Jumat, 05 Desember 2008

KURBAN PRODUKTIF, MUNGKINKAH?


Berbicara tentang sisi filantropi Islam, pikiran kita umumnya langsung tertuju pada Zakat Infak dan Sedekah (ZIS). ZIS memang diakui sebagai salah satu motor penggerak distribusi kekayaan dari kaum kaya (the have) kepada kaum papa (the have not). Tak pelak, banyak lembaga-lembaga pengelola yang kini menjamur setelah digulirkannya Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Saat ini lebih dari 15 LAZ yang berskala nasional ditambah lagi kekuatan BAZ dari tingkat nasional hingga kecamatan. Ini merupakan pertanda baik bahwa jaringan pemberdayaan zakat sudah mengakar di masyarakat.

Selain zakat, bidang filantropi lain yang kini sedang naik daun adalah wakaf. Dulu, wakaf identik dengan sepetak tanah yang digunakan untuk kegiatan religius, seperti masjid, madrasah, dan panti asuhan. Dengan berkembangnya ijtihad modern yang terus bergulir, kini wakaf tidak lagi terbatas pada benda-benda tak bergerak seperti yang ditur dalam Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Wakaf buku, kendaraan, atau bahkan uang sudah bukan barang baru lagi dalam wacana keagamaan bangsa ini. Produk perbankan yang berupa wakaf tunai kini sudah diluncurkan sehingga nampaknya tiada lagi alasan untuk tidak ikut serta dalam program shadaqah jariyah demi tabungan akhirat kita kelak.

Selain dua hal di atas, ada satu bidang lagi yang tak kalah pentingnya dalam upaya menyejahterakan masyarakat, yakni ibadah kurban yang tiap tahun dilakukan oleh umat Islam. Ribuan atau mungkin bahkan ratusan ribu ekor sapi dan kambing disembelih untuk menandai rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang tercurahkan selama ini. Antrian panjang masyarakat untuk mendapatkan bagian daging mengingatkan kita kepada barisan panjang mengular pada bulan Ramadhan demi sepaket zakat fitrah atau zakat mal yang dibagikan. Baru-baru ini tragedi Pasuruan (15/9) menjadi pelajaran kita untuk dapat mengorganisasi pendistribusian daging kurban yang akan kita laksanakan tahun ini.

Dalam rangka menfasilitasi mereka yang hendak berkurban, kini berbondong-bondong lembaga yang biasa mengurus zakat memberikan tawaran penyaluran hewan kurban. Berbagai poster dan spanduk terbentang di pelbagai sudut kota dengan untaian kalimat yang menyentuh hati agar segera berderma. Belum lagi di lembaran koran dan layar internet, promosi sekaligus harga perekor dapat kita jumpai dengan mudahnya. Permasalahannya kemudian, haruskah dana yang telah dibayarkan si calon pemberi kurban digunakan untuk membeli hewan kurban? Atau dengan kata lain, mungkinkah hewan kurban diganti dengan uang?

Pertanyaan di atas mungkin dianggap mengada-ada. Di saat masyarakat kita terhimpit dengan berbagai masalah ekonomi bertubi-tubi, yang sangat mungkin banyak orang yang tak mampu membeli sepotong daging, hari raya Idul Adha adalah momen yang ditunggu untuk menikmati daging gratis sepuasnya. Mereka akan menikmati sate dan gulai dengan aneka aroma dan rasa tanpa dibebani untuk mengelurkan uang. Pendeknya, hari raya Idul Adha adalah pesta daging, setidaknya selama empat hari, mulai tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah.

Namun, ada hal lain yang perlu dipikirkan. Haruskah pesta itu harus berakhir sekejap? Tidak adakah kebutuhan lain yang justru lebih mendesak? Apa artinya pesta sehari kemudian harus lapar satu minggu? Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu menjadi renungan bersama. Dalam ajaran agama, kurban tergolong ibadah sunnah, meskipun sebagian ulama mengatakan wajib. Ayat yang sering disitir oleh para muballigh adalah surat al-Kautsar: 2 yang artinya “maka dirikanlah shalat untuk tuhanmu dan berkurbanlah.” Kata “berkurbanlah” mengandung arti perintah, yang dapat bermakna wajib atau sunnah tergantung argumentasi yang diberikan. Bagi kelompok yang mewajibkan dapat beralasan bahwa setiap kalimat perintah bermuatan hukum wajib (al-ashlu fi al-amr li al-wujub). Adapun kelompok yang menyatakan sunnah dapat berargumen bahwa nabi tidak mengharuskan para sahabatnya untuk memberikan kurbannya, namun bagi yang mampu sangat dianjurkan, sebagai salah satu bentuk distribusi harta sehingga tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja.

Kalkulasi sederhana jika hewan korban diuangkan nampaknya jauh lebih besar jumlahnya ketimbang zakat fitrah yang hanya sekitar Rp. 10.000, atau zakat mal yang hanya 2.5% dari harta, itupun masih banyak mengelak dengan argumen zakat mal diambil dari sisa bersih penghasilan. Padahal, kita sering mengeluh kekurangan ini dan itu karena banyaknya keinginan dan kebutuhan kita daripada pendapatan, sebesar apapun penghasilan kita. Nah, kalau hewan kurban dengan harga minimal kambing sekarang sekitar Rp. 700.000 atau sapi sekitar Rp. 7.000.000, tentu jumlah nominal rupiah cukup signifikan. Mushala dekat rumah, sebagai contoh, zakat fitrah yang terkumpul paling banter sekitar 200 kg setara dengan Rp. 1.000.000, padahal kalau musim kurban ini mushala itu menerima lebih dari 3 ekor kambing dan 1 ekor sapi. Dengan demikian, jika diuangkan dana yang dikumpulkan untuk kurban sekitar Rp. 10.000.000. Ini berarti sepuluh kali lipat pendapatan zakat!

Kalau kemudian jika kurban disembelih, paling lama orang-orang akan menikmati daging hari itu dan satu hari setelahnya. Orang-orang kaya yang biasa makan dagingpun tak jarang juga mendapat bagian. Alhasil, pesta itu hanya beberapa hari saja dan bukan hanya dinikmati mereka yang secara ekonomi kurang beruntung. Andaikata dana tersebut digunakan untuk modal usaha, tentu anggota masyarakat yang kurang mampu akan lebih dapat meningkatkan perekonomiannya. Dana Rp. 10.000.000 itu bolehlah separohnya dibelikan hewan kurban, selebihnya setidaknya dapat digunakan untuk memberikan modal bagi 2-5 orang untuk hendak memulai usaha. Bukankah ini bisa membantu usaha pemerintah memerangi kemiskinan, lebih-lebih saat krisis ekonomi global sekarang ini?

Ide ini boleh jadi akan mendapat tantangan atau bahkan kecaman dari beberapa pihak yang cenderung mengartikan inti ibadah kurban adalah penyembelihan dan pengaliran darah yang menjadi simbol penyembelihan sifat kebinatangan manusia yang suka berkelahi, tamak, dan congkak. Begitu pula, ibadah yang satu ini merupakan manifestasi ketundukan kita pada ajaran nabi Ibrahim, Sang Hanif, yang rela mengorbankan putra satu-satunya demi cintanya kepada Allah. Bahkan, ia pun rela dibakar hidup-hidup demi mempertahankan imannya. Tapi permasalahannya apakah sifat pengorbanan ini mutlak atau masih bisa ditafsirkan? Nampaknya, kalau melihat dari sisi semangat berkorban, bolehlah kalau kemudian kita sepakat bahwa kurban masih harus dengan hewan. Tapi, bukankah kita mengakui ijtihad zakat yang diperluas maknanya hingga muncul zakat profesi dan investasi, lalu kita juga mengakui wakaf tunai yang jelas-jelas tidak ada pada zaman Nabi? Lalu bid’ahkah kita? Sejak kapan? Tentu bukan sejak kita menyetujui adanya kurban tunai atau kurban produktif.

Setidaknya ada beberapa dalil agama yang dapat kita gunakan sebagai landasan perlunya kurban produktif. Dalam kitab-kitab kuning pegangan pesantren, umumnya atau bahkan hampir semuanya, tidak ada yang menyinggung soal zakat produktif ini. Namun, dalam kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, setidaknya ada indikasi bahwa dua sahabat Nabi melakukan kurban dengan sejumlah uang dan seekor ayam. Riwayat tersebut menuturkan bahwa Ikrimah pernah diberi uang dua dirham oleh Ibnu `Abbas untuk membeli daging, dengan pesan, "Terhadap orang yang bertemu denganmu (dan menanyakan ihwal daging ini), katakan kepadanya bahwa ini adalah (daging) kurban Ibn `Abbas". Riwayat lainnya mengatakan bahwa Bilal pernah berkurban dengan seekor ayam jantan. Meskipun dalil tersebut mungkin dianggap lemah, namun semangat yang dibawa menunjukkan bahwa berkurban itu perlu, tidak meski menunggu kaya. Namun, jika diselami lebih mendalam, ajaran tersebut menandakan era baru kurban kita.

Dalil yang cukup kuat adalah sebuah hadis yang menjelaskan larangan Nabi untuk menyimpan daging kurban hingga tiga hari karena dikawatirkan ada orang lain yang tidak kebagian. Namun, ketika diketahui bahwa orang orang sudah dapat bagian semuanya maka Nabi pun membolehkan untuk menyimpan lebih dari tiga hari (Hadis Riwayat Muslim, nomor 3561). Hal ini dapat ditafsirkan bahwa daging kurban tersebut dapat disimpan lebih dari tiga hari bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih besar, bukan hanya untuk kepentingan konsumtif. Hal yang sama telah berlaku dalam zakat mal yang penunaiannya harus pada waktu yang ditentukan (haul), namun distribusinya bisa dilakukan hingga satu tahun ke depan. Ini berarti peluang untuk kurban produtif semakin terbuka lebar.

Dasar hukum yang juga mendukung ide di atas adalah ayat al-Qur’an surah Al-Hajj: 38, "Tidak akan sampai kepada Allah dagingnya, dan tidak pula darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu sekalian." Ayat ini menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan Allah bukan daging dan bukan pula darah, namun "pengurbanan" itu sendiri. Jadi, semangat berkurban dengan menolong sesama tidak terbatas pada pengaliran darah hewan kurban, tapi dibabatnya sifat ego yang bersarang dalam diri kita.

Ide mengganti hewan kurban dengan uang sebenarnya pernah juga dilontarkan beberapa pakar kita seperti Prof Atho Muzhar, Jakarta dan Prof. Afif Muhammad, Bandung. Alasan yang mereka sampaikan cukup simpel. Potensi binatang kurban di Indonesia cukup besar. Jika dibayar dengan uang, kemungkinan penanganannya lebih mudah dan bernilai manfaat lebih besar. Dengan demikian, sudah saatnya kita memanfaatkan potensi ekonomi yang terkandung dalam Islam guna membangun ekonomi berbasis kerakyatan. Rasanya tidak salah jika kemudian kurban produktif yang menjanjikan pemanfaatan yang lebih bermakna untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat kita terapkan dengan penuh keikhlasan. Wa Allah A’lam.

Rabu, 22 Oktober 2008

Rekonstruksi Zakat untuk Kemanusiaan

http://gp-ansor.org/wp-content/uploads/2008/06/buku.bmpJudul Buku : Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas
Penulis : Sudirman, MA
Penerbit : UIN Malang Press, Malang
Cetakan : I, 2007
Tebal : xiv + 178 halaman
Peresensi : M. Abdul Hady JM, Editor Buku, Fungsionaris PC. IPNU Sumenep Madura.

Dalam disiplin fiqh dan hadits, zakat ditempatkan pada pilar Islam yang yang ketiga setelah shalat. Zakat memiliki kedudukan sangat penting dalam Islam (Al Quran). Setidaknya, ada sekitar 30 ayat dalam Al Quran yang menerangkan zakat dan sekitar 27 ayat diantaranya kata zakat disebutkan secara bersamaan dengan perintah shalat.

Sebagaimana ritual lainnya dalam Islam, zakat menyimpan beberapa dimensi yang sangat kompleks. Kalau puasa sebagai ritual penyucian diri, maka zakat lebih diorientasikan untuk pensucian harta dan rasa solidaritas kemanusiaan. Sebab, pada hakikatnya sebagian harta yang dimiliki merupakan hak bagi orang lain yang masuk dalam kategori orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 orang golongan.

Zakat sesungguhnya merupakan potensi ekonomi yang amat besar bagi bangsa Indonesia. Jika kita menengok jumlah muslim yang mayoritas di negara kita, maka zakat bisa menjadi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Jumlah muslim yang 90% dari total populasi 200 juta, maka hal ini setidaknya sedikit mengurangi atau minimal menekan eskalasi kemiskinan.

Faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Maka, salah satu solusi pengentasan cengkeraman kemiskinan tentu saja dibutuhkan pengelolaan zakat yang tepat, lebih modern dan berdaya guna. Sebab, jika pengelolaan zakat tersebut dapat dilakukan dengan baik maka maka persoalan sosial seperti TKI terlantar, pengungsi, anak jalanan, anak putus sekolah, dan pengangguran akan dapat teratasi.

Sejarah telah mencatat bahwa fenomena fakir-miskin sudah menjadi bagian problem kemanusiaan yang akan tetap eksis sepanjang rode kehidupan manusia. Untuk itulah, zakat sebagai piranti pengentas kemiskinan dengan berbagai modifikasi sejalan dengan perkembangan zaman tampaknya merupakan jawaban yang cukup tepat.

Setidaknya dalam konteks ini, buku ”Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas” menjadi sangat penting. Sebab, selain menawarkan konsep menajemen modern dalam pengelolaan zakat, Sudirman penulis buku ini juga menyuguhkan rekonstruksi konsep zakat yang lebih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Rekonstruksi konsep zakat di sini diartikan sebagai upaya pemaknaan ulang zakat dalam hal-hal yang bersifat praktis, bukan dalam ranah konsep dasar zakat. Rekonstruksi di sini tidak dimasudkan untuk merubah hukum zakat dari wajib menjadi sunnah, namun lebih pada waliayah ijtihadi zakat yang bisa dikembangkan sesuai dengan irama perjalanan zaman. (h. 58)

Dalam kondisi apa pun sejak diperintahkan hingga kini, zakat hukumnya tetap wajib, hanya yang perlu direnungi ulang adalah barang apa saja yang harus dizakati. Selama ini, zakat hanya diasumsikan kepada zakat fitrah dan lima jenis zakat yang sudah umum dibincangkan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Kelima sumber zakat itu adalah zakat emas, perak, pertanian, peternakan, perdagangan, dan barang temuan. Padahal saat ini banyak sumber-sumber penghasilan yang justru lebih besar dari pada kelima jenis tersebut.

Dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat, misalnya kini masyarakat mengenal budidaya tanaman organik dan hidroponik, ikan hias, burung langka hingga perdagangan saham di pasar modal. Usaha semacam ini akan memberikan hasil yang berlipat ganda dan belum ditemukan pada zaman Muhammad dan ulama-ulama fiqh klasik.

Yusuf Qardawi, ulama kontemporer, menambahkan materi zakat yang wajib dizakati selain kelima materi zakat tersebut di atas, yaitu antara lain, zakat investasi pabrik, jasa, profesi, saham, dan obligasi. Pengembangan konsep dan meteri zakat, menurut Qardawi disebabkan adanya konpleksitas sistem perekomian dan kemampuan manusia menguasai kekayaan alam. Sehingga, umat Islam pada zaman modern saat ini untuk memperoleh penghasilan yang memiliki nilai ekonomis menjadi sangat banyak.

Selain itu, bagi Sudirman, perlu juga pemaknaan ulang terhadap pengertian muzakki (orang kaya yang wajib mengeluarkan zakat) dan mustahiq zakat. Pada zaman klasik, seseorang akan dianggap kaya apabila ia memiliki emas, dan perak, memiliki kebun buah-buahan dan hasil pertanian yang banyak, binatang ternak dan atau harta perdagangan yang sangat melimpah. Namun, sejak dikembangkan bank dan pasar modal sebagai lembaga ekonomi, dterapkan sains dan teknologi dalam kegiatan budidaya, dipakainya keahlian dan ketrampilan diri sebagai komuditas, orang sekarang menjadi kaya bukan saja karena menyimpan emas dan perak atau memiliki binatang ternak, tetapi lebih karena memiliki deposito yang banyak pada bank, memiliki saham di beberapa perusahaan besar.

Berbeda dengan pengertian orang miskin (diantara 8 golongan yang berhak mendapat zakat) pada masa dulu, kemiskinan saat ini bukan saja ditentukan oleh kepemilikan kekayaan secara individual, tetapi tergantung juga dari tingkat kehidupan ekonomi suatu bangsa dan kualitas diri manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, definisi kemiskinan antara satu bangsa denga bangsa satunya akan berbeda. Di Brunai orang dianggap miskin dan berhak menerima zakat bila ia berpenghasilan sekitar $ 1. 180 atau sekitar Rp. 6.700.000, padahal untukm ukuran Indonesia penghasilan sebesar itu adalah termasuk orang kaya. Sebab, di Indonesia orang dianggap cukup atau kaya bila ia berpenghasilan sekitar Rp. 1.000.000 (h. 68).

Buku ini tampaknya memiliki urgensi yang sangat penting untuk dijadikan referensi dan acuan bagi semua pihak, terutama bagi para tokoh-tokoh agama. Sebab, buku ini telah memulai langkah awal yang cukup cemerlang dalam rangka upaya penyelesaian berbagai problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dengan tawaran rekonstruksi beberapa konsep zakat. Akhirya selamat membaca !.

Selasa, 14 Oktober 2008

BELAJAR DARI TRAGEDI ZAKAT PASURUAN

Tanggal 15 September yang lalu, kita dikejutkan dengan pemberitaan media massa tentang pembagian zakat yang menelan korban meninggal dunia sebanyak 21 orang, 10 orang kritis, dan puluhan lain luka-luka. Peristiwa ini terjadi saat seorang saudagar kaya di Pasuruan membagikan zakat mal di depan rumahnya. Ribuan korban yang berdesakan mengakibatkan banyaknya jatuh korban sia-sia. Kasus semacam ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi di negeri kita. Hampir setiap tahun, khususnya di bulan Ramadhan, kaum fakir miskin yang terhimpit ekonomi harus rela berjam-jam antri di bawah terik panas matahari dan bisa jadi akan menjadi korban dalam pembagian zakat. Sebut saja kasus pembagian zakat orang kaya di Gresik (28/09/2007) atau di sebuah perusahaan rokok ternama di Kediri (10/10/2007) yang menyebabkan banyak korban terinjak, luka, atau bahkan meninggal.

Berangkat dari kenyataan tersebut, muncul pertanyaan di benak kita, apa yang salah dalam kegiatan pembagian zakat sehingga harus memakan korban? Dalam kondisi bangsa yang saat ini secara ekonomi belum stabil ditambah dengan tingkat daya beli masyarakat yang relatif menurun seiring lonjakan harga akibat kenaikan BBM dan suasana menjelang lebaran, angka kemiskinan mencapai titik yang mengkhawatirkan. Dalam hari-hari biasa, masyarakat dapat membeli satu kilogram barang tertentu, namun saat ini, di tengah bulan Ramadhan, mungkin mereka hanya memperoleh setengahnya. Artinya, selain daya beli masyarakat yang belum juga memuaskan, ternyata mereka harus dihadapkan dengan kenyataan keadaan harga-harga yang melambung tinggi tatkala mendekati hari-hari besar keagamaan. Situasi semacam ini disinyalisasi menjadi salah satu pemicu tingginya animo masyarakat untuk bergegas menggabungkan diri dalam antrean panjang pembagian sembako atau sekedar sedekah di rumah-rumah orang kaya atau orang terkenal. Bagi mereka, uang 30 ribu, seperti dalam kasus Pasuruan atau 5 ribu pun dalam kasus lain, sangatlah berharga demi menyambung hidup beberapa hari ke depan. Pertimbangan keselamatan jiwa tidak lagi menjadi prioritas yang layak diperhitungkan.

Perlu Antisipasi

Saat terjadi tragedi pembagian zakat yang memprihatinkan ini, banyak kalangan kemudian berkomentar sesuai dengan kapasitasnya. Pihak aparat keamanan akan mengklaim bahwa kejadikan tersebut sebagai akibat tidak dikoordinasikannya acara pembagian zakat sehingga tidak ada satu pun aparat yang dapat membantu pengamanan. Pihak agamawan juga ikut mengecam bahwa kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk eksploitasi warga miskin. Apapun komentar mereka, kejadian tersebut semestinya secara elegan dapat dihindari dengan beberapa langkah.

Pertama, sebelum pembagian, pihak penyelenggara hendaknya melakukan pembatasan jumlah warga yang akan menjadi penerimanya. Seperti layaknya penyaluran dana BLT, tidak semua orang berhak menerimanya. Hal yang sebenarnya sering dilakukan secara rapi oleh umat Islam adalah pembagian daging korban yang juga dilaksanakan setiap tahun dengan membagikan kupon. Dengan demikian, warga yang datang adalah pemilik kupon yang akan ditukarkan kepada petugas pembagian, sedangkan warga yang tidak mendapat kupon tidak berhak ikut antrian kecuali pihak penyelenggara menganggarkan dana tambahan dengan mendaftar mereka terlebih dahulu. Kasus membludaknya calon penerima biasanya karena mereka menganggap kesempatan tersebut merupakan lahan untuk menambah penghasilan tanpa harus bekerja keras, karena cukup bergabung dalam kerumunan antrean.

Kedua, pembentukan panitia yang sigap dalam berkoordinasi dengan aparat keamanan. Dalam acara apapun, sebuah tim perlu dibentuk demi lancarnya kegiatan. Dalam hal pengumpulan masa yang tidak terbatas, hendaknya pihak panitia melakukan kontak dengan pihak berwenang, dalam hal ini aparat kepolisian. Apabila nantinya terjadi kondisi yang tidak terkendali, pihak keamanan akan melakukan tindakan pengamanan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, tanpa harus menjadi beban panitia yang umumnya tidak sanggup menangani situasi genting.

Ketiga, penyaluran zakat melalui lembaga profesional (amil). Sejak diterbitkannya Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, di Indonesia tumbuh pesat lembaga-lembaga pengelola zakat baik dalam naungan regara ataupun masyarakat. Lembaga yang dibentuk pemerintah adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang strukturnya berantai dari pusat hingga kecamatan, sedangkan lembaga yang dibentuk oleh swadaya masyarakat disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang beroperasi tingkat nasional maupun daerah. Masyarakat yang akan menyalurkan zakatnya dapat memilih salah satu dari lembaga-lembaga tersebut sehingga dana yang mereka amanahkan dapat didayagunakan secara efektif dan efisien.

Tingkat keterpercayaan masyarakat kepada lembaga merupakan harga mati bagi lembaga-lembaga tersebut untuk dapat menarik simpati. Oleh sebab itu, tidak aneh jika kemudian lembaga-lembaga tersebut berlomba-lomba menarik minat masyarakat dengan aneka model transparansi dana dan modifikasi pelayanan seperti jemput zakat, zakat online dan zakat via SMS. Kesemuanya itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap pengelola agar zakat yang diamanatkan kepada mereka dapat tersalurkan dalam kemasan manajemen yang baik. Dengan demikian, kejadian semacam di Pasuruan dapat diminimalisasi apabila kontak antar muzaki (pembayar zakat) dengan mustahiq (penerima zakat) tidak secara langsung, namun diperantarai oleh sebuah lembaga amil.

Peran Pengelola Zakat

Apabila kita lebih jeli, banyak manfaat yang dapat kita petik jika masyarakat mau menyalurkan zakatnya, termasuk infaq dan shadaqah, melalui lembaga pengelola zakat profesional. Manfaat tersebut tidak hanya untuk para muzakki, tapi juga untuk para mustahiq. Di antara manfaatnya adalah:

Pertama, penyerahan zakat semakin mudah. Saat ini hampir di setiap kota dapat dijumpai lembaga-lembaga pengelola zakat yang kompeten di bidangnya baik yang dikoordinasi oleh pemerintah maupun masayarakat. Dengan banyaknya lembaga tersebut, masyarakat akan semakin mudah untuk membayar zakat dan tidak perlu repot mencari sendiri mustahiqnya. Mereka tinggal menggunakan produk yang telah ditawarkan oleh lembaga tersebut sesuai dengan kondisi muzakki. Hal ini juga dapat menghindarkan timbulnya arogansi muzakki atau kepentingan-kepentingan sesaat lainnya, serti politik dan popularitas, yang sering menunggangi setiap pemberian dana bantuan secara langsung.

Kedua, harga diri mustahiq akan terjaga. Para mustahiq akan mudah mendapatkan haknya dan mereka tidak perlu merasa malu atau rendah diri karena menjadi penerima zakat. Mereka akan mendokan secara khusus bagi para pendermanya tanpa harus dibebani secara psikologis seperti halnya ketika berhadapan langsung dengan muzakki. Amil dalam hal ini akan berfungsi sebagai fasilitator antara muzakki dan mustahiq dan tentunya akan mudah bersifat netral.

Ketiga, penyaluran zakat akan tepat sasaran. Penyaluran zakat tidak selalu dalam bentuk tunai yang umumnya sifatnya konsumtif. Saat ini dengan perkembangan pemikiran dalam pendayagunaan zakat, telah muncul gagasan untuk menjadikan zakat lebih produktif. Bentuk-bentuk pendayagunaan zakat secara produktif dapat berupa pemberian beasiswa, penyediaan alat-alat sekolah, sarana kesehatan, dan bantuan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Dengan demikian, dana zakat tidak serta merta habis dalam hitungan hari atau bahkan jam, tapi bisa menjadi sumber untuk perbaikan masa depan mustahiq sehingga suatu saat mereka dapat merubah status diri mereka dari kelompok mustahiq menjadi kelompok muzakki. Ibarat kita memberi mereka sebuah pancing daripada segerobak ikan.

Keempat, pembagian tidak terkonsentrasi pada kelompok mustahiq tertentu. Hal yang sering terjadi dalam penyaluran dana zakat secara langsung adalah bahwa mustahiq zakat merupakan orang-orang dekat yang biasanya terbatas pada orang itu-itu saja. Dengan mempercayakan zakat kepada lembaga-lembaga pengelola zakat, konsentrasi kepada kelompok tertentu akan dapat dihindari. Mereka yang telah mendapat zakat tahun ini bisa jadi tidak akan mendapat hal yang sama demi pemerataan kepada kelompok lain yang juga sama-sama membutuhkan. Apalagi kelompok pertama tadi ternyata secara ekonomi telah mengalami perbaikan yang signifikan. Penyaluran kepada kelompok baru akan menjadikan zakat lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat secara luas.

Terakhir, penyaluran zakat melalui lembaga pengelola zakat dapat menghindarkan munculnya kerumunan massa yang tak terkendali. Petugas yang akan memberikan dana zakat biasanya terlebih dahulu melakukan survei atau studi lapangan untuk mendata mereka yang berhak mendapatkan zakat. Pemilihan ini tentu berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya sehingga akan terhindar dari kolusi atau salah pilih calon penerima zakat. Juga, orang-orang yang diundang akan disesuaikan jumlah dana yang akan disalurkan. Dengan demikian, kerumunan orang yang berakibat fatal dapat dihindarkan. Semoga!

Jumat, 12 September 2008

LABELISASI HALAL DI TINGKAT LOKAL

Penelitian ini berawal dari adanya kegelisahan masyarakat yang dipicu oleh banyaknya produk makanan yang tidak jelas status kehalalannya. Bahkan, tidak jarang mereka menjadi korban dari produsen yang tidak bertanggung jawab. Munculnya kasus Ajinomoto beberapa tahun yang lalu menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap produk makanan yang beredar di masyarakat luas. Masyarakat Kota Malang yang terkenal sangat Islami, dapat diduga, pasti ingin turut serta menjaga ketenangan mereka dalam berkonsumsi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pandangan mereka tentang maraknya makanan tentang maraknya produk makanan dan minuman di wilayah tersebut. Berikutnya, penelitian ini juga ingin menggambarkan pendapat tokoh masyarakat Kota Malang tentang labelisasi halal tingkat lokal.

Setelah dilakukan penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa para tokoh masyarakat Kota Malang dari beberapa lapisan merasa gelisah karena kehalalan produk yang membludak di daerah ini tidak terlindungi secara sah. Status makanan dan minuman masih dipasrahkan secara manual kepada produsen. Padahal, tidak semua produsen beragama Islam atau mengerti tentang seluk beluk produk halal. Para tokoh juga menilai bahwa lembaga semacam LP POM MUI yang selama ini masih terpusat di ibukota negara dan propinsi sudah waktu untuk dikembangkan hingga wilayah kabupaten dan kota. Khusus Kota Malang, kesiapan untuk mendirikan lembaga POM sangat mungkin karena banyak lembaga yang mendukung plus laboratorium yang mumpuni. Hanya saja, persiapan untuk merealisasikan lembaga ini perlu koordinasi dan perencanaan yang matang antar instansi terkait.

Rabu, 10 September 2008

MANAJEMEN ZAKAT DI KOTA MALANG

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa lembaga pengelola zakat memiliki arti dan peran penting dalam upaya pemberdayaan umat, terutama dalam peningkatan kesejahteraan. Hal itu tentu tidak lepas dari penerapan manajemen yang baik. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini penting untuk dilakukan untuk memetakan manajemen pengelolaan zakat pada lembaga-lembaga pengelola zakat di Kota Malang. Dengan mempelajari model pengelolaan zakat di lembaga-lembaga pengelola zakat di kota Malang akan diperoleh gambaran lengkap tentang manajemen yang tepat untuk pengelolaan zakat di Kota Malang.

Penelitian tentang Manajemen Pengelolaan Zakat ini dimaksudkan untuk dapat menemukan beberapa jawaban dari permasalahan pokok, yakni 1) Bagaimana manajemen pengelolaan zakat pada lembaga pengelola zakat di kota Malang?, 2)Bagaimana pelayanan muzakki dan mustahiq di lembaga-lembaga tersebut? Penelitian ini memiliki dua manfaat, secara teoritis dan secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini akan memperkaya khazanah keilmuan di bidang manajemen zakat. Pemetaan manajemen zakat di lingkungan lembaga zakat di kota Malang akan memberikan kontribusi nyata terhadap pembahasan pengelolaan zakat di Indonesia. Kemudian, secara praktis, penelitian ini akan menjadi salah satu rujukan bagi lembaga-lembaga pengelola zakat yang ingin mengambil pelajaran dari beberapa lembaga yang menjadi pilihan dalam penelitian ini.

Jenis penelitian ini adalah field research (lapangan), yang menitikberatkan pada hasil pengumpulan data dari informan yang telah ditentukan. Lembaga yang diteliti dibatasi hanya tiga lokasi, yakni Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF), Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh (Lazis) Masjid Sabilillah, dan Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqoh (Lagzis) Masjid Raden Fatah Universitas Brawijaya.

Secara umum manajemen pengelolaan zakat di kota Malang, ditilik dari klasifikasi aspek manajemen versi James Stoner yang diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yakni perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling) dapat dinilai cukup variatif. Lembaga pengelola zakat di kota Malang pada dasarnya telah melaksanakan unsur-unsur manajemen dengan baik. Perbedaannya adalah hanya pada tingkat optimalitas implementasinya. Ada yang sudah menjalankan manajemen dengan maksimal ada pula yang masih merancang untuk maksimal, dan ada pula yang mengalami hambatan untuk menjadi maksimal karena alasan teknis dan non-teknis. Walaupun begitu, semangat untuk menjadi pengelola zakat yang profesional dan terpercaya tetap menjadi impian dan harapan yang terus-menerus didengungkan oleh setiap insan yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai amil. Dalam hal pelayanan terhadap mustahiq dan muzakki, baik YDSF, LAZIS, maupun Lagzis telah melaksanakan berbagai program pelayanan baik yang dikhususkan untuk muzakki maupun mustahiq. Hanya saja, tingkat intensitas dan kualitas ketiga lembaga tersebut berbeda tergantung berbagai faktor, antara lain latar belakang sejarah, model dan pelaksanaan manajemen serta personel yang menjadi pilar penopangnya.

Introduction