Rabu, 22 Oktober 2008

Rekonstruksi Zakat untuk Kemanusiaan

http://gp-ansor.org/wp-content/uploads/2008/06/buku.bmpJudul Buku : Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas
Penulis : Sudirman, MA
Penerbit : UIN Malang Press, Malang
Cetakan : I, 2007
Tebal : xiv + 178 halaman
Peresensi : M. Abdul Hady JM, Editor Buku, Fungsionaris PC. IPNU Sumenep Madura.

Dalam disiplin fiqh dan hadits, zakat ditempatkan pada pilar Islam yang yang ketiga setelah shalat. Zakat memiliki kedudukan sangat penting dalam Islam (Al Quran). Setidaknya, ada sekitar 30 ayat dalam Al Quran yang menerangkan zakat dan sekitar 27 ayat diantaranya kata zakat disebutkan secara bersamaan dengan perintah shalat.

Sebagaimana ritual lainnya dalam Islam, zakat menyimpan beberapa dimensi yang sangat kompleks. Kalau puasa sebagai ritual penyucian diri, maka zakat lebih diorientasikan untuk pensucian harta dan rasa solidaritas kemanusiaan. Sebab, pada hakikatnya sebagian harta yang dimiliki merupakan hak bagi orang lain yang masuk dalam kategori orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 orang golongan.

Zakat sesungguhnya merupakan potensi ekonomi yang amat besar bagi bangsa Indonesia. Jika kita menengok jumlah muslim yang mayoritas di negara kita, maka zakat bisa menjadi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Jumlah muslim yang 90% dari total populasi 200 juta, maka hal ini setidaknya sedikit mengurangi atau minimal menekan eskalasi kemiskinan.

Faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Maka, salah satu solusi pengentasan cengkeraman kemiskinan tentu saja dibutuhkan pengelolaan zakat yang tepat, lebih modern dan berdaya guna. Sebab, jika pengelolaan zakat tersebut dapat dilakukan dengan baik maka maka persoalan sosial seperti TKI terlantar, pengungsi, anak jalanan, anak putus sekolah, dan pengangguran akan dapat teratasi.

Sejarah telah mencatat bahwa fenomena fakir-miskin sudah menjadi bagian problem kemanusiaan yang akan tetap eksis sepanjang rode kehidupan manusia. Untuk itulah, zakat sebagai piranti pengentas kemiskinan dengan berbagai modifikasi sejalan dengan perkembangan zaman tampaknya merupakan jawaban yang cukup tepat.

Setidaknya dalam konteks ini, buku ”Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas” menjadi sangat penting. Sebab, selain menawarkan konsep menajemen modern dalam pengelolaan zakat, Sudirman penulis buku ini juga menyuguhkan rekonstruksi konsep zakat yang lebih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Rekonstruksi konsep zakat di sini diartikan sebagai upaya pemaknaan ulang zakat dalam hal-hal yang bersifat praktis, bukan dalam ranah konsep dasar zakat. Rekonstruksi di sini tidak dimasudkan untuk merubah hukum zakat dari wajib menjadi sunnah, namun lebih pada waliayah ijtihadi zakat yang bisa dikembangkan sesuai dengan irama perjalanan zaman. (h. 58)

Dalam kondisi apa pun sejak diperintahkan hingga kini, zakat hukumnya tetap wajib, hanya yang perlu direnungi ulang adalah barang apa saja yang harus dizakati. Selama ini, zakat hanya diasumsikan kepada zakat fitrah dan lima jenis zakat yang sudah umum dibincangkan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Kelima sumber zakat itu adalah zakat emas, perak, pertanian, peternakan, perdagangan, dan barang temuan. Padahal saat ini banyak sumber-sumber penghasilan yang justru lebih besar dari pada kelima jenis tersebut.

Dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat, misalnya kini masyarakat mengenal budidaya tanaman organik dan hidroponik, ikan hias, burung langka hingga perdagangan saham di pasar modal. Usaha semacam ini akan memberikan hasil yang berlipat ganda dan belum ditemukan pada zaman Muhammad dan ulama-ulama fiqh klasik.

Yusuf Qardawi, ulama kontemporer, menambahkan materi zakat yang wajib dizakati selain kelima materi zakat tersebut di atas, yaitu antara lain, zakat investasi pabrik, jasa, profesi, saham, dan obligasi. Pengembangan konsep dan meteri zakat, menurut Qardawi disebabkan adanya konpleksitas sistem perekomian dan kemampuan manusia menguasai kekayaan alam. Sehingga, umat Islam pada zaman modern saat ini untuk memperoleh penghasilan yang memiliki nilai ekonomis menjadi sangat banyak.

Selain itu, bagi Sudirman, perlu juga pemaknaan ulang terhadap pengertian muzakki (orang kaya yang wajib mengeluarkan zakat) dan mustahiq zakat. Pada zaman klasik, seseorang akan dianggap kaya apabila ia memiliki emas, dan perak, memiliki kebun buah-buahan dan hasil pertanian yang banyak, binatang ternak dan atau harta perdagangan yang sangat melimpah. Namun, sejak dikembangkan bank dan pasar modal sebagai lembaga ekonomi, dterapkan sains dan teknologi dalam kegiatan budidaya, dipakainya keahlian dan ketrampilan diri sebagai komuditas, orang sekarang menjadi kaya bukan saja karena menyimpan emas dan perak atau memiliki binatang ternak, tetapi lebih karena memiliki deposito yang banyak pada bank, memiliki saham di beberapa perusahaan besar.

Berbeda dengan pengertian orang miskin (diantara 8 golongan yang berhak mendapat zakat) pada masa dulu, kemiskinan saat ini bukan saja ditentukan oleh kepemilikan kekayaan secara individual, tetapi tergantung juga dari tingkat kehidupan ekonomi suatu bangsa dan kualitas diri manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, definisi kemiskinan antara satu bangsa denga bangsa satunya akan berbeda. Di Brunai orang dianggap miskin dan berhak menerima zakat bila ia berpenghasilan sekitar $ 1. 180 atau sekitar Rp. 6.700.000, padahal untukm ukuran Indonesia penghasilan sebesar itu adalah termasuk orang kaya. Sebab, di Indonesia orang dianggap cukup atau kaya bila ia berpenghasilan sekitar Rp. 1.000.000 (h. 68).

Buku ini tampaknya memiliki urgensi yang sangat penting untuk dijadikan referensi dan acuan bagi semua pihak, terutama bagi para tokoh-tokoh agama. Sebab, buku ini telah memulai langkah awal yang cukup cemerlang dalam rangka upaya penyelesaian berbagai problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dengan tawaran rekonstruksi beberapa konsep zakat. Akhirya selamat membaca !.

Selasa, 14 Oktober 2008

BELAJAR DARI TRAGEDI ZAKAT PASURUAN

Tanggal 15 September yang lalu, kita dikejutkan dengan pemberitaan media massa tentang pembagian zakat yang menelan korban meninggal dunia sebanyak 21 orang, 10 orang kritis, dan puluhan lain luka-luka. Peristiwa ini terjadi saat seorang saudagar kaya di Pasuruan membagikan zakat mal di depan rumahnya. Ribuan korban yang berdesakan mengakibatkan banyaknya jatuh korban sia-sia. Kasus semacam ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi di negeri kita. Hampir setiap tahun, khususnya di bulan Ramadhan, kaum fakir miskin yang terhimpit ekonomi harus rela berjam-jam antri di bawah terik panas matahari dan bisa jadi akan menjadi korban dalam pembagian zakat. Sebut saja kasus pembagian zakat orang kaya di Gresik (28/09/2007) atau di sebuah perusahaan rokok ternama di Kediri (10/10/2007) yang menyebabkan banyak korban terinjak, luka, atau bahkan meninggal.

Berangkat dari kenyataan tersebut, muncul pertanyaan di benak kita, apa yang salah dalam kegiatan pembagian zakat sehingga harus memakan korban? Dalam kondisi bangsa yang saat ini secara ekonomi belum stabil ditambah dengan tingkat daya beli masyarakat yang relatif menurun seiring lonjakan harga akibat kenaikan BBM dan suasana menjelang lebaran, angka kemiskinan mencapai titik yang mengkhawatirkan. Dalam hari-hari biasa, masyarakat dapat membeli satu kilogram barang tertentu, namun saat ini, di tengah bulan Ramadhan, mungkin mereka hanya memperoleh setengahnya. Artinya, selain daya beli masyarakat yang belum juga memuaskan, ternyata mereka harus dihadapkan dengan kenyataan keadaan harga-harga yang melambung tinggi tatkala mendekati hari-hari besar keagamaan. Situasi semacam ini disinyalisasi menjadi salah satu pemicu tingginya animo masyarakat untuk bergegas menggabungkan diri dalam antrean panjang pembagian sembako atau sekedar sedekah di rumah-rumah orang kaya atau orang terkenal. Bagi mereka, uang 30 ribu, seperti dalam kasus Pasuruan atau 5 ribu pun dalam kasus lain, sangatlah berharga demi menyambung hidup beberapa hari ke depan. Pertimbangan keselamatan jiwa tidak lagi menjadi prioritas yang layak diperhitungkan.

Perlu Antisipasi

Saat terjadi tragedi pembagian zakat yang memprihatinkan ini, banyak kalangan kemudian berkomentar sesuai dengan kapasitasnya. Pihak aparat keamanan akan mengklaim bahwa kejadikan tersebut sebagai akibat tidak dikoordinasikannya acara pembagian zakat sehingga tidak ada satu pun aparat yang dapat membantu pengamanan. Pihak agamawan juga ikut mengecam bahwa kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk eksploitasi warga miskin. Apapun komentar mereka, kejadian tersebut semestinya secara elegan dapat dihindari dengan beberapa langkah.

Pertama, sebelum pembagian, pihak penyelenggara hendaknya melakukan pembatasan jumlah warga yang akan menjadi penerimanya. Seperti layaknya penyaluran dana BLT, tidak semua orang berhak menerimanya. Hal yang sebenarnya sering dilakukan secara rapi oleh umat Islam adalah pembagian daging korban yang juga dilaksanakan setiap tahun dengan membagikan kupon. Dengan demikian, warga yang datang adalah pemilik kupon yang akan ditukarkan kepada petugas pembagian, sedangkan warga yang tidak mendapat kupon tidak berhak ikut antrian kecuali pihak penyelenggara menganggarkan dana tambahan dengan mendaftar mereka terlebih dahulu. Kasus membludaknya calon penerima biasanya karena mereka menganggap kesempatan tersebut merupakan lahan untuk menambah penghasilan tanpa harus bekerja keras, karena cukup bergabung dalam kerumunan antrean.

Kedua, pembentukan panitia yang sigap dalam berkoordinasi dengan aparat keamanan. Dalam acara apapun, sebuah tim perlu dibentuk demi lancarnya kegiatan. Dalam hal pengumpulan masa yang tidak terbatas, hendaknya pihak panitia melakukan kontak dengan pihak berwenang, dalam hal ini aparat kepolisian. Apabila nantinya terjadi kondisi yang tidak terkendali, pihak keamanan akan melakukan tindakan pengamanan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, tanpa harus menjadi beban panitia yang umumnya tidak sanggup menangani situasi genting.

Ketiga, penyaluran zakat melalui lembaga profesional (amil). Sejak diterbitkannya Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, di Indonesia tumbuh pesat lembaga-lembaga pengelola zakat baik dalam naungan regara ataupun masyarakat. Lembaga yang dibentuk pemerintah adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang strukturnya berantai dari pusat hingga kecamatan, sedangkan lembaga yang dibentuk oleh swadaya masyarakat disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang beroperasi tingkat nasional maupun daerah. Masyarakat yang akan menyalurkan zakatnya dapat memilih salah satu dari lembaga-lembaga tersebut sehingga dana yang mereka amanahkan dapat didayagunakan secara efektif dan efisien.

Tingkat keterpercayaan masyarakat kepada lembaga merupakan harga mati bagi lembaga-lembaga tersebut untuk dapat menarik simpati. Oleh sebab itu, tidak aneh jika kemudian lembaga-lembaga tersebut berlomba-lomba menarik minat masyarakat dengan aneka model transparansi dana dan modifikasi pelayanan seperti jemput zakat, zakat online dan zakat via SMS. Kesemuanya itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap pengelola agar zakat yang diamanatkan kepada mereka dapat tersalurkan dalam kemasan manajemen yang baik. Dengan demikian, kejadian semacam di Pasuruan dapat diminimalisasi apabila kontak antar muzaki (pembayar zakat) dengan mustahiq (penerima zakat) tidak secara langsung, namun diperantarai oleh sebuah lembaga amil.

Peran Pengelola Zakat

Apabila kita lebih jeli, banyak manfaat yang dapat kita petik jika masyarakat mau menyalurkan zakatnya, termasuk infaq dan shadaqah, melalui lembaga pengelola zakat profesional. Manfaat tersebut tidak hanya untuk para muzakki, tapi juga untuk para mustahiq. Di antara manfaatnya adalah:

Pertama, penyerahan zakat semakin mudah. Saat ini hampir di setiap kota dapat dijumpai lembaga-lembaga pengelola zakat yang kompeten di bidangnya baik yang dikoordinasi oleh pemerintah maupun masayarakat. Dengan banyaknya lembaga tersebut, masyarakat akan semakin mudah untuk membayar zakat dan tidak perlu repot mencari sendiri mustahiqnya. Mereka tinggal menggunakan produk yang telah ditawarkan oleh lembaga tersebut sesuai dengan kondisi muzakki. Hal ini juga dapat menghindarkan timbulnya arogansi muzakki atau kepentingan-kepentingan sesaat lainnya, serti politik dan popularitas, yang sering menunggangi setiap pemberian dana bantuan secara langsung.

Kedua, harga diri mustahiq akan terjaga. Para mustahiq akan mudah mendapatkan haknya dan mereka tidak perlu merasa malu atau rendah diri karena menjadi penerima zakat. Mereka akan mendokan secara khusus bagi para pendermanya tanpa harus dibebani secara psikologis seperti halnya ketika berhadapan langsung dengan muzakki. Amil dalam hal ini akan berfungsi sebagai fasilitator antara muzakki dan mustahiq dan tentunya akan mudah bersifat netral.

Ketiga, penyaluran zakat akan tepat sasaran. Penyaluran zakat tidak selalu dalam bentuk tunai yang umumnya sifatnya konsumtif. Saat ini dengan perkembangan pemikiran dalam pendayagunaan zakat, telah muncul gagasan untuk menjadikan zakat lebih produktif. Bentuk-bentuk pendayagunaan zakat secara produktif dapat berupa pemberian beasiswa, penyediaan alat-alat sekolah, sarana kesehatan, dan bantuan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Dengan demikian, dana zakat tidak serta merta habis dalam hitungan hari atau bahkan jam, tapi bisa menjadi sumber untuk perbaikan masa depan mustahiq sehingga suatu saat mereka dapat merubah status diri mereka dari kelompok mustahiq menjadi kelompok muzakki. Ibarat kita memberi mereka sebuah pancing daripada segerobak ikan.

Keempat, pembagian tidak terkonsentrasi pada kelompok mustahiq tertentu. Hal yang sering terjadi dalam penyaluran dana zakat secara langsung adalah bahwa mustahiq zakat merupakan orang-orang dekat yang biasanya terbatas pada orang itu-itu saja. Dengan mempercayakan zakat kepada lembaga-lembaga pengelola zakat, konsentrasi kepada kelompok tertentu akan dapat dihindari. Mereka yang telah mendapat zakat tahun ini bisa jadi tidak akan mendapat hal yang sama demi pemerataan kepada kelompok lain yang juga sama-sama membutuhkan. Apalagi kelompok pertama tadi ternyata secara ekonomi telah mengalami perbaikan yang signifikan. Penyaluran kepada kelompok baru akan menjadikan zakat lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat secara luas.

Terakhir, penyaluran zakat melalui lembaga pengelola zakat dapat menghindarkan munculnya kerumunan massa yang tak terkendali. Petugas yang akan memberikan dana zakat biasanya terlebih dahulu melakukan survei atau studi lapangan untuk mendata mereka yang berhak mendapatkan zakat. Pemilihan ini tentu berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya sehingga akan terhindar dari kolusi atau salah pilih calon penerima zakat. Juga, orang-orang yang diundang akan disesuaikan jumlah dana yang akan disalurkan. Dengan demikian, kerumunan orang yang berakibat fatal dapat dihindarkan. Semoga!

Introduction