Minggu, 08 September 2013

MAKIN PINGIN JADI PROFESOR, NIH, BISA NDAK YA?

“Mau jadi profesor? Gampang kok!” kalimat itu meluncur dari prof Imam Suprayogo tatkala mengisi acara akselerasi profesor di Auditorium Gedung Ir Soekarno UIN Maliki Malang, siang tadi (7/9/13). Kehadiran beliau sangat dielu-elukan oleh segenap civitas akademika kampus yang pernah dipimpinnya. Suasana begitu cair, syahdu dan haru. Canda tawa khas beliau membuat orang tertawa dan selalu merindukannya. Prof Imam kali ini diundang dalam kapasitasnya sebagai salah satu anggota tim penilai usulan profesor yang diajukan oleh berbagai perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Beliau diminta untuk menyemangati lahirnya para guru besar baru yang siap mengemban amanat pengembangan kampus yang berslogan Ulul Albab itu.
Gelar guru besar atau profesor memang satu kebanggaan yang bukan hanya milik para penerimanya namun juga satu prestise bagi universitas pengusulnya. Bisa dibayangkan, kampus besar dengan mahasiswa ribuan akan jatuh reputasinya ketika jumlah guru besarnya sedikit. Guru besar sebagaimana namanya merupakan sosok ilmuwan sejati yang telah teruji keahliannya. Dalam hal finansial, seorang guru besar dengan segala kemampuannya berhak untuk mendapatkan tunjangan kehormatan yang jumlahnya cukup menggiurkan, sekitar tiga sampai lima gaji pokoknya. Banyak orang yang sangat menginginkannya. Namun sayang harapan itu tidak segera dapat diwujudkan. Masalahnya biasanya sangat tergantung pada keaktifannya dalam menulis. Menulis sebenarnya tidak berat. Menulis hanya membutuhkan ketekunan dan semangat. Tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan akan mempermudah jalan seseorang untuk menjadi seorang profesor.
Prof Imam kemudian bercerita tentang kegagalan sejumlah dosen yang tidak bisa diterima usulan gurubesarnya. Menurut beliau, baru-baru ini, dari 50 kandidat profesor di Kementerian Agama, hanya 4 orang yang layak dianugerahi gelar profesor. Mengapa? Apakah ini indikasi bahwa meraih kedudukan profesor sulit? Jawabannya berkali-kali beliau tegaskan: tidak, tidak, dan tidak! Mereka gagal sebenarnya bukan karena mereka tidak cukup mengajar, kurang pengabdian, atau kurang tulisan. Kalau untuk poin terpenuhinya tridarma perguruan tinggi, hampir semua mumpuni. Masalahnya hanya satu, yakni tulisannya kurang relevan dengan keahliannya. Sebagai contoh, seseorang mengusulkan dirinya untuk diangkat menjadi guru besar di bidang Hukum Islam, namun ternyata tulisannya banyak berbicara tentang sejarah. Contoh lain, seseorang yang keahliannya di bidang biologi, namun karya-karyanya bernuansa tasawuf. Memang tidak salah, seseorang memiliki dua atau lebih kecenderungan ilmu, namun harus satu rumpun. Jika satu rumpun, tulisannya pasti tidak akan yang diragukan.
Selain tulisan, nampaknya tidak ada lagi masalah krusial yang menghalangi seseorang untuk menjadi guru besar. Kalaulah ada hanya masalah teknis. Demikian penegasan prof Muhaimin yang juga diundang mendampingi prof Imam. Misalnya berkaitan dengan lokasi penerbitannya. Tulisan dapat diterbitkan dalam bentuk artikel dalam jurnal dan buku. Nah, jurnal mana? Biasanya untuk setiap kenaikan pangkat, ada sejumlah syarat, di antaranya harus diterbitkan di jurnal terakreditasi, minimal tingkat nasional, syukur-syukur kalau internasional. Untuk jurnal terakreditasi nasional, hampir setiap perguran tinggi besar memilikinya. Adapun jurnal internasional tidak selalu berkonotasi bahwa jurnal itu terbitan luar negeri. Sejumlah lembaga pendidikan tinggi Indonesia juga banyak yang berhasil memiliki jurnal internasional terakreditasi, misalnya jurnal dari UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta.
Jadi, intinya, untuk jadi guru besar yang kesejahteraannya cukup tinggi itu hanya membutuhkan ketekunan dalam meneliti dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Kalau sudah begitu, tinggal kemampuan kita untuk mempublikasikan sesuai dengan kebutuhan. Nah, betul kan, jadi guru besar itu mudah? Ayo nulis, nulis dan publish!

Introduction