Senin, 29 Maret 2010

UNTUK APA BUKU?



Pelajar sejati begitu lekat dengan buku
Tanpa buku, tiada ilmu, jiwa layu
Baca buku, banyak tahu, semangat baru

Hidup jadi mudah
Masalah akan terpecah
Hari depan kian cerah

Namun sayang,
Banyak orang bilang
Buku cukup dibeli lalu dipajang
Pertanda pemiliknya orang terpandang
Bagai punya wawasan menjulang

Buku hanya sekedar hiasan
Ditumpuk, berdebu, lalu diloakkan
Bergaya seolah jadi ilmuwan
Padahal pikiran picik nan memalukan

Ayo rajin baca buku
Niatkan diri merajut ilmu
Ciptakan dunia kian bermutu
Hingga tiba akhir waktu

SUKSES DENGAN SABAR DAN SHALAT



“Hidup adalah perjuangan yang tak henti-henti,” demikian salah satu lirik lagu garapan Dewa 19. Kalimat ini menyiratkan pesan bahwa hanya orang-orang yang mampu bertahan dalam hidup yang akan meraih kesuksesan. Dalam hal ini, Islam telah memberikan salah satu resep menggapai sukses, antara lain adalah pesan yang terkandung dalam surat al-Baqarah: 153 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Ayat ini memotivasi setiap muslim untuk lebih lekat dengan Allah SWT, Tuhannya.

Ketika keimanan seseorang telah memenuhi lubuk hatinya, refleksi dari keyakinan itu adalah selalu mampu mengendalikan diri dalam situasi apapun. Ia tidak akan goyah dan patah arang ketika badai kehidupan menghantamnya. Ia yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah bagian dari kehendak ilahi. Untuk itu, ia akan tetap tersenyum melakoni setiap jengkal kehidupannya. Penolong kesusahannya adalah Allah melalui saran sabar dan shalat. Sabar bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan bertahan dengan tetap melakukan berbagai usaha kreatif untuk meningkatkan nilai hidup.

Selain sabar, Allah juga memerintahkan seorang mu’min melakukan ritual shalat untuk menguatkan hatinya. Shalat adalah komunikasi paling efektif antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam shalat terdapat kepasrahan, ketundukan, dan permohonan doa. Shalat akan memberikan efek tenang dalam jiwa karena seseorang yang melakukan shalat berarti mengakui kebesaran sang pencipta sekaligus menyadari kekerdilan dirinya. Ia ibarat tanaman kecil yang berlindung di bawah pohon besar. Ia seperti ikan rumora yang berlindung di bawah ikan hiu. Ia bagaikan seekor keong yang berlindung di balik gunung karang. Rasa aman dan tenteram akan memenuhi setiap sudut relung hatinya.

Berlindung kepada Allah adalah momen terbaik penyandaran diri seorang hamba. Ia takkan sedih ketika apa-apa yang diusahakannya tidak menemui hasil maksimal. Ia akan tabah dengan tetap melangkah ke depan. Tidak ada kata mundur dan kendur dalam kamus kehidupannya. Ia tak akan lekang oleh panas dan tak pernah lapuk oleh hujan. Ia akan tetap tegak berdiri seperti menjulangnya puncak himalaya. Ia percaya bahwa Allah yang maha segalanya akan memberikan pertolongan-Nya di saat yang tepat. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik seorang hamba sedikit pun. Allah akan menjaga seorang hamba yang giat mendekatkan diri kepada-Nya. Dari-Nya semua perkara datang dan kepada-Nya pula segala urusan akan kembali. Allah begitu agung dan begitu bijaksana.

Allah dalam terusan ayat ini menyatakan bahwa ujian seorang hamba akan dilewatkan melalui beberapa pintu. Ayat tersebut adalah al-Baqarah: 155 yang berbunyi “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Dari ayat ini dapat kita petik beberapa poin penting tentang macam-macam ujian.

Pertama adalah ujian ketakutan. Setiap orang jelas tidak ingin hidup dalam situasi mencekam. Ia ingin menikmati setiap penggal waktunya dalam suasana damai dan aman. Oleh sebab itu, keamanan dan kenyamanan hidup seseorang menjadi sedemikian penting, mengalahkan rasa lapar dan kemiskinan, seperti tergambar dalam teori Maslow. Buat apa bergelimang harta kalau kemudian hidupnya dalam bayang-bayang ketakutan, penuh teror, dan ancaman. Ia tentu akan memilih hidup dengan keterbatasan harta namun tenang daripada hidup dalam kondisi stress dan frustasi.

Ujian kedua adalah kelaparan. Ini merupakan lapis kedua dari macam ketakutan manusia. Ia tidak akan mampu menikmati indahnya istana jika perutnya keroncongan. Ia bahkan berani menjual separoh istananya demi seteguk air dan separoh lainnya demi sesuap makanan. Betapa tidak ada artinya harta yang melimpah jika kebutuhan pokoknya yang berupa pangan tidak terpenuhi.

Ujian ketiga adalah kekurangan harta dan jiwa. Setelah kebutuhan aman dan pangan, manusia sangat membutuhkan harta sebagai sarana kehidupan. Harta tidak dipungkiri merupakan salah satu sumber kebahagiaan. Tanpa harta, manusia tidak dapat membangun peradaban yang spektakuler. Harta diperoleh untuk mempertahankan sekaligus meningkatkan kualitas hidup. Di samping harta, manusia juga butuh rasa berani dan motivasi tinggi yang merupakan unsur kekuatan jiwa. Ketika kondisi jiwa begitu tenang dilengkapi dengan semangat hidup yang berkobar, seseorang akan dapat merasakan hidup kian menantang. Ia akan berani melakukan terobosan-terobosan baru untuk menemukan berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan. Oleh sebab itu, ketika Allah mengurangi harta dan kebesaran jiwa seseorang, ini merupakan ujian yang perlu disikapi dengan sabar dan tetap berdoa.

Akhirnya, kombinasi apik antara sabar dan shalat adalah tameng jitu seorang muslim dalam menghadapi aneka masalah kehidupannya. Cobaan Allah yang dilewatkan beberapa pintu seperti ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta akan dapat dilalui dengan sempurna oleh seorang mukmin jika dibarengi dengan sabar dan doa. Semoga kita dapat menjalani hidup ini dengan semboyan, “Inna lillah wa inna ilaihi rajiun”, kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita semua akan kembali. Wa Allah a’lam.

Jumat, 26 Maret 2010

MENGELOLA KELAS VS PENGAJIAN


Sejak berstatus mahasiswa UIN Jakarta, saya seringkali diberi kesempatan untuk mengisi pengajian. Reputasinya memang masih tingkat lokal, misalnya di lingkungan mushalla, masjid, atau majlis ta’lim. Maklumlah, itung-itung saya masih belajar bicara di depan umum. Semua saya jalani dengan senang hati. Saya mencoba menyesuaikan diri dengan situasi pengajian yang tidak menentu, sangat lentur dan tergantung mood jamaah. Pengalaman demi pengalaman saya lalui dan kian menambah wawasan dan kedewasaan saya. Pelbagai kondisi yang saya hadapi semakin menantang diri saya untuk memberikan pengabdian terbaik kepada masyarakat.

Kemudian, ketika saya mulai dipercaya mengajar mahasiswa S-1 di UIN Jakarta tatkala saya mengawali kuliah program magister, saya banyak menemui pengalaman baru. Saya harus menyampaikan materi kuliah secara sistematis, lugas, dan transparan. Jika ada penjelasan yang kurang dipahami, mahasiswa dengan kritisnya akan menyampaikan pertanyaan kepada saya. Praktis, tuntutan untuk membisakan orang menjadi salah satu beban sekaligus tantangan bagi seorang dosen.

Nah, jika dibandingkan kedua pengalaman di atas, antara memberi kuliah dengan menyampaikan ceramah dalam pengajian, ada beberapa perbedaan mendasar antara keduanya. Salah satunya yang menarik adalah tentang pengelolaan massa. ketika dalam situasi kelas, saya harus konsentrasi menyampaikan pelajaran dengan serius. Bila ada mahasiswa yang tidak memperhatikan penjelasan saya karena ngantuk atau bicara sendiri, saya tentu merasa terganggu. Biasanya saya akan menghentikan sejenak perkuliahan sambil melempar senyum sampai situasi kembali tenang dan nyaman. Saya tidak ingin usaha saya sia-sia karena ada satu atau dua orang yang tidak peduli. Saya merasa bertanggung jawab untuk mengantar mereka mampu menguasai materi kuliah. Apalagi matakuliah yang saya pegang terkait dengan metodologi penelitian yang dikenal cukup rumit untuk dipahami.

Bagi mereka yang mengantuk, saya berikan kesempatan kepadanya untuk membasuh muka ke kamar mandi. Bagi mereka yang suka bicara sendiri, saya persilakan untuk bicara sepuasnya, sebelum kuliah diteruskan. Jika mereka sudah selesai bicara, saya baru melanjutkan proses belajar-mengajar. Dengan demikian, semua proses perkuliahan dapat saya kendalikan untuk mencapai target kompetensi yang ditetapkan. Alhamdulillah, dengan sistem itu, mahasiswa dapat dikelola dengan baik saat mengikuti proses belajar mengajar sehingga prestasi yang mereka capai pun tergolong memuaskan.

Beda halnya dengan pengajian, apalagi jika jamaahnya adalah ibu-ibu beserta sejumlah balitanya, pengajian bisa berubah bak pasar malam. Beberapa orang bisa dengan santai bicara sendiri tanpa peduli terhadap materi ceramah. Begitu pula sejumlah ibu sibuk untuk mendampingi anak-anaknya. Jelas saja, perhatian peserta pengajian menjadi terbagi dan kacau. Bagaimana sikap saya? Tentu saya tidak bisa bersikap setegas tindakan saya dalam kelas. Saya harus tetap tersenyum dengan melontarkan joke-joke segar seraya menyindir halus mereka. Saya dituntut untuk lebih sabar dan mampu menguasai diri. Jika tidak, mungkin saya akan marah dan turun podium dengan bersungut-sungut. Lucu kan? Oleh sebab itu, saya dituntut untuk tetap menyampaikan ulasan keagamaan dengan tenang seperti tidak terjadi sesuatu pun yang merisaukan hati.

Kini, pengalaman yang cukup berkesan itu telah mengajari saya untuk bersikap proporsional dalam menyikapi situasi yang berbeda. Ketika di kelas, saya lebih banyak memberikan kesempatan berdiskusi kepada mahasiswa agar hobi bicara mereka tersalurkan. Peluang bertukar pikiran menjadi semakin terbuka. Beda halnya ketika saya berhadapan dengan ibu-ibu pengajian. Saya harus bisa lebih tahan emosi, tetap konsisten bicara, dan fleksibel dengan situasi yang kurang menguntungkan. Dengan begitu, saya dapat menjalankan peran saya, baik dunia akademik maupun di dunia realitas, dengan lebih nyaman dan tetap menyenangkan. Wa Allah a’lam.

CHANGE OR DIE?


Kalimat di atas terasa bombastis: berubah atau mati saja. Setiap orang wajib melakukan perubahan untuk menjadikan hidup lebih bermakna. Jika tidak mau berubah, rasanya lebih baik berputih mata (wow!). Meskipun terasa pedas, pilihan di atas nampaknya akan memberikan spirit baru untuk kita bila ingin memperbaiki jalan hidup. Setiap hari kita harus membuat hal-hal baru yang dapat memberikan nilai tambah bagi mutu kita. Betul?

Legitimasi akan perlunya perubahan setidaknya dapat kita dasarkan pada hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa tergolong orang yang beruntung ketika capaian hari ini lebih baik dari hari kemarin. Namun, mereka yang prestasinya sama dengan kemarin dapat digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang merugi. Sedangkan tatkala kualitas amal hari ini ternyata lebih buruk dari hari kemarin, sungguh celakalah orang tersebut. Wah, nampaknya seru juga nih jika membahas tentang semangat perubahan untuk hidup lebih baik!

Ada rumus 3 R untuk membuat perubahan maksimal, yaitu:
1. Relate, artinya membangun relasi. Relasi ini bisa terdiri dari tiga unsur: relasi dengan Tuhan, relasi dengan sesama manusia dan relasi dengan alam. Ketiga aspek ini harus dipenuhi secara seimbang.Membangun relasi baik dengan Tuhan dapat dilakukan dengan pelaksanaan ibadah secara intensif. Aneka bentuk ibadah tentunya sudah diatur dalam ajaran agama. Semakin dekat seseorang dengan sang Pencipta, semakin tinggi pula semangat hidupnya. Ia akan terhindar dari sikap putus asa karena ia yakin bahwa Allah SWT akan menurunkan bantuan-Nya tepat pada waktunya. Hari-harinya akan diisi dengan usaha keras diiringi dengan doa yang ikhlas.

Kemudian, membangun relasi baik dengan sesama manusia bisa dilakukan dalam pelbagai media, bahkan media ibadah pun dapat bernilai sosilogis yang kental tatkala kita ingin menjadikannya sebagai wahana untuk menebar jaringan. Misalnya, dalam praktik shalat berjamaah, seorang muslim tidak hanya sekedar mengejar pahala yang melimpah, namun ia juga dapat menjadikannya sebagai media berkumpul dengan orang-orang shaleh. Kiranya dapat diyakini bahwa para aktifis masjid atau mushalla adalah orang-orang terpilih yang ingin meningkatkan derajat ketaqwaannya. Oleh sebab itu, shalat di masjid akan mendekat diri seseorang dengan pusat orang-orang yang akrab dengan Tuhannya. Selain itu, shalat jamaah di mushalla juga dapat membantu seseorang yang kurang pergaulan untuk mengenal lingkungannya secara lebih lekat. Ketika seseorang sibuk dengan pekerjaannya atau memang sulit bergaul dengan orang lain, jamaah di mushalla akan membuka sekat tersebut. Lebih lanjut, di masjid akan sering ditemukan orang-orang yang memiliki pengetahuan tinggi yang siap berbagi ilmu tanpa pamrih. Mereka senantiasa ikhlas menghidupkan masjid dan mushalla agar dapat berfungsi sebagaimana masjid pada masa Rasulullah SAW. Inilah perlunya membiasakan diri shalat jamaah di masjid untuk membina hubungan baik dengan sesama manusia.

Selanjutnya, relasi juga perlu dibangun untuk menjalin ralasi baik dengan alam sekitar. Bumi kita sudah kian tua dan rusak. Manusia begitu serakah menggunakan segala kekayaan alam yang dikandungnya hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri tanpa memikirkan kebutuhan generasi mendatang. Pelbagai musibah yang datang silih berganti seperti gempa, longsor, banjir, kekeringan dan semacamnya adalah akibat dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu, kesadaran akan pentingnya relasi baik dengan alam akan mendorong manusia untuk melakukan perubahan agar tetap dapat menikmati hidup dengan sempurna.

2. Repeat, artinya pengulangan tanpa henti untuk meraih prestasi puncak. Rasanya jarang kita temui orang-orang yang kini berhasil tanpa usaha sungguh-sungguh. Mereka saat ini dapat menikmati kajayaannya dikarenakan mereka tidak pernah putus asa dalam mencoba hal-hal baru demi teraihnya prestasi tertinggi. Sebagai contoh, Rasulullah Muhammad berdakwah kepada kaum Quraisy lebih dari 13 tahun tanpa henti meskipun pengikutnya hanya berjumlah puluhan. Semangat berkorban dan terus berjuang mengantarkan beliau sebagai tokoh nomor satu dunia yang tak terbantahkan hingga kini. Merubah pikiran masyarakat tidak semudah mengedipkan mata, perlu waktu lama yang diringi dengan sikap istiqamah. Di sinilah letak signifikansi pengulangan demi teraihnya perubahan positif yang diharapkan.

3. Reform, yakni semangat mencari bentuk baru. Semangat ini harus dimulai dari diri sendiri. Rasanya tidak mungkin kebesaran prestasi datang dengan tiba-tiba. Semua membutuhkan pengorbanan dan kesiapan diri untuk menerima perubahan. Allah telah berfirman bahwa tidak akan berubah nasib suatu bangsa kecuali mereka sendiri menginginkan perubahan itu. Perubahan yang diinginkan harus dirancang dengan matang, dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan dievaluasi secara berkala. Dengan begitu, perubahan itu akan dapat diwujudkan dengan sempurna. Wa Allah a'lam.

5 STRATEGI MENANG


Sun Tzu, Jendral Perang Cina yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, merumuskan lima langkah meraih kemenangan perang.

Pertama yang disebutnya The Way. Yaitu ideologi dan kebersamaan visi dan misi agar semua prajurit mengikuti perintah atasan-nya dengan baik dan sempurna, tanpa motif yang berbeda-beda, tanpa ada ancaman pihak-pihak yang berkhianat dan menyeberang ke pihak musuh.

Kedua, yang disebutnya The Heaven, yaitu faktor alam dan lingkungan. Bertempur di musim hujan dibanding dengan musim panas jelas akan beda.

Ketiga adalah The Ground, atau medan pertempuran.

Ke-empat adalah The General, yaitu kualitas sang pemimpin atau jendral yang memimpin perang dengan memperlihatkan ke suri tauladan, dengan kredibilitas, pengabdian, keberanian dan disiplin. Semua merupakan tampilan seorang pemimpin yang adil bijaksana.

Kelima adalah The Law, yaitu manajemen perang itu sendiri. Bagaimana mengatur kesejahteraan prajurit dengan logistik dan organisasi yang teratur dan sempurna.

Setiap pihak yang ingin menang mutlak dalam berbagai bidang kehidupan dapat melakukan kalkulasi kelima elemen ini dengan cermat.

MERANGKUL KAWAN DAN LAWAN



"Keep your friends close, and your enemies closer" begitu slogan yang tertulis di gambar di atas. Menarik, kita harus senantiasa menjadikan kawan kita tetap berada dekat dengan kita, dan menjadikan lawan kita lebih dekat lagi. Artinya, kawan seribu tidaklah cukup untuk melawan satu lawan. Oleh sebab itu, jika ada potensi konflik dengan kawan, kita patut segera meredam persoalan yang terjadi di antara kita. Dengan begitu, persahabatan dan ukhuwwah kita tetap terjaga.

lalu bagaimana jika kita sudah terlanjur punya musuh? Sikap terbaik kita adalah kita harus mencari berbagai terobosan agar lawan kita tidak berbuat hal-hal yang merugikan kita. Jika memungkinkan, kita perlu melakukan upaya ishlah agar keburukan yang mungkin timbul bisa ditekan seminimal mungkin.

Persoalannya sekarang, kita ini lebih senang membuat permusuhan di antara persahabatan yang sudah terjalin. Jangankan membuat ishlah, kita lebih tertarik untuk memecah belah persatuan yang sudah terbina dengan membuat kelompok-kelompok kecil. Apanya yang salah? Tentu ini menjadi PR bagi kita yang ingin menegakkan panji-panji Islam di jagat raya ini. Wa Allah a'lam.

Kamis, 25 Maret 2010

SERTIFIKASI DOSEN


Kata sertifikasi menjadi tren beberapa tahun terakhir. Setiap orang yang ingin diakui profesinya harus didukung dengan selembar kertas yang menerangkan tentang keahliannya. Pengacara, misalnya, harus bersertifikat advokat jika ingin membuka praktik bantuan hukum. Dokter juga harus memiliki sertifikat ijin praktik sebelum berhak mengobati pasien. Ternyata, sertifikat perlu dimiliki pula oleh tenaga pendidik, semacam guru dan dosen.

Guru dianggap sebagai tulang punggung pendidikan nasional. Guru yang berkualitas akan mengantarkan anak didiknya menjadi generasi penerus bangsa yang mampu bersaing di era global. Untuk itu, tidak semua orang berhak menjadi guru. Sertifikat mengajar menjadi salah satu persyaratannya. Di pendidikan tinggi, seperti universitas, para dosen juga dikenai kewajiban bersertifikat. Tanpa itu, hak menjadi pengajar di perguruan tinggi akan dicabut, atau minimal ditunda. Bagi mereka yang tidak lulus sertifikasi diwajibkan untuk mendalami profesinya melalui pendidikan khusus dan baru diijinkan mengajukan sertifikasi minimal dua tahun kemudian. Dengan demikian, sertifikasi menjadi salah satu tantangan bagi para tenaga pendidik untuk senantiasa meningkatkan kualitas dirinya sehingga diharapkan akan mampu menjadi jembatan masa depan bangsa.

Sebagai dosen, saya baru tahun ini terdaftar sebagai calon peserta sertifikasi. Sebelumnya, hanya dosen senior yang mendapat prioritas untuk disertifikasi. Kini, setelah tahun kemarin UIN Malang telah berhasil meluluskan lebih dari 100 dosen, tiba giliran dosen lapis dua untuk diproses sertifikatnya. Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti pelatihan sertifikasi di kampus. Berbagai persyaratan harus dipenuhi, antara lain:
1. Indentitas dosen dan lembar pengesahan
2. Pas foto berwarna 3x4
3. Instrumen persepsional mahasiswa
4. Instrumen persepsional sejawat
5. Instrumen persepsional dosen
6. Instrumen personal (deskripsi diri) dan Curriculum Vitae
7. Copy SK kepangkatan terakhir dan Penilaian Angka Kredit
8. Copy ijazah S1-S3 dan transkrip nilai
9. Copy SK mengajar 2 tahun terakhir
Lumayan juga persyaratannya. Saya butuh waktu cukup lama untuk melengkapinya.

Berkas yang paling menantang bagi saya adalah poin 6, deskripsi diri dan CV. Dalam deskripsi diri, seorang dosen harus mampu menjelaskan berbagai upaya kreatif dan inovatif yang telah dilakukan baik di kelas, di tempat kerja, hingga di masyarakat. Dosen harus memiliki sejumlah karya tulis dalam bentuk buku, jurnal, atau makalah. Pengabdian kepada masyarakat sesuai bidangnya juga menjadi penilaian. Selain itu, dosen juga diwajibkan mendeskripsikan berbagai upaya peningkatan kualitas dan pelayanan terhadap mahasiswa termasuk di dalamnya sikap dan reaksi dosen dalam situasi yang kurang menguntungkan. Wah, cukup memusingkan! Lembaran pertanyaan itu harus dijawab tidak boleh kurang dari lima belas lembar dengan spasi tunggal. Dosen harus mampu mengingat kembali pengalaman mengajar dan bekerja selama menjadi dosen. Inilah waktunya dosen menunjukkan identitasnya. Jika lulus, sertifikat akan ada di tangan. Namun bila tidak, ini berarti ia harus berjuang keras mengembangkan dirinya sehingga layak menjalani profesi sebagai dosen. Wa Allah a'lam.

Selasa, 23 Maret 2010

BUAH KESABARAN


Gus Muh baru saja selesai shalat malam. Sambil bersimpuh, ia menatap langit-langit sel tahanan. Ia tak menyangka kalau hari-harinya akan dihabiskan dalam penjara. Air matanya berurai, sedih dan pilu. Ia serahkan jalan hidupnya kepada Sang Khalik. Ia bersujud sambil tersedu. Ia menyesal di usianya yang berkepala enam, baru bisa menapaki jalan menuju cahaya ilahi. Ketika ia sedang memulai lembaran baru itu, Allah malah menurunkan ujian padanya. Ia sadar bahwa ia memang pantas mendapat cobaan ini. Mungkin dengan begitu, ia bisa lebih dekat dengan Tuhannya yang selama ini ia tinggalkan.

“Ya Allah, jika memang ini jalan menuju-Mu, aku ikhlas, ikhlas ya Allah…” bisiknya lirih. Semakin deras saja aliran air matanya. Namun ia puas.

“Hanya pada-Mu ya Allah aku mengadu…, hanya pada-Mu aku mengeluh…,aku yakin ini adalah jalan terbaik dari-Mu…,” suara gus Muh kian parau. Tapi ia makin tegar.

Gus Muh tersenyum, kegundahan hatinya lepas sudah. Ia telah sampaikan kegundahan hatinya kepada Zat yang Maha Bijak. Ia pun mulai merebahkan diri di lantai yang dingin. Tak ada kasur, tak ada batal, tak ada selimut. Lelap.

Pagi hari petugas membangunkan seluruh tahanan. “Dok…dok…dok…bangun…bangun…” Gus Muh terkejut, ia pun duduk sambil mengucek matanya. Ia mengambil air wudhu lalu shalat shubuh. Lalu ia berdoa dengan khusyu’, tenang sekali.

“Pak, silakan ke ruang kepala, ada urusan sebentar!” kata petugas. Gus Muh agak kaget, ia khawatir kalau dirinya akan dipukuli atau disiksa. Tapi, ia pun menuruti permintaan petugas.

“Pak Muhtadi, hari ini ada kawan Bapak yang datang memberikan jaminan kepada kami. Bapak bisa pulang sekarang.”

“Alhamdulillaaaahhh…” ucap gus Muh tak tertahankan. Ia langsung sujud syukur beberapa menit.

“Pak Abid, terima kasih banyak…” gus Muh memeluk erat temannya itu dengan haru.

Ia tak menyangka kalau hari ini ia akan menghirup udara bebas. Bebas seperti dulu. Bebas dari pengapnya ruang terali besi. Pertolongan Allah benar-benar di luar dugaan. Ia berjanji akan lebih hati-hati dalam mengisi hari-harinya kelak.

Minggu, 21 Maret 2010

UJIAN KESABARAN


Yuk Ning sejak pagi bermuram durja. Pikirannya kalut karena Gus Muh tidak pulang-pulang. Sudah tiga hari ini Gus Muh pergi ke luar kota dengan membawa truk untuk mengantar barang-barang pesanan kolega Bos Jono. Yuk Ning percaya kalau suaminya itu sudah tobat, tidak lagi mabuk dan judi seperti dulu. Pengajian rutin yang diadakan ustad Usman rajin diikutinya. Setahap demi setahap perilaku shalehnya makin terlihat. Tapi, mengapa gus Muh tidak kunjung pulang? Janjinya sih cuma satu hari.

Bukannya kangen seperti anak remaja yang lagi jatuh cinta, Yuk Ning hanya khawatir kalau penyakit gus Muh kumat. Lalu siapa yang menolong? Obat yang biasa diminum rupanya tertinggal di laci lemari. Yuk Ning juga lupa mengingatkan untuk membawanya. Usia gus Muh sudah mulai tua. Tetapi semangat kerjanya kian giat. Makanya bos Jono sering kali meminta gus Muh untuk menjadi sopir truknya.

“Yuk…Yuk…” suara panggilan di luar rumah sambil tergopoh-gopoh. Yuk Ning yang sedari tadi melamun sambil membereskan baju cuciannya langsung lari menuju pintu.

“Ada apa kang Karyo? Kok sepertinya ada yang kurang beres?” tanya yuk Ning dengan nada khawatir.

“A..a..nu…Yuk, Gus…Gus Muh…ditangkap polisi…!” jawab kang Karyo terbata-bata. Yuk Ning terkejut bukan kepalang.

“Lho…emang kenapa, Kang…apa salah suamiku? Mabuk lagi?”

“Gus Muh nabrak sepeda motor…, Yuk, pengendaranya meninggal!”

“Ayo, Kang, anter aku ke kantor polisi…!!!” pinta yuk Ning buru-buru.

Kang Karyo merasa kasihan kepada yuk Ning dan gus Muh. Baru saja gus Muh sembuh dari sakit, lalu dapat pekerjaan di bos Jono, kini ia harus berurusan dengan polisi. Bagi orang awam seperti dia, polisi sungguh menjadi momok. Entahlah, dirinya sudah tak percaya lagi dengan kelakukan polisi. Polisi sama dengan uang. Urusan akan beres bila ada uang yang cukup. Lalu gus Muh dapat darimana? Kerja saja belum genap sebulan. Sekarang ….ah…sudahlah…

***

“Yang sabar ya, Kang!” kata yuk Ning saat bertemu suaminya di ruang tahanan sambil terisak.

“Aku nggak apa-apa kok, Dik! Memang Allah sedang menguji kita. Semoga cobaan ini segera berlalu.” Bisik Gus Muh menenangkan istrinya. Ia tatap mata istrinya dalam-dalam. Ada ribuan untaian kalimat yang terhubung antara kedua pasang mata itu. Senyumnya tetap mengembang, seperti tidak ada kejadian apapun.

Yuk Ning begitu bangga pada suaminya. Ia sudah berubah total. Pasrahnya kepada sang Maha Pencipta begitu tulus. Tidak seperti dulu, sedikit-sedikit menyalahkan Tuhan, sedikit-sedikit memprotes keadilan Tuhan. Yuk Ning berdoa semoga Gus Muh makin khusyuk di usianya yang kian lanjut. Cobaan dan ujian semoga menjadi pintu taubat baginya. Amin.

MENELEPON KIAYI



Saya termasuk orang yang paling segan untuk berhubungan langsung dengan kiayi. Meskipun saya dulu pernah mampir belajar di pesantren, tetapi justru karena saya tahu aturan tatakrama bertemu kiayi, saya menjadi khawatir kalau-kalau saya bertindak kurang sopan menurut standar yang berlaku di kalangan pemimpin umat itu. Memang, diakui bahwa ada etika yang khusus berjalan di kalangan pesantren.
Mereka—maaf—ibarat kerajaan kecil yang mulia dan diagungkan. Contoh kecil, ketika berpapasan dengan kiayi , cara berjalan seorang santri akan mendadak berubah. Berbeda dengan halnya jika bertemu ustad, ia tidak terlalu mengubah gayanya. Di mata santri, kharisma kiayi jauh melebihi para ustad yang kerapkali justru sangat akrab dengan para santri.

Tetapi, berhubung saat ini saya mendapat mandat rektor untuk berkunjung ke Pesantren Riyadhul Jannah, Mojokerto, guna berguru tentang pengelolaan zakat dan wakaf, mau tidak mau saya harus mengkomunikasikan maksud tersebut dengan pemimpin pesantren itu. Kemarin ketika pak Rektor mengintsruksikan kunjungan itu, beliau sudah memberikan nomor telepon kiyai Mahfud, pengasuh pesantren, untuk segera dihubungi. Wah, ketar-ketir juga hati ini. Bagaimana cara berkomunikasi via telepon dengan kiayi besar sekelas Kyai Mahfud, pemimpin pondok pesantren yang besar itu?

Sesampai di kantor eL-Zawa, saya tidak serta merta mengambil gagang telepon lalu menekan tombol nomor, tetapi saya terlebih dahulu membuat beberapa catatan yang perlu saya sampaikan jika panggilan telepon itu diterima. Saya harus mempersiapkan mental dan menyusun kata-kata agar komunikasi awal ini bisa berjalan lancar. Setelah yakin dan siap, dengan membaca bismillah, saya mulai menghubungi nomor kiayi Mahfud. Tak lama kemudian, ada jawaban di seberang sana.

“Assalamu alaikum, Yai!” sapa saya.

“Wa alakum salam. Ini siapa ya?” suara kiayi dengan nada ragu.

“Saya Sudirman, Yai, utusan rektor UIN Malang, Prof Imam Suprayogo.” Jawab saya sekenanya.

“O…, inggih, wonten kerso, Mas?” Kalimat Kyai Mahfud yang terdengar ramah membuat debar hati saya mulai mereda. Saya tidak tahu, apa karena memang karakter beliau tidak seseram yang saya bayangkan, atau karena saya menyebut Prof Imam sebagai “password” pembicaraan.

“Meniko Yai, saya diutus Prof Imam untuk berkunjung ke Pesantren Yai, untuk berguru tentang pengelolaan zakat dan wakaf. Kira-kira kapan kami boleh berkunjung?”

“Inggih, Mas. Kapan mawon saget. Tapi, nyuwun ngapunten, dalem meniko tesik wonten ten Malaysia. Lajeng badhe nderek mu’tamar NU ten Makasar. Dos pundi umpami mangke awal April?” Ucapan kiyai Mahfud di seberang sana terdengar begitu sopan dan halus untuk sekedar bicara dengan seorang Sudirman. Pakai bahasa Jawa kromo lagi. Saya semakin salut dengan kiyai yang satu ini.

Daripada saya salah pilih kosa kata bahasa Jawa, saya jawab saja dengan bahasa Indonesia. “Inggih, Yai. Monggo kerso. Saya akan bicarakan dengan teman-teman untuk memastikan tanggalnya. Nanti saya akan menghubungi Yai kembali. Terima kasih banyak, Yai. Assalamu alaikum!”

Masya Allah, kekhawatiran saya benar-benar hilang setelah percakapan dengan kiayi Mahfud usai. Bener-benar plong! Ternyata saya bisa berkomunikasi dengan kiayi besar sekaliber kiyai Mahfud dan alhamdulillah, respon beliau begitu sejuk. Sungguh di luar dugaan!

Dari pengalaman ini, saya bisa memetik sebuah pelajaran bahwa tidak selalu benar bahwa kiyai itu hanya bisa disentuh oleh orang-orang sekelasnya. Saya yang orang awam ini ternyata bisa diterima dengan ramah dan menyenangkan. Inilah sosok kiyai yang sebenarnya. Wa Allah a’lam.

Sabtu, 20 Maret 2010

SAHABATKU, TERIMA KASIH!


Pada kesempatan ini, saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya yang sangat dalam kepada dua sahabat baik saya, Mas Yuda dan Mas Yas. Keduanya telah membantu untuk mengantar istri saya dan anak-anak kami untuk berobat ke Puskesmas pagi ini. Saya tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan perasaan ini. Saya hanya bisa berdoa semoga Allah yang Maha Kaya berkenan untuk membalas budi baik mereka dengan pahala berlipat ganda. Amin.

Sejak keberangkatan saya ke Malang dua hari yang lalu, istri saya tinggal bersama dua anak kami di Semarang. Keadaan ini sudah rutin terjadi setiap dua minggu atau paling lama setiap bulan sekali. Saat ini, tugas saya di Malang cukup banyak sehingga nampaknya saya akan lebih lama tinggal di kota apel ini, mungkin menyita waktu sekitar empat hari. Biasanya saya hanya membutuhkan dua atau tiga hari untuk membereskan segala tanggungan akademik saya di UIN Malang. Namun sayang, sejumlah agenda telah lama menunggu kedatangan saya sehingga tatkala saya di Malang semua harus diselesaikan hingga tuntas sebelum saya kembali ke Semarang.

Tatkala jauh dari keluarga, apalagi bila istri hanya bersama anak-anak, hal yang merisaukan saya adalah bila anak kami sakit. Saya tidak tahu harus meminta tolong siapa, karena memang saya dan keluarga adalah perantau di kampung orang. Tak ada saudara atau sanak famili yang tinggal dekat dengan kami. Jika saya di rumah, tanpa pikir panjang, saya bisa langsung mengantar anak kami ke dokter. Tetapi bila saya tidak ada di rumah, siapa yang akan mengantar? Jawabannya hanya satu, yakni istri saya.

Permasalahannya, jarak dari rumah ke puskesmas atau dokter lumayan jauh, tidak biasa ditempuh dengan jalan kaki. Padahal sepeda motor satu-satunya milik kami sedang saya parkir di kampus saat berangkat ke Malang. Dengan demikian, istri saya harus rela mencari ojek atau harus naik bus demi menemui dokter.

Pagi ini anak pertama kami mengeluh sakit di lehernya. Ada bengkak di sekitar pipi dan kupingnya. Ketika sang istri menelepon, saya menyarankan untuk segera membawanya ke puskesmas atau dokter. Namun, pertanyaannya lagi-lagi, siapa yang akan mengantar ke sana? Saya lalu menyarankan kepada istri saya untuk berjalan kaki menuju gerbang perumahan kemudian meminta tolong tukang ojek untuk mengantar ke Puskesmas. Saya yakin dengan begitu, masalah dapat diatasi dengan baik.

Namun pagi ini, kenyataannya lain. Tatkala istri saya mau berangkat ke Puskesmas, tiba-tiba kawan saya, mas Yuda, menawarkan bantuan untuk mengantar istri dan anak-anak kami ke Puskesmas. Begitu pula, saat pulang, tanpa direncanakan Mas Yas pun dengan rela mengulurkan bantuan untuk mengantar mereka sampai di depan rumah. Alhamdulillah…, saya tidak menyangka kalau pertolongan Allah SWT begitu mudah buat keluarga saya melalui tangan-tangan dingin kawan-kawan saya itu.

Sungguh beruntung saya memiliki sejumlah kawan dan tetangga yang sangat baik di Jatisari Elok Semarang. Kepada merekalah saya dan keluarga sering meminta bantuan untuk mengatasi berbagai masalah kami. Mas Wisnu, misalnya, pernah saya mintai bantuan untuk membenahi aliran listrik di rumah kontrakan kami. Mas Nuruddin juga pernah saya mintai tolong untuk menemani saya saat anak kedua kami sedang dirawat di rumah sakit. Kini giliran mas Yuda dan mas Yas yang kami butuh bantuannya mengantar anak-anak kami berobat ke puskesmas. Dan masih banyak lagi kawan-kawan saya yang dengan ikhlas meringankan beban yang sedang kami hadapi. Ternyata, memang benar bahwa kawan baik bisa melebihi peran dan kedudukan saudara kandung. Dengan kata lain, kawan adalah saudara terdekat yang paling nyata bagi kami saat berada di perantauan. Terima kasih, Sahabat! Semoga peran tulus Sahabat memperoleh sebaik-baik imbalan di sisi-Nya. Amin. Wa Allah a’lam.

AMPUHNYA SEDEKAH SERIBU


Saya termasuk orang yang suka mengamati efek-efek kecil dari sebuah amalan. Meskipun tidak 100% menunjukkan adanya hubungan sebab akibat, namun saya tertarik untuk mengaitkan sebuah fenomena dengan aktifitas yang dilakukan sebelumnya. Kemudian, kenyataan tersebut dihubungkan dengan janji Allah atau rasulnya dalam al-Qur’an maupun hadis. Seperti apa yang terjadi hari kemarin pagi, saat saya sampai di Malang.

Seperti biasanya sesampai di terminal Arjosari Malang, saya selalu singgah di masjid terdekat. Waktu menunjukkan pukul 04.30 WIB, adzan Subuh sudah berkumandang. Saya bergegas menuju tempat wudhu dan segera mendirikan shalat Subuh. Seusai shalat, saya tidak langsung meninggalkan masjid begitu saja. Saya sempatkan duduk sejenak meluruskan kaki yang penat setelah menempuh perjalanan panjang Semarang-Malang. Sesaat sebelum keluar masjid, saya melihat ada kotak amal di sebuah sudut masjid. Saya pikir tak ada salahnya kalau saya masukkan recehan yang ada di saku saya. Kebetulan ada Rp. 1000, sisa pengembalian bus saat saya menuju terminal Terboyo pada malam sebelumnya. Tanpa ragu-ragu, saya masukkan saja uang itu meskipun cuma seribu. (sebenarnya malu sih cerita, tapi, paling tidak, masih untung lho mau sadar menyisihkan Rp. 1000 hehe). Sejurus kemudian, saya berjalan menuju terminal angkot.

Saya menuju angkot di tempat pemberhentian angkot di pintu gerbang terminal. Saya tidak suka menunggunya di dalam terminal karena biasanya angkot akan ‘ngetem’ cukup lama antara 30 menit hingga 1 jam seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya. Saya putuskan untuk menunggu angkot ADL yang nanti akan disambung dengan LG yang akhirnya turun di depan kampus UIN Malang. Sebenarnya ada angkot AL yang sekali jalan dari terminal Arjosari itu. Tetapi angkot itu jarang sekali dan biasanya sudah penuh. Menunggunya pun bisa-bisa lebih dari 1 jam. Saya sudah sering kecewa jika nunggu angkot ini. Akhirnya, saya putuskan tiap kali pulang ke Malang selalu menunggu angkot ADL yang berangkatnya setiap 10-15 menit. Meskipun agak boros harus mengeluarkan biaya dua kali lipat, tetapi saya tidak harus menggerutu akibat lamanya menunggu angkot AL.

Namun, ternyata Allah memberikan pengalaman menarik bagi saya pagi itu. Tak lebih dari 3 menit saya berdiri menanti angkot ADL, ternyata angkot AL yang sering mengecewakan itu tiba-tiba berhenti di depan saya. Sambil keheranan saya pun naik. Penumpangnya pun tidak sesak seperti biasanya, hanya separoh kursi yang terisi. Di dalam angkot, saya berpikir sepertinya saya dalam mimpi. Mana bisa angkot AL lewat dengan penumpang kosong seperti ini? Seumur-umur saya nunggu di terminal, baru kali ini angkot AL lewat dengan kosong. Umumnya mereka tidak mau jalan kecuali harus penuh dahulu tanpa kursi satupun tersisa. Jangan-jangan ada kaitannya dengan infaq Rp. 1000 tadi di masjid.

Pengalaman pagi itu berlanjut hingga siang hari. Ketika saya kembali dari ruang rektor, saya bergegas menuju kantor eL-Zawa. Betapa kagetnya saya ketika saya lihat pintu utama kantor terkunci. Waktu sudah menjelang pelaksanaan shalat Jumat. Saya pun telepon kawan-kawan saya. Ternyata tak ada satupun yang mengangkat panggilan itu. Lha..terus, saya masuk lewat mana? Padahal, barang-barang saya ada di dalam, termasuk koper dari Semarang. Saya menyesal tidak membawa kunci saat berkunjung ke ruang rektor. Sambil mencoba terus menelepon kawan-kawan saya, tiba-tiba Cak Man yang biasa membersihkan kantor lewat. Biasanya dia sudah pulang di pagi hari setelah pekerjaannya beres. Saya panggil dia dan saya meminta bantuan untuk membukakan pintu kantor. Untungnya dia bawa kunci kantor. Akhirnya saya pun bisa masuk, alhamdulillah.

Apa ini ada hubungannya sedekah pagi hari tadi? Hanya Allah yang tahu. Tetapi, saya teringat dengan sebuah hadis rasulullah yang intinya, “Segeralah bersedekah, niscaya Alah akan memudahkan segala urusanmu dan menjauhkanmu dari kesulitan.” Wah, jika benar demikian, sedekah itu tidak ada ruginya, dan bahkan untungnya bisa berkali-kali lipat. Semoga pengalaman ini bisa memotivasi kita untuk ringan bersedekah dan siap menanti keajaibannya. Wa Allah a’lam.

Kamis, 18 Maret 2010

MANFAAT SILATURRAHMI


Hari ini kang Karyo berkunjung ke rumah ustad Usman. Ia agak bingung dengan ungkapan khatib pada Jumat yang lalu tentang manfaat silaturrahmi. Ia tidak bisa mencerna tentang manfaat silaturahmi dengan mudah.

“Ustad, apa benar kalau orang sering silaturrahmi akan memiliki umur panjang?” tanya kang Karyo membuka percakapan.

“Ya, semestinya begitu, karena memang sudah dijanjikan oleh Allah melalui sabda rasulullah SAW yang shahih.” Jawab ustad Usman kalem.

“Emm, saya masih ragu darimana kita tahu kalau umur seseorang akan lebih panjang?”

“Memang kita tidak tahu, urusan umur hanya wewenang Allah. Tetapi ada satu catatan, kalau kita mau memaknai hadis itu dengan makna yang mudah kita cerna.”

“Gimana caranya?” desak kang Karyo penasaran.

“Begini, Kang. Kita tentu ingin mendapat manfaat dari silaturahmi, tho?”

“Ya…”

“Manfaat silaturrahmi itu banyak, antara lain memperbanyak rezeki dan memperpanjang umur.”

“Gimana kita memahami bahwa silaturahmi itu dapat memperbanyak rezeki? Apa karena kita berkunjung lalu diberi oleh-oleh?” tanya kang Karyo sambil senyum malu.

”Itu sih bukan tujuan utama. Masak berkunjung ke rumah temen hanya gara-gara ia sedang panen durian. Tetapi, yang pasti, kalau kita sering berkunjung ke rumah saudara atau kawan, mereka bisa membantu kita saat kita kesulitan. Misalnya kita sedang kesulitan keuangan, kawan kita bisa memberikan solusi dagang yang mudah namun hasilnya berlipat ganda. Networking itu lho…, dalam dunia bisnis kan sangat penting. Bagaimana kita bisa maju kalau kita tidak tahu perkembangan terbaru dari bisnis kita? Jadi, relasi itu penting dan jalan gampangnya untuk mendapatkan relasi itu ya dengan silaturrahmi,” papar ustad Usman.

“emmm gitu…”

“Trus, silaturrahmi itu dapat memperpanjang umur, bisa jadi sesungguhnya Allah telah mencatat batas usia seseorang pada angka 30 tahun. Lalu karena orang tersebut rajin bersilaturahmi, maka Allah menambah usianya menjadi misalnya 40 atau 60 tahun. Namun itu mungkin agak sulit kita pahami karena batasan usia kita tidak ada yang mengetahui.”

“Betul..”

“Nah, cara mudahnya begini. Kalau seseorang sering bersilaturrrahmi, ingatan orang lain akan begitu peka terhadapnya. Seperti kang Karyo ini. Saya pasti akan mudah ingat kang Jono karena sering datang ke rumah saya.

Apalagi, jika orang yang gemar silaturrahmi itu memiliki catatan kebaikan yang banyak, niscaya orang-orang yang mengenalnya akan selalu mengenangnya. Karena sering dikenang kebaikannya dan diikuti nasehatnya, maka meskipun orang itu telah wafat, tapi ia masih bisa berperan seperti orang hidup. Amal baiknya menjadi inspirasi bagi orang yang sering ditemuinya. Begitu pula kalimat-kalimat segarnya akan terngiang-ngiang bagi para pendengarnya karena ucapannya itu menyentuh kalbu sehingga sulit dilupakan. Jadi seperti orang hidup.”

“O…gitu, jadi orang tersebut walau tidak bisa dilihat lagi namun sepertinya ia masih bisa memberi nasehat kebaikan bagi orang lain ya…!”

“Ya, begitulah. Itu bisa dinamakan memperpanjang usia.”

“Alhamdulillah, saya jadi paham sekarang. Semoga saja usia kita panjang dan berkah. Karena kita sering bersilaturrahmi, kita bisa saling menguatkan dan saling menasehati. Karena kita banyak bergaul dengan orang lain, kita akan bersemayam lebih lama di benak kawan-kawan kita. Betul begitu, Ustad?”

“Wah, kang Karyo makin pintar aja. Ya, betul begitu. Semoga kita dapat memetik manfaat dari silaturrahmi kita,” ucap ustad Usman di akhir pembicaraan.

Rabu, 17 Maret 2010

EMPAT KEBAHAGIAAN, SATU KETENANGAN


Tak dipungkiri bahwa setiap manusia ingin hidup bahagia. Setiap waktu doa yang dipanjatkan adalah permohonan agar kebahagiaan selalu menyelimuti kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat, "Robbana Atina Fi ad-dunya Hasanah, wa fil akhiroti hasanah, wa qina adzaba an-nar." Untuk mencapai kebahagiaan itu, ada beberapa resep yang dapat kita jalankan. Al-Ghazali, misalnya, menawarkan empat klasifikasi sumber kebahagiaan hidup di dunia ini.

Pertama, al-Mal (harta). Harta sudah umum diketahui sebagai sumber kebahagiaan. Ketika seseorang memiliki uang yang banyak, ia berpeluang besar untuk menikmati berbagai fasilitas hidup. "Apa sih yang gak pake' uang?" begitu kalimat yang sering diucapkan orang menyikapi gaya hidup yang kian materialistik. Namun, kita juga tidak heran jika harta ternyata membuat orang jadi terbelenggu, bingung menjaga dan memelihara, hingga menjadi sumber pertengkaran, perpecahan,dan peperangan. Harta, bila tidak diatur sesuai dengan fungsinya, akan menjadi sumber malapetaka yang dasyat.

Kedua, al-Ma'rifah (pengetahuan). Ilmu merupakan alat untuk memudahkan manusia menghadapi hidup. Dengan ilmu, hidup ini terasa gampang. Misalnya, ketika seseorang melihat onde-onde, ia akan bertanya-tanya tentang waktu yang diperlukan untuk menempelkan wijen di kulit makanan khas Jawa itu. Sulit bukan? tetapi bagi orang yang tahu tekniknya, ternyata proses menempelkan wijen itu sungguh sangat mudah dan cepat. Berbekal tampah (loyang besar) yang sudah ditaburi wijen, seseorang akan mudah membuat onde-onde dengan tempelan wijen yang penuh. Itulah gambaran ringan tentang pentingnya ilmu. Belum lagi kalau dikaitkan dengan ilmu-ilmu penting dan besar, seperti cara shalat, cara membaca al-Qur'an, dan cara bergaul, tentu ilmu menjadi penting adanya. Namun, ilmu bisa juga menjadi biang keladi kehancuran seperti apa yang kita saksikan saat ini. Banyak koruptor yang ditangkap dan dpenjara karena menyalahgunakan kemampuannya. Mereka bukanlah orang-orang bodoh, tetapi justru kaum terpelajar dengan ilmu selangit. Nah, ilmu jika tidak dibarengi dengan iman kokoh hanya akan menjadi jalan kehancuran buat diri sendiri dan orang lain.

Ketiga, al-Manzilah (kedudukan). Pangkat dan jabatan sering menjadi impian banyak orang. Proses Pilwali, Pilbup, Pilgub, hingga pilpres menjadi salah satu even untuk meraih jabatan. Dengan pangkat tinggi, seseorang dengan mudah memperoleh penghasilan melimpah, penghormatan menjuntai, hingga fasilitas lengkap nan mewah. Pendeknya, jabatan akan memudahkan seseorang merasakan indahnya hidup dengan berkeliling ke berbagai penjuru dunia tanpa biaya. Bahagia memang, namun jika salah arah, akan celaka.

Keempat, al-shihhah (kesehatan). Badan yang sehat merupakan sumber kebahagiaan. Seseorang dengan tubuh tanpa gangguan akan dapat melakukan segala aktifitas dengan mudah dan sukses. Makanan apapun juga bisa masuk tenggorokan. Beda halnya ketika sakit, tubuh jadi lunglai. Ketika sakit gigi saja, hidup jadi tersiksa.

Keempat sumber kebahagiaan di atas ternyata berpotensi untuk positif tapi juga negatif. Umumnya harta, ilmu, pangkat, dan kesehatan bisa membuat orang bahagia, namun punya kemungkinan disalahgunakan sehingga kesedihan sebagai gantinya. Beda halnya dengan
satu sumber ketenangan yang oleh al-Ghazali disebut sebagai taqarrub ila Allah (kedekatan diri dengan Allah SWT). Ketika seseorang merasa dekat dengan Tuhannya, ia bagai berlindung kepada Rajanya para penguasa. Tidak ada kesedihan, tidak ada ketakutan, dan tidak ada kekhawatiran. Bersandar kepada Allah akan menenangkan jiwa. Nampaknya apapun yang dilakukan selama hidup di muka bumi akan terasa nikmat. Berbagai masalah yang dihadapi adalah ujian keimanan. Aneka peristiwa yang membebani pikiran adalah bagian dari paduan harmoni kehidupan yang berujung kepada kedekatan kepada-Nya.

Akhirnya, seseorang yang dekat dengan sang Khalik akan dapat melihat sisi-sisi positif dari berbagai rintangan hidup sehingga akan memberikan efek ketenangan dalam hati. Allah sangat sayang kepada hamba-Nya yang terus-menerus mendekatkan diri kepada-Nya. Harta, ilmu, pangkat, dan kesehatan hanya titipan yang harus dimanfaatkan secara maksimal untuk beribadah kepada-Nya. Dengan begitu, ketika keempat sumber bahagia itu mulai menghilang, tinggallah kepuasan diri dengan kecintaan yang suci kepada-Nya. wa Allah a'lam.

Selasa, 16 Maret 2010

PAGI YANG PENUH SENYUMAN



Tadi pagi, Mas Yas dan Kang Sembo beberapa kali menyungging senyuman. Mereka nampak bahagia. Saya tidak tahu alasannya, namun satu hal yang pasti, mereka seperti mendapat durian runtuh (wah wah…banyak luka dong…)

Selepas berjamaah shalat Subuh, mas Yas segera menyiapkan seteko minuman jahe hangat. Lalu tak lama kemudian kang Sembo membawakan nasi ketan plus aneka gorengan yang baru saja ditiriskan. Ini dia hidangan pembuka hari yang sangat dinantikan. Gratis lagi! (wuiihh…gimana nggak seneng coba…)

Mas Yas telah berhasil membuat blog baru dengan tampilan menawan. Nuansa islami terpancar kuat dalam blog itu. Tentu karakter blog tersebut senada dengan semangat pemiliknya yang gagah, berwibawa, dan muslim taat. Al-Qur’an yang menjadi ciri khas perwajahan blog itu menunjukkan loyalitas mas Yas terhadap ajaran-ajaran yang dikandungnya. Sekali lirik, pasti kesan soleh akan segera terpancarkan (amin…semoga soleh beneran…).

Setelah itu, kang Sembo nampaknya tidak mau kalah. Tampilan blog piyantun Jawi itu dirubah total dengan template yang berlatar belakang matahari yang mulai merangsek ke peraduan (maksudnya mau tenggelam…gitu aja kok repot). Beberapa burung yang beterbangan di puncak gunung memberikan sentuhan dinamis nan atraktif di halaman depan blog itu. Hal ini tentu sesuai dengan kiprah kang Sembo yang selalu ingin memberikan semangat perjuangan yang tak pernah padam (kok saya jadi sok tahu gitu…hehe).

Yang jelas, senyum kedua tokoh penggerak Jatisari Elok itu masih dapat saya kenang hingga detik ini. Semoga mereka tetap berjaya dan sukses dalam mengarungi hidup yang kian menantang ini. Amin.

PAK MODIN PUN WAFAT

Berita duka masih saja sering terdengar di kampung Jatisari. Baru saja di rumah pak Santo diperingati 40 hari meninggalnya putrinya, lalu selametan 100 harinya pak Aris, kini kabar kelabu itu datangnya dari perangkat kelurahan. Pak modin yang bernama Warimin dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Suasana haru mengiringi pemakaman tokoh masyarakat itu. Sejumlah petinggi kampung hadir demi memberikan penghormatan terakhir kepada beliau.

Meskipun tidak kenal betul pribadi alm. pak Warimin, saya turut berbela sungkawa atas kepergian pamong desa itu. Saya sempat beberapa kali menyaksikan beliau saat melaksanakan tugas sebagai modin di kampung. Beberapa kali pemakaman di Jatisari dipimpin pak Warimin. Oleh sebab itu, saya agak terkejut ketika dikabari pak RT kalau pak modin itu meninggal dunia.Saya dan kawan-kawan tentu berdoa semoga ruh pak Warimin mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.

Ada satu hal yang mengganjal di hati saya, yakni bahwa orang yang biasa mengurus jenazah pun akhirnya harus menjadi jenazah. Mungkin bagi sebagian orang, pak Warimin adalah orang yang tahan mati sebab telah terbiasa dekat dengan mayat. Atau mungkin malah sebaliknya, beliau justru lebih siap menghadap sang Khalik karena sudah tahu banyak seluk-beluk tentang kematian.

Apapun yang sesungguhnya terjadi, pak Warimin adalah tetap manusia biasa. Ia mungkin sudah biasa berdekatan dengan orang mati, namun tentu belum pernah merasakan kematian. Hanya saat ini ketika beliau harus berpulang ke rahmatullah, barulah beliau merasakan secara langsung hakikat kematian itu. Kematian selalu memberikan nasehat yang berguna bagi kita yang masih hidup.

Masyarakat tentu kini kehilangan orang yang sangat berjasa itu. Siapa lagi yang akan menggantikan posisi beliau? Di sini nampaknya urgensi diadakannya pelatihan modin sehingga kelak ketika urusan masyarakat banyak, khususnya terkait dengan kematian, tidak terjadi kerisauan. Seluruh masalah tentunya diharapkan akan dapat diatasi dengan segera. Wa Allah a’lam.

Sabtu, 13 Maret 2010

BU MAI: WANITA PERKASA



Kadangkala kita tidak peduli dengan keberadaan peran para wanita dalam kehidupan kita. Semua dianggap biasa dan menjadi kodrat mereka sebagai perempuan. Mereka harus mengerjakan berbagai kegiatan ekonomi dengan bekerja di luar rumah sekaligus wajib menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga. Para lelaki atau suami umumnya hanya dibebani satu tugas utama saja, yakni mencari nafkah keluarga sedangkan istri harus memutar otak menggunakan uang belanja itu agar cukup hingga akhir bulan. Peran ganda perempuan itu biasa disebut dengan double burden. Uniknya, tidak sedikit perempuan kita yang kemudian memiliki tiga beban sekaligus (triple burden): pertama sebagai istri dan ibu, kedua sebagai wanita karir, dan ketiga sebagai mahasiswa. Kisah di
bawah ini merupakan cerita nyata yang semoga dapat kita petik hikmahnya.

Saya memiliki kawan yang sedang menempuh kuliah S3 di IAIN Semarang. Ia berasal dari Garut, Maesyaroh namanya. Sebelum belajar di Semarang, ia tercatat sebagai dosen di STAI Darul Arqom Garut. Saat itu ia adalah seorang ibu dari dua anak, usia 4 tahun dan 2 tahun. Adapun suaminya bekerja sebagai dosen di UPI Bandung.

Pada awal kuliah, Bu Mai--begitu ia biasa dipanggil--memboyong kedua anaknya ke Semarang. Berhubung suaminya tidak bisa menemaninya karena alasan tugas di Bandung, jadilah bu Mai tinggal di Semarang bertiga dengan kedua anaknya dibantu oleh tetangga sebelah kontrakannya. Ketika ia harus kuliah, kedua anaknya diasuh oleh tetangganya itu. Begitu pula ketika ia harus mengerjakan tugas-tugas kelas yang cukup menantang, ia dengan berat hati meninggalkan kedua buah hatinya itu di rumah. Untungnya, hingga satu tahun berlanjut, seluruh aktifitas kuliah dapat diikutinya sehingga nilainya pun cukup memuaskan.

Menginjak semester III, Bu Mai mengandung. Inilah yang membuat sebagian kawan turut prihatin. Bagaimana cara mengatur jadwal kuliah, mengerjakan tugas, memelihara anak, dan menjaga janinnya tanpa didampingi suami? Sungguh tiga bahkan empat tugas berat yang harus dipikul sendiri oleh seorang Maesyaroh. Untungnya, bu Mai adalah sosok wanita yang tegas, tegar, dan istiqamah. Setiap habis kuliah, ia membenamkan diri di perpustakaan untuk mencicil penyelesaian tugas. Ia pernah berkata kalau ia pulang, tak ada waktu lagi untuk membuka buku apalagi mengetik naskah. Dengan keuletan dan ketelatenannya, ia pun bisa menyelesaikan seluruh rangkaian tugas belajar di semester III dengan sukses.

Kini kuliah memasuki semester IV. Bayi bu Mai telah lahir. Usianya baru sekitar 2 bulan. Berhubung semester ini masih ada beban kuliah sebagai pendamping penulisan disertasi, bu Mai harus kembali ke Semarang bersama ketiga putra-putrinya.Dua hari yang lalu, kuliah telah dimulai dan bu Mai terpaksa membawa bayinya mengikuti kuliah di kelas. Sesekali suasana kuliah menjadi cair ketika terdengar suara bayi merintih atau menangis. Para bapak yang mendominasi jumlah kelas tersenyum-senyum karena teringat anak-anak mereka di rumah. Wajar, usia para mahasiswa di kelas kami tidak terpaut jauh sehingga tidak sedikit yang sedang memiliki bayi seusia anak bu Mai.

Saya sendiri menganggap bu Mai sebagai sosok wanita perkasa. Rasanya saya tidak sanggup jika harus memerankan tugas seperti yang diemban bu Mai saat ini. Bersama istri dan kedua anak saya di Semarang, saya terkadang kehabisan energi dan waktu dalam membagi kesempatan untuk belajar, bekerja, sekaligus merawat keluarga. Bu Mai benar-benar hebat, berani sendirian di Semarang bersama ketiga anak-anaknya yang semuanya tentu meminta perhatian ekstra. Di tambah lagi beban kuliah pun nampaknya tidak kompromistis, 3 tahun harus selesai. Semester ini kami harus membuat makalah komprehensif untuk disidangkan di hadapan 5 penguji. Lalu kami harus menyiapkan proposal disertasi yang nantinya akan dipertahankan di hadapan 7 penguji. Serangkaian kewajiban ini bagi saya cukup berat, rasanya tidak terbayangkan bagaimana bu Mai mengatasi semua tantangan ini. Tapi, saya yakin, berkaca kepada tiga semester sebelumnya, bu Mai telah menunjukkan keberhasilannya. Semester ini, dengan ijin Allah, ia pasti akan mampu melewati seluruh rangkaian ini dengan sempurna. Amin. Wa Allah a’lam.

Kamis, 11 Maret 2010

NARSISME



Narsisme adalah sikap mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Seseorang yang memiliki watak ini biasanya suka bercermin dan menonjolkan diri di hadapan umum. Istilah narsisme diangkat dari kisah Narsis yang ada dalam legenda Yunani. Narsis suka sekali melihat keindahan wajah dan tubuhnya dalam pantulan air kolam. Ia tak henti-hentinya memuji dirinya sendiri. Karena begitu sukanya, ia tidak sadar kalau akhirnya ia mati tenggelam di air kolam bersama bayangannya.

Di kehidupan bermasyarakat, ada sebagian orang yang tidak suka dengan kepribadian narsisme. Mereka menghujat orang-orang yang ada di sekelilingnya ketika mereka menunjukkan kemampuan aslinya. Orang lain dianggap berlebihan ketika mereka memberikan pengabdian terbaik yang mereka bisa. Lalu, anggapan tersebut digunakan untuk menyudutkan orangiorang kreatif tersebut. “Dasar narsis,” demikain salah satu hujatannya. Inilah watak orang yang tidak ingin melihat orang lain maju. Mereka senantiasa iri hati ketika ada kawan atau mitra kerjanya bekerja secara maksimal. Mereka takut tersaingi dan ketinggalan dalam prestasi.

Prilaku kurang sehat dengan selalu menghindarkan diri dari tradisi menunjukkan kemampuan terbaik bisa jadi merupakan akibat logis dari metode pendidikan yang diterapkan di lingkungannya. Misalnya, dalam penelitian Hildred Geertz, The Javanese Family, watak orang Jawa yang kurang berani tampil ke depan merupakan hasil kulminasi dari serangkaian ajaran yang ditanamkan oleh budaya Jawa sejak kecil. Seorang anak yang sedang bermain agak keras dan menantang, seperti memanjat pohon, orang tua segera melarang dan menakut-nakutinya kalau nantinya ia jatuh, ia akan jadi kodok. Begitu pula ketika anak suka berpetualang segera dihentikan karena dikhawatirkan menjadi orang yang kasar dan tidak sopan. Padahal, metode pembelajaran yang cenderung mengekang kreatifitas dan imajinasi anak akan membuat mereka dihantui oleh perasaan rendah diri dan takut tampil ke depan publik. Nah, pada gilirannya, ketika dewasa, anak-anak ini akan menjadi orang yang selalu duduk di belakang, malu bertanya, takut berkata jujur, penuh dengan ketidakpastian, khawatir dianggap sombong, dan tidak berani menanggung resiko. Apa jadinya ketika seseorang sedang mengikuti wawancara pencarian bakat atau keahlian lalu ia berkata bahwa ia hanya memiliki pengetahuan sedikit. Seperti kisah penjaringan tenaga kerja di sebuah instansi yang membutuhkan karyawan yang memiliki skill komputer sebagai berikut.

Salah satu peserta seleksi ini adalah alumni dari Pascasarjana Universitas Gajah Mada jurusan Ilmu Komputer. Saat ia mendapat giliran wawancara, ia ditanya oleh tim penguji. “Anda pernah belajar komputer?” “Iya Pak, tapi sedikit.” “Program apa saja yang Anda kuasai?” “ada sih, Pak, tapi tidak banyak.” “Apa yang bisa Anda berikan ke lembaga ini jika Anda diterima?” “Saya akan bekerja sebisa saya, tapi maaf pak saya ini hanyalah orang yang memiliki ilmu terbatas.” dst. Tentu setelah wawancara berakhir, nama orang tersebut secara langsung dan meyakinkan akan dicoret dari daftar calon karyawan. Mengapa? Sebenarnya ia punya kemampuan mumpuni di bidang komputer sesuai dengan bidang yang ia geluti saat belajar di program magister, apalagi alumnus UGM. Akan tetapi, karena ia biasa diajari untuk selalu bersikap tawadhu’, hingga dalam proses pencarian kerja pun, seharusnya ia bicara terbuka apa adanya serta menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya, ia malah merendahkan diri seakan-akan hal itu dianggap lumrah. Inilah hasil pendidikan yang kurang menguntungkan bagi kehidupan yang sangat kompetitif seperti saat ini.

Kembali ke masalah narsisme. Pada level tertentu, narsisme bisa jadi diperlukan dalam rangka menciptakan rasa percaya diri. Seseorang harus bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri, bukan selalu bergantung kepada orang lain. Ia semestinya berani unjuk gigi dan keahlian ketika memang dibutuhkan. Rasa tawadhu’ atau rendah hati memang diperlukan namun harus disesuaikan dengan konteksnya. Oleh sebab itu, meskipun sikap menutup diri dianggap perlu oleh sebagian kalangan, tetapi seringkali sikap ini sangat merugikan, baik untuk diri kita maupun untuk orang lain.

Akhirnya, sikap selalu mencemooh orang lain dengan label narsisme tentu pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Adapun sikap selalu berbenah dan adaptif dengan situasi akan membuat seseorang dapat menjalani hidupnya dengan sukses. Wa Allah a’lam.

Rabu, 10 Maret 2010

MENYIAPKAN DETIK-DETIK KEMATIAN


Tadi malam, kawan-kawan Jatisari Elok yang tergabung dalam jamaah halaqoh mengadakan pengajian rutin edisi khusus di pondok pesantren Baitussalam, Mijen. Biasanya, acara pengajian itu dilangsungkan di salah satu rumah anggota jamaah. Namun kali ini, menurut sang koordinator, Bung Yasmidi ada keinginan untuk merasakan suasana lain seperti yang telah mereka lakukan di masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Pilihan jatuh pada pesantren itu antara lain karena di sana terdapat ustad Budiman yang pernah menjadi penggerak pengajian di Jatisari. Pengajian dimulai sekitar pukul 8.30 wib dengan narasumber utama ustad Mustofa, selaku pemimpin pesantren.

Pada awal acara, setelah dibuka dengan basmalah, acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan oleh kang Yuda. Setelah itu, ustad Mustofa menyampaikan taushiyyahnya. Di awal ceramah, beliau mengingatkan kepada seluruh jamaah untuk menata niat sebelum melakukan suatu aktifitas. Menurut beliau, sungguh banyak pekerjaan yang kelihatannya kecil dan remeh, tetapi ternyata memiliki pahala yang besar di sisi Allah. Begitu pula, tidak sedikit aktifitas yang kelihatannya besar dan mengagumkan, namun ternyata pahalanya kecil atau bahkan tidak ada pahalanya sama sekali di sisi Allah. Itu semua berpulang kepada niat yang tertanam dalam hati si pelaku.

Kemudian, ustad Mustofa meminta bung Yas untuk membacakan dua ayat yang menjadi topik ceramah malam itu, yakni surat al-Mukminun: 99-100.
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah Aku (ke dunia). Agar Aku berbuat amal yang saleh terhadap yang Telah Aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.

Ayat di atas mengandung hikmah yang sangat dalam. Ayat 99 menerangkan bahwa seseorang akan sadar bahwa dirinya tidak memiliki catatan ibadah yang banyak setelah kematian mendatanginya. Setelah tahu bahwa amal baiknya sangat minim, lalu ia meminta kepada Allah SWT agar diberi kesempatan untuk kembali ke dunia untuk menambah ibadah yang selama ini ditinggalkannya. Ia tidak lagi ingin menikmati dunia, tetapi ingin memperbaiki jalan hidupnya yang sesat. Namun sayang, Allah menegaskan bahwa antara dunia dan alam kubur terdapat barzah (dinding penyekat) yang tidak memungkinkan seseorang untuk melintasinya. Kesempatan telah tertutup dan tinggallah penyesalan yang tidak berarti.

Ustad Mustofa sekali lagi mengingatkan kepada seluruh jamaah bahwa mumpung masih hidup di muka bumi ini, meskipun kita sibuk mencari rezeki seharian, namun harus didisisihkan sepenggal waktu untuk bermunajat kepada Allah SWT seraya mendekatkan diri kepada-Nya. Beliau mengidealkan hidup yang zuhud. Zuhud bukan berarti miskin, namun bisa jadi kaya tetapi hatinya tidak terikat oleh kekayaannya itu. Hidup zuhud adalah pola hidup seseorang yang menjadikan segala potensi dunia termasuk harta kekayaan untuk digunakan sebagai modal meraih kebahagiaan akhirat (wad’u al-dunya fi sabilil akhirat).

Wejangan berikutnya didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa kaki seseorang tidak pernah bergeser sedikit pun di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat perkara, yakni pemanfaatan umurnya, penggunaan ilmunya, sumber harta dan penyalurannya, dan pemakaian badannya. Seseorang akan diminta pertanggungjawaban tentang waktu yang dipakai selama hidupnya, apakah digunakan untuk beribadah atau dipakai untuk maksiat. Begitu pula ketika seseorang memiliki ilmu yang banyak, ia akan ditanya tentang pemanfaatan ilmunya itu, apakah digunakan untuk kebaikan atau malah dipakai untuk keburukan. Selanjutnya, harta seseorang akan menjadi ganjalan di hari kiamat. Semakin banyak harta seseorang, semakin lama ia akan dimintai pertanggungjawaban. Terakhir, tubuh manusia yang dipinjamkan oleh Allah akan ditanya pemanfaatannya dari lahir hingga meninggal. Ini semua tidak dapat dimodifikasi atau dimark-up karena saat itu kebenaran akan terungkap. Tidak ada satu orang pun yang sanggup berbohong karena catatan hidupnya sudah terekam dalam kitab amalan masing-masing.

Setelah ustad Mustofa selesai menguraikan taushiyyahnya, tiba giliran tanya jawab dengan peserta pengajian. Giliran pertama dimanfaatkan oleh Ustad Nurodin, pembina utama pengajian halaqoh Jatisari. Beliau menanyakan tentang kebiasaan anggota jamaah yang sibuk bekerja dari pagi hingga malam sehingga tidak sempat untuk meluangkan waktu beribadah secara maksimal. Pertanyaan tersebut dijawab oleh ustad Mustofa dengan santai. Beliau berkata bahwa memang hidup ini tidak lepas dari usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok yang menjadi kewajiban para suami. Namun, ada satu cara yang bisa dilakukan oleh para jamaah, yakni menata niat sebelum bekerja, yakni dengan meniatkan bekerja sebagai upaya memenuhi kewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai tanggung jawab suami yang memang diperintahkan dalam ajaran agama. Dengan begitu, meskipun kelihatannya bekerja tidak terkait langsung dengan ibadah, namun ketika diniati ibadah kepada Allah, maka pekerjaan tersebut akan bernilai ibadah pula.

Selanjutnya anggota jamaah lain bertanya tentang kemungkinan ruh orang yang meninggal untuk kembali ke dunia. Menurut pemahaman sebagian kalangan, meskipun seseorang telah meninggal dunia, ia masih memiliki kesempatan untuk muncul ke dunia nyata, baik dalam bentuk yag menyenangkan atau menakutkan. Ustad Mustofa menjawab bahwa kemungkinan tersebut tidak ada karena Allah telah menjelaskan dalam surat al-Mukminun: 100 bahwa antara kehidupan alam kubur dengan alam dunia telah dipisah oleh dinding yang kokoh sehingga menutup kemungkinan munculnya ruh ke panggung dunia nyata. Kalaulah ada orang yang melihat bayangan orang yang telah mati, kemunkinan besar bayangan itu adalah tipu daya jin.

Terakhir, bung Yas bertanya tentang boleh tidaknya ruqyah. Ustad mustofa menjelaskan bahwa ruqyah itu ada dua, yakni ruqyah syar’iyyah dan ruqyah dhalalah. Ruqyah syar’iyyah adalah doa pengobatan yang diajarkan oleh nabi, misalnya dengan menggunakan ayat-ayat al-qur’an. Adapun ruqyah dhalalah adalah doa pengobatan yang tidak berlandaskan tuntunan rasulullah SAW. Misalnya, ketika seseorang ingin bebas dari gangguan sihir, maka ayat yang dibaca adalah surat al-Falaq dan an-Nas. Ini termasuk ruqyah syar’iyyah. Sedangkan ruqyah dhalalah adalah menggunakan ayat atau bahkan kalimat-kalimat khusus buatan manusia yang tidak diajarkan oleh rasulullah SAW, seperti tulisan jimat. Jenis ruqyah yang kedua ini lebih baik dihindari agar terhindar dari syirik.

Pengajian berakhir pada pukul 22.00 WIB. Wajah para peserta pengajian nampak semringah karena telah mendapat siraman ruhani yang mencerahkan. Demikian gambaran singkat acara halaqoh yang berlangsung tadi malam. Semoga apa yang dilakukan jamaah pengajian Jatisari Elok di pondok pesantren Baitussalam dapat memberikan motivasi untuk senantiasa meningkatkan iman dan kedekatan diri kepada Allah SWT. Amin. Wa Allah a’lam.

Selasa, 09 Maret 2010

MEROKOK? HARAM!


Hari ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan tajdid mengumumkan hasil halaqoh tentang hukum terbaru tentang merokok yang diselenggarakan di Yogyakarta (7/3/2010). Fatwa itu menyatakan bahwa hukum merokok adalah haram. Sebagai konsekuensinya, fatwa PP Muhammadiyah tahun 2005 yang menyatakan bahwa merokok adalah makruh dengan sendirinya akan terkoreksi. Fatwa ini sejalan dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) awal tahun 2009 yang menyebut merokok sebagai perbuatan haram. Walaupun begitu, Nahdlatul Ulama berbeda dengan mereka. Menurut Ketua Umum NU, Hasyim Muzadi, merokok masih tetap hukumnya makruh, bukan haram. Bagaimana sikap kita?

Bagi pecinta rokok, fatwa haram tidak terlalu berpengaruh pada kebiasaan mereka. Toh, masih tingkat fatwa bukan Undang-Undang. Fatwa bersifat tidak mengikat dan tidak berefek ancaman pidana. Perda DKI saja yang menyatakan larangan merokok di tempat umum masih sulit untuk diterapkan, apalagi sebatas fatwa. Iklan rokok yang menggambarkan perilaku perokok sebagai bukti kejantanan, petualangan, atau kesetiakawanan menambah sulit untuk mengikis perilaku tersebut. Ditambah lagi efek nikotin yang membuat perokok merasa ketagihan tidak mudah untuk dikendalikan.

Meskipun begitu, jika kita mau melihat dengan jernih, tindakan merokok ternyata kurang memberikan fungsi maslahat. Madharatnya lebih besar dari manfaatnya. Mari kita renungkan beberapa poin di bawah ini!

1. Tindakan merokok akan menghasilkan asap rokok yang mengandung berbagai macam racun yang jumlahnya tidak kurang dari 200 buah. Racun utamanya adalah tar, nikotin, dan karbon monosida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan dapat menempel di paru-paru. Nikotin merupakan zat adiktif (candu) yang mempengaruhi kerja syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen yangberpotensi memicu kanker paru-paru. Adapun karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah sehingga darah tidak mampu mengikat oksigen. Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung, serta tekanan darah tinggi.

2. Asap rokok dapat menyebabkan iritasi pada mata dan pernafasan. Sebuah ruangan yang penuh dengan asap rokok lebih berbahaya ketimbang asap kendaraan di jalan yang macet.

3. Rokok harus dibeli dengan harga yang relatif mahal. Biaya sebungkus rokok bisa cukup untuk membeli bahan makanan untuk kebutuhan satu hari. Jika satu hari seseorang menghabiskan sampai dua bungkus rokok, berarti dana belanja rumah tangga berkurang untuk hidup selama dua hari. Jika satu bulan, jika satu tahun, tinggal dihitung saja kerugian material ini.

Dengan menimbang bahaya dan efek negatif rokok, nampaknya pantas jika kemudian hukum merokok adalah haram. Kalau terpaksa dihukumi makhruh, merokok berarti perbuatan yang tidak disenangi Islam dan oleh sebab itu harus ditinggalkan. Dengan demikian, apapun alasannya, merokok tetap dianggap perbuatan yang tidak menguntungkan, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun orang lain. Wa Allah a’lam.

DISKRESI HUKUM DALAM KASUS CENTURY


Kasus bank Century yang menyita perhatian masyarakat Indonesia dua bulan terakhir setidaknya telah menemui titik terang setelah panitia khusus (pansus) menyampaikan pandangan akhir di sidang paripurna DPR minggu lalu (2/3/2010). Kasus tersebut yang berawal dari krisis ekonomi kini mulai merambah ke wilayah hukum. Kasus kerugian negara sebesar 6,7 Trilyun itu bisa dipandang dari kacamata hukum sebagai langkah diskresi hukum. Diskresi sendiri memiliki arti sebuah kebijakan hukum yang sengaja dibuat untuk sebuah kemaslahatan. Memperhatikan pidato presiden Kamis lalu (4/3/2010), dapat dipahami bahwa upaya yang dilakukan pemerintah saat menghadapi krisis ekonomi di penghujung tahun 2008 merupakan sebuah langkah berani untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman krisis moneter seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Masyarakat masih menyimpan trauma dan tentunya segan jika harus kembali terpuruk dalam jurang kemiskinan sebagaimana kisah sepuluh tahun yang lalu: harga sembako melambung tinggi, banyak perusahaan gulung tikar, dan ribuan karyawan harus dirumahkan. Sangat menyedihkan!

Kebijakan pemerintah yang akhirnya memilih opsi mengucurkan dana talangan untuk bank Century dianggap tepat karena situasi memaksa untuk memilih dari dua pilihan yang sama-sama pahit, yakni menutup bank Century atau menalangi keuangan bank Century. Biaya yang dikeluarkan untuk menutup bank juga setara dengan biaya untuk melakukan talangan bank tersebut. Oleh sebab itu, meskipun kini terbukti bahwa prosedur untuk pengucuran itu ternyata tidak seperti yang diharapkan-- sebagaimana hasil akhir kesimpulan mayoritas anggota pansus--namun tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan diskresi hukum yang dibenarkan.

Dalam kaidah ushul fikih, diskresi hukum bisa disejajar dengan ijtihad. Untuk melakukan ijihad, diperlukan keberanian dan daya kreasi yang tinggi sehingga mampu membuat satu aturan atau kebijakan yang bermanfaat secara luas. Ijtihad bisa saja salah, dan itu masih mendapat satu pahala. Ijtihad harus mampu menentukan satu pilihan yang paling ringan resikonya dan paling banyak maslahatnya (irtikab akhaf al-dhararain).

Dalam kehidupan nyata, kita sering sekali melihat fenomena diskresi hukum ini. Di perempatan lampu merah misalnya, kita tidak jarang melihat para polisi lalu lintas menyilakan para pengendara mobil dan motor untuk segera maju meneruskan perjalanan meskipun lampu masih berwarna merah. Konsekuensinya, para pengendara yang berada di jalur lampu hijau harus rela berhenti untuk menyilakan kendaraan dari arah lain berjalan lebih dulu. Pertimbangan polisi adalah untuk mengurang kepadatan lalu lintas dari arah jalur yang sesak dan ramai. Dengan demikian, meskipun melanggar hukum, tindakan tersebut dinyatakan legal demi kepentingan bersama yang lebih besar.

Contoh lain, mobil ambulans harus terus melaju meskipun lampu lalu lintas sedang menyala merah. Mobil ini juga bisa menggunakan bahu kiri jalan di jalan tol walaupun fungsi jalur bahu jalan sebenarnya hanya untuk parkir darurat. Selain itu, mobil-mobil lain harus mengalah untuk memberikan kesempatan kepada ambulans melintas terlebih dahulu. Ini sebenarnya tidak sesuai dengan aturan hukum berlalu lintas namun dapat diterima secara umum oleh masyarakat. Peristiwa ini juga bisa masuk dalam kategori diskresi hukum.

Dari kedua contoh di atas, kita bisa menerapkannya dalam kasus bank Century. Dulu, sebelum terbentuknya pansus Century, banyak rumor beredar di masyarakat bahwa dana talangan itu masuk ke kantong salah satu pasangan capres-cawapres. Dengan berakhirnya kinerja pansus, terbukti bahwa dana tersebut tidak masuk ke salah satu pasangan dalam pemilihan presiden tahun 2009 lalu. Kecurigaan itu akhirnya berkembang menjadi satu kesimpulan bahwa pemerintah telah berbuat salah dalam mengambil sikap sehingga merugikan negara hampir 7 Trilyun. Mungkin, jika dana talangan itu benar-benar masuk ke dana kampanye salah satu capres—yang sering disebut-sebut adalah pasangan SBY-Boediono--, nasib pemerintahan sekarang tentu semakin runyam. Tapi, ternyata indikasi itu dengan sendirinya terbantahkan dengan kesepakatan pansus bahwa bail-out itu adalah tindakan salah yang harus dipertanggungjawabkan adalah Boediono selaku gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani sebagai ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK waktu itu.

Sekali lagi, kebijakan pemerintah bisa jadi benar telah menyalahi aturan, namun perlu dilihat secara jernih, yakni dalam konteks sebuah kebijakan yang dibuat di saat suasana genting. Keputusan harus segera diambil dengan mengambil resiko buruk yang lebih ringan. Dalam paparan presiden, resiko teringan itu adalah melakukan bail-out, bukan menutup bank. Terbukti kemudian bahwa kebijakan itu dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi makro sebagaimana pengakuan puluhan bankir yang menemui presiden beberapa waktu lalu. Indonesia menjadi salah satu negara yang mampu bertahan dari ancaman krisis sehingga indeks ekonominya justru mengalami pertumbuhan. Dengan demikian, diskresi ini harusnya mendapat dukungan dari masyarakat luas jika memang inti dari kebijakan itu justru berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Wa Allah a’lam.

MENELADANI HERO INDONESIA: RAMA DAN SIDIK


Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan sebuah acara penganugerahan gelar Hero Indonesia kategori khusus di Metro TV. Pemenang kelompok ini adalah Rama Aditya dan Sidik. Keduanya mendapat ucapan selamat dari Jusuf Kalla selaku Ketua Palang Merah Indonesia. Para penonton dibuat terharu ketika menyaksikan keduanya tampil di atas panggung. Mengapa? Keduanya memiliki tubuh yang tidak sempurna! Pak JK dalam sambutannya mengatakan, “Rama dan Sidik mungkin secara fisik kurang sempurna, tetapi secara jiwa ternyata lebih sempurna daripada kita.”

Rama adalah seorang tuna netra sejak lahir. Meskipun begitu, ia tidak begitu saja menyerah kepada nasibnya yang kurang beruntung. Ia mengasah kemampuannya di bidang yang sangat ia minati, yakni teknologi digital. Ia senang sekali mengotak-atik barang-barang elektronik, semisal komputer dan handphone. Ketika ia sadar bahwa ia memiliki bakat di bidang itu, ia lalu bergabung dengan perusahaan yang bergerak di bidang animasi dan pembuatan game di Jakarta. Ia langsung dipercaya untuk mengaransemen musik dan suara latar untuk berbagai animasi. Terakhir, kemampuannya yang tinggi itu dilirik oleh perusahaan film animasi dan game dari Jepang, Nintendo. Ia dikontrak untuk menjadi tenaga ahli penyelaras akhir iringan musik dan latar suara bagi film-film produksi raksasa animasi dan game itu. Luar biasa bukan?

Adapun Sidik adalah orang yang tidak memiliki kedua kaki kecuali hanya bagian pangkal paha. Meskipun begitu, ia berhasil melalui berbagai hambatan fisik dan psikis untuk menyelesaikan pendidikan formal hingga program D3. Untuk menghidupi dirinya, ia mencoba berbagai macam pekerjaan, mulai jualan koran hingga berdagang makanan kecil. Melihat usahanya mulai jalan, Sidik akhirnya memutuskan untuk memproduksi sendiri makanan ringan yang dijualnya. Ia membuat kripik singkong sendiri sebagai usaha ‘home industry’. Jerih payahnya itu kini telah membuahkan hasil. Meskipun ia tidak dapat berdiri dan berjalan secara normal, ia bisa mengendarai motor yang didesain sendiri secara khusus demi memenuhi kebutuhannya. Ia dapat berkeliling kampung di wilayah Jakarta Selatan untuk menjajakan kripik buatannya ke toko-toko atau berbagai kawasan perumahan. Semangat hidupnya yang pantang menyerah ini mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan hingga ia masuk sebagai salah satu hero Indonesia tahun 2010 ini.

Apa yang bisa kita petik dari kedua tokoh di atas? Barangkali, perasaan bangga bercampur malu. Kita bisa bangga karena melihat betapa orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti mereka ternyata mampu menunjukkan kemampuannya kepada dunia bahwa mereka bukan sembarang orang. Rama yang tidak bisa melihat indahnya dunia mampu mengubah imajinasi banyak orang melalui skilnya mengolah musik dan lagu. Instink seninya sangat tinggi sehingga meskipun tidak melihat gambar di layar monitor, tetapi ia bisa memberikan sentuhan musik dan suara yang tepat untuk seting film yang digarapnya. Sidik, yang umumnya hanya menjadi beban keluarga, justru mampu membuka lapangan pekerjaan bagi sejumlah orang yang berada di sekitarnya. Ia adalah inspirator bagi siapa saja yang ingin sukses dalam menjalani hidupnya.

Sungguh termasuk orang-orang dhalim jika kita yang dilahirkan sempurna ternyata tidak mampu berbuat seperti mereka. Perasaan malu akan memenuhi pikiran kita jika kita hanya menjadi beban bagi orang lain. Untuk itu, mumpung masih ada waktu, selagi masih terbentang harapan-harapan, ada baiknya kita pancangkan dalam hati sejumlah mimpi-mimpi besar yang dapat kita bangun setahap demi setahap untuk masa depan yang lebih cerah. Tidak ada kata terlambat, tidak ada kata putus asa, mari terus berkarya nyata sepanjang nafas masih tersimpan dalam dada! Wa Allah a’lam.

Senin, 08 Maret 2010

UKURAN SUKSES

Saya begitu terkesima dengan ucapan rektor saat saya berkunjung ke ruang kerjanya beberapa waktu lalu. Sambil melaporkan perkembangan lembaga zakat dan wakaf tempat saya mengabdi, saya mendapatkan berbagai wejangan terkait dengan banyak hal, antara lain tentang ukuran kesuksesan. Betul, setiap orang ingin mencapai harapannya yang itu kemudian dianggap sukses. Namun, menurut beliau, ukuran sukses setiap orang pasti berbeda. Hal itu tergantung pada profesi atau pekerjaan yang sedang digeluti.

Seorang petani misalnya, akan dianggap sukses karena hasil tanamannya melimpah melebihi target. Begitu pula seorang pedagang, ia dinilai sukses tatkala dagangannya laku keras dan meraih laba yang banyak. Sopir bus yang sukses adalah sopir yang mampu mengemudikan kendaraannya dengan tepat, tangkas, dan selamat. Penumpangnya berjumlah banyak dan merasa nyaman saat berada dalam kendaraan itu. Ketika diterapkan kepada lembaga zakat dan wakaf, lembaga ini dianggap sukses ketika berhasil menyadarkan orang tentang pentingnya berzakat dan berwakaf sekaligus mampu mengumpulkan, mengelola, dan menyalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima manfaatnya. Institusi zakat dan wakaf harus kreatif dalam membuat program dan proaktif untuk mendekati para donatur. Dengan demikian, orang atau istitusi yang sukses adalah orang atau lembaga yang mampu melakukan perannya sesuai dengan visi dan misinya sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh banyak orang dan kalangan.

Satu hal lagi yang ditekankan oleh rektor. Beliau prihatin dengan kondisi dosen yang kurang mengerti tentang posisinya sebagai dosen. Adakalanya dosen bekerja sebagai pedagang atau makelar sehingga tugas utamanya terbengkalai. Sebagian lagi, ada pula dosen yang sibuk bekerja di lembaga swadaya masyarakat sehingga jatidirinya sebagai akademisi menjadi terkurangi dan bahkan tersamarkan. Menggeluti bidang lain sebenarnya masih bisa ditoleransi sepanjang ia mampu membagi waktu dan memposisikan dirinya secara proporsional.

Dosen menurut rektor adalah sosok manusia yang mampu mengemban amanah yang tercantum dalam tri darma perguruan tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam hal pendidikan dan pengajaran dosen harus senantiasa belajar untuk meningkatkan kemampuannya sehingga saat mengajar, ia tidak hanya masuk kelas dengan tangan kosong. Ia harus mampu mentransfer ilmu pengetahuannya kepada para mahasiswa agar kelak mereka berhasil menyongsong masa depan dengan gemilang.

Penelitian adalah nadi pengembangan ilmu pengetahuan. Tanpa penelitian, ilmu yang diajarkan dosen akan stagnan dan peran dosen di masyarakat akan mencapai titik jenuh. Dengan penelitian, diharapkan akan terungkap fakta-fakta baru sehingga informasi yang disampaikan kepada mahasiswa dan masyarakat akan selalu kontemporer (up to date), dinamis, dan bernilai guna yang tinggi. Hasil penelitiannya itu perlu dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah atau dalam bentuk buku. Dengan demikian, informasi terbaru tentang isu tertentu akan mudah diikuti dan dapat menjadi rujukan bagi pengembangan ilmu. Kesuksesan seorang dosen, dengan demikian, bisa diukur dengan seberapa banyak tulisan ilmiahnya dipublikasikan dalam jurnal dan seberapa banyak buku yang diterbitkan. (sebagai catatan, saat ini ada satu sarana bagi dosen untuk mempublikasikan pikiran dan renungannya secara gratis, mudah, murah, dan levelnya bisa mencapai dunia internasional, yakni dengan menulis di blog, seperti publikasi tulisan ini…he..he..he, promosi nih…)

Terakhir adalah pengabdian kepada masyarakat. Dosen diharapkan mampu menjalankan peran sosialnya sebagai ilmuwan di masyarakat. Ia tidak selayaknya berlindung di menara gading yang menjauhkan dirinya dari komunitas yang selalu menunggu darma baktinya. Dosen wajib menjadi elit stategis yang mampu menjadi panutan masyarakat dalam bertutur, bertindak, dan berkarya. Dosen harus siap membantu masyarakat ketika perannya dibutuhkan. Alhasil, dosen ideal akan senantiasa sadar tentang peran pentingnya yang selalu dinantikan oleh civitas akademika kampus serta masyarakat sekitarnya. Wa Allah a’lam.

Minggu, 07 Maret 2010

DOA ISTIGHATSAH

PERMOHONAN AMPUNAN DAN PENYERAHAN DIRI KEPADA ALLAH SWT
(Ijazah dari KH. Marzuki Mutamar, Ponpes Sabilurrosyad, Malang)

1. اَلْفَا تِحَة
Al-Faatihah

2. أَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ
Astaghfirulloohal adziim
(Aku memohon ampunan kepada Allah yang Maha Agung)

3. حَسْبُنَا اللهَ وَنِعْمَ اْلوَكِيْلِ, نِعْمَ اْلمَوْلىَ وَنِعْمَ النَّصِيْرِ
Hasbunallooha wa ni’mal wakiil, ni’mal maulaa wa ni’man nashiir
(Cukuplah Allah bagi kami, Dia adalah sebaik-baik pelindung, pemelihara, dan penolong)

4. لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ العَظِيْمِ
Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim
(Tiada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Agung)

5. سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَالله ُأَكْبَرُ
Subhaanalloohi walhamdu lillaah walaa ilaaha illalloohu wallooh akbar
(Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar)

6. سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ اْلعَظِيْمِ
Subhaanalloohi wa bihamdihii, subhaanalloohil ‘adziim
(Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah yang Maha Agung)

7. سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
Subhaanalloohi wa bihamdihii, ‘adada kholqihii, wa ridhoo nafsihii, wazinata ‘arsyihii, wa midaada kalimaatihii
(Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, sebanyak jumlah ciptaan-Nya, keridhaan diri-Nya, keindahan singgasana-Nya, dan keluasan firman-Nya)

8. سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللهُ
Subhaanaloohi ‘adada maa khalaqallooh
(Maha Suci Allah sebanyak jumlah ciptaan-Nya)

9. لاَإِلَهَ إَلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنّىِ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ
Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minadz dzaalimiin
(Tiada tuhan selain Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menganiaya diri)

10. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
Robbanaa dzolamnaa anfusanaa wa illam taghfirlanaa watarhamnaa lanakuunanna minal khoosiriin
(Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menganiaya diri, jika Engkau tidak mengampuni dan menyayangi kami, niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi)

11. يَاحَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
Yaa hayyu yaa qayyuum, birohmatika astaghiitsu
(Wahai Zat yang Maha Hidup dan Mandiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan)

12. يَاقَوِيُّ يَا مَتِيْنُ إِكْفِ شَرَّ الظَّالِمِيْنَ
Yaa qawiyyu yaa matiin, ikfi syarradz dzoolimiin
(Wahai Zat yang Maha Kuat dan Teguh, hentikanlah kejahatan makhluk-makhluk yang berbuat aniaya)

13. يَا مُهَيْمِنُ يَا سَلاَمُ سَلِّمْنَا وَ اْلمُسْلِمِيْنَ
Yaa muhaiminu yaa salaam sallimnaa wal muslimiin
(Wahai Zat yang Maha Penolong dan Maha Pengawas, selamatkanlah kami dan seluruh umat Islam)

14. فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظاً وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ
Falloohu khairun haafidzon wa huwa arhamur roohimiin
(Sesungguhnya Allah adalah Zat yang paling sempurna penjagaannya dan Dia adalah Zat yang paling penyayang)

15. بِسْمِ اللهِ الَّذِىْ لاَيَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِى اْلأَرْضِ وَلاَفِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ
Bismillaahilladzii laa yadhurru ma’as mihii syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’i wa huwas samii’ul aliim
(Dengan menyebut nama Allah yang dengan nama-Nya tidak akan ada sesuatu pun yang membahayakan seseorang baik di bumi maupun di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)

16. اَللهُ اْلكَافِى رَبُّنَا ْالكَافِى قَصَدْنَا ْالكَافىِ وَجَدْنَا ْالكَافىِ لِكُلٍّ كَافىِ كَفَانَا ْالكَافىِ وَنِعْمَ اْلكاَفىِ اَلْحَمْدُ ِللهِ
Alloohul kaafii robbunal kaafii, qoshodnal kaafii, wajadnal kaafii, likullin kaafii, kafaanal kaafii, wa ni’mal kaafii, alhamdu lillaah
(Allah adalah Zat yang Maha Mencukupi kebutuhan hamba-Nya, tuhan kami adalah Zat yang Maha Sempurna, kepada-Nya kami memohon, doa kami pasti akan dikabulkan, segala sesuatu akan disempurnakan karena Dia adalah Zat yang Maha Pemberi, sesungguhnya Allah adalah Zat yang paling indah balasannya, oleh sebab itu segala puji hanya bagi Allah)

17. اَللَّهُمَّ لَكَ اْلحَمْدُ وَمِنْكَ اْلفَرَجُ وَإِلَيْكَ ْالمُشْتَكَى وَبِكَ اْلمُسْتَعَانُ وَعَلَيْكَ ْالبَلاَغُ وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ ْالعَظِيْمِ
Alloohumma lakal hamdu, wa minkal faroju, wa ilaikal musytakaa, wa bikal musta’aan, wa ‘alaikal balaagh, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim
(Ya Allah, bagi-Mu segala pujian, dari-Mu segala kelapangan, hanya kepada-Mu kami berkeluh kesah, dengan-Mu kami memohon pertolongan, kepada-Mu kami mohon pemenuhan segala harapan, tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Agung)

18. اَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ يَا رَبَّنَا وَإِلَهَنَا وَسَيِّدَنَا َأنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلىَ اْلقَوْمِ اْلكَافِرِيْنَ
Alloohu akbar alloohu akbar alloohu akbar, yaa robbanaa wa ilaahanaa, wa sayyidanaa, anta maulaanaa fanshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin
(Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, wahai Tuhan kami, Engkaulah pelindung kami, oleh karena itu, tolonglah kami dari gangguan makhluk-makhluk kafir yang jahat)

19. حَصَّنْتُكُمْ بِاْلحَيِّ ْالقَيُّوْمِ الَّذِىْ لاَيَمُوْتُ أَبَدًا وَدَفَعْتُ عَنْكُمُ السُّوْءَ بِأَلْفِ َألْفِ لاَ حَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ
Hasshontukum bilhayyil qoyyumil ladzii laa yamuutu abadan wa dafa’tu ‘ankumus suu-a bi alfi alfi laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyin ‘adziim
(Aku memohon perlindungan hanya kepada Allah untuk kalian semua, Tuhan yang Maha Hidup dan Mandiri, yang tidak akan mati selamanya, aku mohonkan untuk kalian semua perlindungan dari segala marabahaya dengan sejuta kalimat perlindungan, tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Agung)

20. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا ِإبْرَاهِيْمَ, وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا ِإبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ, فِى ْالعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Alloohumma sholli ‘alaa sayyidinaa muhammad, wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammad, kama shollaita ‘alaa sayyidinaa ibroohiima wa ‘alaa aali sayyidinaa ibroohiim, wa barik ‘alaa sayyidinaa muhammad wa ‘alaa aali sayyidinaa muhammad, kama baarokta ‘ala sayyidinaa ibroohiima wa ‘alaa aali sayyidinaa ibroohiim. Fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid.
(Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada nabi Ibrahim dan keluarganya. Berkahilah nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau berkahi nabi Ibrahim dan keluarganya. Di jagat raya ini sungguh Engkau adalah Zat yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia)

21. اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَنْعَمَ عَلَيْنَا وَهَدَانَا عَلَى دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ.
Alhamdu lillaahil ladzii an’ama ‘alainaa wa hadaanaa ‘alaa diinil islaam
(Segala puji bagi Allah yang telah memberikan segala kenikmatan kepada kita sekaligus menunjukkan kita ke jalan agama Islam)

Introduction