibadah sosial yang juga penting untuk dilanjutkan pasca Ramadhan adalah kebiasaan bersedekah dan empati terhadap penderitaan orang lain. Pahala sedekah di bulan Ramadhan yang berlipat ganda tidaklah perlu menyurutkan semangat untuk tetap bersedekah sepanjang tahun. Bagaimanapun, sebagai makhluk sosial yang telah terlatih untuk merasakan betapa berat menanggung rasa lapar dan haus setiap hari, kepedulian kepada sesama khususnya kepada mereka yang nasibnya kurang beruntung akan memenuhi rongga dadanya sehingga mudah empati saat melihat penderitaan orang lain. Mereka seakan-akan merasakan sendiri penderitaan itu sehingga segera mengulurkan bantuan kepada penerima musibah. Dengan begitu, rajutan kasih sayang sesama munusia yang dilandasi iman kepada Allah akan menjadikan hidup di dunia ini semakin indah. Akhirnya, sudahkah indakator itu melekat dalam keseharian kita? Semoga…

Kamis, 17 September 2009

MUDIK DAN SILATURRAHIM: RENUNGAN ULANG

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Saat yang paling intim menjalin kasih sesama saudara adalah momen idul fitri. Entah sejak kapan, tradisi kumpul keluarga di tempat asal menjadi suatu kewajiban yang sulit dihindari. Jika tidak pulang, ada rasa bersalah di dalam hati karena tidak bertemu dengan keluarga besar di hari fitri.

Mudik hari lebaran adalah kebutuhan untuk silaturrahim. Biasanya di hari lebaran meskipun orang-orang sangat sibuk dengan pekerjaan mereka sehari-hari, mereka akan menyempatkan diri untuk untuk berlibur dan pulang untuk berkumpul dengan keluarga. Oleh karena itu di hari yang fitri ini merupakan momen yang paling penting untuk berkumpul dengan sanak keluarga dan handaitaulan.

Hanya, apakah silaturrahim terbatas pada hari lebaran saja? Tentunya tidak, karena meminta maaf atau saling memaafkan tidak hanya berlaku pada hari idul fitri saja. Ketika seseorang melakukan kesalahan, sebaiknya langsung meminta maaf dan pihak yang menjadi korban disarankan dengan lapang dada memberikan keagungan maaf. Ketika hati sudah bersatu kembali oleh semangat kebersamaan dengan saling memaafkan, dunia ini terasa damai dan tenang kembali. Rasa kesal bercampur panasnya hati akan terkikis oleh senyuman dan sejuknya pemaafan. Wajah yang murung dan sedih akan segera cerah dan berseri kembali tatkala kata maaf terucap dari bibir orang yang mengakui kesalahan. Efek kata maaf ternyata lebih besar daripada pengucapannya.

Di Indonesia, tradisi saling memaafkan biasanya dikemas dalam bentuk acara halal bi halal. Istilah halal bi halal anehnya tidak dikenal dalam kosa kata bahasa arab yang menjadi sumber pembentukan istilah tersebut. Namun, jika dipahami secara mendalam, kata halal bihalal merupakan perwujukan dari semangat untuk membebaskan satu sama lain dari dosa dan kesalahan sesama manusia. "Saya halalkan kesalahanmu dan kauhalalkan kesalahanku" merupakan semangat yang terkandung dalam kegiatan mulia tersebut. Dengan demikian, meskipun bahasa halal-bihalal adalah produk asli Indonesia, namun semangatnya dapat ditelusuri dari asal katanya yang saling membebaskan.

Mudik dan silaturrahim yang sudah mentradisi bukannya tidak menyisakan masalah. Okelah saling meleburkan dosa bisa terwujud, namun kegiatan mudik untuk menjalin silaturrahim tidaklah suatu kegiatan yang murah dan mudah. Banyak orang yang harus melakukan perjalanan jauh dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Lebaran bahkan terkesan menjadi momen menghabiskan dan menghamburkan uang sehingga banyak orang yang kehabisan dana setelah pesta lebaran. Dalam agama, boros bukanlah perbuatan yang disarankan, apalagi setelah bulan puasa yang melatih manusia untuk menahan hawa nafsu. Jadi, latihan sebulan tersebut rasanya lenyap begitu saja ketika di awal Syawal, bahkan sudah dimulai di akhir ramadhan, hawa nafsu dipompa kembali. Baju baru, makanan banyak, boros bahan bakar, dan semacamnya sudah menjadi suatu yang jamak disaksikan. Bukan berarti hal tersebut tidak perlu, namun akan lebih baik jika dilakukan dengan sekedarnya dan tidak memaksakan diri dengan berhutang atau gadai.

Semoga mudik tahun ini dapat berjalan dengan lancar demi melestarikan rajutan silaturrahim dalam kelaurga besar. Sikap sederhana perlu dibudayakan kembali seiring dengan kebiasaan konsumtif yang merambah masyarakat kita.

Selasa, 15 September 2009

KESEIMBANGAN IBADAH RITUAL DAN IBADAH SOSIAL

Di akhir bulan ramadhan, khususnya 10 hari terakhir, para ustad dan muballigh tak segan-segan menyarankan kaum muslimin untuk meningkatkan kualitas ibadah, seperti memperbanyak shalat sunnah, membaca al-Qur'an, dan dzikir. Seruan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah bahwa ibadah di hari-hari istimewa ini akan memberikan kesempatan seseorang untuk meraih malam seribu bulan. Beliau membangunkan keluarganya untuk menghidupkan malam-malam tersebut sebagai tanda cintanya kepada Allah SWT.

Hanya kemudian, ibadah ritual tersebut tidaklah sempurna jika tidak dibarengi dengan ibadah sosial. Ibadah jenis satu ini sering diabaikan karena tak jarang dianggap bukan ibadah. Padahal kalau kita memperhatikan posisi shalat dan zakat yang lebih dari 25 kali disebut secara beriringan dalam al-Qur'an, niscaya pikiran kita akan berubah, bahwa ibadah ritual tidak akan sempurna tanpa ibadha sosial.

Kamis, 10 September 2009

PROGRAM EL-ZAWA KE DEPAN

Terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2009, saya ditunjuk oleh Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang untuk mengelola Pusat Kajian Zakat dan Wakaf "eL-Zawa". Saya dibantu oleh pak Toriquddin untuk menjalankan berbagai program lembaga yang bergerak di bidang penggalangan dana umat ini. Berbekal pengalaman di eL-Zawa sejak awal berdirinya pada tahun 2007, saya memeliki beberapa pemikiran dan program untuk membawa kemajuan eL-Zawa ke depan.

Pertama, penguatan manajemen internal. Dalam sebuah organisasi, salah satu hal yang terpenting adalah manajemen yang solid. Tentu, untuk memulainya harus diawali dari para pengelolanya. Saat ini, eL-Zawa digawangi oleh empat pengurus: dua orang pemimpin lembaga dan dua orang staf. Perbaikan manajemen yang perlu dilakukan antara lain adalah pembagian tugas tiap individu, perencanaan yang matang, monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan, pengarsipan, dan prosedur administrasi keuangan.

Kedua, pendataan muzakki dan munfiq. Selama ini, para muzakki dan munfiq tidak terekam dengan baik sehingga cukup menyulitkan untuk mengetahui secara jelas dan pasti. Ketika ada perubahan muzakki atau munfiq, seringkali datanya tidak terdeteksi. Oleh sebab itu, pendataan ulang para donatur ini perlu dilakukan.

Ketiga, pembangunan image eL-Zawa keluar. Silaturrahim perlu dilakukan kepada lembaga-lembaga pengelola ZIS dan wakaf d kota Malang, sehingga ada jalinan komunikasi yang intensif dalam memberdayakan masyarakat. Image yang baik dapat memberikan pencitraan yang positif, tidak hanya untuk eL-Zawa, namun juga untuk UIN Malang secara umum.

Keempat, menjalin hubungan dengan Badan Wakaf Indonesia, Badan Amil Zakat Nasional, dan tabung Wakaf Indonesia. salah satu program yang menarik untuk dilakukan pada tahun 2010 adalah penggalakan wakaf uang, yang nantinya dapat diinvestasikan dalam bentuk mata uang dinar. Selama ini, mata uang dinar dinyatakan bebas riba dan selalu menguntungkan karena kursnya tidak pernah turun.

Kelima, menjaring dana CSR dari perusahaan-perusahaan di kota Malang. Ini adalah langkah strategis untuk menjaring dana dari luar UIN agar jumlah dana yang terkumpul semakin besar dan dapat didayagunakan untuk kegiatan sosial ekonomi secara lebih mantap dan luas.

Keenam, pembinaan UMKM yang selama ini telah didanai oleh eL-Zawa. Ketika dana telah digulirkan kepada UMKM ini, para peserta diharapkan mampu memanfaatkan untuk pengembangan usaha mereka sehingga mereka dapat menjadi muzakki atau munfiq di kemudian hari.

Ketujuh, wakaf buku. Program ini dimaksudkan untuk menambah koleksi buku yang di Resource Center eL-Zawa, sehingga para peminat kajian zakat dan wakaf akan mudah mendapatkan data dan informasi tentang bidang minat mereka.

Kedelapan, perekrutan volunteer. Mereka adalah para mahasiswa yang direkrut secara terbuka dan dilatih untuk menjalankan tugas mulia sebagai penjemput zakat. Mereka akan diberikan pelatihan kilat dan jika dinyatakan lulus, mereka berhak mendapatkan insentif menarik dan prioritas beasiswa.

Kesembilan, on air tentang zakat dan wakaf. Setiap bulan, rencananya akan diadakan diskusi udara tentang zakat dan wakaf di radio Simfoni FM. Hal ini akan menambah popularitas eL-Zawa di masyarakat.

Kesepuluh, pelatihan zakat dan wakaf bagi warga kampus dan para pengelola zakat dan wakaf. Pelatihan yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2010 adalah pembinaan calon wakif untuk UIN Malang dan pembinaan nadzir wakaf sekota Malang.

Demikian, sejumlah program kerja yang akan dilaksanakan dalam beberapa bulan terakhir tahun 2009 dan sepanjang tahun 2010. Semoga eL-Zawa makin berjaya. Amin.

Rabu, 09 September 2009

MARI BERZAKAT

Bulan ramadhan adalah bulan berzakat. Di bulan ini banyak kaum aghniya' yang menyalurkan zakatnya kepada para mustahiq. Sayangnya, kebiasaan berzakat masih terpusat pada zakat fitrah. padahal, kalau mau jujur, zakat mal justru yang dinanti-nantikan oleh masyarakat kurang mampu guna mengangkat derajat mereka dari lembah kemiskinan.

Berzakat tidak cukup dimaknai sebagai mengeluarkan harta. Pemahaman yang seharusnya dikembangkan adalah berzakat berarti menyuburkan harta. Betapa pemahaman yang lebih tepat ini akan memberikan sentilan lembut di hati para pemilik kekayaan agar mereka berlomba-lomba menumbuhkembangkan hartanya melalui ibadah zakat.

SYAIR PENGAYUH BECAK

Pagi buta kau sudah kutata
Di emperan toko yang masih lengang
Berharap rupiah mengisi kantong celana
Untuk lanjutkan kehidupan yang masih panjang

Sambil menunggu kubersihkan dirimu
Kusiram dengan seember air, Kuusap dengan sepotong kain
Agar kau tampak segar
Sehingga penumpang datang tak segan

Kutahu kau sudah layu
Tak seindah dulu saat kumemilikimu
Namun tak ada kata menyerah
Kurawat dikau dengan pasrah

Tetes keringat masih mengucur
Bercampur debu yang gugur
Kuharap hari ini aku mujur
Dapat penumpang pembawa sayur

Sayang, hingga matahari sepenggalah naik
Tak ada seorang pun sudi melirik
Bersaing dengan angkot yang berjubel penumpang
Rezeki Tuhan kapan datang

Kadang hati berputus asa
Mencari pekerjaan lain tak tahu apa
Nasib belum juga berubah
Padahal kebutuhan terus saja bertambah

Tuhan,
Tolonglah kami para tukang becak ini
Hidup di kota terasa tiada arti
Becak kami sering mau dienyahkan
Dianggap pengganggu jalan dan penyebab kemacetan

Tuhan,
Kami punya anak istri
Dari mana lagi kami akan menafkahi
Modal kami hanya ini
Tak ada lagi orang yang peduli

Senin, 07 September 2009

BELAJAR DARI SEMANGAT BISNIS KAUM SUFI

Kalau kita mendengar kata sufi, pikiran kita umumnya tertuju kepada sekumpulan orang yang mengabdikan dirinya untuk Allah dengan rela hidup sederhana dan terpencil dari keramaian. Mereka menjadikan hidup ini hanya untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi hiruk pikuk dunia yang menyilaukan. Bagi mereka, dunia ini ibarat ular berbisa yang dapat membahayakan perjalanan panjangnya menuju akhirat. Oleh sebab itu, kehidupan mereka dalam pandangan awam adalah kehidupan yang serba kekurangan dan penuh dengan kemiskinan.

Namun, pikiran semacam itu segera akan berubah 180 derajat saat melihat sebuah kenyataan yang dapat dijumpai di sebuah perkumpulan sufi di bagian utara kota Jombang. Kelompok sufi itu menamakan dirinya sebagai tarekat Shiddiqiyyah. Sekilas kita tidak akan mengenal bahwa mereka adalah penganut sufi atau tarekat. Bangunan rumah yang megah, gedung-gedung yang indah, ornamen seni pahat yang menawan, serta banyak lagi kelebihan duniawi yang dimiliki oleh tarekat ini. Mereka tidak hanya berzikir dan berdoa sebagaimana umumnya kaum sufi, namun mereka juga aktif dalam menjalankan roda bisnis yang terdiri dari beberapa unit usaha. Sebut saja perusahaan air minum, perusahaan rokok dan perusahaan kerajinan tangan. Dari usaha bisnis ini, mereka mendapat laba yang cukup besar sehingga mereka dapat mendirikan bangunan yang mereka inginkan dan bahkan mereka tak segan-segan menggelontorkan bantuan kepada masyarakat yang ditimpa musibah. Saat Aceh mengalami Tsunami, tarekat ini mengirim bantuan berupa pembangunan 100 rumah untuk para pengungsi. Mereka juga memiliki program bendah rumah ala tarekat dengan membangunkan rumah-rumah penduduk yang kurang layak huni. Bantuan ini 100 gratis dan tanpa pamrih.

Ketika ditanya alasan mereka terlibat dalam kegiatan sosial ekonomi yang kental ini, mereka menjawab bahwa mereka berusaha menjalankan ajaran agama sebagaimana yang diajarkan oleh pemimpin tarekat yang disebut Mursyid. Salah satu ajarannya adalah memahami seluruh gerakan dan bacaan shalat yang mengamalkannya dalam kehidupan. Sebagai contoh, di akhir shalat, setiap muslim akan mengakhiri shalatnya dengan mengucap salam sambil menengok ke kanan dan kiri. Kalimat salam bukan hanya dianggap sebagai penutup shalat, akan tetapi mengandung makna yang lebih mendalam, yakni menyebar keselamatan dan kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di kanan dan kirinya. Dengan demikian, seorang sufi harus bekerja keras dan menceburkan diri dalam kegiatan ekonomi sehingga mereka dapat memiliki kelebihan harta untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Jika tidak, status kesufiannya masih diragukan. Untuk itu, beberapa pemikiran ekonomis yang dicetuskan oleh mursyid dengan sigap mereka sambut dan laksanakan karena nasehat itu ibarat perintah dari Allah yang pasti akan dijamin berhasil.

Alasan filosofis-sufistik lainnya tentang keterlibatan mereka di dunia ekonomi adalah semboyan Santri yang mereka pegangi. Santri merupakan kependekan dari insan yang memiliki tri kewajiban, yakni kewajiban untuk menjalin hubungan baik dengan Allah, kewajiban untuk menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, dan kewajiban untuk menjalin hubungan baik dengan alam sekitar. Seorang sufi, menurut mereka, tidak hanya mementingkan hubungan baik dengan Allah, karena mereka hidup bersama orang-orang lain di sekitarnya. Agar bermanfaat, mereka harus mampu memberikan yang terbaik untuk mereka, salah satunya adalah bantuan ekonomi. Dengan begitu, roda ekonomi harus berputar kencang sehingga mereka dapat menafkahi diri sendiri dan masyarakat di lingkungannya. Jadi, sebagai santri, seorang sufi harus kaya dan bermanfaat untuk orang lain tanpa menjadi beban keluarga atau lingkungannya.

Menyimak alasan-alasan di atas, nampaknya kita patut mencontoh semangat mereka untuk memberikan kontribusi terbaik untuk kehidupan dunia ini. Menjadi sufi ternyata tidak menghalangi mereka untuk terjun di dunia bisnis. Mereka masih tetap dekat dengan Allah sambil memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Dengan demikian, pandangan sementara kalangan yang menyatakan bahwa ajaran sufi akan menjadikan seseorang jauh dari kehidupan dunia secara nyata dapat ditolak dengan kenyataan yang ditunjukkan oleh tarekat Shiddiqiyyah ini. Semoga kita dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat secara bersama-sama secara seimbang dan berkelanjutan seperti semangat kaum tarekat ini meskipun tidak harus terlebih dahulu menjadi seorang sufi. Amin.

Minggu, 06 September 2009

BERKUMPUL DENGAN ORANG SOLEH

Pernahkah kita mendengar lagu tombo ati yang populer lewat olah vokal Opick? Lima obat hati yang dimaksud adalah baca qur’an dengan pemahaman, shalat malam, berkumpul dengan orang soleh, puasa, dan dzikir malam. Untuk kali ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang berkumpul dengan orang soleh.

Saya sebenarnya belum tahu betul definisi orang soleh. Satu hal yang jadi patokan saya adalah ketika kita berkumpul dengan mereka, hati terasa sejuk, tidak ada umpatan, tidak ada sumpah serapah, tidak ada iri, tidak ada marah, semua berlalu dengan sejuk. Senyum mereka, sapa mereka, hormat mereka, terasa nyamana sehingga membuat saya seakan berada di dunia lain yang belum pernah saya jamah. Pengalaman unik itu saya peroleh sekarang, ketika saya tinggal di perumahan Jatisari Elok, Mijen, Semarang. Saya bolehlah berbangga dengan komunitas kecil itu yang selalu berusaha memberikan ketentraman batin tanpa bermaksud menggurui atau membawahi. Terus terang, komunitas khas ini memiliki beberapa ciri menarik, antara lain, mereka berusia sebaya, pengalaman hidup beragam, semangat beragama yang teguh, rajin jamaah, toleransi tinggi, akhlaknya mulia, sepertinya mereka adalah kelompok remaja yang bersemangat untuk memakmurkan mushala tanpa beban seakan mereka masih bujangan, padahal mereka sudah berkeluarga dengan sejumlah anak. Aneh memang, dan saya baru melihat kelompok semacam ini di Semarang.

Biasanya, hidup di komplek perumahan identik dengan sikap individualistik. Dengan tetangga sebelah saja kita belum tentu kenal. Apalagi jika kita juga sibuk dengan pekerjaan luar kota. Tentu, kesempatan untuk bergaul dan bertegur sapa sangatlah minim. Namun, lagi-lagi, masyarakat perumahan Jatisari Elok lain dari yang lain. Biar tergolong warga baru, saya dihormati seperti penduduk lama yang sudah menetap di situ. Dalam berbagai acara saya diberi kesempatan yang menurut saya cukup terhormat, seperti memimpin tahlil, menjadi imam shalat, atau membaca doa di sebuah acara. Padahal sekali lagi, saya adalah orang baru yang tidak tahu apa-apa. Saya tentu sangat berterima kasih kepada kawan saya, Pak Nurodin, yang mengajak saya untuk tinggal di perumahan ini setelah saya memutuskan untuk membawa keluarga ke Semarang. Awalnya saya hanya menyewa satu kamar di dekat kampus, namun ketika saya membawa istri dan anak-anak, saya harus mencari tempat tinggal yang nyaman dan agak dingin meski agak jauh dari kampus, kurang lebih 13 Km. Saya pada akhirnya tidak menyesal tinggal di perumahan ini walau relatif jauh dari kampus.

Sekali lagi tentang orang soleh, kelompok kecil yang mendapat bimbingan agama dari pak Nurodin bisa saya katakan adalah sekompok orang-orang soleh yang punya semangat keberagamaan tinggi. Mereka sepertinya merasa malu ketika tidak menghadiri acara halaqah yang diadakan setiap minggu. Ikatan emosional ini sulit terwujud jika tidak diiringi oleh kesadaran yang tinggi. Oleh sebab itu, saya merasa bahwa bertemu dan berkumpul dengan komunitas mereka yang beraneka ragam latar belakangnya membuat saya jadi betah. Bukan berarti saya mengklaim telah menjadi shaleh, tapi saya ingin katakan bahwa berkumpul dengan orang-orang soleh memang dapat menentramkan jiwa, minimal untuk beberapa saat. Jika kesempatan ini dipupuk lebih intensif, tentu menjadi orang yang baik dengan kepatuhan keagamaan yang kokoh dapat terwujud.

Saya membayangkan andaikata saya bisa memiliki kelompok semacam itu di Malang. Tapi mungkinkah? Sekilas saya dapat jawaban dari pengalaman saya selama ini bahwa untuk membuat komunitas kecil yang sholeh itu tidaklah mudah di Malang, apalagi orang-orang yang ada di sekitar saya, baik di dunia kerja atau di lingkungan rumah, agaknya sulit untuk diajak bekerja sama dan berpikir jernih untuk membangun kelompok soleh tersebut. Umumnya, orang-orang yang saya kenal adalah orang-orang yang tidak mau diunggguli orang lain, mereka lebih merdeka dengan kemampuannya tanpa harus lelah-lelah berguru pada seseorang, merasa sudah cukup ilmunya, lebih mengutamakan senioritas, dan semacamnya. Alhasil, persyaratan untuk membangun komunitas sebagaimana di masyarakat Jatisari Elok ini agaknya hanya menjadi isapan jempol belaka. Meskipun begitu, saya berjanji dalam diri saya, jika suatu saat Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk bertemu dengan orang-orang seperti yang saya kenal di Jatisari, saya tidak akan menyia-nyiakan momentum itu untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan saya kepada Allah, sebagaimana yang saya lakukan di Jatisari elok ini. Semoga dengan begitu, berkumpul dengan orang soleh yang dapat menjadi penawar hati akan dapat terwujud di masa depan. Amin.

Jumat, 04 September 2009

Ramadhanku

Ramadhanku
Tempat mencairkan jiwa yang beku
Sarana bertasbih mengagungkan Sang pencipta
Mendendangkan irama Quran di ujung senja

Ramadhan telah tiba
Begitu bermakna
Penuh bahasa
Tanpa koma

Ramadhan indahku
Kutitipkan diri kepada kemuliaanmu
Mengais amal untuk bekal
Bila nanti tiba ajal

Sunggu aku malu
Segunung dosa membelenggu
Bertimbun kotoran setiap saat
Lupa diri tanpa tobat

Akhirat yang pasti
Seakan hilang
Seperti tak mungkin
Tersapu durjana
Yang telah berkarat

Sudah saatnya sadarkan diri
Merangsek mendekati ilahi
Agar diri kembali suci

Rabu, 02 September 2009

MENGAPA HARUS PISAH?

Ketika melihat tayangan infotainment, seringkali hati kita tersentuh dengan pemberitaan seputar para orang ternama yang mengalami permasalahan keluarga. Tak jarang prahara rumah tangga itu berujung pada perpisahan. Duh, sayang sekali. berita terbaru yang saat ini sedang hangat diberitakan adalah perceraian Anang dan Krisdayanti. Apa yang salah?

Kehidupan rumah tangga Anang dan KD yang sudah berlangsung sekitar 13 tahun ternyata harus berakhir dengan kata cerai. Masa waktu yang cukup panjang dari sebuah pernikahan ternyata tidak selalu beriringan dengan kebahagiaan. Umumnya, para konsultas keluarga memberikan toleransi batas aman berumah tangga setelah 5 tahun pernikahan. Artinya, setelah 5 tahun terikat dalam tali suci rumah tangga, suami dan istri telah berinteraksi, saling memahami, dan saling melengkapi, sehingga permasalahan yang terkait dengan penyesuaian watak dan perilaku dapat dianggap selesai setelah 5 tahun. Menginjak tahun ke-6, kondisi rumah tangga biasanya sudah stabil dan tinggal menyempurnakannya.

Sayangnya, tidak semua manusia berpikiran sama tentang rumah tangganya. Kesuksesan materi yang mulai nampak dengan kecermelangan karir, telah membutakan mata hatinya sehingga mudah saja mengabaikan ikatan pernikahan yang telah dibangun dengan sengaja bermain api dengan orang lain. Ketika posisi diri yang sudah tinggi, popularitas yang menggunung dengan harta yang berlimpah, nampaknya mudah sekali seseorang untuk pindah ke lain hati, atau paling tidak membuka cabang cinta di pelabuhan lain. Terang saja, pasangan sahnya yang telah banting tulang, peras keringat, dan bersakit-sakit saat awal mengarungi pernikahan tidak akan rela begitu saja membiarkan kekasih hatinya direbut orang. Kalau masih bisa ditawar, akan ada perdamaian. Namun, bila nasi sudah menjadi bubur dan hati telah membeku, kata yang lazim diungkap sebagai kata akhir adalah cerai. Sakit memang, tapi ini adalah sebuah pertaruhan harga diri.

Selingkuh sering diplesetkan sebagai selingan indah rumah tangga utuh. Siapa bilang? Selingkuh selain melanggar norma agama, juga menghancurkan masa depan yang telah dirajut bersama. Hal ini tentu dapat dicegah dengan komunikasi terbuka dan pendidikan agama yang kokoh. Semoga, hidup kita yang sekejap ini tidak perlu dinodai dengan perpisahan yang sangat menyakitkan akibat ketidakmampuan kita mengendalikan hawa nafsu. Di bulan suci ini, tentu kita telah belajar dan berlatih untuk mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupan kita dan kehidupan orang-orang yang kita kasihi. Amin.

MAHALNYA SEBUAH KEJUJURAN


Jujur mungkin bukan barang baru dalam kosakata kita sehari-hari. Dari kecil, kita dididik untuk menjadi orang yang jujur. Berkata jujur, bersikap jujur, dan bertindak jujur. Permasalahannya kemudian, ketika kita menginjak dewasa dan banyak problem hidup yang kita alami, kita kemudian seringkali berpaling dari kejujuran. Bahkan, dalam beberapa kasus, kejujuran kita justru membawa malapetaka. Kita dimusuhi karena berkata jujur, kita diteror sebab bertindak jujur. Kejujuran menjadi barang asing dan nampaknya harus dienyahkan dari agenda hidup kita. Sayang sekali, pendidikan jujur yang telah lama kita kenyam harus merelakan diri untuk masuk peti es.

Mengapa kita tidak lagi senang dengan kejujuran? Mudah ditebak, bisanya kita ingin selamat. Tapi benarkah kejujuran selalu identik dengan musibah yang kita alami? Nampaknya tidak selalu demikian, bahkan ada kenyataan lain bahwa justru kejujuran itulah yang membawa seseorang menjadi mulia. Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang jujur. Ia sejak muda sudah diberi gelar “al-amin” yang artinya orang yang dapat dipercaya. Daya tarik Muhammad adalah pesona akhlaknya yang sunguh mulia. Salah satunya adalah kebiasaan beliau bersikap jujur.

Marilah kita renungkan betapa kejujuran Muhammad telah mampu menyelesaikan permasalahan besar yang dialami masyarakat Quraisy saat hendak mengembalikan hajar aswad ke tempat asalnya setelah pemugaran ka'bah. Para pemimpin kabilah merasa dirinya layak mendapat kehormatan untuk mengangakat hajar aswad dan mengembalikan ke tempat asalnya. Pertumpahan darah hampir terjadi karena tidak ada kata sepakat tentang siapa pemegang hak mulia itu hingga muncul ide bagus dari rasulullah bahwa orang yang berhak meletakkan hajar aswad adalah orang yang pertama kali masuk Ka'bah esok hari. Dalam sayembara itu, Muhammad dengan kehendak Allah SWT berhasil masuk Ka'bah paling awal. Akhirnya beliaulah yang memperoleh kesempatan langka itu. Tapi, Muhammad SAW bukanlah orang yang egois. Dengan bijaknya, ia membentangkan sorbannya di tanah lalu ia mengangkat hajar aswad itu dan meletakkannya di tengah surban. Lalu ia memanggil para pemimpin kabilah untuk mengambil satu bagian tepi surban dan mengangkat bersama-sama menuju tempat hajar aswad. Muhammad kemudian mengambil hajar aswad itu dan meletakkan batu hitam tersebut ke tempatnya. Masalah akhirnya dapat diselesaikan dengan gemilang.

Catatan dari kisah di atas adalah setujunya para pemimpin kabilah atas sebuh keputusan bahwa Muhammadlah orang yang berhak meletakkan hajar aswad. Padahal, jika dilihat dari usia, jelas Muhammad adalah seorang pemuda yang umumnya tidak mendapat tempat terhormat di masyarakatnya karena adanya penghargaan yang berlebih terhadap orang yang lebih tua. Namun, karena Muhammad adalah bukan sembarang pemuda, artinya ia adalah al-amin yang dihormati, maka ia pun berhak mendapatkan kesempatan istimewa itu.

Kejujuran yang telah melekat pada diri Nabi SAW adalah sebuah cermin bagi kita, para pengikutnya, untuk terus-menerus memperjuangkan tegaknya kejujuran di lingkungan kita. Memang, tidak dipungkiri bahwa jujur selalu memiliki resiko. Namun, kita harus yakin, bahwa resiko ketidakjujuran akan lebih besar daripada kejujuran. Dengan demikian, kita perlu melatih untuk tetap teguh berkata dan bersikap jujur walau tantangan menghadang, apalagi di bulan Ramadhan yang penuh barakah ini. Bukankah kita telah berlatih jujur dengan tidak makan atau minum padahal tidak ada seorang pun berada di sekitar kita? Mengapa kita tidak meneguk segalas air di kamar yang sepi dan tertutup? Mengapa kita tidak makan sepiring sembari mencicipi masakan kita? Di sini, kita sadar bahwa Allah SWT ada di sekitar kita, sehingga kita harus jujur tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa walau kesempatan begitu terbentang lapang. Di hati kita telah terpatri bahwa Allah SWT maha melihat apa saja yang kita perbuat. Ini adalah sebuah pembelajaran yang berharga tentang arti kejujuran yang kemudian dapat kita terapkan pada bulan-bulan selanjutnya. Akhirnya, kita pasrahkan diri kepada Allah SWT semoga kejujuran kita akan membuahkan hasil yang dapat kita petik manfaatnya suatu saat kelak. Amin.


Introduction