Sabtu, 27 Februari 2010

KEAGUNGAN AKHLAK SEORANG ILMUWAN

“Pendapat Anda sungguh salah besar, itu tidak ilmiah, seharusnya Anda lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan,” demikian komentar seorang profesor. Kolega profesor itu langsung ‘shock’ mendengar kritik tajam tersebut. Dalam hatinya, ia merasa bahwa apa yang ia sampaikan telah sesuai dengan prosedur ilmiah dan tentunya layak dipublikasikan. Namun, profesor yang sedang di depannya seakan tidak memberi kesempatan baginya untuk berargumentasi. Pikirannya buyar dan kreatifitasnya hancur. Ia bahkan sempat putus asa setelah melihat sikap seorang pakar yang pernah ia kagumi itu.

Fenomena di atas ternyata jamak kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia akademik sekalipun. Seorang tokoh besar atau pakar kenamaan dengan entengnya menyudutkan lawan bicaranya dengan logat bahasa yang tidak mengindikasikan keluasan ilmu dan kedalaman pengetahuannya. Etika berkomunikasi atau tatakrama berbicara seringkali diabaikan. Salah satu hal yang ‘diperjuangkan’ adalah bahwa pendapatnya sendirilah yang benar atau bahkan paling benar. Adapun pikiran-pikiran yang berseliweran di sekitarnya dianggap omong kosong dan harus dienyahkan.

Padahal, kalau kita mau menelaah etika para ulama salaf, sebut saja Imam Syafi’i, ketika pendapat beliau berbeda dengan para ulama sebelumnya seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, beliau tidak lantas menyatakan bahwa pendapatnya paling benar dan pendapat pendahulunya salah yang harus dibumihanguskan. Beliau dengan santun mengatakan bahwa “pendapat kami adalah benar namun berpotensi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selain kami adalah salah namun berpotensi mengandung kebenaran.” Kalimat tersebut terasa memiliki keagungan akhlak seorang ilmuwan. Ia tidak serta merta menutup kesempatan orang lain untuk berpendapat. Kalaulah pendapat orang lain dianggap salah, namun pendapat itu suatu ketika bisa jadi dinilai benar oleh sebuah kalangan. Begitu pula pendapat kita yang saat ini kita yakini kebenarannya, suatu ketika dengan perubahan waktu dan tempat, pendapat tersebut dapat divonis salah.
Ada satu cara yang patut kita renungkan saat akan melakukan kritik terhadap orang lain, yaitu pengakuan akan kemungkinan kebenaran pendapat tersebut, lalu diikuti dengan pemaparan pendapat kita. Misalnya, “pendapat Anda bisa dianggap benar jika….., namun ada baiknya jika pendapat tersebut dilengkapi atau diubah sehingga menjadi…..” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa kita bisa menerima pendapat kawan bicara kita pada tataran tertentu, lalu kita menyampaikan pendapat kita sendiri yang merupakan hasil modifikasi atau perbaikan dari pendapatnya. Dengan demikian, kelonggaran hati dan etika komunikasi seorang ilmuwan seharusnya ditanamkan sejak awal ketika orang tersebut mendalami ilmunya.

Guru atau dosen semestinya memberikan teladan kepada murid atau mahasiswanya bahwa berbeda pendapat dalam forum ilmiah adalah hal yang biasa. Setiap orang berhak berpegang teguh pada pendapatnya namun sangat tidak etis jika mengolok-olok atau menghina orang lain yang berseberangan dengannya. Indahnya taman bunga bukan karena warnanya yang seragam, namun justru disebabkan oleh aneka ragam warna yang ada di taman itu. Semua keindahan yang dimiliki setiap kelopak bunga memberikan satu kontribusi estetis yang tidak dimiliki kelopak bunga yang lain. “Biarkanlah masing-masing bunga memancarkan aura pesonanya, jangan kau matikan setangkai bunga hanya karena keindahannya berbeda dengan bunga lainnya.” Wa Allah a’lam.

Jumat, 26 Februari 2010

KEKASIH UMAT

Muhammad, ya Muhammad!
Kekasih umat penerang jagad
Hari ini kau dikenang
Hari ini kau diperingati
Oleh umatmu yang setia
Pengikutmu yang tak mampu mengucap syukur
Sekedar berterima kasih atas perjuanganmu
Berdarah-darah
Diancam dibunuh
Diusir dan dikejar
Diboikot dan diserang

Kau begitu tegar
Kau begitu istimewa

Sejarah hidupmu tak pernah lekang
Ditelaah berulang-ulang
Diteladani sampai mati

Kau penunjuk arah
Pembawa pelita
Penyejuk jiwa
penuntun jalan
Dalam misi
Menggapai cinta sejati
Tuhan yang Maha Suci

Muhammad ya Muhammad
Kekasih yang tak pernah padam

Rabu, 24 Februari 2010

PERJUANGAN MENGURUS PASPOR DINAS

Seharian penuh pada Senin yang lalu, saya berkeliling Jakarta dalam rangka menyelesaikan urusan dinas tentang keikutsertaan saya dalam program riset Fulbright di Amerika. Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Kementerian Agama (dulu Departemen Agama). Di kantor yang berlokasi di Jalan Lapangan Banteng itu, Saya harus menemui Dr. Zayadi, kasubdit kerjasama dan kelembagaan. Sehari sebelumnya, saya bersilaturrahmi ke rumah Sekretaris Dirjen pendidikan Islam, Dr. Afandi Mukhtar. Sesuai dengan arahan beliau, saya harus menemui kasubdit kerjasama itu.

Sesampai di Kementerian Agama, saya langsung melaju ke lantai 8. Waktu menunjukkan pukul 08.15 Wib. Saya kira seluruh karyawan sudah sibuk mengerjakan tugas-tugasnya. Tapi, saya harus menahan hati karena petugas yang ingin saya temui belum ada di tempat. Bahkan, seluruh pegawai di ruang kasubdit itu belum ada satu pun yang hadir. Wah, gimana mau maju kementerian yang berbasis agama itu jika masuknya saja tidak tepat waktu? Pukul 08.30 saya baru melihat beberapa orang yang mulai berdatangan. Lantai itu baru kelihatan ramai sekitar pukul 09.00. Saya pun baru bisa menemui orang yang saya cari pada pukul 09.30.

Saya kemudian berkonsultasi dengan Dr. Zayadi tentang surat keterangan keikutsertaan saya dalam program Fulbright. Surat tersebut akan dikirimkan ke Sekretaris Negara. Mengingat surat itu harus ditandangani oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam, saya perlu menunggu tanda tangan itu. Sekitar pukul 12.00 surat itu akhirnya rampung. Selanjutnya, saya pindah ruang ke lantai 4. Di sana saya harus menemui pak Muis, bagian kerjasama luarnegeri. Saat berkas-berkas saya dicek, ternyata ada dua surat yang belum saya lengkapi, yakni surat persetujuan dari kampus University of Iowa tempat saya akan melakukan riset dan surat keterangan beasiswa dari Fulbright. Kedua surat itu hanya akan saya dapatkan jika saya berkunjung ke kantor AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation) sebagai penyelenggara beasiswa Fulbright yang berlokasi di jalan Gunung Sahari Senen. Sebenarnya, saya kecewa karena baru diberitahu hari itu. Saya sudah melengkapi semua persyaratan, namun masih ada saja persyaratan lain yang harus dilengkapi tetapi tidak tertulis. Dengan semangat, saya pun melanjutkan perjalanan ke Kantor AMINEF.

Ketika tiba di AMINEF, saya ingin menjumpai Pak Piet selaku penanggung jawab program. Sayangnya beliau tidak ada di tempat karena sedang ke luar kota. Saya pun akhirnya menemui Mbak Isye yang biasa membantu saya menyelesaikan berbagai administrasi Fulbright. Saya pun mengutarakan maksud kedatangan saya, yakni meminta surat-surat kelengkapan dari Fulbright. Surat tentang persetujuan dari kampus University of Iowa bisa saya peroleh namun surat keterangan beasiswa dari Fulbright belum dapat diproses karena pak Piet selaku penanda tangan sedang tidak ada di kantor. Mereka berjanji akan mengirim surat tersebut hari Kamis mendatang.

Setelah selesai mengurus surat di AMINEF, saya kembali ke Kementerian Agama. Saya menyerahkan surat dari AMINEF dan menyampaikan bahwa surat lainnya akan dikirim Kamis depan. Pak Muis dapat memaklumi hal itu. Namun, masih ada satu lagi yang ternyata harus saya lengkapi, foto yang sudah saya setor harus diganti. Foto tersebut harus berlatar belakang putih, bukan berlatar hijau seperti yang saya punya. Karena hari sudah siang, saya berniat akan kembali ke ruang pak Muis pada hari Rabu. Saya perlu memproses lebih dahulu foto itu.

Saat keluar dari Kementerian Agama, saya berpikir, kalau bisa mengurus foto bisa hari itu juga nampaknya lebih baik. Saya tidak perlu mondar-mandir lagi. Tapi, saya tidak tahu dimana lokasi cetak foto. Saya pun akhirnya menyusuri jalan di sekitar Pasar Senen dengan berjalan kaki. Siapa tahu bisa ketemu. Tapi, nasib belum beruntung, saya sudah kelelahan berjalan, akhirnya saya naik mikrolet untuk mencari studio foto. Cukup lama saya mencari, apalagi macet di Jakarta tidak dapat dihindari, akhirnya saya pun dapat menemukan studio foto Kodak. Sesampai di sana saya tidak dapat dilayani karena mesin cetak sedang rusak. Wah, saya harus naik angkot lagi. Menyusuri jalan di Jakarta untuk mencari studio foto jadi tantangan tersendiri. Tanpa putus asa, akhirnya saya melihat plang nama Fuji Film. Saya pun turun angkot dan menuju studio itu. Saya sampaikan kepada petugasnya bahwa saya ingin mengubah latar belakang foto yang awalnya hijau menjadi putih. Mereka menyanggupi permintaan itu namun harganya hampir sama dengan foto baru. Biayanya agak mengagetkan, sekitar 5 kali lipat harga di Ngaliyan Semarang! Wow, maklum Jakarta! Setelah saya pertimbangkan masak-masak, saya memilih foto lagi daripada mengganti latar saja. Itung-itung punya foto baru. Akhirnya, saya masuk ke studio foto untuk diambil gambar baru. Alhasil setelah menunggu 45 menit, proses cetak foto yang saya inginkan telah saya dapatkan. Alhamdulillah.

Saya langung menuju kantor Kementerian Agama. Sesampai di sana, waktu menunjukkan pukul 15.30. namun, banyak karyawan sudah mulai turun lift untuk pulang. Saya mempercepat langkah dengan harapan saya dapat menemui pak Muis. Alhamdulillah, beliau masih di ruangan. Saya pun bisa menyerahkan persyaratan tersebut sekaligus biaya pengurusan paspor dinas. Sekali lagi alhamdulillah, perjuangan dari Subuh hingga menjelang Magrib dapat berakhir dengan sukses. Wa Allah a’lam.

JIWA PAHLAWAN

Jantung berdegup kencang
Suasana hiroik
Melawan gelombang
Menerjang badai

Lelah merasuki relung ragawi
Payah menguasai urat nadi
Menuntut pengorbanan tiada henti
Pekik hidup esok atau mati kini

Dendang perjuangan mengalun terus
Menyihir jiwa-jiwa yang haus
Kobarkan semangat merajut harapan
Meraih mimpi di masa depan

Minggu, 21 Februari 2010

HALAQAH DI MASJID AL-MUKHLISHIN

Hari Sabtu-Minggu ini, kawan-kawan Jatisari sedang melakukan rihlah diniyyah ke Yogyakarta. Tujuan utama mereka adalah bersilaturrahmi dengan pengurus masjid Jogokaryan. Tempat ibadah yang satu ini memiliki keunikan,antara lain mampu menarik umat Islam untuk rajin berjamaah di masjid. Kabarnya, jumlah jamaah shalat subuh tidak kurang dari 400 orang. Hal ini tentu tidak biasa terjadi di kebanyakan masjid. Umumnya, jamaah Shubuh hanya diikuti oleh segelintir orang. Oleh sebab itu, studi banding ke masjid ini diharapkan akan mampu menyemangati kawan-kawan untuk memotori gerakan memakmurkan mushala dan masjid di kompleks perumahan Jatisari. Sungguh mulia misi mereka!

Saya sebenarnya sedih tidak bisa ikut serta ke Jogyakarta. Minggu ini saya harus ke Jakarta dalam rangka menyelesaikan urusan dinas. Untuk mengurangi kekecewaan, saya menghibur diri dengan berkunjung ke pesantren dekat rumah mertua saya di Bekasi. Siapa tahu saya mendapat pengalaman baru ketika berada di pesantren yang bernama ar-Ridwan itu. Pagi ini, setelah jamaah Shubuh di masjid pesantren, saya mengikuti halaqah yang dilakukan pada setiap ahad pagi. Kebetulan, pikir saya, kegiatan ini dapat berfungsi sebagai pelipur lara. Dalam acara pengajian rutin tiap pekan tersebut, jamaah dipimpin oleh salah satu ustad untuk membaca ratib al-Haddad. Bacaannya mirip dengan doa-doa yang biasa dibaca oleh para santri di ma’had UIN Malang selepas shubuh. Saya cukup familiar dengan tradisi itu.

Seusai membaca ratib al-Haddad, pengajian pun dimulai. Kali ini Ustad Ramli bertugas sebagai muallimnya. Pada awal pengajian, Ustad Ramli memberikan motivasi kepada hadirin untuk lebih rajin berjamaah di masjid. Pada umumnya, orang-orang sering terjangkit penyakit terburu-buru. Misalnya, seusai shalat maghrib, para jamaah biasanya langsung pulang. Beruntung jika kemudian mereka bisa kembali untuk mengikuti jamaah shalat Isya’. Namun seringkali ada saja alasan untuk tidak kembali ke masjid: ada tamulah, belum makan malamlah, mau nonton acara TVlah. Padahal, pahala jamaah shalat Isya lebih besar daripada pahala jamaah shalat Maghrib. Dalam sebuah riwayat hadis, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa pahala jamaah shalat Isya setara dengan pahala shalat sunnah separuh malam. Luar biasa! Oleh sebab itu, sang ustad menyarankan untuk bertahan lebih lama di masjid, khususnya ba’da shalat Maghrib hingga tiba waktu shalat Isya. Waktu antara Maghrib dan Isya’ termasuk waktu mustajabah, artinya waktu yang paling tepat untuk beribadah dan berdoa. Untuk itu, banyak pesantren yang mengadakan pengajian ba’da Maghrib sebagai ganti pengajian ba’da Isya’ demi meraih keutamaan waktu isya’aini itu (antara Maghrib dan Isya’).

Di samping mendorong jamaah untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya’ secara berurutan, ustad Ramli juga menyarankan untuk memperhatikan jamaah di waktu Shubuh. Di banding shalat Maghrib dan Isya’, pahala jamaah shalat Shubuh sebenarnya lebih menggiurkan. Dua rakaat shalat sunnah sebelum shalat Shubuh saja ganjarannya lebih baik daripada seluruh isi bumi dan langit. Apalagi jamaah shalat fardhu Shubuhnya, tentu lebih besar. Oleh sebab itu, hadirin diharapkan lebih rajin berjamaah di masjid sebagai bekal mengarungi kehidupan di akhirat.

Pada bagian lain, ustad Ramli menyatakan bahwa ada tiga golongan orang di muka bumi ini dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Pertama, manusia yang selalu memikirkan akhiratnya. Kelompok ini memandang bahwa hidup ini hanyalah jalan menuju kematian. Kematian pasti akan datang sebagai pintu gerbang bagi kehidupan yang sesungguhnya. Gemerlap dunia hanyalah jebakan bagi mereka agar mereka terlena untuk melupakan akhirat. Oleh sebab itu, kelompok pertama ini lebih menyukai hidup sederhana dan zuhud serta menghindari ambisi duniawi.

Kelompok kedua adalah manusia pertengahan. Meskipun mereka tahu bahwa hidup di dunia ini ibarat musafir yang hanya singgah sementara, tetapi mereka menggunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk bekal kehidupan di akhirat kelak. Mereka rajin bekerja namun tidak melupakan shalat lima waktu. Mereka gigih mengejar kekayaan tetapi tidak lupa membersihkan harta dalam bentuk zakat, sedekah, atau wakaf. Mereka rajin belajar hingga larut malam namun tidak segan berbagi ilmu dengan sesama. Singkat kata, kelompok ini mampu menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Terakhir, kelompok ketiga adalah kelompok pecinta dunia. Mereka berpikir bahwa manusia hidup di dunia ini harus mampu memanfaatkan dan menikmati segala fasilitas duniawi. Kehidupan dunia adalah nyata sedangkan kehidupan akhirat dianggap belum pasti karena belum ada orang yang mengalaminya dan oleh sebab itu masih diperdebatkan keberadaannya. Daripada nantinya menyesal tidak bisa merasakan indahnya gemerlap dunia, mendingan mereka menjadikan dunia sebagai bagian dari surga impian. Oleh sebab itu, mereka sangat mencintai dunia karena dunia telah berada di depan mata.

Dari ketiga tipe di atas, nampaknya, tipe yang direkomendasikan oleh sang ustad untuk manusia masakini adalah adalah pola kehidupan yang imbang antara dunia dan akhirat. Meskipun begitu, konsentrasi kepada akhirat patut mendapat perhatian ekstra karena kematian bisa datang kapan saja. Kesadaran bahwa kehidupan akhirat merupakan tujuan besar manusia, maka kehidupan dunia meskipun dilakukan sepenuh hati harus dijadikan semata-mata sebagai fasilitas untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Khalik. Dengan demikian, kita ajal tiba, seorang Muslim yang baik akan selalu siap mengakhiri hidupnya dalam situasi yang diridhai.

Setelah ustad Ramli menjelaskan secara detail tentang tiga model manusia tadi, pengajian pun ditutup dengan doa. Saya merasa mendapat pengalaman dan pengetahuan baru melalui halaqah di masjid al-Mukhlisin. Tidak sia-sia saya mendatangi masjid pesantren ini sebagai ganti dari masjid Jogokaryan. Satu hal yang menarik, setelah pengajian, para jamaah mendapat sarapan gratis berupa lontong sayur khas Betawi. Wah, lengkap sudah, peserta pengajian dapat ilmu pengetahuan plus perut kenyang. Siapa mau? Wa Allah a’lam.

Sabtu, 20 Februari 2010

T O B A T

Pagi itu Gus Muh terlihat pasrah. Matanya kadang berkaca-kaca. Guratan di wajah menunjukkan usianya kian senja. Suaranya masih parau akibat batuknya yang belum kunjung sembuh. sehabis shalat subuh, ia duduk termangu di kursi kayu di teras depan sambil menikmati segelas air putih hangat. Ya, hanya air putih karena ia tidak boleh meneguk seduhan kopi atau teh. Dokter menyarankannya untuk menghindari makanan dan minuman manis jika ingin hidup lebih lama. Sementara itu, yuk Ning menyapu lantai sambil menggerutu. Sejak Gus Muh sakit-sakitan, ia tidak lagi mendapat nafkah cukup untuk mengepulkan dapurnya. Tabungannya pun ludes. Hari itu, beras tinggal dua cangkir, tidak cukup untuk makan satu hari. Pilihannya mungkin akan membuat bubur saja. Sebelum pergi bekerja sebagai tukang cuci, yu Ning harus membereskan rumah dan membuat sarapan untuk suaminya.

“Gus, udah bangun? Pagi-pagi kok ngelamun?” Tegur Kang Karyo saat melintas. Gus Muh hanya tersenyum. Ia membenahi letak sarung yang dikalungkan di leher. “Gus, udah mendingan?” “Ya, lumayan,” jawabnya singkat. “Kapan bisa kerja lagi? Bos Jono butuh sopir lho, Gus Muh bisa kuantar ke sana jika mau.” Kalimat Kang Karyo mampu menghentakkan Gus Mus yang sedari tadi termenung. Sambil berdiri mendekati kang Karyo, Gus Mus berujar, “Bener tho, Kang? Aku memang lagi mikirin nyari kerja. Kapan Kang Karyo bisa nganter aku ke bos Jono? Aku wis lumayan sehat, Kang. Nyopir maneh Insya Allah wis kuat.” Gus Mus begitu bersemangat. Ia berharap yuk Ning tidak lagi cemberut. Tumbuh harapan semoga ada sumber rezeki baru. Setidaknya, ada beras yang dapat dimasak. Sudah bosan ia mendengar keluhan istrinya. Kadang ia ingin mati saja. Ia putus asa, di saat usianya yang tak lagi muda, ia belum juga mampu membuat istrinya itu bahagia.

Harta yang tak banyak ia kumpulkan telah habis untuk makan dan berobat. Dulu saat masih muda, ia terkenal boros. Sebagian besar gajinya ludes untuk berfoya-foya. Hobi berjudi tak dapat ditahannya. Kawan-kawan kerjanya sesama sopir truk telah mempengaruhinya untuk main kartu di saat senggang. Awalnya hanya iseng, tapi ketika ia sering kalah, ia terpaksa harus bermain lebih rajin untuk mendapatkan kembali uangnya. Sayang sekali, bukannya menang, tapi justru ia makin kalah. Itulah sebabnya, saat ia terserang penyakit paru dan diabetes setahun tahun terakhir, tubuhnya lunglai dan nampak lebih tua dari umurnya. Penyesalan tinggal penyesalan.

Sejak bertemu ustad Usman, ia bertekad memperbaiki jalan hidupnya. Yang lalu biarlah berlalu. Ia ingin menjadikan sisa hidupnya di jalan kebaikan. Ia rela dibenci istri karena ia sadar bahwa dahulu ia menelantarkannya. Ia ingin bekerja lagi. Ia ingin menata hidupnya kembali. “Tak ada kata terlambat. Selama masih ada asa, selama itu pula taubat seorang hamba akan diterima,” begitu nasehat Ustad Usman yang menyentuh kalbunya.

“Gus Muh memang masih mau kerja…,” kata Bos Jono, “kalau mau kerja di sini ada syaratnya.” Gus Mus agak khawatir kalau-kalau ia tidak diterima. “Nyuwun sewu, apa syaratnya, Bos?” “Nggak berat, sampeyan bisa kerja di sini asal…asal…,” “asal apa, Bos?” “asal sampeyan nggak judi lagi. Kasihan keluarga, hasil jadi sopir tidak seberapa, nanti kalau habis untuk judi, mubazir!” Tukas Bos Jono. “Nggih, Bos. Saya sudah tobat. Mudah-mudahan saya bisa bekerja lebih baik.” “alhamdulillah…”

Senyum sumringah menghiasi wajah gus Muh. Hari ini ia akan berkerja lagi. Ia bersumpah akan memberikan pengabdian terbaik. Ia sangat mencintai istrinya. Wanita yang telah mengisi hari-harinya itu tentu akan gembira jika ia meninggalkan kebiasaan lamanya: jarang shalat, tidak pernah puasa, dan suka maksiat. Ternyata, Allah masih sayang kepadanya. “Wahai Tuhanku, aku kembali kepadamu.”

Jumat, 19 Februari 2010

MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH

Sejak menikah, sepasang suami isteri pasti menginginkan rumah tangga yang akan dibangun dapat menjadi keluarga bahagia. Dalam terma agama, keluarga idaman itu disebut sebagai keluarga sakinah. Kata sakinah sesuangguhnya mengindikasikan adanya ketenangan dan kedamaian. Lebih-lebih jika kata tersebut digabungkan dengan kata mawaddah dan rahmah, rasanya keluarga semacam itu menjadi panutan semua kalangan, seperti yang terjadi dalam keluarga rasulullah. Mawaddah bermakna cinta kasih sedangkan rahmah berarti kasih sayang. Alangkah senangnya jika keluarga kita menjadi salah satu bagian dari kelompok keluarga sakinah.

Saat akan memilih jodoh, rasulullah mengingatkan kita untuk menggunakan empat kriteria sebagaimana riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Pertama, harta kekayaannya; kedua, nasabnya; ketiga keindahan tubuhnya; dan keempat agamanya. Namun rasulullah menegaskan bahwa kita disarankan untuk memilih pasangan karena agamanya, karena dengan itu hipup kita akan tenang. Idealnya, kita tentu mendapatkan keempat kriteria pada pasangan kita, namun rasanya sulit dan butuh waktu lama untuk mendapatkannya. Bisa jadi kita bisa menemukan sosok manusia ideal tersebut, namun sayangnya kita justru tidak masuk dalam kriteria orang tersebut. Jadilah kita seorang pengalah yang harus pasrah (kasihan banget….). Oleh sebab itu, kita akan lebih bijak jika mendapatkan dua atau tiga dari empat kriteria tersebut. Kriteria agama haruslah mendapat prioritas utama sejalan dengan hadis rasulullah di atas.

Keluarga sakinah meniscayakan adanya kesimbangan lahir dan batin. Pertimbangan duaniwi yang bertumpu pada kekayaan dan kesempurnaan tubuh hanya akan menyisakan penyesalan di akhir waktu. Kekayaan yang tidak diperoleh dengan jalan halal pasti akan menambah permasalah hidup yang kian rumit. Demikian pulan, keindahan tubuh yang tidak digunakan pada tempatnya akan menjadi sumber fitnah yang menyesakkan dada. Ketika keimanan telah mengendap dalam hati seorang manusia, ia akan mampu menggunakan segala potensi untuk kebaikan. Sebagai misal, harta kekayaan yang diperoleh akan disisihkan untuk orang lain. Konsep zakat dan wakaf akan mewarnai harinya sebagai sarana untuk membersihkan harta.

Kamis, 18 Februari 2010

WAJAH ITU...

Wajah itu...
Memikat hatiku
hati yang bergemuruh
menanti siraman surga yang teduh

Wajah itu...
Berparas perkasa
Dihiasi sepasang mata penuh cahaya
Agung, gagah, berwibawa

Senyum simpul penuh makna
Halus lembut tutur kata
Tegas lugas alur bicara
Cerdas tangkas gaya kerja

Andai kumampu memandangmu
Kutatap dalam-dalam wajahmu
Kukecup lembut tapak tanganmu
kepeluk erat tubuh wangimu

Sayang seribu sayang
Empat belas abad silam engkau datang
Tinggal pusaramu kini dikenang
Peninggalanmu yang selalu dipegang

Di saat sepi kumerindumu
Di kala haru kubutuhkanmu
Kutelaah kembali lembaran sirahmu
Kulukis lagi indah wajahmu

Bulan ini kau dilahirkan
Diperingati dielu-elukan
Kau pembawa lentera zaman
Mengantar insan ke jalan kebenaran

Wajah itu...
Muhammad...rasulku
Salam ta'dhim untukmu

KEARIFAN PENGGUNAAN BAHASA

Pada suatu kegiatan ilmiah, Prof. Mudjia Rahardjo tiba-tiba ketakutan setelah mendengar pengumuman dari pembawa acara. Keringat dingin pakar linguistik UIN Malang itu segera saja bercucuran karena usianya tidak lama lagi akan berakhir. Mengapa? Menurut informasi yang disampaikan Master of Ceremony, beliau termasuk salah satu target pembunuhan. Kalimat yang disampaikan saat itu mengindikasikan bahwa para pembawa telepon seluler, termasuk beliau, akan dimatikan. Bunyi lengkapnya adalah “Kepada para pembawa handphone, mohon untuk segera dimatikan sebelum acara dimulai.” Wah, Prof Mudjia tentu rugi besar sebab beliau sudah lelah datang ke seminar, tapi belum sempat mengikuti acara, nyawanya harus melayang. Beliau berdoa sekhusyuk-khusyuknya memohon kepada Allah SWT agar dapat selamat dari pembunuhan berencana itu.

Tapi anehnya, sampai acara dimulai, tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada pasukan berpistol masuk dengan ganas lalu memberondong para hadirin. Semua berjalan biasa-biasa saja. Barulah beliau sadar bahwa mungkin maksud sang MC itu adalah bahwa para pembawa telepon genggam diharapkan untuk mematikan handphonenya sebelum acara dimulai. Dengan begitu, acara penting itu tidak terganggu oleh bunyi musik telepon masuk atau suara berisik orang berkomunikasi via telepon selulernya demi menjaga kekhidmatan acara tersebut. Prof Mudjia pun dapat bernafas lega. Ketakutannya pun berangsung menurun namun konsentrasinya yang sempat terganggu belum sepenuhnya pulih.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa bahasa harus digunakan dengan baik dan benar. Baik dalam artian bahwa bahasa harus digunakan untuk mampu mewakili maksud yang ingin disampaikan pembicara. Adapun pengertian benar adalah ketika bahasa yang digunakan telah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Mencermati kalimat yang disampaikan MC, “kepada para pembawa handphone, mohon untuk segera dimatikan sebelum acara dimulai” menunjukkan bahwa subyek penderitanya adalah para pembawa handphone. Jadi wajar saja jika Prof. Mudjia mendadak ketakutan karena menurut MC ia akan dimatikan sebagai konsekuensi adanya handphone di sakunya. Padahal, maksud MC adalah “mohon handphone dimatikan terlebih dahulu sebelum acara dimulai.” Ini berarti penggunaan bahasa yang dilakukan MC tidak baik meskipun secara gramatikal dianggap benar karena memenuhi kaidah Subyek-Predikat-Keterangan (SPK).

Penggunaan bahasa sering pula disesuaikan dengan rasa bahasa. Bahasa yang dipakai bisa jadi telah memenuhi standar baik dan benar, namun ketika disampaikan kepada patner komunikasi, dapat membuatnya sakit hati. Ada adab bahasa yang digunakan pada saat kita berbicara dengan kawan, dengan guru, atau dengan murid. Sebagai contoh, ketika kita bicara dengan guru, sikap santun dan hormat harus tetap dijaga. Jika tidak, bukannya kita akan memperoleh informasi akurat, tetapi malah akan ada ‘kuliah singkat’ tentang penggunaan bahasa. Pak hakim, sebut saja begitu, kemarin pagi marah besar ketika seorang mahasiswa meneleponnya. Bukan perkara kegiatan menelepon, tetapi bahasa yang digunakan oleh mahasiswa itu kurang tepat. Kalimat yang digunakan mahasiswa itu adalah , “Bagaimana sih Pak, nilai saya kok belum keluar?” kalimat lisan ini mungkin dianggap tidak benar karena belum sesuai dengan standar baku bahasa Indonesia, namun bisa dianggap baik karena telah menyampaikan maksud si pembicara. Hanya muatan etika dalam bahasa ini mengindikasikan adanya tuduhan bahwa si dosen telah melakukan kesalahan. Padahal, dosen tersebut telah melakukan tugasnya dengan baik. Beliau telah mengirim nilai ke bagaian akademik. Persoalan nilai mahasiswa tersebut tidak keluar, itu masalah lain. Bisa jadi, nilai kehadiran mahasiswa itu kurang atau ada kesalahan dalam input data dari bagian pusat komputer. Seharusnya, mahasiswa itu melakukan konfirmasi terlebih dahulu tentang nilainya yang belum tercantum dalam kartu hasil studi. Ia perlu meminta ijin untuk berkonsultasi. Dengan demikian, dosen tidak langsung merasa tertuduh.

Itulah sekelumit pentingnya penggunaan bahasa secara tepat. Di samping ada kaidah baku bahasa, ada pula kearifan bahasa yang perlu diperhatikan. Jika kita mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar disertai kemampuan mengintegrasikan rasa bahasa, niscaya kawan bicara kita (atau pembaca tulisan kita) akan merasa nyaman sehingga komunikasi dapat berjalan sesuai harapan. Wa Allah a’lam.

Rabu, 17 Februari 2010

BORING FRIEND OR INSPIRING FRIEND?

Friendship is one of the main sources of happiness. We may share our stories and experience with them. When we are away from our big family, we will feel lonely for sure and friends in this case play a significant role to reduce the loneliness.
However, there are two major types of friends: boring or inspiring friends.

Boring friends are people who are always in our surroundings but they cannot give the happiness to us. Instead, they often make our life in trouble. They do not understand our current situation since they think that we belong to them. They use our motorcycle or even clothes without permission. Also they eat a lot of food in our room without feeling guilty. They just make their own life fun regardless of other people’s happiness. When we are sad or have some problems, they keep distance from us and even say goodbye. Those are the typical characters of boring colleagues.

In contrast, inspiring friends are those who may comprehend our psychological situations. They are very helpful since they put our position as a part of their own souls. They know that we have to share the happiness as well as the sadness. They sincerely help us whenever we need to. They often give the best of their belongings to us. When we are in trouble, they will put us in the first priority without regard to their own business. Once we get stuck, they always provide various ways of solutions. They are like the sun, which consistently pours the light for all creatures in the world. They are the real inspiring friends, who undoubtedly inspire others to reach a better life.

Finally, we may determine our position to become whether boring friends or inspiring ones. The choice will be fairly based on our ending goal of life. Nevertheless, inspiring friend will be the best choice for those who want to dedicate a wide range of benefits to others.

Selasa, 16 Februari 2010

TEGURAN SEBUAH KEBIASAAN

Ketika seseorang biasa sarapan, lalu lupa tidak makan, perut akan melilit
Ketika seseorang biasa olah raga, lalu tidak mau menggerakkan badan, tubuh menjadi sakit
Ketika seseorang biasa ke masjid, lalu tidak berjamaah di rumah Allah, hati terasa sempit

Ketika seseorang biasa puasa, lalu tidak lagi mampu menahan lapar, hidup terasa hampa
Ketika seseorang biasa shalat malam, lalu bangun kesiangan, ia akan kecewa
Ketika seseorang biasa wirid, lalu tak lagi sempat berdzikir, hati akan terluka

Ketika seseorang biasa baca al-Qur’an, lalu tak lagi buka al-Furqan, hari berlalu tanpa tuntunan
Ketika seseorang biasa menolong, lalu tidak bisa mengulurkan tangan, sukma teriris sayatan
Ketika seseorang biasa tersenyum, lalu wajah selalu murung, bibir terasa kaku penuh kerutan

Teguran sebuah kebiasaan
Menghampiri setiap insan
Yang mulai menjauh dari tradisi
Waktu pun berlalu tanpa isi

Mari mencipta kebiasaan
Tugas berat kan terasa ringan
Semua tantangan bisa diselesaikan
Hati gembira tak terperikan

Senin, 15 Februari 2010

STOP MANUSIA HAMPA

Di tengah riuhnya kehidupan
Di sela pikuknya kesibukan
Dari pagi hingga petang
Insan memerlukan waktu luang
Tuk sekedar menggelar sajadah panjang

Dalam diri ada hati nurani
Dalam jiwa ada kesadaran ilahi
Harus dijaga agar tetap semi
Tumbuh kokoh mewarnai hari

Bila nurani hancur lebur
Tatkala kesadaran ilahi menghablur
Tinggallah sosok manusia hampa
Laksana boneka tanpa rupa

Apa yang kau cari, wahai manusia hampa
Popularitas, jabatan, dan harta…
Semua hanya semu belaka
Suatu saat pasti kan sirna

Mari sekarang berbenah
Mengisi waktu untuk ibadah
Selagi ada waktu
Mumpung belum layu

Sempurnakan hidup dengan ritual
Lengkapi peran dengan sosial
Persiapkan masa depan yang lebih kekal
Dalam pelukan Tuhan ‘Azza wa Jall

LISTRIK: 'NYAWA' MANUSIA MODERN

Sejak ditemukannya listrik, manusia menjadi sangat bergantung kepada kekuatan ‘gaib’ yang tersalur dalam kabel plus-minus itu. Berbagai peralatan elektronik diciptakan demi memberikan kemudahan hidup manusia modern. Dahulu, bila ingin mendapatkan sepiring nasi hangat, manusia harus mengumpulkan kayu bakar, lalu menyalakannya dengan percikan api dari gesekan batu. Tempat menanak nasi pun masih sangat sederhana. Umumnya terbuat dari batu atau tanah liat. Waktu yang dibutuhkan untuk mematangkan beras itu juga cukup lama. Alhasil, sepiring nasi baru diperoleh setelah rangkaian usaha yang cukup melelahkan. Berbeda halnya dengan sekarang. Untuk memperoleh nasi hangat nan empuk, manusia tinggal hidupkan ricecooker, lalu pencet tombol ‘cook.’ Dalam hitungan menit, nasi akan matang dengan sendirinya dan siap disantap. Agar kehangatan nasi tetap terjaga, tombol ‘warm’ akan menyala untuk melayani pemilik mesin ajaib itu kapan pun ia menginginkan nasi hangat.

Dalam hal bekerja, saat itu listrik telah mendominasi mayoritas pekerjaan manusia. Bagaimana lift dan eskalator digerakkan, bagaimana mesin pabrik difungsikan, dan bagaimana data-data penting disimpan dalam komputer, semua membutuhkan aliran listrik. Listrik ibarat darah. Ketika listrik padam, kehidupan manusia masakini terasa mati. Ini dapat diilustrasikan sebagai kematian pertama manusia sebelum kehilangan nyawanya. Pesawat udara tidak dapat diterbangkan karena sistem pantau pesawat di bandara dioperasikan dengan listrik. Rumah-rumah akan gelap dan sunyi karena aktifitas belajar, memasak, mencuci, menyetrika, dan semacamnya harus terhenti. Toko-toko dan swalayan akan tutup sebab tanpa penerangan yang cukup, pemilik usaha tidak mau kehilangan barang dagangannya akibat diambil pengunjung. Alhasil, listrik sudah menjadi kebutuhan primer manusia saat ini.

Mengingat pentingnya listrik, perlu kiranya gerakan hemat listrik dan gerakan pencarian alternatif sumber listrik. Gerakan hemat listrik harus didukung karena listrik merupakan salah satu sumber daya yang pada suatu saat akan menipis. Untuk itu, kesadaran penggunaan listrik sesuai kebutuhan perlu dimiliki oleh setiap warga. Lampu-lampu yang tidak dibutuhkan dapat dipadamkan. Komputer yang selalu menyala di kantor-kantor sebaiknya dihidupkan saat akan digunakan dan dimatikan jika sudah tidak diperlukan. Semangat berhemat ini tentu seiring dengan ajaran Islam yang melarang manusia Muslim untuk berlebih-lebihan (israf). Jadi, hemat listrik termasuk ibadah.

Alternatif sumber listrik hingga kini sedang marak digalakkan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Tenaga Nuklir (PLTN) nampaknya akan menjadi primadona baru untuk memenuhi kebutuhan manusia akan listrik. PLTS yang menggunakan matahari sebagai sumber energinya berpeluang untuk menyedikan listrik sepanjang masa selama matahari masih mau bersinar. Adapun PLTN meskipun banyak pakar merekomendasikan dan telah menguasai 16% listrik dunia, namun dampak negatif tenaga nuklir masih perlu dikaji secara komprehensif. Radiasi yang ditimbulkan nuklir dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh manusia sehingga perlu mendapat perhatian serius. Dengan demikian, kehidupan manusia yang kian bergantung dengan listrik dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Wa Allah a’lam.

Minggu, 14 Februari 2010

KISAH SILATURRAHMI KE MALANG

Lama nian saya tidak menikmati kota Malang. Kota sejuk ini telah mewarnai hidup saya lima tahun terakhir. Di sini saya mendapatkan pengalaman baru dalam bekerja dengan semangat berjuang dan berkorban yang selalu didengungkan pemimpin kampus. Begitu juga, saya memperoleh sejumlah kolega yang banyak bergelar kiyai. Suasana kampus yang dilengkapi dengan ma’had menambah suasana perguruan tinggi Islam negeri yang setahun lalu diresmikan presiden SBY itu semakin religius. Sebagai dosen baru yang belum lama ini genap lima tahun mengabdikan diri, saya patut bersyukur karena telah mendapat kepercayaan untuk mengendalikan sebuah lembaga yang bernaung di bawah rektor. Tugas ini sebenarnya berat, apalagi saya masih kuliah di Semarang dan merasa belum saatnya bergaul dengan orang-orang besar. Tetapi, amanah ini tentu harus saya jalankan sebaik mungkin agar kelak dapat menorehkan sejarah yang dapat dikenang oleh para penerus.

Bulan Februari ini saya mengambil kesempatan untuk berkunjung ke Malang bersama keluarga. Ini merupakan kali pertama saya melakukannya sejak mengasingkan diri untuk ‘bertapa’ di Semarang. Senang sekali rasanya ketika saya dapat menjalin tali silaturrahmi dengan kawan-kawan di kampus yang sudah lama tidak bertemu. Namun, ada hal lain yang tidak dapat saya tahan kebahagiaannya, yakni berkunjung ke tetangga di kampung saya bersama isteri dan kedua anak saya. Para tetangga itu begitu “histeris” ketika bertemu lagi dengan anggota keluarga saya. Pak Jo, misalnya, langsung menggendong Taqi, anak kedua saya, dan mengajaknya ke toko kue. Adapun bu Sum, istri pak Jo, memeluk isteri saya begitu erat dengan linangan air mata seperti sudah sewindu tidak bertemu (wah, seperti sinetron saja). Sekedar info, pak Jo adalah orang pertama yang menampung saya ketika awal-awal saya menginjakkan kaki di Malang. Waktu itu saya sedang mencari kos di sekitar kampus. Kebetulan ada kenalan baru sesama dosen yang rumahnya dekat dengan Pak Jo. Jadilah saya tinggal bersama mereka selama 1,5 tahun. Karena cukup lama bergaul dengan keluarga ini, mereka bahkan sudah menganggap saya sebagai anak sendiri. Saya sering mendapat makanan dan kue gratis (ini dia yang dicari anak kos…he..he).

Lain pak Jo, lain pula Pak Di. Keluarga pak Di saya kenal ketika saya memboyong keluarga ke Malang. Di rumah pak Jo saya hanya kontrak satu kamar, lalu saya mencari rumah kontrakan untuk keluarga saya. Rumah tersebut bersebelahan dengan rumah pak Di. Ketika anak kedua saya lahir, isteri saya membutuhkan teman untuk mengasuh bayi kami. Anak pak Di yang namanya mbak Us mau menerima tawaran kami untuk membantu merawat rumah dan bayi kami. Jadilah keluarga saya sangat akrab dengan keluarga pak Di. Ketika saya dan keluarga berkunjung ke rumah mereka kemarin malam, keluarga pak Di menyambut dengan hangat. Mereka bilang kalau anak-anak saya sudah besar. Tentu saja, waktu meninggalkan Malang, anak pertama saya baru berumur 3 tahun sedang anak kedua berumur 1 tahun. Jadi wajarlah kalau mereka sedikit ‘pangling’ dan kaget ketika kami datang. Saat kami pamit, mereka membawakan setandan pisang dan sejumlah pepes ikan. Ini dia yang saya cari. Saya benar-benar kangen pepes ikan buatan isteri pak Di. Mak Ni, begitu kami biasa memanggil, adalah penjual makanan dan sayuran di depan rumah. Dulu sebelum berangkat kerja, saya sering beli pepes ikan di warung mak Ni. Rasanya saya bernostalgia ketika mencicipi pepes ikan kesukaan saya itu. Ummm lezat banget lho kalau dimakan pakai nasi hangat!

Ada satu hal lagi yang ingin saya ceritakan di sini. Beberapa hari terakhir, saya disibukkan dengan tugas-tugas kantor yang harus segera saya selesaikan. Saya bahkan perlu merelakan diri berlama-lama di kampus untuk melengkapi berbagai berkas administrasi. Khusus hari Sabtu kemarin, saya baru bisa pulang sekitar pukul 18.00 WIB. Lelah rasanya setelah mondar-mondar antara kantor Syariah, Rektorat, tempat foto kopi, dan kantor el-Zawa. Saya harus menemui sejumlah orang untuk berkonsultasi dan rapat kerja untuk persiapan kegiatan sebulan mendatang. Saya juga harus menginput sejumlah data ke komputer sehingga saya tidak bisa pulang tepat pada waktunya. Pada saat saya mau pulang, kendaraan yang menuju rumah saya sudah tidak ada. Cuaca pun sedang tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur kota Malang sejak siang hari. Saya tahu, kalau saya tidak pulang segera, saya tentu harus menunggu hujan reda hingga larut malam. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang saja meski harus berjalan kaki dan berlindung di bawah payung. Jarak yang harus saya tempuh tidak terlalu jauh, hanya sekitar 2 km, lumayan untuk sekalian olah raga. Saya dulu memang sering berjalan kaki sebelum memiliki sepeda motor. Jadi, itung-itung membangkitkan kenangan masa lalu.

Saat saya berjalan menuju rumah, tiba-tiba ada seorang pengendara motor berhenti di depan saya. Saya agak kaget setelah saya tahu bahwa dia adalah mahasiswa yang pernah mengambil mata kuliah saya. Saya kira dia hanya ingin melepas rindu untuk sekedar bercengkrama dengan saya karena telah lama tidak bertemu. Saya juga sudah lupa namanya. Dia turun lalu memberikan kunci motor itu kepada saya. “Apa maksudnya ini?” tanya saya keheranan. Dia lalu menjelaskan bahwa saya diberi kesempatan untuk membawa motornya ke rumah saya. Dia kasihan karena saya harus berjalan jauh apalagi saat hujan. Ia rela berjalan kaki menuju kampus dengan payungnya dan menyerahkan motornya untuk dipakai sesuka hati saya. Saya bilang kalau besok saya akan balik ke Semarang dan saya tidak tahu harus bagaimana cara mengembalikan motornya itu. Si mahasiswa, yang akhirnya saya tahu namanya Aminudin, dengan senyum menyilakan saya untuk memakainya hingga besok malam. Dia memberi nomor selulernya untuk dihubungi sewaktu-waktu jika motor itu tidak diperlukan lagi. Saya terharu sekaligus gembira karena saya akhirnya dapat segera sampai di rumah dengan motor mahasiswa itu yang masih baru. Saya berpikir, kok masih ada mahasiswa yang peduli dengan dosennya yang sekian lama tidak bersua. Bahkan, saya juga heran, motor barunya bisa begitu mudah diserahkan kepada saya tanpa jaminan apapun. Alhamdulillah!

Begitulah, sejumlah kisah yang saya alami selama tinggal di Malang. Nanti malam, insya Allah, saya dan keluarga akan bertolak menuju Semarang dengan pengalaman baru yang tak terlupakan. Semoga besok, kami sudah sampai kembali di perantauan untuk meneruskan perjuangan yang masih panjang. Di Semarang, masih tersimpan kisah-kisah lain yang tidak kalah serunya bersama kawan-kawan istimewa saya di Jatisari. Wa Allah a’lam.

Rabu, 10 Februari 2010

SIAPA KITA SEABAD MENDATANG?

Umur manusia jelas terbatas. Usia 100 tahun saja bisa dikatakan hampir mustahil. Sebab hanya beberapa orang yang mampu mencapai usia itu. Rata-rata kita akan menghadap ilahi pada kisaran umur 60-80 tahun. Itu pun kalau masih beruntung. Banyak saudara-saudara kita yang harus cepat kembali kepada-Nya secara mendadak dalam usia yang relatif muda: 20, 30, atau 40 tahun. Pertanyaannya kemudian, sudah kita memikirkan kehidupan setelah meninggal dunia?

Kehidupan pasca kematian adalah kehidupan yang hakiki, yakni hidup yang tidak bisa lagi diperbaiki atau dimodifikasi, kecuali oleh tiga hal, yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak shaleh. Tanpa salah satu dari ketiganya, kita berarti sudah tutup usia sekaligus tutup buku amal kebaikan. Di sana, akan ada pertimbangan segala amal perbuatan, meskipun sekecil biji dzarrah akan diperhitungkan. Nah, seberapa banyak amal kebajikan yang sudah kita hasilkan? Apakah ia sudah lebih banyak daripada amal keburukan? Adakah ladang amal yang dapat menghasilkan buah secara terus-menerus hingga akhir zaman?

Tentu, setelah muncul kesadaran bahwa mumpung masih ada nyawa dalam raga, mumpung masih ada nafas dalam dada, mumpung masih ada asa dalam darah, mari berbenah! Mari menanam! Menanam hari ini berarti ada harapan menuai esok hari. Tidak menanam hari ini,berarti gigit jari esok hari!

Seratus tahun lagi, siapa kita? Masihkah ada orang yang peduli dengan kita? Masihkah anak-anak menyisihkan waktu barang sejenak untuk mendoakan keselamatan kita? Masihkah….masihkah…??? Kalau kita ragu, jangan biarkan waktu berlalu. Kita masih punya kesempatan hari ini untuk menjadikan hidup ini lebih berarti dan lebih bernilai. Seabad mendatang tergantung apa yang kita lakukan hari ini. Mari kita didik anak-anak dengan kedalaman akidah, kesempurnaan ibadah, dan keagungan akhlak. Mari kita sebarkan ilmu kita ke semua orang yang membutuhkan agar bermanfaat. Mari kita simpan dan kekalkan harta kita dalam bentuk sedekah jariyah. Dengan begitu, semoga kita diberi karunia untuk menyongsong hari depan yang lebih cerah. Amin. Setuju?

SIKAP DERMAWAN SEORANG TUKANG POMPA

Saat ini saya sedang berada di Malang. Sambil bekerja seperti biasanya di kantor Pusat Kajian Zakat dan Wakaf UIN, saya menyempatkan diri menyambangi rumah yang sudah lama saya tinggalkan semenjak pindah ke Semarang di akhir tahun 2008. Tempat tinggal sederhana saya sementara waktu dihuni oleh kolega dari UIN yang baru menikah dua tahun lalu. Namun, saat ini rumah saya sudah dikosongkan. Sang kawan telah menempati rumah barunya di kawasan Dau, sekitar Universitas Muhammadiyah Malang.

Pada waktu sore ketika saya bertandang ke rumah saya yang berlokasi di Gasek, Karang Besuki, saya langsung menyalakan lampu lalu menghidupkan air. Semua lampu menyala dengan normal kecuali satu lampu yang berada di ruang tengah. Namun, saya agak kecewa ketika pompa air tidak hidup. Saya coba menyalakan lagi dan memancing dengan seember air tetapi hasilnya tetap nol besar. Saya agak bingung karena tanpa air berarti saya harus balik ke kampus. Maksudnya, saya harus menginap lagi di kantor untuk yang kesekian kali. Kawan-kawan saya sering meledek kalau saya ini benar-benar seorang ‘doktor’, suka mondok di kantor…(he he he…).

Sambil menyapu lantai yang agak kotor, saya berpikir keras untuk mencari bantuan tetangga. Lalu saya ingat kalau ada seorang ahli pompa air di ujung kampung sana. Namanya pak Slamet. Dia adalah orang yang dulu sering saya mintai tolong untuk membenahi pompa air saat saya berstatus ‘kontraktor’ (suka kontrak) di rumah pak Agung. Lalu saya bergegas ke rumahnya dengan berjalan kaki. Maklum, motor saya sudah lama bermukim di Semarang.

Sesampai di rumah pak Slamet, saya beruntung bisa langsung bertemu dia. Biasanya pak Slamet masih di sawah atau di lapangan untuk mencari rumput. Kemudian, saya utarakan masalah pompa saya yang sepertinya sudah rindu untuk bertemu ‘dokter’nya. Dia tertawa dan menyatakan siap meluncur ke rumah saya sehabis bersih-bersih badan. Saya merasa senang karena pompa saya akan segera dibenahi sehingga saya tidak terancam balik mondok di kantor (walah-walah…).

Tak lama kemudian, pak Slamet datang dengan membawa peralatan lengkap. Pompa saya yang terletak di dalam sumur dengan kedalaman 20 meter diangkat olehnya. Lalu dengan sigap ia meneliti bagian-bagiannya kalau-kalau ada yang rusak. Sejurus kemudian, dia mengeluarkan obeng kecil. Dibukanya beberapa skrup untuk melihat bagian dalam pompa. Tak lebih dari 15 menit, pak Slamet telah menyelesaikan tugas. Mesin dihidupkan dan air pun mengalir. Alhamdulillah! Lega hati saya. Dia bilang kalau mesin pompa masih dalam kondisi baik. Ia menduga barangkali karena sudah lama tidak dinyalakan, kipas pompa agak seret untuk berputar. Masya Allah, begitu mudahnya ia mencari penyebab macetnya mesin air itu. hal ini tentu tak lepas dari pengalamannya yang sudah bertahun-tahun menangani masalah air, dari mulai pembuatan sumur hingga pemasangan saluran air.

Saya tidak banyak memberikan penghargaan untuk pak Slamet. Karena saya tidak punya air untuk dimasak, saya tidak bisa menyuguhkan minuman. Namun, tanpa saya minta, Mbak Mis, tetangga depan rumah yang sejak tadi memperhatikan kami, masuk ke rumah saya sambil membawa dua gelas teh manis yang kemudian diletakkan di meja. Wah, kebetulan ini, saya sedang kehausan karena sejak tadi belum meneguk air dan sekalian bisa menjamu pak Slamet yang telah menolong saya. Setelah minum, pak Slamet pun pamit. Lalu saya memberi ‘salam tempel’ kepada pak Slamet. Jumlahnya tidak banyak, hanya Rp. 15.000,- seperti tarif pada umumnya. Tapi apa reaksi pak Slamet? Sungguh di luar dugaan, dia menolak uang itu. Bukan karena jumlahnya kurang, tetapi ia memang tidak berkenan menerima uang. “Lho kenapa, Pak?” tanya saya keheranan. “Bukannya Bapak sudah menolong saya, jauh-jauh datang kesini meluangkan waktu?” Dia menjawab, “Saya hanya ingin membantu Mas. Saya sudah lama tidak bertemu Mas, jadi saya anggap saya sedang berkunjung ke rumah Mas.” Ya Allah, saya jadi kagum sama pak Slamet. Di saat ia berjuang mempertahankan hidup yang serba terbatas, ia tidak mau menerima upah dari jerih payahnya bekerja membenahi pompa. Ada apa ini?

Saya pikir ada satu pelajaran berharga dari pengalaman saya kemarin bersama pak Slamet. Tidak semua orang yang kurang mampu secara ekonomi selalu menuntut penghargaan material atas setiap usahanya. Mungkin, di dalam hatinya yang paling dalam, terbersit sebuah keinginan tulus untuk berbagi dengan sesamanya. Karena ia tidak mampu memberi uang, ia pun mengulurkan tenaga atau jasa. Ia nampak begitu puas ketika ia dapat meringankan masalah orang lain. Terlihat senyumnya yang ikhlas menandakan suasana hati yang semringah. Saya sempat terharu, kok masih ada orang seperti pak Slamet yang hidupnya pas-pasan, tetapi masih berkenan membantu saya secara gratis. Hal ini tentu menjadi contoh teladan bagi saya yang sudah terbiasa dengan pola hidup transaksi jasa. Tak ada yang gratis di dunia ini, begitu celetuk sejumlah orang yang harus membayar saat menggunakan toilet umum. Tetapi, ternyata masih ada di sana, orang-orang yang dengan tulus tanpa pamrih membantu manusia lain. Nampaknya, dia ingin pula berpartisipasi menjadi anggota kelompok orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Semoga kita bisa meneladani sikap dermawan seorang tukang pompa yang bersahaja ini. Amin.

Selasa, 09 Februari 2010

MENYIKAPI KRITIK

Ketika kita berkumpul dengan orang banyak, apalagi dengan latar belakang bervariasi, perbedaan pendapat dan cara berfikir adalah pemandangan yang lumrah. Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap kepala memiliki cara pandang yang khas dan unik. Masalahnya, jika semua orang ditampung suaranya serta dijalankan keinginannya, tentu waktu yang tersedia tidaklah cukup. Misalnya, di saat kita dipercaya memegang jabatan ketua RT, kita tentu dituntut untuk mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat yang kita pimpin. Namun, sangat tidak bijak jika kemudian seluruh keinginan warga kita turuti dan jalankan. Sebagian masyarakat ada yang menginginkan perbaikan jalan, sebagian menghendaki pembangunan balai RT, sedang sebagian yang lain meminta untuk dibuatkan lapangan olah raga. Ketiga keinginan itu (dan bisa saja lebih) tentu tidak serta merta dituruti oleh sang ketua RT. Perlu perundingan yang matang sehingga keputusan yang dibuat merupakan hasil kesepakatan bersama berdasarkan skala prioritas. Meskipun begitu, dapat dipastikan bahwa ada beberapa warga yang kecewa karena keinginannya tidak menjadi pilihan. Oleh sebab itu, kelompok ini akan menjadi semacam oposisi yang siap melancarkan kritik-kritik tajam di tengah perjalanan kepemimpinan seorang ketua RT.

Lalu, bagaimana cara kita menyikapi kritik tersebut? Sudah barang tentu, cara berbalik menyerang bukanlah cara tepat untuk memperbaiki keadaan. Salah satu metode bijak menghadapi kritik adalah dengan berpikir positif bahwa kritik merupakan obat mujarab untuk perbaikan kinerja kita. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kritik kadangkala justru melemahkan semangat kerja kita, namun kebesaran hati dan kelapangan jiwa seorang pemimpin memegang peran kesuksesannya memegang amanah warga yang memilihnya. Ibaratnya “anjing menggonggong, kafilah berlalu.”

Salah satu program yang harus dicanangkan oleh seorang pemimpin adalah menjaga persatuan dan kesatuan barisan. Ini merupakan kunci sukses para pemimpin dunia. Tidak ada sebuah kelompok yang berhasil meraih kecemerlangan prestasi tanpa didukung oleh semangat persatuan di dalamnya. Sebagai contoh, para pemain sepakbola harus bahu-membahu untuk mencetak gol agar mereka menjadi juara. Jika di dalam tim itu terdapat sedikit api permusuhan, jangan diharap mereka akan menang, justru dikhawatirkan ada pemain yang dengan sengaja memasukkan bola ke gawang sendiri (gol bunuh diri). Di sinilah pentingnya komunikasi dan rasa saling memaafkan. Toleransi tinggi serta rajutan kebersamaan akan menjadi alunan indah untuk mencipta harmoni kesuksesan di bidang apa pun. Semoga kita mampu mengemban amanah dengan ikhlas di bidang apapun kita berkhidmat serta mampu menyikapi kritik secara dewasa dan bijaksana. Wa Allah a’lam.

Senin, 08 Februari 2010

MAGNET GUS DUR

Meskipun Gus Dur telah wafat di ujung tahun 2009, hingga hari ini, para pengunjung makam beliau tak ada habis-habisnya. Minat para mu’izzin untuk hadir dan mendoakan beliau tak kunjung surut. Mereka datang dari bebagai kota di Jawa, dan bahkan ada sejumlah pengunjung yang berasal dari luar pulau. Kebesaran nama Gu Dur bisa dikatakan telah melampaui popularitas Suharto pada saat yang sama, yakni ketika kedua mantan presiden itu wafat. Padahal, masa bakti Gus Dur tidak lebih dari 2 tahun sementara suharto berkuasa sekitar 32 tahun. Ini menunjukkan bahwa cucu pendiri organisasi massa Nahdlatul Ulama itu memiliki peran aktif yang menyentuh hati nurani rakyat.

Peringatan 40 hari Gus Dur yang dilangsungkan di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang berlangsung meriah. Gus Mus selaku pembicara sempat mempromosikan Gus Dur untuk masuk dalam The Guinness Book of Records. Meskipun sedikit berlebihan, namun alasan di balik itu dapat dinilai wajar. Hal ini terlihat dengan antusisme para tokoh agama, tidak hanya tingkat Indonesia, tetapi bahkan tingkat internasional, memberikan penghargaan kepada Gus Dur. Di antaranya adalah penghargaan dari kepausan Vatikan, Roma. Sejumlah tokoh agama juga bersama-sama memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur dengan menggelar doa bersama.

Sabtu, 06 Februari 2010

MENJADI SEORANG MUJTAHID, WHY NOT?

Mujtahid merupakan salah satu kata populer dalam dunia fikih. Mujtahid diartikan sebagai posisi seseorang yang mampu menggunakan kemampuan intelektualnya untuk menggali hukum Islam dari sumber aslinya. Kegiatan mujtahid ini biasa disebut dengan ijtihad. Uniknya, rasulullah SAW menyatakan bahwa tidak ada yang salah dalam berijtihad, karena mujtahid yang benar dalam ijtihadnya akan mendapat dua pahala sedangkan bagi mujtahid yang salah dalam ijtihadnya akan memperoleh satu pahala. Dengan demikian, semangat berijtihad harus ditanamkan kepada setiap muslim agar mereka mampu mandiri dalam segenap kehidupannya.

Melongok literatur fikih, mujtahid dibagi dalam dua kategori besar, yakni mujtahid mustaqil (merdeka mutlak) dan mujtahid ghairu musthaqil (tidak merdeka). Mujtahid mutlak adalah mujtahid yang telah mampu menggali hukum Islam langsung dari al-Qur’an dan hadis. Mereka merupakan orang-orang yang mampu menciptakan metode (manhaj) berpikirnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Sederet nama tokoh yang menduduki posisi ini antara lain adalah empat imam madhab terkenal, yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Mereka menjadi panutan para pengikutnya baik dari sisi metodologi istinbat hukum maupun substansi hasil ijtihad. Adapun mujtahid ghairu mustaqil (tidak merdeka) adalah mujtahid madhbab, yakni orang orang yang berijtihad namun mengikuti metode guru madhabnya yang berposisi sebagai mujtahid mutlak, dan mujtahid fatwa, yakni adalah mereka yang berkedudukan sebagai pengikut mujtahid mutlak dalam mengeluarkan fatwanya.

Ditinjau dari sisi komposisi pelakunya, ijtihad terbagi menjadi ijtihad fardi (sendirian) dan ijtihad jama’i (berkelompok). Ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilaksanakan oleh seorang mujtahid pribadi sebagaimana yang dilakukan oleh mujtahid mutlak. Adapun ijtihad jama’i adalah ijtihad kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang.

Pada masa sekarang, menjadi mujtahid mutlak atau mujtahid fardi sering dianggap sulit untuk dilakukan karena dasar-dasar hukum Islam, termasuk metode istimbatnya, sudah mapan. Saat ini tinggallah mujtahid ghairu mustaqil yang dikombinasikan dengan ijtihad jama’i yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Dalam ijtihad jama’i, sekumpulan orang melakukan ijtihad untuk memutuskan hukum sebuah masalah kontemporer yang sedang dihadapi, misalnya hukum bunga bank dan hukum rokok. Majelis Ulama Indonesia, Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan Majelis Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama adalah beberapa contoh model ijtihad jama’i. Metode mereka dalam memproduk sebuah hukum antara lain dengan menelaah ayat al-Qur’an dan Hadis, meneliti pendapat-pendapat ulama dalam literatur fikih, serta menggunakan jasa tenaga ahli yang terkait dengan bidang tersebut.

Masalahnya, untuk menjadi seorang mujtahid, dibutuhkan sejumlah kemampuan kompleks yang tidak selalu dimiliki setiap orang. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika seorang Muslim awam sedang menghadapi masalah agama yang harus segera diselesaikan? Jawabnya tentu, mereka diharapkan mau berkonsultasi dengan ahlinya. Namun, bagaimana jika ia tidak sempat berkonsultasi dengan tokoh agama? Misalnya, seorang laki-laki ingin melakukan shalat di bus, sedangkan air di kendaraan itu tidak tersedia atau hanya dalam jumlah terbatas. Apakah ia boleh bertayammum? Beruntung jika bis mau berhenti di rumah makan atau pom bensin. Namun bila tidak, bagaimana ia melakukan shalatnya? Di sinilah kemudian, Prof Amin Suma (dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta) mengatakan, bahwa seorang Muslim, apapun latar belakangnya harus berani mandiri dalam mengambil keputusan ketika dalam posisi sulit, misalnya dalam kasus tadi antara bertayammum atau shalat qadha’ (mengganti/melakukan shalat di waktu lain) ketika dalam perjalanan jauh. Ia tidak harus mencari tahu terlebih dahulu tentang posisi hukumnya kepada seorang ulama karena hal itu jelas tidak mungkin.

Itulah sebabnya, menjadikan masyarakat yang memiliki pengetahuan agama mumpuni adalah kewajiban semua pihak, terutama para dai. Namun, ada satu tujuan yang harus ditekankan di sini, yakni menjadikan masyarakat semakin mandiri, bukan malah menjadikan masyarakat semakin tergantung kepada seorang sosok kiyai atau tokoh agama. Dalam kasus sederhana, seorang ulama kampung semestinya tidak memonopoli seluruh aktifitas keagamaan, misalnya dari shalat jamaah, pengajian hingga tahlilan. Ia harusnya berbagi keahlian kepada masyarakat sekitar sehingga jika suatu saat sang kiyai itu meninggal atau tidak berada di tempat, masyarakat tetap dapat menjalankan rutinitas keagamaan tanpa kendala. Ini berarti tugas pokok kiyai adalah membuat masyarakat menjadi lebih mandiri. Dengan demikian, kiyai yang sukses adalah kiyai yang mampu menciptakan masyarakat yang tidak lagi bergantung kepadanya. Salah satu caranya adalah dengan pemberian materi yang berkaitan dengan semangat berijtihad.

Kesimpulannya, ijtihad selalu diperlukan dalam menjalankan kehidupan kita, khususnya dalam ranah ritualitas. Meskipun sulit, ijtihad harus diajarkan kepada seluruh umat Islam agar mereka mampu menyesaikan masalahnya secara mandiri. Peran dai atau kiyai adalah sebagai kontrol sekaligus motivator religi yang harus menjadikan masyarakat semakin cakap dalam kehidupan keberagamaannya. Akhirnya, menjadi mujtahid yang sesuai dengan kapasitasnya adalah tanggung jawab setiap Muslim sepanjang zaman. Wa Allah a’lam.

Jumat, 05 Februari 2010

URGENLY WANTED: MANUSIA ADAPTIF…!

Menjadi manusia yang bermanfaat ternyata bukan perkara gampang. Banyak ketrampilan yang harus dikuasai agar misi yang diemban meraih sukses gemilang. Salah satu skill itu adalah kemampuan beradaptasi. Ketrampilan menyesuaikan diri ini memegang peran signifikan bahkan bisa mengungguli kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Artinya, pengetahuan sederhana yang dimiliki seseorang namun telah dipoles sedemikian rupa sehingga bisa diterima masyarakat akan lebih baik ketimbang kemampuan intelektual tinggi tapi tidak disesuaikan dengan obyek masyarakat yang dituju. Seperti kata pepatah, “masuk kandang harimau mengaum, masuk kandang kambing mengembek.” Peribahasa ini bukannya diartikan sebagai tipe manusia bunglon yang plin-plan, namun dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk menempatkan diri secara proporsional.

Salah satu contoh mudah penyesuaian diri yang berhasil adalah apa yang dilakukan oleh Walisongo. Para pemuka agama yang dikenang sebagai penyebar Islam di pulau Jawa ini terbukti sukses mengemban misinya karena mereka dapat berbaur dengan masyarakat Jawa yang kental dengan nuansa Hindu-Budhanya. Mereka tidak serta membumihanguskan tradisi yang sudah turun-temurun, seperti pementasan wayang, gamelan, atau bahkan model upacara perkawinan dan upacara pemakaman. Mereka justru memodifikasi kebiasaan masyarakat asli tersebut dengan unsur-unsur ruh Islam.

Satu hal yang ingin saya sampaikan di sini adalah tradisi tahlilan. Suatu waktu, seorang kawan saya bertanya, bolehkah kita tahlilan? Pertanyaan ini kalau disikapi secara ekstrim, apalagi menggunakan semangat primordialisme golongan, tentu jawabannya akan subyektif dan emosional, antara halal dan haram. Namun, saya mencoba menjelaskan masalah ini dengan menggunakan perspektif sosiologis. Dengan kacamata ini, perilaku masyarakat dapat dianalisis melalui pendekatan psikologi sosial. Lebih mudahnya, seseorang yang bergaul dalam masyarakat majemuk akan mudah diterima jika ia dapat menghargai tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Kondisi kejiwaan masyarakat perlu diselami agar tidak menimbulkan kegoncangan sosial yang dasyat. Berkaitan dengan hal ini, Walisongo sedikit demi sedikit telah memasukkan substansi Islam sehingga mampu dikenali dan diterima oleh logika berpikir mereka. “Bicaralah kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan akalnya”, demikian sebuah nasehat Arab yang mengingatkan agar para dai menyampaikan dakwahnya sesuai dengan kapasitas intelektual masyarakat. Oleh sebab itu, Walisongo mencoba menerapkan metode “mengambil bungkusnya dan mengganti isinya.”

Kembali kepada tradisi tahlilan, kegiatan ini dapat dikatakan sebagai modifikasi yang dilakukan para wali untuk menggantikan acara “melek’an” (begadang) yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa selama tujuh hari dalam rangka menghibur keluarga yang ditimpa musibah kematian. Mereka biasanya menggunakan kesempatan malam-malam itu untuk ngerumpi, main judi, dan menenggak minuman keras. Kebiasaan buruk ini kemudian dikemas oleh para wali Allah dengan nuansa agamis, yakni mereka diajak untuk membaca tahlil selama tujuh hari berturut-turut. Kegiatan ini tentu lebih mudah diterima karena kebiasaan mereka begadang masih bisa dilakukan namun bukan untuk maksiat melainkan untuk ibadah. Tradisi tahlilan akhirnya menjadi kultur baru yang bernilai positif dan layak dilestarikan hingga saat ini.

Akhirnya, menjadi manusia adaptif jelaslah diperlukan di saat masyarakat ini semakin heterogen. Memaksakan suatu pendapat dan keyakinan kepada orang lain hanya akan menyebabkan iritasi yang merugikan jika tidak dikomunikasikan secara hati-hati, bertahap, dan berwawasan sosiologis. Oleh karenanya, ketrampilan membaca situasi psikologis sebuah komunitas nampaknya menjadi satu keharusan bagi seseorang yang bercita-cita ingin menjadi insan yang berguna bagi masyarakat luas. Wa Allah a’lam.

Kamis, 04 Februari 2010

PRAKTIK WAKAF DI KERAJAAN YORDANIA AL-HASYIMIYAH

Permasalahan wakaf dan perkembangannya merupakan topik yang hangat. Memperhatikan aturan wakaf yang berkembang di masyarakat muslim, dan hartanya yang berpengaruh secara ekonomi dan sosial telah menarik perhatian umat Islam sejak masa rasul hingga masa-masa setelahnya.

Menelaah ajaran yang dikandung dalam al-qur’an dan sunnah serta pendapat para ulama tentang wakaf dapat ditemukan bahwa fikih Islam mengandung ajaran yang mengajak untuk berbuat kebaikan. Beranjak dari dasar itu, wakaf memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat Islam sepanjang sejarah.

Pada bagian ini akan dipaparkan tentang praktik wakaf di kerajaan Yordania, perjuangan kementrian wakaf dan urusan Islam di bidang wakaf. Sebelum itu, perlu dijelaskan sedikit tentang kerajaan Yordania. Penduduknya diperkirakan sekitar 6,3 juta pada tahun 2009. Negara ini berbatasan dengan Syiria, Saudi Arabia, Iraq, dan Palestina. Ibukotanya adalah Amman. 92% penduduknya adalah Muslim dengan sunni sebagai madzhab mayoritas. Yordania termasuk salah satu negara yang memiliki pendapatan perkapita (GDP) terbesar di dunia Arab. Negara ini juga dianggap sebagai salah satu negara yang bersih (clean government).


1. Hukum Positif tentang Wakaf di Yordania
Urusan wakaf di Yordania diatur dalam peraturan pengelolaan wakaf Usmani yang diterbitkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H. Aturan ini berlaku hingga munculnya undang-undang baru tentang wakaf tahun 1946 M.

Dalam undang-undang dasar yang disahkan pada tanggal 19 april 1928, perhatian terhadap wakaf sudah dilakukan seperti terlihat dalam pasal 61 yang menyebutkan bahwa urusan wakaf dan manajemen keuangannya ditentukan secara khusus dalam sebuah undang-undang. Kemaslahatan wakaf dianggap sebagai salah satu kemaslahatan pemerintah. Ketika diumumkan tentang pendirian kerajaan Yordania pada tanggal 25 Mei 1946, undang-undangnya menguatkan hal tersebut dengan dikeluarkannya pasal 63 yang memberikan perhatian khusus terhadap wakaf. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah undang-undang wakaf nomor 25 tahun 1946.

Ada hal yang perlu diperhatikan di sini bahwa undang-undang dasar untuk pemerintahan Yordania, kemudian undang-undang kerajaan tahun 1946 telah menunjukkan secara bersamaan bahwa pengaturan wakaf dan manajemen keuangan dan semacamnya diatur dengan udang-undang khusus, sebagai penunjuk kekhasan wakaf yang bebas dan juga penunjuk bahwa harta wakaf tidak boleh dicampur dengan harta-harta lain yang sifatnya umum. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, wakaf telah diposisikan secara istimewa di Yordania.

Ketika muncul undang-undang kerajaan tahun 1952 pada masa raja Thalal bin Abdullah, dibuatlah pasal 107 yang memuat pasal 63 undang-undang tahun 1946. Pada masa ini ditetapkan bahwa hanya Mahkamah Syar’iyyah memiliki hak untuk memutuskan perkara wakaf sesuai dengan peraturannya yang khususnya. Juga disebutkan bahwa mahkamah tersebut harus menerapkan hukum-hukum syara’.

Perubahan yang paling penting adalah ketika menyebut undang-undang ini dengan sebutan undang-undang wakaf dan urusan Islam pada tahun 1968. Dengan demikian, urusan kementrian wakaf tidak hanya masalah wakaf tapi lebih luas.

2. Pensyariatan Wakaf di Yordania
Kementrian wakaf dan urusan Islam bertanggungjawab tentang pendayagunaan wakaf yang didasarkan pada ajaran syariah dengan tetap memperhatikan keinginan wakif. Untuk itu, dibuatlah suatu undang-undang yang khusus membahas tentang wakaf dengan pasal-pasal yang bebas, yaitu, pasal 3, bab II, dari kitab ketiga yang mengandung pasal 1233-1270 yang isinya antara lain mengatur penyewaan wakaf.

3. Manajemen Lembaga Wakaf di Yordania
Kementrian wakaf dan perkara Islam menangani manajemen wakaf khairi. Wakaf-wakaf itu telah memiliki bukti tercatat di wilayah tanah dan lapangan. Dan wakaf-wakaf yang diwakafkan dan didaftarkan sebagai wakaf atas nama kementrian secara langsung, atau penamaan wakaf sesuai dengan pemiliknya. Hal ini dilakukan untuk penyempurnaan pencatatan wakaf yang sudah dilakukan pada masa sebelumnya. Adapun wakaf dhurri, pengurusannya diserahkan kepada ahli waris namun tetap di bawah pengawasan pengadilan syariah.

4. Bentuk Organisasi Kementrian Wakaf
Berdasarkan peraturan tahun 1997 nomor 16, manajemen organisasi untuk kementrian disusun sebagai berikut:
1. Sekretaris jenderal
2. Wakil sekretaris jenderal bidang administrasi dan keuangan
3. Wakil sekretaris jenderal bidang dakwah dan pengembangan Islam
4. Wakil sekretaris jenderal bidang wakaf
5. Wakil sekretaris jenderal bidang pemeliharaan tempat suci
Adapun peran wakaf dalam pengembangan sosial di Yordania adalah untuk masjid, sekolah dan universitas, panti asuhan anak yatim, dan pusat kesehatan. Sedangkan dalam bidang ekonomi di antaranya adalah pengembangan pertanian dan penyewaan tanah.

PERPANJANGAN GARANSI, KOK ADA YA...

Kemarin pagi, pesawat seluler saya mengalami kerusakan pada bagian layar. Ada garis-garis hitam yang mengaburkan tulisan atau gambar. saya kemudian langsung membawanya ke kantor Nokia perwakilan cabang Semarang yang berlokasi di jalan Pemuda. Saat diperiksa, LCD seluler itu memang harus diganti. Saya pun tidak keberatan untuk proses penggantian demi kembalinya fungsi penting itu. Praktis aktifitas komunikasi saya mulai kemarin sempat mengalami kendala.

Pagi ini, saya mendapat sms dari pihak Nokia, bahwa telepon seluler telah selesai diperbaiki. Saya pun menyempatkan waktu untuk bertandang kembali ke kantor Nokia untuk mengambil barang tersebut. Sesampai di sana, saya mengambil nomor urut antrian. Ketika tiba giliran saya, saya menemui bagian pengambilan barang. Saya senang bahwa LCD seluler saya diganti dengan LCD baru dan tanpa dikenai biaya apapun. Wah, beruntung, seluler saya masih dalam masa garansi, padahal tinggal satu minggu lagi masanya habis. Kalu tidak, bisa bolong juga kantong ini!!! he he he

Satu hal yang menarik dari pengalaman hari ini adalah bahwa masa garansi Nokia dapat diperpanjang satu tahun dengan syarat masih dalam periode garansi. Biaya perpanjangan memang dikenakan sih, namun tergantung tipenya, dari mulai sekitar Rp 45.000 hingga Rp. 200.000,-. Meskipun kita tidak ingin barang kita mengalami kerusakan, namun jaminan perbaikan bebas bea selama setahun kedepan nampaknya bisa menjadi salah satu pilihan bagi pelanggan yang membutuhkan. Ini merupakan terobosan baru untuk melindungi konsumen lebih sempurna.

Demikian info ringan hari ini, semoga bermanfaat. Okay

Rabu, 03 Februari 2010

"MENGEJAR EMAS –EMAS"

Frase “Mengejar Emas-Emas” bagi saya cukup menggelitik. Kalimat tak bersubyek itu pernah dipakai oleh sebuah bank dalam mempromosikan produknya yang memberikan peluang bagi nasabah untuk memperoleh emas batangan murni. Sebelumnya, kita pernah melihat sebuah film anak negeri yang berjudul mirip, “Mengejar Mas-Mas.” Film yang bergenre komedi ini sempat populer beberapa tahun yang lalu. Pertanyaannya kemudian, mengapa bank itu menggunakan kalimat “Mengejar Emas-Emas,” bukan yang lain, misalnya “Meraih Emas Impian”?

Dalam memproduksi iklan, sering kita jumpai pendomplengan terhadap sesuatu yang sudah biasa kita dengar, lihat, atau alami. Pertimbangan semacam ini dimaksudkan agar pesan iklan mudah sampai dan akan dikenang dalam waktu yang lama. Buktinya, saya masih ingat dengan kalimat di atas, kan? Itu efek tidak langsung dari iklan. Contoh lain, saat SBY mempromosikan diri di televisi, ia menggunakan jingle Indomie sebagai dasar iramanya. Begitu pula, JK memodifikasi beberapa lagu daerah yang akrab di telinga untuk memberikan kesan nasionalnya. Hal ini termasuk juga diharapkan akan menyuguhkan suasana akrab bagi pendengarnya.

Apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini? Paling tidak, kita dapat belajar bahwa untuk memproduksi suatu karya, apapun karya itu: bisa sebuah lembaga, tulisan, makanan, tarian, atau arsitektur, tidaklah mesti merupakan produk yang sama sekali baru. Kita bisa memodifikasi produk lama dengan warna dan selera baru. Hal ini juga dikenal dalam dunia pendidikan dengan konsep 3N, yakni “Nurun, Niru, dan Nambahi.” Nurun berarti mencontek seperti aslinya, Niru maksudnya membuat sesuatu yang mirip dengan aslinya, sedangkan nambahi artinya memberikan polesan sehingga mampu memberikan nuansa berbeda dari aslinya. Dalam konsep 3N terkandung sebuah proses kreatif yang dapat menghindarkan seseorang dari aktifitas plagiarisme.

Plagiarisme merupakan tantangan dalam dunia hak cipta atau hak kekayaan intelektual. Kebiasaan mencontek tanpa sentuhan kreatif dapat dituntut di meja hijau. Ia bisa dipidana karena memalsukan barang. Seorang sarjana yang membuat karya jiplakan akan ditarik gelar akademiknya. Sebuah perusahaan yang membuat barang tiruan akan digerebek dan terancam gulung tikar. Oleh sebab itu, demi menghindari penjiplakan, kegiatan Nambahi menjadi suatu keniscayaan.

Kesimpulannya, membuat sebuah karya perlu proses kreatifitas tinggi. Inspirasi boleh diperoleh dari produk lama, namun harus ada kemampuan memoles produk itu sehingga menjadi sesuatu yang berbeda dari pendahulunya. Beruntung bila kita bisa membuat sesuatu yang benar-benar baru. Namun, untuk membuat karya otentik membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karenanya, menggunakan prinsip 3N akan memudahkan kita membuat karya bernuansa baru yang terinspirasi dari karya sebelumnya. Dengan demikian, kita akan terlepas dari jerat hukum atas dasar plagiarisme. Wa Allah a’lam.

Selasa, 02 Februari 2010

TIPS MEMBUAT TULISAN SINGKAT BERKUALITAS

Manusia selalu haus akan informasi. Informasi yang dibutuhkan tentu tidak cukup jika hanya mengandalkan bahasa lisan. Selain waktunya terbatas, bahasa lisan cenderung bersifat habis sekali pakai. Artinya, bahasa lisan hanya sekali disampaikan, sekali didengar, lalu hilang. Berbeda halnya dengan bahasa tulis. Penikmat tulisan tidak harus satu forum dengan sang penulis. Selain itu, kandungan tulisan tidak mesti dipahami dalam satu kali membaca. Masih ada kesempatan untuk merenung dan berdiskusi lebih mendalam tentang isi tulisan. Dengan demikian, sepanjang tulisan itu masih ada, selama itu pula kesempatan untuk membaca dan menghayati isinya tetap tersedia. Oleh sebab itu, ketrampilan menulis menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pecinta tulisan.

Menulis adalah aktifitas pencurahan pikiran melalui rangkaian kata dan kalimat yang membentuk sebuah paragraf. Paragraf demi paragraf akan saling berkait berkelindan sehingga mampu mewakili isi hati sang penulis. Sebenarnya, tulisan sederhana tapi bagus dapat dihasilkan tanpa harus banyak merenung atau berpikir. Ada beberapa cara yang dapat menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana aktualisasi diri yang menyenangkan. Berikut ini ada beberapa kiat untuk membuat tulisan singkat namun berkualitas.

1. Aktifitas menulis dapat diawali dengan munculnya ide sembarang yang melintas di benak kita. Misalnya, tiba-tiba kita melihat tingkah laku anak kita yang lucu, hujan yang terus-menerus sepanjang hari, listrik yang sering padam, penghasilan bulan ini yang naik turun, atau kawan baru yang menjengkelkan. Ide semacam itu bisa kita jadikan sebagai ide utama.

2. Jika kita sudah menemukan topik tulisan, kita bisa mulai dengan menulis kata-kata kuncinya, lalu diikuti dengan beberapa kata pendukung yang menguatkannya. Contoh-contoh simpel dan ringkas dapat pula kita inventarisasi sekalian.

3. Kemudian, tibalah saatnya kita merangkai kata-kata kunci dan pendukungnya dalam bentuk kalimat-kalimat yang utuh. Untuk memudahkan penulisan, ada satu alur cerita yang umumnya dapat memudahkan orang lain memahami tulisan kita dengan cepat. Alur tersebut terdiri dari paragraf pembuka, beberapa paragraf inti, kemudian diakhiri dengan paragraf penutup.

4. Paragraf pembuka biasanya diisi dengan kalimat-kalimat global yang dapat mengantarkan pembaca untuk memasuki topik inti yang akan kita sampaikan. Misalnya, kita ingin menulis tentang pentingnya membaca al-Qur’an. Saat mengawali tulisan, ada baiknya kita sampaikan tentang seluk beluk al-Qur’an, fungsi al-Qur’an dalam kehidupan, baru kemudian masuk pembicaraan tentang pentingnya membaca al-Qur’an. Dalam contoh lain, kita ingin menyampaikan kepada masyarakat tentang peranan ketua takmir dalam meningkatkan semangat keberagamaan masyarakat. Kita tidak langsung menulis peran ketua takmir, tetapi kita giring pembaca tentang pentingnya sebuah tempat ibadah di sebuah komunitas, lalu manfaat penguatan keberagamaan di masyarakat, barulah masuk kepada pembahasan sosok penentu keberhasilan sebuah kegiatan ritual di tempat ibadah, yakni ketua takmir.

5. Pada paragraf selanjutnya--mungkin butuh sekitar 2-4 paragraf--bisa diisi tentang uraian yang mendukung topik utama. Dalam setiap paragraf penjelas ini terkandung satu pokok pikiran yang disebutkan dalam kalimat utama. Kalimat utama ini umumnya diletakkan di awal paragraf lalu dikuti dengan kalimat-kalimat penjelasnya. Adapun kalimat penjelas ini tentu lebih spesifik yang isinya antara lain contoh-contoh yang bisa menguatkan kalimat utama. Misalnya, peranan pertama ketua takmir adalah menjadi teladan dalam kehidupan keluarga. Mengapa demikian? Uraian tentang alasan-alasan pendukung kalimat utama itu di sampaikan dalam kalimat-kalimat pendukung. Kita bisa lengkapi paragraf ini dengan sebuah contoh ketua takmir yang sukses menjadi panutan dalam kehidupan berumahtangga.

6. Setelah uraian panjang tentang paragraf isi, di akhir tulisan, perlu dibuat sebuah paragraf penutup yang fungsinya menegaskan kembali ide utama tulisan. Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan kembali maksud yang diinginkan penulis. Ada satu catatan di bagian ini, bahwa penulis harus konsisten saat membuat paragraf penutup. Ketika di awal paragraf ia mengatakan bahwa ia setuju dengan peran stategis ketua takmir, maka di paragraf akhir, penulis harus menyatakan kembali persetujuannya itu dengan redaksi kalimat yang berbeda tapi substansinya sama. Tentu sangat naif jika di awal tulisan, penulis setuju dengan peran penting ketua takmir namun di akhir tulisan ia menyatakan bahwa ketua takmir bukanlah posisi publik yang menentukan keberagamaan masyarakat.

Demikian, tips singkat membuat tulisan sederhana, semoga bermanfaat. Selamat mencoba!

Senin, 01 Februari 2010

TANGISAN ITU...

Di pagi yang gelap ini
Tangisan itu meledak lagi
Satu sukma telah pergi
Kembali ke haribaan ilahi

Entah sudah berapa kali
Kematian datang silih berganti
Tak pandang usia tak hirau posisi
Jika sudah waktunya, tak ada yang bisa lari

Wahai Tuhan kami,
Mengapa di kampung ini
Dengan jumlah yang tidak tinggi
Kau ambil satu demi satu warga kami
Menghadap-Mu tanpa permisi

Tergetar hati kami
Betapa usia begitu mudah diakhiri
Dewasa, anak-anak, hingga bayi
Sekali pergi tak akan kembali

Kami yang ditinggalkan ini
Mohon kasih sayang-Mu yang tak terperi
Ampuni dosa dan kesalahan kami
Agar hidup bersinar kembali

Introduction