Kamis, 25 Juni 2009

HOW TO EDUCATE OUR CHILDREN?

Nowadays, almost all of us realize that education is one of our basic need besides food, clothes, and shelter. We usually try and give an effort without doubt to achieve the highest level of education in the framework of getting a better life in the future. Basically, parents tend to give the best education for their children. Some of them feel better to bring boys and girls up in the same way. Yet others believe that children learn better if they are educated separately. Both sides have some arguments supporting their idea.

Some parents base their opinion on the evidence that boys and girls educated together have a higher motivation and a better competition. Furthermore, boys and girls have an equal chance to improve both quantity and quality of knowledge as long as possible. In addition, they may also enjoy a real life around them.

In contrast, the second set of parents prefer separating boys and girls while educating them. They think boys and girls brought up in a different way have more concentration and learn better. As a result, they can focus all attention on studying well.

After considering both opinions, I tend to agree the first one that boys and girls should be educated together. It seems more useful and more humane. However, we have to watch out for the unexpected cases, for instance, sexual abuse and bullying. Hence, we should minimize those negative effects by giving an adequate and comprehensive education as well as increasing self-reliance and consciousness.

Rabu, 24 Juni 2009

ILMU DAN MORAL

Manusia diakui kemanusiaannya jika ia mampu menggunakan akal pikirannya (hayawan nathiq) . Ayat-ayat Tuhan tak sedikit menganjurkan pemakaian anugerah-Nya yang termahal ini. Otak manusia memang luar biasa, tapi justru karena luar biasanya itu manusia sering mengabaikan tatanan dan norma yang ada. Jika demikian kedudukannya tak lebih mulia dari kaum kerbau yang paling dungu sekalipun. Sebenarnya makin cerdas manusia, makin pandai pula ia menemukan kebenaran. Makin benar manusia, maka makin baik pula perbuatannya. Namun dalam realita tak jarang ditemukan kasus sebaliknya, makin cerdas manusia makin pandai pula ia berdusta. Orang pandai agama justru paling getol melakukan pelanggaran agamanya. Ironis sekali!

Ilmu dan teknologi memang diakui mampu meningkatkan kualitas peradaban. Kebutuhan manusia semakin mudah dipenuhi dengan lebih baik dan sempurna. Masalah kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi sudah bukan lagi soal. Artinya tingkat kesulitan yang dihadapi paling tidak lebih rendah ketimbang tanpa adanya Iptek. Namun ketentraman kita sedikit terusik jika kita mengingat bahwa Iptek tidak 100% bebas dari ekses negatifnya.

Perang adalah sebuah fakta yang menujukkan bahwa ilmu tidak murni untuk kebaikan manusia, tapi justru bisa menghancurkan sesama manusia dan alam semesta. Senjata pembunuh, teknik penyiksaan modern pun berkembang. Inilah sisi buruknya kalau manusia harus mengikuti perkembangan teknologi, bukannya teknologi yang mengikuti manusia. Kemanusiaan manusia makin menipis dan menghabis digerogoti oleh kebiadaban teknologi yang berusaha untuk “mempernyatakan” eksistensinya. Sungguh, suatu pembayaran yang sangat mahal!


Hampir dapat dipastikan saat ini sudah tiada lagi bagian hidup manusia yang tak tersentuh oleh ilmu dan teknologi. Perkembangan Iptek sudah begitu “menggila” hingga seakan ingin menandingi kekuasaan Tuhan atau setidaknya ingin mengotak-atik “hukum-hukum permanen” Tuhan, semisal reproduksi dan penciptaan manusia. Beberapa tahun lalu dunia digegerkan oleh teknologi Clonning yang mengkhawatirkan para agamawan dan moralis.

Ujung semua itu adalah penghambaan manusia di hadapan “rejim” teknologi, bukan sebaliknya, padahal keadaan itu sangat bertentangan dengan tujuan pertama dipelajarinya Iptek yang menginginkan kemaslahatan umat manusia.

Pertanyaan kemudian barangkali berkaitan dengan aksiologi ilmu. Untuk apa sebenarnya ilmu dipergunakan? Di mana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan ilmu diarahkan? Rangkaian pertanyaan itu tentunya sangat aktual dipersoalkan di akhir abad ke-20 menjelang ke-21 yang telah mengalami dan merasakan betapa dasyatnya perang dunia I dan II sembari dibayangi moncong perang dunia III. Jawabannya terpulang kepada moralitas manusia.

Pada dasarnya pertumbuhan ilmu sejak awal sudah dikontrol oleh moral walaupun kenyataannya moral yang diwakili oleh agama dan para pendeta cenderung mematikan ilmu. Inkuisisi Galilio tahun 1633 oleh pengadilan gereja adalah bukti “keperkasaan” moral melawan ilmu.

Kesalahan fatal yang menyudutkan kontrol moral atas perkembangan ilmu itu menyebabkan ilmu ingin lepas semerdeka-merdekanya dari kontrol moral. Inilah kemudian yang menyebabkan ilmu ingin terbebas dari segala nilai. Ilmu ingin memperoleh otonomi tersendiri tanpa adanya campur tangan dari moral (agama). Dikotomi Das Sollen atas Das Sein merupakan salah satu bukti kesuksesan ilmu meloloskan diri dari cengkeraman moral.

Dengan posisinya yang otonom, maka ilmu semakin leluasa mengembangkan diri tanpa dibayang-bayangi oleh pelbagai inkusisi mengerikan. Ilmu kemudian mengkonkretkan diri sebagai teknologi. Teknologi berarti penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras maupun lunak. Tujuannya adalah menjelaskan gejala-gejala alam untuk pemahaman dan pengertian, atau memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan gejala-gejala alam untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Contoh gampangnya, ilmu mengembangkan sebuah teknologi untuk mencegah banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Tahapan ini disebut peralihan ilmu dari “kontemplasi” ke “manipulasi”.

Dalam tahap manipulasi, masalah moral mencuat kembali, namun dalam kaitan dengan faktor lain. Bila dalam tahap kontemplasi, moral berkaitan dengan metafisika keilmuan (ditinjau dari ontologi ilmu), adapun dalam tahap manipulasi ini moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu (aksiologi ilmu).

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses penghancur manusia dan kemanusiaan (dehumanisation) lebih merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral. Bukan berarti moral tidak berperan, akan tetapi masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan. Jadi masyarakat mesti menentukan strategi pengembangan teknologi agar selaras dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dengan perkataan lain, manusia harus membuat penerapan teknologi yang lebih manusiawi.

Netralitas Ilmu

Para ilmuwan terbagi menjadi dua golongan dalam menanggapi ekses negatif ilmu dan teknologi, yaitu,

1. Paham Netralitas Murni, golongan ini berpendapat ilmu harus netral terhadap segala nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Ilmuwan hanya bertugas menemukan pengetahuan, tentang penggunaannya ia tidak bertanggung jawab. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total.

2. Paham Netralitas Terbatas, golongan ini menyatakan bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada ontologi ilmu (metafisika keilmuan) sedang dalam penerapan (secara aksiologis) bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berdasarkan asas-asas moral. Golongan ini mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Alasan yang mereka ajukan adalah :

a. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif pada perang dunia I dan II.

b. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum keilmuan lebih mengetahui ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya.

c. Perkembangan ilmu itu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering). Jadi ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau masalah hakekat kemanusiaan.

Ilmu dan moral bagaimanapun juga merupakan dua sisi mata uang yang harus diimplementasikan secara bersamaan. Ilmu tanpa moral (agama) adalah buta sedang moral (agama) tanpa ilmu adalah pincang, demikian mutiara kata Albert Einstein yang patut kita renungkan sepanjang waktu. Sekian tulisan ini dan semoga bermanfaat. Amin.

Senin, 22 Juni 2009

UIN-KU, MET ULTAH

Hari ini,
Kau sedang bahagia
Kau umbar senyum sapa
Tatkala ribuan manusia menyalamimu
Mengenang hari jadimu

UINku
Kau telah menyihir dunia
Untuk datang dan bertanya
Bagaimana bisa
Kampus yang dulu sering terlupakan
Kini menjadi gagah terelukan

UINku
Jangan segera bangga
Atau bahkan besar kepala
Masih banyak tugas di seberang sana
Menunggu kiprahmu lebih nyata

Katakan kepada dunia
Lahirmu adalah tonggak kebangkitan
Suaramu adalah penggerak zaman
Pilarmu adalah amanah dan kerjakeras
Prajuritmu adalah manusia batu cadas


Majulah UINku
Ku kan mendampingimu
Ku kan mengabadikan nafasku
Demi kecemerlanganmu
Hingga akhir waktu

Minggu, 21 Juni 2009

MAU SUKSES? BERJUANG DAN BERKORBANLAH!

BDua kata ini sering disebut sebagai kata kunci keberhasilan seseorang dalam bidang apapun. Mereka yang yakin ampuhnya kedua kata ini berdasarkan, antara lain, pengalaman bangsa Indonesia meraih kemerdekaan yang tidak begitu saja diberikan penjajah. Kualitas persenjataan para pejuang kemerdekaan hanyalah sekelas bambu runcing demi melumpuhkan senjata mutakhir yag dimiliki Belanda ataupun Jepang. Namun, kemerdekaan yang menjadi pintu gerbang kemajuan dapat direngkuh karena di dalam sanubari mereka telah tertanam kecintaan yang tulus kepada bangsa ini agar dapat berdiri sama tinggi dengan bangsa manapun. Perjuangan dan pengorbanan merupakan pemicu semangat untuk meraih cita-cita tertinggi. Angan-angan tinggallah dalam hayalan jika tidak ditopang dengan kegigihan menggunakan setiap kesempatan untuk berkarya dan berkreasi di bidang keahliannya. Oleh sebab itu, sulit kiranya di zaman yang serba cepat dan kompetitif ini, seseorang yang santai mengikuti arah air mengalir atau angin berhembus mencetak prestasi mencengangkan. Mereka akan ketinggalan kereta dan tergilas oleh roda waktu.

Dengan demikian, tidak ada kata lain yang patut kita patrikan dalam diri kita sejak dini, ayo berjuang dan berkorban! Berjuang berarti menggunakan segala daya upaya untuk meraih kesuksesan hingga detik terakhir. Berkorban bermakna memberikan pengabdian terbaik tanpa memikirkan imbalan jasa dari orang lain. Apabila dalam diri seseorang telah tertanam semangat berjuang dan berkorban, ia akan dengan senyum melewati hidup tanpa rasa beban. Ia selalu melakukan yang terbaik untuk orang-orang sekitar sebagaimana pesan Rasulullah bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain.

Di sisi lain, ada sekelompok manusia yang berkeyakinan bahwa usaha keras akan menimbulkan berbagai penyakit sehingga mereka akan mati cepat. Dengan dasar ini, mereka lebih banyak takut jika diminta harus berjuang apalagi berkorban. Berkorban dalam benak mereka adalah tindakan yang abnormal karena hanya akan menghancurkan diri sendiri seperti lilin yang hanya bisa menerangi orang lain padahal ia meleleh dalam kebinasaan. Konsekuensinya, mereka lebih suka bersantai-santai dan mengerjakan rutinitas apa adanya tanpa perlu berlelah-lelah memikirkan masa depan yang terlalu rumit. Mereka ingin menikmati hidup, bukan menjadikan hidup sebagai beban.

Untuk kelompok terakhir ini, memang tidak sepenuhnya salah. Banyak tokoh yang meninggal tiba-tiba di kantornya karena kelelahan. Juga, tidak sedikit penyakit yang diidap oleh orang-orang yang notabene sukses. Permasalahannya, keyakinan ini justru pada gilirannya akan membuat mereka kesulitan tatkala semua manusia telah menginvestasikan segala daya upaya dan telah meraih apa yang mereka impikan. Kelompok ini hanya akan meratapi nasibnya karena tidak mampu mendapatkan apa yang telah didapat oleh para pejuang tangguh itu. Lebih lanjut, usia bukanlah urusan manusia. Ajal dapat kapan saja datang. Oleh sebab itu, untuk mengumpulkan bekal, baik untuk diri sendiri atau keluarga, baik untuk dunia maupun akhirat, semangat tinggi untuk selalu berjuang dan berkorban adalah suatu keniscayaan. Jangan bermimpi meraih bintang jika takut ketinggian. Jangan pernah berharap menyeberang lautan bila takut kedalaman. Mimpi para pejuang adalah kunci keberhasilan mereka. Mereka rela berusia pendek asalkan hasil jerih payah mereka dapat dinikmati oleh orang lain dalam waktu yang lebih lama. Mereka bahkan tak segan-segan menyerahkan satu-satunya nyawa mereka demi harga diri bangsa dan negara. Alangkah bahagianya mereka saat ini bahwa apa yang mereka perjuangkan dapat memberikan seberkas sinar dan sesercah harapan bagi orang-orang yang mereka cintai, yakni keluarga dan bangsa ini. Sekarang pertanyaannya, kapan giliran kita?

SANTRI - ABANGAN DICHOTOMY IN TODAY INDONESIA: RECONSIDERED

Introduction
It is really plausible that human-based discussion is a never-ending matter. The emergence of a series of disciplines focusing on all things related to the physical and spiritual aspects of such a creature shows how complicated humankind's performance and characters are. For instance, Anthropology as a part of Social Science concerning human interaction in a society will never complete its task to elaborate a variety of phenomena encountered in its area of study since the life on the earth is always dynamic and still continuous. However, a particular discussion about a specific topic will be more interesting since it may provide a deep comprehension of a certain case in certain time. I would say that Geertz, for example, has successfully described a rich tradition of Java in his book, "The religion of Java" for he has developed a reality of such a region within its complexity. As Javanese, I sincerely appreciate his findings and feel somewhat "jealous" by asking why such "an outsider" greatly succeeded in delineating my culture more than whoever did. Perhaps, my compliment to Geertz may be too generous but it is as I could learn much my Javanese culture from his recording work. Nevertheless, in this paper, I want to portray a particular matter related to dichotomy of santri-abangan variants in his book which is eligible to reconsider since there is a significant change in Javanese society dealing with their religiosity which may result in the collapse of that compartmentalization, especially between abangan and traditional santri.
Geertz's Tri-Partite idea of Javanese Society
Before having further discussion, it might be very useful to present the fundamental idea of Geertz. There are, according to him, three different groups of people in Javanese culture, particularly in Mojokuto as his place of research, in terms of their religious life. First, abangan. This category represents a stress on the animistic aspect of Javanese syncretism and the peasant element of population. Santri as the next group can be described as representation of Islamic aspects and the trading element. Finally, the priyayi group is the representation of the Hinduist aspects and bureaucratic element. Some people, nonetheless, argue against that tri-partite categorization since Geertz does not include the grass root (wong cilik) group. It is comprehensible that in Javanese society there are actually four groups of society which are divided into two kinds, religiosity and social status. In terms of religiosity, santri and abangan are the two poles which are contrasted each other; santri is the more purely religious while abangan is more syncretic and less religious. On the other hand, there is priyayi-wong cilik dichotomy showing that the former has a higher position in social structure whereas the latter is of the lower one. In response to such a reproach, Geertz will reply that he does not mean that wong cilik is absent in Javanese community, but he just employs those three words representing particular characters of each group, i.e., in the view of religious belief, abangan is more animistic, santri is more Islamic and priyayi is more Hinduistic. Hence, wong cilik may become a part of abangan or santri group as the the character of wong cilik is non-bureaucratic.
Rethinking Santri-Abangan Dichotomy
This piece of writing will concern a problematic problem between santri and abangan variants that today should be reconsidered. To begin with, Geertz nicely describes two variants which are different from each other. The first discrepancy between both is a concern for doctrine and apology, meaning that abangan people are intentionally performing their religious life by adapting the classic belief of Javanese. For instance, slametan (a kind of feast) is a common ritual done by this group in order to worship the almighty God. They do slametan when one wishes to celebrate, ameliorate or sanctify, i.e., birth and marriage. It may be inferred that the abangan embrace Islam but they cannot leave the old rooted tradition called animism. The santri people, on the other side, have a pattern of beliefs ascribed from Islamic doctrine. Their ritual stresses much the five pillars of Islam, i.e., praying, alms giving and pilgrimage. This variant actually can be divided into two kinds, the modern and the traditional. The modern group which may be represented by Muhammadiyah has a character of pure Islam while the traditional with Nahdhatul Ulama (NU) as its pioneer is more syncretic.
However, the word "slametan" which is associated to abangan is derived from Islamic terms, namely "salam" which means "peace" or "safety". Moreover that slametan constitutes a kind of prayer ceremony for asking God to give peace and prosperity to people. It does not only then belong to abangan but also to santri, especially the traditional ones. Hence, we may infer that slametan is a general feast done by people, both santri and abangan in praying to God.
Secondly, the abangan and santri differ from one another in their social organization. The basis of social unit of former is the house-hold. In the program of cleansing of the village (bersih desa), for instance, all the food contribution is coming from the separate kitchen brought together rather than from a common kitchen. In contrast, santri people have a more universal sense of community (Ummah) for Islam is not related to a certain group of society but to all human beings who embrace Islam. When a person confesses that he is a Muslim, he directly belongs to the worldly fraternity of Muslim.
However, the following question will be: "Will the dichotomy of santri-abangan remain stable forever?" Since the nature of universe is always changing, I completely doubt such a notion. We may say, quoting Sartre's idea, that "human is what he is to be" or "existence precedes essence". The abangan people today is probably the santri tomorrow. Hence, that dichotomy as well as its characters should be rethought to some degree. To understand the social phenomenon, according to Wright Mills as quoted and explained further by Pranowo, there are four different components which should be reconsidered since their influence to a phenomenon is really great, i.e., history, culture, structure, and critical component. For this paper is a kind of a critical component, we still have to elaborate the other three components which are taken from Pranowo's arguments as I mostly agree with.
First, historical component. This point will uncover a place of standing of individual or group in certain community related to history. In the 20th century, Indonesia has been identified by the more established modernist Islamic movement as well as the "purer" Islam. But, this phenomenon is a dangerous fact which may potentially lead people to turn away from Islam to the other religion. Fortunately, after the explosion of the 30 September movement (G 30S/PKI) in 1965, the fear of a significant turning did not occur as universal phenomenon in whole Java.
The rejection to Islam in favor of other religion might emerge in some places in central and eastern Java. But, in most districts in Java there were not serious physical conflict between PKI and their rivals. The antipathy towards Islam did not happen. In the case of people in Tegalroso, located at the base of Mount Merbabu, Pranowo, as a researcher, clearly shows us that most population of this region were the active supporters of the Indonesian Communist Party (PKI) and the Indonesian Nationalist Party (PNI), but they are good Muslim now somehow. This phenomenon clearly demonstrates some important points. First, people in Tegalroso did not embrace Islam since they had a principle of Islamic teachings such as mosques and places of reciting Qur'an (pengajian). Nevertheless, since 1965, there has been a good transformation of Islamic tenets and facilities in that region promoting people to be better Muslims (langkung sae Islamipun). Thus, we see the dynamic of Islam in Java as a continuing process of Islamization. People who received Islamic teaching in the very beginning later developed to become santri whereas people who experienced less intensively teaching of Islam became abangan. However, the abangan villages before 1960s has changed their performance to be santri village or at least cannot be differentiated much from the santri villages. This indicates that the situation of being abangan is not fixed identity, they still have the chance to choose their essence, santri or abangan, throughout their life.
Secondly, cultural phenomenon. Culture is a central element of sociology and anthropology. It is very important to be used in order to show the non-biological aspect of social life including customs, beliefs and values. In Javanese culture, it is conceivable that Islamic teaching has become a part of Javanese way of life as the power of kingdoms when in charge had a very significant role of play in spreading Islam all over Java. For instance, the name of the day and month have been influenced by Islamic spirit.
The phenomenon of priyayi has also experienced a significant change. Geertz states that most of priyayi especially for who live in keraton are associated by Hindu-Buddhist mysticism. However this idea has been challenged by Woodward as quoted by Pranowo saying that Geertz has ignored some important aspects in Javanese society due to his lack of dynamic, Islamic knowledge. It is not surprising that keraton people such as Hamengkubuwono X and Sri Paku Alam performed haji in Mekkah which according to Geertz is the character of santri. Priyayi then become more santri. Also, so many functionaries; civil, militer, who are regarded as abangan undertake pilgrimage to Mekkah. Moreover now many manufactories provide financial support for their employees or workers to complete their hajji ritual. This situation will result in the reduction of santri-abangan dichotomy.
Finally, structural component. After the 30 S/PKI 1965, the tention between santri and abangan actually emerged. The old order introduced the notion of NASAKOM (Nationalist, Religious, and Communist) to create the unity of power. However, the situation shows that NU (Nahdhatul Ulama) was associated as religious party with the support from santri people. Meanwhile, the abangan people support the nationalist or communist party. Therefore, this difference promoted the tension within society.
Furthermore, the new order introduced the conception of "floating mass" in the political arena stating that the political organization was only allowed to the level of regency. The political competition among people in the village therefore, automatically decreased. In addition, Pancasila (five pillars) which was initiated by the New Order become more religious since the government placed the conception of takwa (piety) in the important position. Takwa is derived from Islamic tradition that makes people be aware of whatever their activities. It should be implemented in all aspects of life including the army forces, civil servants, and students which may promote santrinization in society.
The following question will be "how is the situation of piety in the reformation era?" Perhaps, it is not easy to answer since this era just began ten years ago. However, we may take the result of research done by PPIM (the Center for Study of Islam and Society) of State Islamic University "Syarif Hidayatullah" Jakarta into account indicating that the santrinization is still going on in society. With 2000 samples from sixteen provinces including all province in Java, as quoted by Pranowo, the research reveals that 81.4% of respondents do five time prayer each day, only 2.2% perform ritual offerings. Most respondents feel that religion may give guidance for their life. Thus, we may conclude that the level of religiosity of people is increasing and tends to have an onward trend over the time while the religious tradition of abangan is declining.
It is worth noting that Geertz's book is really a good guidance to see the religion of Java in 1960s. His tri-partite categorization of society; abangan, santri, priyayi, nevertheless, has been challenged by some scholars, e.g., Pranowo. One of the fundamental reasons is that Javanese society has shaped a new style of life post 1965, particularly after the New order introduced the notion of "floating mass" in political sphere. I see, however, that challenge is not a kind of strong reproaches since it is reasonable that the different time may create the different evidence. In addition, Pranowo does not concern the dichotomy in santri variant, i.e., modern and traditional santri. The fall of dichotomy perhaps only happens between abangan and traditional santri, not the modern one. Therefore, we are still able to appreciate his work as the description do Javanese society in 1960s besides our consideration to some different points of view.
My opinion about the collapse of dichotomy between abangan and traditional santri is interestingly supported by the recent political issue in Indonesia showing that Megawati as a representative of Abangan group (PDIP, The Struggle Indonesian Democracy Party) and Hasyim Muzadi as a leader of NU (Nahdhatul Ulama, representation of tradional santri) promoted themselves to be the candidates of president and vice president for general election in 2004. Some people, e. g. Nurcholish Madjid, are of the opinion that NU should avoid getting involved in political arena since they proclaimed to go back to their basic principle (khittah) to be outside government. Muzadi, however, replies that it is the right time to show that dichotomy between abangan and santri does no longer exist. He tries to persuade people that the followers of both PDIP and NU are in the rural area consisting of wong cilik. We may then conclude that the matter of abangan and santri is still a considerable issue amongst elites.
Conclusion
The idea of santri-abangan dichotomy may be no longer valid. It is possible to happen due to the dynamic process in social life. Nevertheless, I believe that the fall of such categorization does only occur in abangan and traditional santri, not the modern one. In addition, there is an error made by Geertz when deciding only three groups of Javanese society; santri, abangan, and priyayi, because in fact there are four categories of people in it, wong cilik as the forth element. Finally, we may see that abangan-santri is still an interesting matter, even for the politicians who want to win the sympathy of people. Nevertheless, besides the basic different they may have, I am not afraid to propose a notion of compromise which suggests santri and abangan people to go hand in hand with one another to build a strong and powerful nation as the main goal of all Indonesian people.

Jumat, 19 Juni 2009

FREEDOM OF CHOICE: AN EXISTENTIALIST'S VIEW


I. Context of The Text

One may consider that philosophy is a way to understand the human's existence in this universe. A philosopher will endeavor to reach a promising conception to elaborate the meaning of humanity. Some of philosophers believe that human has a big rule in shaping the world, but they still recognize that there is a being which has the ultimate power, i.e. God. They claim that the essence of human precedes his existence since there is a priori essence before human's existence. It simply can be shown in the case of seeing a tree. Before knowing that a thing is a tree, we have some criteria in our mind about the form of a tree. Thus, it is true that the essence of a tree comes before its existence. However, some are of the opinion that the humankind has a right to be independent and free from other beings which might reduce the meaning of his existence. Even God should not exist since He potentially determines the essence of human beings. This group asserts that "to have an essence is not to have an essence". So, they can be recognized as the "existentialists" against the former one, the "essentialists". To this point, the existentialists could be called as anti-philosophy philosopher for their disagreement with the general view of philosophers who mostly belong to the first group, e.g. Plato.

Discussing further the matter of existentialism, we may see some outstanding thinkers of this doctrine including atheist existentialists such as Heidegger and Sartre. This paper, nevertheless, will only concern the idea of Sartre (1905-1980) who elaborates his thought in his short work entitled "Existentialism and Humanism". The goal of that article is to reply the objections from the communist and the Christians. One of The communists' reproaches is that the existentialism may cause people to get involved in quietism of despair since there is no solution for their problems. So, they will contemplate to find the answer. This contemplation is then considered as money consuming and become another type of bourgeois philosophy. On the other hand, the Christians reproach the existentialists for they neglect the reality and ignore the revelation of the Almighty and all eternal values.

To answer these challenges, Sartre explains somewhat detail in that book to convince the readers that existentialism is not as bad as they condemn. He clearly offers some interesting views to support his argument such as human subjectivity which will lead to freedom and choice. These terms, however, will be explicated further in the following part of this paper. Hence, the notion of existential humanism becomes a possible offer since existentialism focuses much on human subjectivity which requires no legislator but human beings themselves.

In response to Sartre's notion, I appreciate much his controversial thought. To some degree, I am in line with Sartre when he strongly emphasizes the individual subjectivity that may result in human's freedom of choice to shape their essence. But, I disagree with his idea that to be free we should be agnostic or even atheists to the existence of God for we may encounter the idea of human freedom in Islamic tradition. I will elaborate more deeply this notion in the discussion part of this work.

II. The Structure of Argument

The main idea introduced by Sartre in his opus, particularly in page 29 of his "Existentialism and Humanism" is "existence precedes essence". This is really different from the common belief which shows the inverse. The meaning of that statement is that essence of human beings has not been made yet, they are "thrown" to the earth, find themselves as the "lost" creatures, choose the action they prefer and finally shape their essence. Sartre comes to this conclusion after explaining the urgency of God's absence. For him, God who is identified as "supernatural artisan" does not necessarily occur in human life since human beings have to make a choice in each part of his life. They do not need some guidance and values to measure their deeds as a consequence of having no pre-given essence. Sartre nicely illustrates that humankind is not like other things such as a book or a paper-knife which are determined by their a priori essence in artisan's mind.[1] Hence, if the essence of human beings is in God's mind, they are nothing else than the robots which are not responsible for their activities since they just obey the instructions from the creator. They will, therefore, live in "bad faith" (mauvaise foi)[2] which leads to "inauthenticity", borrowing Husserl's term.[3] God himself has, then, to be responsible for his action while human beings have to let their freedom go away resulting in meaningless of their life. Therefore, to raise the dignity of human, it is necessary to reduce the role of God (like the idea of secular moralist) or even to abolish His existence in human sphere. Sartre simply calls this situation "abandonment".[4]

Furthermore, in choosing a particular choice, even not to choose is still a choice, a person should consider his own individuality as well as the interest of community. I may infer that this notion is compatible with Husserl's idea about "bottom-up" pattern of promoting an authentic community. Based on his freedom and rationality, an individual is responsible for his activities and aware of their impacts towards society. Hence, he will choose the better choice since nothing can be better for him unless it is better for all human beings. Even though there is no a priori value, Sartre certainly asserts that human's feeling may become the source of his values which could change every time. It can be seen in the case of Sartre's student whose feeling shows that he should stay with his mother rather than to go to England. The theologians, on the other side, strongly oppose this argument saying that it is obvious that there is a general morality. However, Sartre replies that we still have the right to interpret those signs. Thus, human beings cannot pass beyond their subjectivity.

III. The passage's Key Ideas

To comprehend the given passage in page 29 of Sartre's work, it is vitally important to take some key words or sentences into our account. Here are some of them with a brief explanation.

· Existentialism: Sartre defines this term saying that it is "a doctrine that does render human life possible" meaning that when human is born as free creature without any pre-given essence, he should seek his essence throughout his life on the earth.

· Subjectivism: is a belief that gives the chance for people to make their choice based on their individual's judgment. It is closely related to subjectivity which has a big role for humans in choosing something in their life.

· Freedom: is the situation of a human who does not depend upon others. Freedom will lead to a possibility of choice. He will choose and be responsible for its consequence.

· He Choose for all men: it means that what a person selects for himself actually has the impact for other people. Therefore he should think his choice deeply before making a decision.

· What we choose is always the better: this statement means that since the basic consideration in deciding a choice is for all human beings, a person will be responsible for choosing the better or even the best choice for all people based on his "feeling".

· Existence precedes essence: this statement is closely related to the basic idea of existentialism which means that the meaning of human life cannot be judged before his existence. Nothing perceives the man's essence. In contrast, "essence precedes existence" means that the idea of a being has been conceived by the creator, for example, the trousers has an essence before its existence in designer's mind. Such a designer has made a plan to make that trousers by drawing a certain design, providing materials and proceeding it to become such things.

IV. Essay of Critical Explanation

Sartre's idea about "existence precedes essence" is really a good conception to promote the emergence of an authentic humanity. To support his notion, he confidently declares that the existence of God is an absurd thing or at least to be agnostic about God is a good choice. He explains further that human beings should decide whatever they want to. If God exists, the freedom of human beings is threatened since He will impose some regulations which have to be obeyed. Therefore, it is necessary to abandon God in order to seek the essence of human life for freedom and choice are the basic requirements to be promote an authentic humanity.

Particularly in his work, "Existentialism and Humanism", page 29, Sartre clearly maintains that a human being's essence comes after their existence. To be a human is to have no essence. An individual should find his essence along his existence in earthly life. Freedom becomes a necessary requirement since a person does not have some pre-given values as a means of measurement. Related to this point, Sartre agrees with Dostoievsky saying that everything is indeed permitted if God does not exist.[5] There is no "goodness" or "badness" conception for human. The absence of any values will lead to the situation that one will never be able to elaborate or even judge one's action by reference to "human nature" which does not exist as a result of God's disappearance. Here, human is born free without any determination and limitation as Descartes says "I think, therefore I am". This is a starting point to make an authentic person come into being.

The first consequence of having no essence, a human being is responsible for he is. It means that he should be responsible for every action since he fully possesses himself as a reflection of the individual subjectivity. By using his reason, he is challenged to make a choice amongst many possibilities in front of him. This situation often makes an individual come into "anguish" and "despair". He should think carefully several effects resulting from his decision. For example, a farmer has to cultivate some vegetables in his field during the rainy season. But, he has a problem of choice whether he selects some kinds of vegetables or just chooses a particular type of vegetables for his project. In this sense, he is responsible for his decision since there is no pre-given guidance to do that. Some people, perhaps, will disagree with this argument stating that there is a general guidance for cultivation. Sartre will reply that even though there is a clear guidance for that matter, such a farmer still has the right to choose based on his "feeling". It is interesting to note that "feeling" is something changeable that gives the possibility for a person to check and recheck his choice. Therefore, it is not surprising that the essence of human beings is absolutely indefinable since the way to shape the essence is really unlimited by the time and situation. The essence of human beings will be clearly seen after their death.

Secondly, in the process of making a choice, Sartre mentions, a person is not only responsible for his own subjectivity, but also for all human beings. It means that he should think whatever he will take by considering the freedom of other people. It is really a tremendous burden for him. For example, I choose to be a graduate student in Jakarta meaning that before doing so, I should make a deep consideration whether I continue my study in higher level or work to earn some money. Both alternatives are actually very hard to determine. Each has a serious consequence, several positive and negative impacts. I should weigh as a pupil of Sartre did before deciding whether to stay with his mother or go to England to join Free France Force. Therefore, when I choose my position as a student, I am responsible for its following effects. I should study hard without thinking about being a wealthy man since I could not work. But, I believe that such a choice has a good impact for all human beings because after my graduation I will dedicate all my knowledge more meaningful to all people in society. It is therefore a better choice for me. To this respect, we may conclude that this individual subjectivity will possibly constitute a communal choice since all the member of that community always pay attention to the need of other people. Therefore, Sartre asserts, the huge burden resulting from freedom can be shared to other people since all people will take the interest of others into their account. This sense can be simply understood as "inter-subjectivity"[6] and will be able to constitute an authentic community using bottom-up or "I-We" analogy.

Finally, the other thing that I can study from Sartre's view points is the relativity of human beings. Using first interpretation of authenticity, we may portray Sartre's view saying that an individual has a fixed identity whether he is living in "bad faith" or in freedom. Once he becomes an inauthentic individual, he will remain in that situation for whole life and vise versa. In contrast, we may read his notion through applying the second way of interpretation and I think it is more eligible in reading Sartre's. Related to the idea that human's existence is prior to his essence, human relativity becomes an unavoidable phenomenon. A person will make a lot of choices in his life to seek his essence. We cannot judge that he will live in "bad faith" forever but he is possible to change his attitude to be a free human. For instance, a prostitute may change her life by making a new choice. Probably, she victimizes herself because she cannot avoid her "fate". Since she understands that her position as a prostitute is a matter of choice, she is possible to change her way of life to become, say, a tailor.

As a comparison to Sartre's freedom of choice, I propose a phenomenon occurring in Islamic tradition. We may encounter that the problem of human's independence can be seen in the debate between qadariya (free will) and jabariya (determinism). The former group strongly asserts that human being has the freedom to choose even though they believe in God. This notion is based on the human's limitation to know God's intention. Therefore, a person should be optimistic to select the best thing in their life regardless of the fate. For example, when we dream to be a professor, we do not know whether God has made a plan for our professorship. Because of that situation, we should try and strive to achieve that dream with full struggle. Additionally, this group, even in doing rituals, strongly rely on their reason since they are very sure that they can determine the best way to worship God without revelation. If there is a revelation, they still have the right to interpret it. In contrast, Jabariya maintains that God has already determined everything related to his creature including human beings. An individual has no chance to choose his way of life since God with his power and strength will apply every detail to His creature. Thus, a person who belongs to Jabariya will sincerely receive whatever God gives to him. For instance, a worker does not need to work hard for his wealth has been determined by God. Although he is in the workplace, it does not guarantee that he gets some money. But, if God plans to give the wealth to His creature, a person will suddenly be rich in spite of being jobless. Hence, God is responsible for his action in creating all things in this life. Paying attention to the description above, Sartre's thought about freedom seems to be in line with the first group that maintains the human's freedom to choose.

But, the question is still there. "Should we disbelieve God's existence for the case that His existence will interfere with human's choice?" Following Sartre's line of reasoning, I tend to agree with Sartre when he claims that human has a subjectivity to determine their way of life. It is really important that human should be optimistic in facing a variety of worldly phenomena. Nevertheless, I disagree with him that God should not exist just because He is suspected to interfere with human activity. We might make a compromise as offered by Asy'ariya (ash'arite) which stands between Qadariya and Jabariya, saying that human beings are the creature of the Almighty. However, since we do not know our conception in God's mind, we have to choose the better or even the best way of life by struggling all the time. Qur'an says that "God never change any situation including the fate unless human beings change by their own hand."[7] Many things that we cannot choose should be considered as the destiny from God such as the environment and unexpected situation. Therefore, deep patience and resignation (tawakal) are the possible attitudes after striving.

In summary, Sartre's idea of "existence precedes essence" can be considered as a valuable contribution in generating the emergence of an authentic individual resulting in an authentic community. He applies the bottom-up pattern as Husserl did. His project begins from the conception of free individual that has the right to make a choice based on his "feeling". Nonetheless, a person should not only consider his own interest in deciding a choice but also the interest of all people since he should choose a better choice for all. If all human beings apply such a notion by inter-subjectivity understanding, an authentic community will be possible to occur.

However, I am not in line with Sartre's idea of God's absence. Since we do not know our essence in God's mind, we still have the full possibility to choose whatever our intentionality is as is shown in Qadariya's tenet. Our essence depends on our choices which vary from time to time. The anxiety and despair that are the result of freedom can be minimized, as introduced by Asy'arite, by deep patience and resignation. The presence of God becomes something crucial, as Kierkegaard—another existentialist--believes, to maintain a peaceful life for humanity.***



[1] Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, translated and introduced by Philip Mairet, Methuen & Co.ltd, London, pp. 26-7

[2] See Sartre, Bad Faith, in lecture materials, p. 132

[3] See Husserl, Kaizo IV, p. 14

[4] Sartre, Existentialism and Humanism, p. 32

[5] See Sartre, Existentialism and Humanism, p. 33

[6] Sartre, Existentialism and Humanism, p. 45

[7] Qur'an, Sura Al-Ra'du: 12

Minggu, 14 Juni 2009

ETIKA DAN TINGKAT KECERDASAN

Ketika banyak orang berkumpul dalam satu ruangan, misalnya kelompok profesor, golongan guru, dan sekumpulan murid, serta sejumlah badui, atau orang yang tidak pernah belajar alias bukan orang sekolahan, hampir sulit dibedakan masing-masing kelompok itu. Apalagi, jika mereka menggunakan pakaian yang setidaknya sama kualitasnya. Cara makan mereka di meja makan saat prasmanan, juga tidak terlalu kelihatan perbedaannya.
Mungkin, jika diperhatikan lebih dalam, maka hal yang nampak berjenjang adalah soal etika bersantap. Sang profesor dengan elegan mengambil makanan sesuai dengan porsinya. Ia tidak akan menunjukkan bahwa ia suka semua makanan, cukup sepantasnya. Sang guru mungkin melakukan hal yang sama dengan profesor, ia menikmati beberapa hidangan meski tidak seluruhnya, takut dibilang rakus. Nah, saat kita lihat sang murid, ia sebenarnya malu, tapi apa boleh buat, kesempatan makan bebas tidak terlalu sering baginya. Ia memanfaatkan kesempatan untuk makan sepuasnya meskipun ia mencoba untuk membuat trik sehingga tidak nampak kalau ia menginginan semuanya. Ia mengambil setiap masakan secara merata meskipun dalam porsi sedikit. Untuk kelompok orang terakhir, mereka berfikir mirip dengan murid, tapi mereka tak memiliki pertimbangan yang cukup bagaimana mensiati keinginan mereka untuk dapat menikmati hidangan lezat. Tak pelak, mereka mengambil makanan dalam jumlah yang banyak dari semua jenis, sehingga piring mereka penuh dan alhasil mereka tidak dapat menghabiskan. Di sini, tingkat ilmu sudah dapat membedakan seseorang dalam hal makan.
Dalam hal lain, empat kelompok tersebut akan lebih nampak, yakni ketika mereka menghadapi masalah. Misalnya, ketika isteri mereka ngambek. (Ilustrasi tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa kelompok profesor pasti bisa mengatasi masalah, hanya paling tidak, mereka memiliki seribu jurus untuk mengatasi masalah. Namun, kadang mereka juga perlu bantuan orang lain. Terbukti tidak sedikit professor yang kemudian mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.) Profesor tidak akan melakukan pukulan keras sebagaimana halnya tindakan yang sangat mungkin dilakukan oleh orang badui. Ia akan melakukan banyak hal agar istrinya dapat tersenyum kembali. Ia telah hafal karakter istrinya dan akan membuat ramuan aksi dengan mudah sehingga mampu memberikan reaksi yang dapat mencairkan suasana.
Kecerdasan integensi sang profesor memang dapat menjadi penerang jalan hidupnya, namun satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah perlunya kecerdasan tersebut dirangkai dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Alangkah indahnya jika seorang profesor memiliki ketiganya. Tentu kehidupan di dunia ini akan terselenggara dengan baik.
Untuk mencapai kecerdasan emosional dan spiritual, seseorang memang tidak perlu belajar secara khusus, sebagaimana mereka mengembangkan aspek intelegensinya. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengendalikan segala keinginannya. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan sesorang dalam mengolah kebutuhan batinnya dengan bersandar kepada Allah swt.
Seorang sufi, tentu ia telah mampu mengolah spiritualnya sehingga emosinya juga terkendali. Hanya masalah intelegensi belum tentu memuaskan. Seorang psikolog mungkin ia tahu metode pengendalian emosinya. Ia akan berusaha menerapkan konsepnya secara mendalam seiring dengan kemampuannya secara intelektual. Namun, masalah spiritual mungkin tidak selalu beriringan. Ia bisa saja atheis karena mengandalkan kemampuan nalar belaka.
Kalau dilihat secara seimbang, tiga kecerdasan ini berurutan dari yang paling penting ke yang paling kurang penting. Emosional, intelektual dan spiritual. Hal ini menjadi pertimbangan meskipun seorang ibu tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tapi karena belajar dari alam, ia akan memiliki kecerdasan emosional. Ia tidak akan memperlakukan anaknya secara semena-mena meskipun ia sering menjadi lelah dan suntuk dengan perilaku mereka. Ia tidak akan membuang atau bahkan membunuh anaknya karena ia bosan mengasuh. Nah, kemampuan ini akan lebih maksimal bila digabungkan dengan pengetahuan yang luas tentang metode pangasuhan anak. Ia dapat belajar dari buku-buku atau mendengarkan ceramah orang yang ahli di bidang tumbuh kembang anak. Hal ini akan mengasah kecerdasan intelektualnya Selanjutnya, kemampuan ini akan lebih sempurna bila diimbangi dengan kemampuan menjalin hubungan dengan zat yang maha pencipta. Ia akan selalu tenang dalam menghadapi segala masalah hidup karena ia adalah bagian dari skenario tuhan yang maha besar. Ini disebut dengan kecerdasan spiritual.
Dengan demikian, menjadi kewajiban kita untuk menjadi pelajar sejati dari fakultas kehidupan yang nyata, demi teraihnya posisi tinggi di dua dunia. Semangat terus-menerus untuk mendalami ilmu pengetahuan dan keimanan akan memudahkan kita mencapai impian itu. Amin.

Sabtu, 13 Juni 2009

NASEHAT KEMATIAN

"Kematian bisa datang kapan saja. Tak ada seorang pun yang mampu memajukan atau memundurkannya walau hanya sedetik. Sesungguhnya, mengingat akan datangnya kematian adalah nasehat paling baik agar tidak terlena dalam kehidupan dunia yang menyilaukan."

Jumat, 12 Juni 2009

POLITIK KEUANGAN TENTANG ZAKAT DAN WAKAF DI INDONESIA

Sudirman, M. Saifuddin Zuhri, dan Wawan Hermawan [1]


A. PENDAHULUAN

Salah satu agenda sosial yang selalu diperjuangkan oleh Islam adalah terwujudnya keseimbangan di berbagai bidang kehidupan. Hal ini tercermin, setidaknya, dalam ajaran zakat dan wakaf yang menginginkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan sehingga tidak hanya terpusat pada golongan tertentu. Pembagian ekonomi secara adil ini dapat dikatakan sebagai sebuah langkah politik keuangan dalam Islam.

Untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan kekayaan, Islam mengajarkan untuk dilakukannya transaksi dalam bentuk yang bermacam-macam, di antaranya adalah jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, hingga hutang-piutang. Dengan adanya model transaksi tersebut, distribusi kemakmuran dapat dirasakan oleh semua kalangan, bukan hanya untuk kalangan orang berkantong tebal. Semuanya itu dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa saling tolong-menolong dan timbal balik. Dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa Allah akan selalu menolong seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya (al-Shan’ani, t.th/VII: 88).[2] Hal lain yang juga penting direnungkan adalah bahwa perumpamaan orang Islam dengan orang Islam lainnya ibarat satu bangunan yang saling mendukung dan mengukuhkan satu sama lain (al-Bukhari, t.th./I: 182).[3] Dengan demikian, syariat yang mengedepankan penguatan kesejahteraan kelompok kurang beruntung menjadi salah satu ciri khas syariat Islam.

Berhubungan dengan penerapan nilai-nilai syariat Islam, Indonesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia patutlah diperhitungkan. Untuk mengukur keberadaan Indonesia di kancah percaturan dunia Islam, kriteria negara muslim patut disampaikan dalam bagian ini. Setidaknya, ada dua kategori dalam mengklasifikasikan Islam tidaknya suatu negara. Sebuah negara dijuluki negara Islam karena asas negaranya adalah Islam. Negara semacam ini antara lain Pakistan dan Malaysia. Adapun kategori kedua, suatu negara dikatakan negara Islam sebab mayoritas penduduknya beragama Islam, semisal Turki dan Indonesia (Kamaruzzaman, 2001: 49-51). Hal senada juga disampaikan oleh Lapidus (1999: 629) bahwa sejarah pembentukan masyarakat Muslim dunia dipicu oleh dua motif utama, yakni motif pembentukan negara dan islamisasi. Dengan demikian, Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam negara Islam karena mayoritas pendudukannya (88%) beragama Islam (www.wikipedia.com) sebagai hasil proses islamisasi di bumi nusantara yang berlangsung berabad-abad.

Tulisan ini akan menyajikan dua pembahasan utama seputar zakat dan wakaf sebagai instrumen politik keuangan di Indonesia. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah banyak mengatur kehidupan beragama, khususnya untuk umat Islam. Undang-undang tentang haji (UU No. 17 Tahun 1999), zakat (UU No. 38 Tahun 1999), dan wakaf (UU No. 41 Tahun 2004) adalah beberapa contoh konkret seriusnya pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan umat Islam. Berkaitan dengan pembahasan tulisan ini, kebijakan pemerintah seputar zakat dan wakaf mendapat sorotan lebih mendalam. Kedua materi tersebut akan dikaitkan dengan kebijakan negara terkait dengan kebijakan fiskal, bukan kebijakan moneter.[4] Dalam masalah politik keuangan di Indonesia, masalah zakat dan wakaf dapat dikategorikan ke dalam kebijakan fiskal negara karena terkait dengan pengaturan pendapat dan belanja negara. Namun, kebijakan fiskal dalam zakat dan wakaf tidak dianggap sepenuhnya murni, karena zakat dan wakaf tidak secara langsung masuk ke dalam kas negara. Peran pemerintah sebagaimana disampaikan Jalaluddin (1991: 66) bahwa pemerintah memeliki peran penting dalam mengatur ekonomi Islam, termasuk di dalamnya zakat, wakaf, dan pajak. Negara dapat mengatur dan memberikan stimulasi agar umat Islam di Indonesia gemar berzakat dan merasa nyaman saat berwakaf. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah yang menjadikan zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang diulas cukup panjang dalam tulisan ini.

B. POLITIK KEUANGAN DI BIDANG ZAKAT

1. Definisi Zakat

Secara bahasa, zakat berarti tumbuh dan bertambah. Namun, bisa juga diartikan dengan makna “taharah” yang berarti suci. Hal ini bisa difahami dari ayat QS. Asy-Syams: 9.

ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu

Namun secara terminologi, zakat merupakan nama dari sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan dengan cara tertentu. Bisa juga dimaknai dengan “kepemilikan harta tertentu bagi orang yang mempunyai hak (mustahiq) dengan syarat-syarat tertentu” (al-Jaziri, 2004: 501). Oleh karenanya, ia dianggap sebagai tiang agama yang menjadi dasar tegaknya agama Islam. Sejarah Islam telah mencatat bagaimana Khalifah Abu Bakar memerangi segolongan orang yang ingkar atas kewajiban zakat. Karena dengan berbuat seperti itu, eksistensi agama Islam akan terancam yang akhirnya dapat merobohkan bangunan masyarakat Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Maka dari itu, zakat menjadi landasan dan kewajiban pokok bagi seorang Muslim. Tujuannya adalah untuk melakukan penyucian diri dan harta, serta membangun solidaritas dan soliditas umat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama.

Di Indonesia, pelaksanaan dan pengelolaan zakat diatur melalui UU No. 38 Tahun 1999. Dasar alasannya adalah negara menjamin kemerdekaan bagi seluruh warga negara untuk menjalankan agamanya sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Karena zakat menjadi salah satu rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya dan dapat dijadikan sebagai wahana perekonomian sosial, agar mempunyai daya manfaat yang lebih besar, maka Pemerintah perlu memberikan pembinaan, pelayanan serta perlindungan terhadapnya.

Pada pasal 1 ayat 2 UU tersebut mendefinisikan zakat sebagai “harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya”. Dari definisi dan uraian di atas, secara normatif-praktis, sebagian umat Islam masih ada atau bahkan masih banyak yang mendasarkan pelaksanaan zakatnya dengan teks-teks fiqh klasik, namun tidak sedikit pula yang berpedoman pada hukum positif-yuridis yang berlaku, dalam hal ini UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan-peraturan lain yang melengkapinya. Dalam kondisi tertentu, realitas seperti ini kadang-kadang bisa menjadi kendala terhadap upaya maksimalisasi pengelolaan zakat di Indonesia.

2. Dalil dan Hikmah Zakat

Perbedaan rizki yang ada di antara manusia merupakan sebuah keniscayaan. Karena, memang Allah SWT telah menyatakannya dalam QS. An-Nahl: 71 yang berbunyi sebagai berikut:

ª!$#ur Ÿ@žÒsù ö/ä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$# 4

Artinya: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.

Akibat dari perbedaan rizki tersebut, memunculkan status sosial antara si kaya (the have) dan si miskin (the have not). Si kaya mempunyai harta yang melimpah sehingga tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya, bahkan ia mempunyai kelebihan harta yang bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya. Sebaliknya, si miskin tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Kondisi semacam ini menyebabkan konstruk sosial mudah mengalami pecah dan goyah, yang akibatnya bisa menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antara sesama. Maka dari itu, untuk mengurangi akibat mafsadat nya, Allah berfirman dalam QS. Adz-dzariyat: 19 sebagai berikut:

þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Atas dasar ayat di atas, Allah mewajibkan orang yang kaya untuk memberikan hak yang wajib bagi orang fakir dan miskin. Bahkan dalam ayat yang lain secara tegas, Allah mewajibkan zakat sebagai sarana distribusi kekayaan antara si kaya dan si miskin. Hal ini bisa kita fahami dari QS. Al-Baqarah: 110, yang bunyinya sebagai berikut:

(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 t

Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.

Dapat dicatat di sini bahwa dalam al-Qur’an terdapat 32 kata zakat, dan 80 kali diulang dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata shadaqah, dan infaq. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting dalam Islam (Ali, 2006: 24).

Kewajiban zakat menjadi jalan yang utama yang bisa menjembatani kesenjangan tersebut. Ia juga mampu merealisasikan sifat gotong-royong dan tanggung jawab sosial di dalam lingkungan masyarakat Muslim.

Adapun hikmah yang terkandung dalam ibadah zakat menurut Zuhailly (1996: 86-87) di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan (tindak kejahatan) para pencuri. Dengan begitu, seorang muzakki akan lebih tenang dan nyaman dalam kehidupan sosialnya, serta mampu melakukan kebaikan yang berhubungan dunia maupun akhirat (Depag, 2006a: 58)

b. Zakat merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukan bantuan. Zakat bisa mendorong mereka untuk beribadah, bekerja dengan semangat dan bisa mendorong mereka untuk meraih kehidupan yang layak.

c. Zakat menyucikan jiwa dari penyakit kikir dan bakhil. Ia juga melatih sorang mukmin untuk bersifat pemberi dan dermawan. Mereka dilatih untuk tidak menahan diri dari mengeluarkan zakat, melainkan mereka dilatih untuk ikut andil dalam menunaikan kewajiban sosial, yakni kewajiban untuk mengangkat negara dengan cara memberikan harta kepada fakir dan miskin.

d. Zakat diwajibkan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat harta yang telah dititipkan oleh Allah.

3. Pengaruh Zakat dalam Mewujudkan Keseimbangan Ekonomi

a. Pengambilan Zakat Secara Vertikal dan Pembagiannya Secara Horizontal

Zakat diambil secara vertikal jika telah mencapai nisab, yaitu sebagai ketetapan dengan batasan minimal wajibnya zakat dikeluarkan. Begitu juga dengan ukuran barang yang wajib dikeluarkan pada barang yang wajib dikeluarkan zakat. Kelebihan harta yang dimiliki dikeluarkan sesuai ketetapan yang ditentukan oleh para ahli fikih. Sedangkan pembagian zakat dilakukan secara horizontal atau merata kepada kelompok yang berhak menerima, yaitu delapan keleompok yang disebutkan ayat.

Pada masalah di atas bahwa pengambilan harta zakat tidak ada batasan maksimal, di samping itu pembagiannya dilakukan secara horizontal dan merata kepada yang berhak sehingga keseimbangan terwujud secara terus-menerus. Paling sedikit unsur pembagian pada delapan asnaf tersebut menjadi batasan diberikannya harta zakat (al-Ba’ly, 2006: 125).

b. Pengaruh Zakat dalam Permintaan Ekonomis

Permintaan ekonomis adalah kumpulan permintaan individu yang menginginkan suatu barang dengan kemampuan mereka membayar harganya dan berusaha membelinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa zakat sebagai salah satu tambahan bagi pemasukan sebagai pemasukan baru. Hal ini akan menyebabkan adanya peningkatan pada permintaan terhadap barang. Sedangkan pada sektor produksi akan menyebabkan bertambahnya produktifitas, sehingga perusahaan-perusahaan yang telah ada semakin bergerak maju, bahkan memunculkan berdirinya perusahaan-perusahaan baru untuk menghadapi permintaan tersebut.

Di lain pihak, modal yang masuk ke perusahaan tersebut semakin bertambah banyak. Setiap suatu barang sangat penting dan merupakan kebutuhan yang mendasar, setiap itu pula permintaan tidak akan berubah. Hal inilah yang menyebabkan terus-menerusnya produktifitas perusahaan dan terjaminnya modal-modal yang diinvestasikan (al-Ba’ly, 2006:126).

c. Pengaruh Zakat Pada Tingkat Permintaan

Ketika zakat diambil dari mereka yang memiliki pemasukan tinggi dan diberikan kepada mereka yang memiliki pemasukan terbatas, maka kecondongan konsumtif dari mereka yang memeliki pemasukan yang tinggi akan lebih sedikit dari mereka yang memiliki penghasilan terbatas. Pengaruh optimistis dari zakat adalah pengecilan tingkat perbedaan antara kecondongan konsumtif dengan pemasukan yang ada untuk mewujudkan keseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan. Dengan arti bahwa kecondongan konsumtif akan menjadi semakin besar ketika zakat telah dilaksanakan dibanding dengan sebelumnya.

Permintaan

Pemasukan

K + S

K


K adalah fungsi konsumtif sebelum zakat, sedangkan K+S adalah fungsi konsumtif setelah zakat. S adalah jumlah zakat yang diterima. Dapat kita simpulkan bahwa harta zakat yang dikeluarkan akan selalu menambah jumlah kecondongan untuk konsumtif (al-Ba’ly, 2006:128).

4. Kebijakan Negara tentang Zakat

a. Dalam Negara Islam

Dalam sebuah tulisannya mengenai zakat dalam lintasan sejarah, Amin Suma (2003: 70) menyatakan bahwasanya pengelolaan zakat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rosyidin, benar-benar dikelola secara fungsional dan prosedural oleh “Amil” yang benar-benar profesional, transparan, dan amanah. Dengan begitu, zakat sebagai salah satu sumber ekonomi umat benar-benar mampu mensejahterakan masyarakat dan umat Islam waktu itu.

Pada zaman ini pun sudah dikenal adanya pembagian kerja antar unsur yang terlibat dalam pengurusan dan pengelolaan zakat di antaranya adalah:

1) Katabah, petugas untuk mencatat para wajib zakat

2) Hasabah, petugas untuk menaksir, menghitung zakat

3) Jubah, petugas untuk menarik, mengambil zakat dari para muzakki,

4) Kahazanah, petugas untuk menghimpun dan memelihara harta zakat

5) Qasamah, petugas untuk menyalurkan zakat kepada mustahik (Nasution, E, 2006: 214).

Pernyataan di atas diakui juga oleh beberapa pakar ekonomi Islam, di antaranya adalah Mustafa Edwin Nasution (2006: 228). Pada masa Nabi dan para sahabatnya tersebut, sumber pokok pendapatan negara adalah zakat, sebagai sebuah kewajiban bagi umat Islam dan ushr diperuntukkan bagi kafir dzimmi. Begitu juga jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang nonmuslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Dan khusus pendapatan yang berasal dari zakat hanya diperuntukkan bagi kelompok yang telah ditetapkan dalam QS. At-Taubah: 60 yang berbunyi:

* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# t

ûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ

Artinya:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dengan turunnya ayat ini, kebijakan fiskal saat itu dengan tegas menetapkan jenis-jenis pengeluaran yang dapat digunakan atas dana zakat yang ada. Dengan begitu bisa difahami, bagaimana ekonomi Islam sangat memperhatikan kaum miskin yang derajat kehidupannya perlu dibantu dan diangkat ke tingkat yang layak. Dan juga bagaimana pemerintahan Islam menerapkan kebijakan fiskalnya.

Bahkan lebih jauh, kegiatan pengeluaran dana zakat tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan untuk mencapai sasaran distribusi pendapatan yang lebih merata. Dengan demikian, ada usaha untuk mendorong orang memutarkan hartanya ke dalam sistem perekonomian (Nasution, 2006: 231).

b. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Zakat

Di Indonesia, zakat sebagai bentuk ibadah sosial mempunyai kekuatan dan potensi yang sangat besar dalam memerangi segala bentuk kemiskinan. Bahkan ia mampu menggugah spiritualitas umat untuk melakukan ta’awun, tolong-menolong antar umat dan saling berbagi rizki demi kesejahteraan bersama.

Di samping itu, pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini, menurut Hazairin seperti dikutip Prihartini (2005: 95), mengandung pengertian bahwa Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan memerlukan alat kekuasaan atau penyelenggara negara.

Mengingat potensi zakat yang sangat besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan diperkuat lagi dengan pasal 29 UUD 1945 tersebut, serta cita-cita nasional, maka dirasakan perlunya pengelolaan zakat ini diatur dalam perundang-undangan RI. Karena itu, pada tanggal 23 September 1999, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat diiringi dengan Peraturan Pelaksanaannya oleh Departemen Agama (Prihartini, F, 2005: 96).

Bagi bangsa Indonesia, saat ini kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Memang tidak mudah untuk mengatasi masalah kemiskinan karena kemiskinan di Indonesia memiliki riwayat yang cukup panjang. Sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, Indonesia sudah dihadapkan pada masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, namun kebijakan pemerintah itu belum mampu mengentaskan kemiskinan. Dengan demikian, kesejahteraan umum yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masih jauh dari harapan rakyat karena kemiskinan masih terjadi di berbagai daerah. Padahal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 34, ayat (1) disebutkan bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini berarti bahwa kita sebagai bangsa Indonesia berkewajiban untuk mencari solusi dalam mengatasi masalah kemiskinan tersebut. Jika solusi pengentasan kemiskinan yang tepat belum ditemukan maka kemiskinan tetap akan menjadi masalah bagi bangsa Indonesia.

Di samping itu, kemiskinan juga merupakan persoalan yang menakutkan dan berpengaruh kepada sistem kehidupan yang lebih makro, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus diminimalisasi, kalau tidak mungkin dihilangkan. Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Untuk menghadapi masalah kemiskinan tersebut, sebenarnya dalam Islam ada beberapa lembaga potensial untuk dikembangkan dalam mengatasi kemiskinan, salah satu di antaranya adalah zakat. Di sinilah sebenarnya, arti penting zakat dalam menunjang tugas pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi. Dengan begitu, menjadi wajar, Pemerintah merevitalisasi peran masyarakat, dalam hal ini pengelolaan zakat, untuk ikut serta dalam mengatasi masalah kemiskinan.

c. Pengelolaan Zakat Menurut UU No. 38 Tahun 1999

Dalam UU ini, ada empat hal yang menjadi pertimbangan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk mengeluarkan sebuah Undang-Undang mengenai Pengelolaan Zakat. Pertama, Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. Kedua, Penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu. Dan keempat, upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat dipertanggung jawabkan.

Undang-undang ini terdiri 10 bab dengan 25 pasal yang sistematika dan isinya adalah sebagai berikut: Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II Asas dan Tujuan, Bab III tentang Organisasi Pengelolaan Zakat, Bab IV mengenai Pengumpulan Zakat. Bab V mengenai Pendayagunaan Zakat, Bab VI mengenai Pengawasan, Bab VII tentang Sangsi, Bab VIII mengenai Ketentuan-ketentuan lain, Bab IX Ketentuan Peralihan sedangkan yang terakhir, yaitu Bab X mengenai ketentuan Penutup.

Uraian berikut akan mengemukakan beberapa pokok yang dimuat dalam bab dan bagian-bagiannya. Dalam bab I ini, UU menjelaskan beberapa istilah pokok yang termaktub di dalamnya. Di antaranya adalah pengelolaan zakat, zakat, muzakki, mustahiq, agama, dan menteri. Termasuk juga kewajiban berzakat bagi muslim yang mampu atau sebuah badan yang dimiliki oleh orang muslim. Dalam penjelasannya, muslim dikatakan mampu berdasarkan atas ketentuan agama.

Dalam bab II berisi mengenai asas dan tujuan pengelolaan zakat. UU ini menegaskan bahwa zakat pada prinsipnya adalah berasaskan iman dan taqwa. Dengan begitu, pengelolaannya harus mampu meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agamanya, dan juga meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Di samping itu, juga harus meningkatkan hasil guna dan daya guna pengelolaannya.

Bab III memuat aturan mengenai organisasi pengelolaan zakat. Dalam UU ini pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat bentukan Pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur Pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan Lembaga Amil Zakat yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas Islam, yayasan dan institusi lainnya.

Adapun pengumpulan harta zakat dan cara pendayagunaannya dapat ditemukan dalam bab IV dan V. Di sini pasal-pasalnya memuat tentang macam zakat, yaitu zakat fitrah dan zakat mal. Harta yang termasuk bagian dari zakat mal di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Emas, perak, uang

2) Perdagangan dan perusahaan

3) Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan

4) Hasil pertambangan

5) Hasil peternakan

6) Hasil pendapatan dan jasa

7) Rikaz

Untuk menghitung berapa besaran harta yang harus dikeluarkan, muzakki melakukan penghitungan sendiri berdasarkan hukum agama, baik yang terkait dengan waktu (haul) ataupun kadar (nisab)nya. Jika tidak mampu menghitung sendiri kewajiban zakatnya, maka muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat ataupun badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzakki untuk menghitungnya.

Ketika zakat telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat, maka nilai zakat tersebut dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5] Ketentuan ini terdapat pada pasal 14 ayat 3.

d. Penghitungan Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak

Pajak penghasilan yang terutang adalah sebesar jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) x tarif PPh berdasarkan pasal 17 UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan yaitu

1) Orang pribadi

PKP s.d 25 juta tarif 5%

25 juta –50 juta tarif 10%

50 juta – 100 juta tarif 15%

100 juta – 200 juta tarif 25 %

> 200 juta tarif 35%

2) Badan

PKP s.d. 50 juta tarif 10%

50 juta – 100 juta tarif 15%

> 100 juta tarif 30%

Adapun ketentuan tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) mengacu kepada Undang-Undang no. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan pasal 7 yang intinya adalah bahwa orang yang berpenghasilan:

1) Rp. 2.880.000,- untuk wajib pajak pribadi

2) Rp. 1.440.000,- untuk wajib pajak yang kawin

3) Rp. 2.880.000,- untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami

4) Rp. 1.440.000,- untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus atau anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya tidak dikenakan pajak karena jumlah uang itu adalah bebas dari beban bayar pajak. Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan contoh berikut. Seorang laki-laki punya istri dan tiga anak, maka PTKPnya adalah Rp. 2.880.000,-+Rp.1.440.000,-+ (3 X 1.440.000,-) = Rp. 8.640.000,-

Untuk keperluan mendapatkan gambaran penghitungan PKP, berikut ini langkah-langkah yang harus ditempuh.

1). Wajib pajak orang pribadi Muslim (karyawan)

Penghasilan Bruto Rp. T

Biaya jabatan Rp. a

Penghasilan netto sebelum zakat (T-a) Rp. U

Zakât penghasilan yang nyata-nyata

dibayarkan ke BAZ atau LAZ Rp. b

Penghasilan netto setelah zakat (U-b) Rp. V

Penghasilan tidak kena pajak Rp. c

Penghasilan kena pajak (V-c) Rp. W

PPh terutang

Rp. W x Tarif Rp. X

Contoh:

Saudara X adalah pekerja dengan gaji Rp 800.000,- per bulan. Ia mempunyai seorang istri dan tiga orang anak.

Cara menghitungnya adalah :

Penghasilan bruto 12x Rp. 800.000,- Rp. 9.600.000,-

Biaya Jabatan 5% x Rp. 9.600.000,- Rp. 480.000.-

Penghasilan netto sebelum zakat Rp. 9.120.000,-

Zakat yang dapat dikurangkan adalah

2,5% x Rp. 9.120.000,- Rp. 228.000,-

Penghasilan netto setelah zakat Rp.8.892.000,-

PTKP (K/3) Rp.8.640.000,-

Penghasilan kena pajak Rp. 252.000,-

PPh. Terutang 5% x Rp. 252.000,- Rp. 12.600,-

Sebagai catatan, apabila dalam tahun berjalan wajib pajak menderita rugi, maka zakât tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Apabila dalam tahun berjalan wajib pajak memperoleh laba, maka zakât tetap boleh dikurangkan dari PKP, walaupun akhirnya terdapat kompensasi kerugian tahun lalu (definisi zakât atas penghasilan dan strukturnya sebelum kompensasi kerugian dalam pengecualian pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh)

2) Wajib pajak badan yang dimiliki pemeluk agama Islam

Penghasilan bruto Rp. P

Dikurangi:

Biaya untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan Rp. a

Zakât penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan

kepada badan atau lembaga amil zakat Rp. b

Jumlah pengurang (a+b) Rp.Q

Penghasilan kena pajak Rp. R

PPh terutang Rp. R X tarif Rp.S

Contoh:

Kondisi PT Y adalah perusahaan dagang dengan penjualan tahun 2008 sebesar Rp. 70.000.000,- harga pokok penjualan Rp 50.000.000,- biaya umum dan administrasi adalah Rp 15.000.000,-

Penghitungan:

Penghasilan bruto Rp. 70.000.000,-

Harga pokok penjualan Rp. 50.000.000,-

Laba bruto usaha Rp. 20.000.000,-

Biaya umum dan administrasi Rp. 15.000.000,-

Penghasilan netto sebelum zakât Rp. 5.000.000,-

Zakât yang dibayar 2,5% x Rp.5.000.000,- Rp. 125.000,-

Penghasilan kena pajak Rp. 4.875.000,-

PPh yang harus dibayar 10% x 4.875.000,- Rp. 485.000,-

Contoh:

Kondisi sdr. K adalah perusahaan dagang (toko) dengan penjualan tahun 2007 sebesar Rp. 50.000.000,- harga pokok penjualan Rp.30.000.000,- biaya umum administrasi Rp. 10.000.000,- konpensasi kerugian tahun 2005-2006 sebesar 1.000.000,- sdr Y mempunyai isteri dan 3 orang anak.

Perhitungan:

Penghasilan bruto Rp. 50.000.000,-

Harga Pokok Penjualan Rp. 30.000.000,-

Laba bruto usaha Rp. 20.000,000,-

Biaya Umum Administrasi Rp. 10.000.000,-

Penghasilan netto sebelum zakât Rp. 10.000.000,-

Zaka dibayar 2,5% x 10.000.000,- Rp. 250.000,-

Penghasilan netto setelah pajak Rp. 9.750.000,-

konpensasi kerugian Rp. 1.000.000,-

penghasilan netto setelah kerugian Rp. 8.750.000,-

PTKP (K/3) Rp. 8.640.000,-

Penghasilan kena pajak Rp. 110.000,-

PPh terutang 5% x 110.000,- Rp. 5.500,-

Terkait dengan perhitungan di atas, perlu dipahami bahwa ada peraturan baru tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana tertera dalam buku petunjuk pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikeluarkan oleh direktorat pajak tahun 2005 (Sudirman, 2007: 145). Pada angka 10 dijabarkan bahwa besarnya PTKP adalah sebagai berikut:

1) Rp. 12.000.000,- untuk wajib pajak

2) Rp. 1.200.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin

3) Rp. 12.000.000,- tambahan untuk seorang isteri (hanya seorang isteri) yang diberikan apabila ada penghasilan isteri yang digabungkan dengan penghasilan suami.

4) Rp. 1.200.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (misalnya ayah, ibu, atau anak kandung) dan semenda (misalnya mertua atau anak tiri) dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungannya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga.

Contoh perhitungannya sebagai berikut:

Saudara Z adalah pegawai dengan penghasilan Rp 3.000.000,- per bulan. Ia mempunyai seorang istri dan dua orang anak.

Cara menghitungnya adalah :

Penghasilan bruto 12x Rp. 3.000.000,- Rp.36.000.000,-

Biaya Jabatan 5% x Rp. 36.000.000,- Rp. 1.800.000.-

Penghasilan netto sebelum zakat Rp. 34.200.000,-

Zakat yang dapat dikurangkan adalah

2,5% x Rp. 34.200.000,- Rp. 855.000,-

Penghasilan netto setelah zakat Rp.33.345.000,-

PTKP (K/2) (12.000.000+1.200.000+2.400.000) Rp.15.600.000,-

Penghasilan kena pajak Rp. 17.745.000,-

PPh. Terutang 5% x Rp. 17.745.000,- Rp. 887.250,-

Menelaah ketentuan baru di atas, ada perubahan yang cukup siginifikan dalam jumlah penghasilan yang tidak dikenai beban pajak. Sebagai contoh, wajib pajak yang belum menikah baru akan dikenai pajak jika penghasilannya lebih dari Rp 12.000.000,- pertahun, padahal menurut pasal 7 UU No 17 tahun 2000 batas minimal penghasilan bebas pajak adalah Rp. 2.880.000,- Ini berarti ada penyesuaian nominal penghasilan tidak kena pajak hingga lebih dari empat kali lipat (Sudirman, 2007: 146). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk isteri yang hartanya digabungkan dengan suami, yang awalnya hanya Rp. 2.880.000,- kini menjadi Rp 12.000.000,-. Hal ini tentu menguntungkan bagi wajib pajak karena ia tidak lagi dibayang-bayangi oleh kewajiban membayar pajak bila penghasilannya di bawah ketentuan baru tersebut.

e. Perdebatan Ahli Tentang Hubungan Zakat dan Pajak

Ali, N.Mhd, (2006: 11-15) memetakan mengenai polemik hubungan zakat dan pajak. Menurutnya polemik mengenai hubungan zakat dan pajak telah dimulai sejak masa-masa awal pengembangan Islam. Misalnya, saat pasukan Muslim baru saja berhasil menaklukkan Irak, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang termasuk tanah di bekas wilayah taklukan (Khaibar). Tanah-tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukan dengan perjanjian damai ditetapkan menjadi milik penduduk setempat. Konsekwensinya, penduduk diwilayah Irak tersebut membayar pajak (Kharaj), sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam.

Pada masa sekarang, pembahasan mengenai hubungan keduanya juga masih dibacarakan oleh tokoh dan pemikir Islam, seperti Yusuf Qardawi, Monzer Kahf, Faruq al-Nabbahan, Dawam Rahardjo, S.A. Siddiqi, Sayed Afzal Peerzade, Gayi Inayah dan Masdar Farid Mas’udi. Pemikiran mereka dijabarkan sebagai berikut.

Yusuf Qardawi, dalam bukunya yang membicarakan Fiqh zakat, menganggap zakat dan pajak sebagai sesuatu yang berbeda dan tidak bisa disatukan, oleh karena itu wajiblah bagi seorang muslim membayar dua kewajiban sekaligus, yaitu pajak dan zakat. Dan pendapat ini senada dengan pemikiran Ibn Hajar al-Haysyami dari mazhab Syafi’i, Ibn Abidin dari mazhab Hanafi dan Syeikh Ulaith dari madzhab Maliki yang mengatakan bahwasanya antara zakat dan pajak merupakan dua hal yang terpisah. Oleh karena itu, pembayaran atas pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat.

Pemikiran seperti ini diperkuat oleh Gayi Inayah dalam bukunya yang berjudul al-Iqtishad al-Islami al-Zakah wa al-Dharibah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak (2003). Menurutnya antara keduanya tidak bisa disatukan, karena zakat adalah ibadah dan bukan pajak yang bernilai ekonomis.

Namun ada beberapa ulama yang membolehkan pengintegrasian zakat dan pajak, namun baru pada batas niat saja. Imam Nawawi dan mazhab Syafi’i, Imam Ahmad dan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa membayar pajak dengan ‘niatan’ zakat diperbolehkan, dan karenanya kaum muslim cukup membayar pajak.

Di Indonesia, pendapat seperti ini disuarakan kembali oleh Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Menurutnya, zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi umat manusia, yakni ketidakadilan. Ajaran zakat bukanlah ajaran untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan ajaran untuk kemaslahatan dan keadilan semesta, rahmatan lil a’lamin. Inti ajaran zakat yang mutlak, universal, dan tidak berubah adalah (1) siapapun yang memiliki kelebihan harta maka ia harus menginfaqkan sebagian harta (rizqi) yang diterimanya itu. (2) harta yang diinfaqkan oleh atau dipungut dari yang mampu itu harus ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, dengan memprioritaskan mereka yang lemah. Orang-orang non-Islam yang lemah, disamping orang-orang Islam sendiri, tetap harus mendapat perhatian dalam pembagian zakat, agar bisa meringankan beban ekonomi mereka. Kemaslahatan yang dimaksudkan adalah kemaslahatan menyeluruh, lintas agama, suku, dan juga golongan.

Leih lanjut menurutnya, umat Islam, terutama para pemimpin dan ulama, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebabkan oleh Negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat Islam telah benar-benar telah memisahkan Negara dari agama. Pemisahan ini menyebabkan umat Islam menanggung beban yang sangat berat karena harus melaksanakan dua macam kewajiban, yaitu menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban warga Negara. Akibatnya, kewajiban mengeluarkan zakat, selalu terkalahkan oleh keharusan membayar pajak.

Relasi antara zakat sebagai konsep keagamaan, di satu sisi, dan pajak sebagai konsep keduniawian, di sisi yang lain, bukan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis. Zakat bukanlah suatu yang harus dipisahkan, diparalelkan apalagi dipertentangkan dengan pajak. Melainkan ia justru harus disatukan sebagaimana disatukannya ruh dengan badan, atau jiwa dengan raga. Oleh karena itu, petanyaan yang menyangkut operasionalisasi dan ketentuan tersebut adalah pertanyaan yang hanya relevan untuk pengaturan pajak, bukan zakat. Zakat adalah soal niat, soal motivasi, soal komitmen spiritual-moral yang ada pada pribadi-pribadi beriman selaku rakyat yang membayarkan pajak. Berdasarkan keimanannya itu, orang, bukan saja berkewajiban membayar pajak pada atau melalui Negara, akan tetapi ia juga berhak mentransendentasikan pembayaran pajaknya itu sebagai penunaian zakat. Pembayaran pajak dengan niat zakat akan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yang dibayarkan itu bukan sebagai persembahan atau pembayaran utang kepada Negara, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan karena Allah SWT. Ikrar batiniyyah ini, dapat menjadikan pembayaran pajak itu bersifat duniawi namun bernilai ukhrawi, dan sekaligus memberikan efek pembebasan dari kungkungan Negara. Dengan begitu, zakat menjadi konsep etik dan moral untuk pajak (Fuad, 2005: 102-103).

Lepas adanya perdebatan di atas, Mubariq Ahmad (Depag, 2006: 14) menawarkan dua hal mengenai peran zakat dinegara kita, Indonesia. Pertama, zakat sebagai bagian dari pungutan yang dikenakan Pemerintah atas masyarakat (administrasi zakat sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Diantara Pemikir Islam yang menolak poin ini adalah Dawam Rahardjo. Menurutnya, pengelolaan zakat oleh pemerintah dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya substansi zakat sebagai perintah Allah (P3EI, 2008: 504). Kedua, zakat sebagai “sistem kesejahteraan” masyarakat Islam yang terpisah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dan Indonesia menganut yang kedua ini.

Hal ini terbukti tidak dicantumkannya “zakat” sebagai unsur pendapatan negara yang tertuang dalam APBN (lihat lampiran). Malahan zakat menjadi pengurang pendapatan kena pajak (PKP), Itu artinya secara riil pendapatan negara akan terkurangi dan ini berlawanan dengan keinginan IMF selaku donator hutang bagi Indonesia, akibat adanya pembayaran zakat yang dilakukan oleh seorang muslim.

Namun bagi Eri Sudewo (Sadili, 2003: 19) meski pengurangan ini bertentangan dengan keinginan IMF agar pemerintah Indonesia mengurangi subsidi bagi rakyat, meningkatkan pendapatan, termasuk pajak dan harus cepat-cepat melunasi hutang-hutangnya, sebenarnya ini merupakan strategi pemancing agar pajak dapat terhimpun dalam jumlah yang besar. Logikanya, dengan adanya pembayaran zakat yang dilakukan dengan motivasi “spiritual-transendental” diharapkan kalkulasi terhadap harta yang dizakati bebas dari unsur manipulasi dan “mark-up” data. Dengan begitu, Pemerintah mengetahui berapa sebenarnya potensi pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.

Oleh karena itu, penerapan zakat sebagai pengurang pajak, tidak serta merta mengurangi/ merugikan negara, namun pada sisi lain negara akan sangat terbantu dengan berkembangnya “volunteer sector” dalam menunjang tugas pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara luas.

C. POLITIK KEUANGAN DI BIDANG WAKAF

1. Pengertian Wakaf

Dalam nash, kata shadaqah bisa berarti pemberian wajib atau pemberian sukarela. Untuk yang pertama merupakan nama lain dari zakat. Hal ini bisa dilihat pada Surat al-Taubah ayat 60 dan 103. Sedangkan dalam hadis, makna ini di antaranya terlihat pada hadis ketika Nabi berbicara mengenai nisab kewajiban mengeluarkan sebagian harta menggunakan kata shadaqah, sebagai padanan kata zakat (al-Bukhari, t.t./V: 429). Bahkan untuk zakat fitrah, beberapa hadis menggunakan kata shadaqah, shadaqah al-fitri, seperti hadis al-Bukhari riwayat Ibn Umar (t.th./ VI: 41).

Untuk yang kedua, yang berarti pemberian sukarela, bisa ditemukan pada surat al-Baqarah ayat 263 (Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan) dan ayat 271 (Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu) serta al-Nisa` ayat 114 (Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah).

Sedangkan dalam hadis, makna ini bisa ditemukan dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Anas mengenai sebagian hasil tanaman yang dimakan oleh burung, manusia, atau binatang merupakan shadaqah bagi orang yang menanamnya (al-Bukhari, VIII: 385). Pemberian ini pun tidak mesti berbentuk uang, benda atau barang, tetapi bisa juga berbentuk jasa atau perbuatan, seperti menyingkirkan duri dari jalan (al-Bukhari, IX: 132), menolong orang yang teraniaya, mengerjakan kebaikan, dan menjauhi keburukan (al-Bukhari, V, 425). Bentuk pemberian yang terakhir ini mungkin lebih tepat jika dinamakan sebagai perbuatan baik. Makna yang terakhir ini akan lebih jelas terlihat pada hadis al-Bukhari riwayat dari Abu Hurairiah (t.th., II: 9) yang menyatakan bahwa setiap persendian manusia bisa memberikan shadaqah. Lalu hadis ini merinci, atau lebih tepatnya memberikan contoh, sebanyak lima macam perbuatan manusia, yaitu berbuat adil dalam memberi keputusan kepada dua orang saudaranya, membatu orang lain menaiki atau menaikkan barang bawaan ke atas kendaraannya, bertutur kata yang baik, langkah menuju shalat, dan menyingkirkan duri di jalan.

Ada jenis khusus dari shadaqah yang berarti pemberian sukarela ini, yaitu shadaqah jariyah. Kata jariyah menurut bahasa semakna dengan kata darah, yang berarti mengalir, dan dawam yang berarti abadi atau langgeng (Ibn Manzur, IV: 139). Jika shadaqah diartikan sebagai pemberian kepada yang membutuhkan dengan maksud mengharap ridla Allah (al-Zuhaili, V: 380), maka tambahan kata jariyah dimaksudkan sebagai suatu pemberian yang manfaatnya masih terus mengalir sehingga kebaikan berupa pahala dari Allah bagi pemberi shadaqah jariyah pun terus mengalir.

Istilah ini berasal dari sebuah hadis yang populer yang diriwayatkan oleh banyak ahli hadis[6] tentang tiga macam perbuatan orang yang sudah meninggal dunia yang pahala kebaikannya tetap mengalir. Al-Nawawi (t.th., XI: 85), dalam syarahnya terhadap kitab Hadis Sahih Muslim, menyatakan bahwa pahala ketiga macam perbuatan tersebut tetap mengalir karena pada dasarnya ketiganya merupakan hasil perbuatan orang yang bersangkutan. Salah satu dari ketiga macam perbuatan tersebut adalah shadaqah jariyah. Para ulama memahami shadaqah jariyah sebagai wakaf. Dengan demikian, wakaf merupakan bagian dari shadaqah.

Hadis lain yang kemudian menjadi doktrin konseptualisasi wakaf adalah hadis Ibnu Umar yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan nabi SAW. Ketika itu Umar memperoleh sebidang tanah subur di Khaibar dan hendak bersedekah dengan tanah tersebut. Lalu Nabi saw bersabda: “in syi’ta habbasta aslaha wa tashaddaqta biha.” Berdasar pada pernyataan Nabi ini, Umar pun mewakafkan tanah tersebut (Al-Bukhari, t.t., X: 87) dari hadis ini dapat diambil beberapa prinsip wakaf, yaitu, (1) wakaf merupakan sedekah sunnah yang berbeda dengan zakat; (2) wakaf bersifat langgeng karena wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan atau dihibahkan; (3) wakaf harus dikelola secara produktif; (4) keharusan menyedekahkan hasil benda wakaf untuk tujuan yang baik sebagaimana dikehendaki wakif; dan (5) pengelola wakaf atau nadzir memperoleh bagian yang wajar dari hasl wakaf.

Sementara mengenai definisi wakaf menurut istilah terdapat perdebatan yang cukup luas di kalangan ahli fikih. Hal ini karena mereka berbeda pendapat mengenai sifat dasar wakaf. Setelah al-Kabisi (2004: 38-62) merekam perdebatan ulama mengenai hal ini, ia tiba pada satu pilihan bahwa tindakan yang paling tepat adalah mengembalikan definisi wakaf kepada apa yang terdapat pada hadis Nabi SAW, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Qudamah, seorang ulama mazhab Hambali, yaitu: “tahbis al-asl wa tasbil tsaratihi (menahan asa dan mengalirkan hasilnya).”

2. Kebijakan Pemerintah tentang Wakaf

a. Wakaf dari Masa ke Masa

Sebagaimana di belahan bumi yang lain, akar tradisi sejenis wakaf juga bisa ditemukan di sejarah masyarakat Indonesia. Di Banten misalnya, terdapat apa yang dikenal dengan 'Huma Serang', yaitu berupa ladang-ladang yang setiap tahun dikelola secara bersama-sama dan hasilnya digunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok terdapat 'Tanah Pareman', yaitu tanah negara yang dibebaskan dari pajak landrente yang hasilnya diserahkan kepada desa-desa, subak, dan candi untuk kepentingan bersama. Sementara di Jawa Timur terdapat 'Tanah Perdikan', yaitu pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang dianggap berjasa yang tidak boleh diperjualbelikan (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006: 13-14).

Setelah Islam masuk ke wilayah Indonesia, maka wakaf mulai dikenal di Indonesia. Bukti awal paling kuat dapat ditelusuri dari peran para Walisongo dalam memperkenalkan Islam. Untuk menyebarkan Islam ke lingkungan istana, bisasanya dimulai dengan mendirikan pesantren dan masjid di lingkungan kesultanan (istana). Pola ini dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim (w.1419) dan Sunan Ampel (w.1467), yang kemudian diikuti oleh tokoh Walisongo lainnya. Masjid dan pesantren, di samping sebagai pusat penyebaran Islam, juga sebagai institusi pertama yang menjadi benih bagi perkembangan wakaf masa berikutnya (A. Najib [ed.], 2006:73).

Kebijakan penguasa terhadap satu kasus hukum biasanya berbanding lurus dengan bagaimana rezim berkuasa melihat potensi hukum tersebut, baik dalam kerangka kepentingannya maupun kepentingan masyarakat. Kebijakan penguasa terhadap suatu produk hukum bisa terjadi pasang surut seiring dengan perubahan pola hubungan antara penguasa dan masyarakat yang berkepentingan terhadap produk hukum tersebut. Yang demikian itu karena politik atau kekuasaan, meminjam istilah Moh. Mahfud MD (1998), determinan atas hukum. Berdasar pada kerangka ini, maka dapat dipahami bagaimana perkembangan legislasi wakaf dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Pada masa penjajahan, Pemerintah Kolonial Belanda, karena melihat peran wakaf yang begitu besar bagi masyarakat Indonesia, dirasa perlu mengeluarkan beberapa peraturan mengenai wakaf, di antaranya Surat Edaran sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905 no. 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 no. 6196, Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 4 Januari 1931 no. 361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931 no 125/A, Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 no. 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934 no. 13390, dan Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1935 no. 13480 (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006: 15-16). Pada masa penjajahan Jepang tidak ada peraturan mengenai wakaf yang dikeluarkan. Sayangnya kebijakan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat wakaf. Akibatnya ia tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf selain untuk memenuhi tata aturan administrasi wakaf belaka. Hal ini tentu dapat dipahami karena sulit rasanya bagi penjajah memiliki keinginan untuk memberdayakan rakyat jajahannya.

Peraturan mengenai perwakafan tanah yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda, terus berlaku setelah Indonesia merdeka berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945: "Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlakku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini." Untuk penyesuaian dengan alam kemerdekaan telah dikeluarkan beberapa petunjuk peraturan perwakafan, yaitu petunjuk dari Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1953 tentang petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Untuk selanjutnya perwakafan menjadi wewenang Bagian D (ibadah sosial), Jabatan Urusan Agama. Sebagai tindak lanjut peraturan mengenai wakaf tanah, pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan Surat Edaran no. 5/D/1956.

Pada tahun 1960, lahir Undang-undang Pokok Agraria no. 5 tahun 1960 yang memberi perhatian khusus terhadap perwakafan tanah, yaitu pada pasal 49:

1) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung negara dengan hak pakai.

2) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah

Pasal 49 UUPA di atas memerlukan peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaannya. Namun demikian, peraturan pemerintah ini tidak kunjung keluar sehingga dipertanyakan keseriusan pemerintah dalam masalah perwakafan khususnya dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Baru setelah 17 tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 17 Mei 1977, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang diiringi oleh seperangkat peraturan pelaksanaannya dari Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri serta beberapa instruksi Gubernur Kepala Daerah. Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, maka semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya, sepanjang bertentangan dengan peraturan pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Perkembangan wakaf semakin nyata dengan disahkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI ini, permasalahan wakaf mendapat tempat khusus, yakni pada Buku III. Kandungan Buku III yang terdiri dari lima bab dan 14 pasal (215-228) banyak mengadopsi dari PP No. 28 Tahun 1977. Di antaranya adalah tentang definisi wakaf yang meniscayakan kekalnya barang tersebut dan dalam jangka waktu tak ditentukan (pasal 215).

Lebih lanjut, hukum positif wakaf mendapatkan tempat lebih terhormat dengan disahkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk lengkapnya, hal-hal terkait dengan Undang-undang tersebut diuraikan di bawah ini.

b. Sekilas tentang Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004

1) Penyusunan Naskah Akademik RUU Wakaf

Undang-undang No. 41 Tahun 2004 diawali dengan Rancangan Undang-Undang yang dibuat berdasarkan analisa ajarah fikih, fenomena sosiologis maupun landasan hukum berupa persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang Wakaf dari Presiden. Direktorat Zakat dan Wakaf menindaklanjuti dengan menyiapkan naskah akademik sebagai landasan pemikiran dalam penyusunan RUU tentang wakaf yang disusun oleh Uswatun Hasanah, pakar wakaf dari Universitas Indonesia (Djunaidi, 2006: 37).

Penyusunan naskah akademik tentang wakaf dilakukan dalam rangka memberi alasan pentingnya penyusunan RUU tentang wakaf. Konsep-konsep yang dimuat dalam naskah ini mengacu kepada perkembangan perwakafan di Indonesia dan tuntutan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteranan sosial.

Undang-undang ini akhirnya disahkan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 Oktober 2004 sebagaimana dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 159. Undang-undang ini terdiri dari XI Bab dan 71 pasal. Secara rinci, Bab I berisi ketentuan umum. Dalam bagian ini, definisi kata-kata kunci dipaparkan, seperti pengertian dari wakaf, wakif, ikrar wakaf, nadzir, harta benda wakaf, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, dan badan wakaf indonesia. Bab II mengandung dasar-dasar wakaf. Pada bagian ini diulas di antaranya tentang Tujuan dan Fungsi Wakaf, Unsur Wakaf, dan Harta Benda Wakaf. Bab III memuat Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf. Bab IV tentang Perubahan Status Harta Benda Wakaf. Bab V tentang Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf, Bab VI tentang Badan Wakaf Indonesia, Bab VII tentang penyelesaian Sengketa, Bab VIII tentang Pembinaan dan Pengawasan, Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi, Bab X tentang Ketentuan Peralihan, dan terakhir Bab XI tentang Ketentuan Penutup.

Munculnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disertai dengan PP no. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf. Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa ini iklim keterbukaan dalam penyelenggaraan negara sudah terbentuk. Bahkan, negara-negara maju menilai Indonesia sebagai salah satu negara demokratis di Dunia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam pembentukan produk hukum negara cukup aspiratif. Terbukti, pemerintah melalui Depatemen Agama menaruh perhatian yang sangat besar dalam pembentukan UU ini. Bahkan, prakarsa pembuatan RUU ini tentang wakaf datang dari Sekretariat Negara yang disampaikan kepada Departemen Agama saat Departemen ini mengusulkan pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

UU ini merupakan terobosan baru dalam sejarah perwakafan di Indonesia karena di dalamnya terdapat rumusan-rumusan mengenai wakaf yang berbeda dengan yang selama ini menjadi keyakinan dan dipraktekan oleh masyarakat muslim Indonesia. Salah satu terobosan tersebut adalah tentang wakaf tunai. Bahkan, dalam sejarah penyusunan UU ini, wacana mengenai wakaf tunai lah yang mengilhami ide penyusunan RUU ini (Direktorat Pemberdayaan Wakaf , 2006: 1 dan 20).

Masalah undang-undang wakaf sudah terselesaikan dengan lahirnya Undang-undang Wakaf no. 41 tahun 2004 dan PP no. 42 tahun 2006. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan fikih wakaf dalam beberapa hal sudah direspon oleh para ulama, baik yang ada di MUI maupun ormas Islam yang lain dengan fatwa yang dikeluarkan mereka. Walaupun demikian, respon para ulama ini belum tentu bisa menyelesaikan semua permasalahan karena faktor sosialisasi dan khilafiyah sebagai karakter dasar fikih masih mungkin terjadi.

Persoalan yang paling urgen saat ini adalah masalah profesionalisme nazhir yang dianggap masih kurang. Padahal nazhir marupakan figur penting yang menentukan berkembang atau mengerdilnya eksistensi wakaf. Berdasarkan hasil sebuah survei, hanya sedikit nazhir (16%) wakaf yang benar-benar mengelola wakaf secara penuh. Sebaliknya, mayoritas nazhir (84%) wakaf mengaku tugasnya sebagai nazhir hanyalah pekerjaan sampingan (A. Najib [ed.], 2006: 97). Oleh karena itu, upaya-upaya peningkatan profesionalisme nazhir harus terus dilakukan sehingga peran wakaf untuk kesejahteraan masyarakat bisa lebih optimal.

c. Perluasan Obyek Wakaf

Wakaf dalam pasal 1 Undang-undang tersebut didefinisikan sebagai suatu benda adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari definisi ini terdapat perluasan makna wakaf yang mengakomodasi wakaf jangka waktu tertentu. Adapun obyek wakaf--dalam bahasa undang-undang ini pada pasal yang sama disebut sebagai harta benda wakaf--adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.

Secara terperinci, obyek wakaf di Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak dalam UU Wakaf ini meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun benda bergerak yang merupakan nilai plus dari Undang-undang ini adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16).

Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fikih wakaf Indonesia telah mengadopsi semangat fikih klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perpektif fikih klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya undang-undang no 41 tahun 2004, sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Buku III. Undang-undang tentang wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Lebih lanjut, kedua pasal tersebut diberikan elaborasinya dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006. Pasal yang menjelaskan kedua pasal tersebut (15 dan 16) adalah pasal 15-23. Pada pasal 15 PP ini dijelaskan tentang jenis harta benda wakaf yang meliputi: a) Benda bergerak; b) Benda bergerak selain uang; dan c) Benda bergerak berupa uang (Pasal 15). Di sini ada perbedaan penyebutan dengan UU, yang hanya mengklasifikasikan benda wakaf menjadi bergerak dan tidak bergerak. Namun PP ini menyebut lebih rinci dari benda bergerak berupa uang dan selain uang. Pembedaan ini semata-mata karena konsekuensi dari benda bergerak berupa uang dan selain uang tidaklah sama sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal selanjutnya.

Dari paparan di atas nampak jelas bahwa undang-undang no 41 tahun 2004 yang dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 lebih mengedepankan aspek administrasi di samping aspek fikihnya. Hal ini dinilai wajar karena munculnya undang-undang tersebut merupakan jawaban atas kegalauan sebagian umat Islam Indonesia dalam pelaksanaan wakaf. Dengan demikian, fikih klasik yang menjadi sumber hukum positif di Indonesia masih relevan untuk dikaji guna menemukan formula baru bagi pengembangan wakaf ke depan seiring dengan perkembangan zaman.

3. Peran Wakaf untuk Kesejahteraan Masyarakat

Sebagaimana pada banyak konsep lain, pada konsep sejahtera pun para pakar berbeda-beda dalam memberikan batasan. Sebagian menyebutkan bahwa kata sejahtera merupakan lawan dari miskin. Namun, sampai hari ini tidak ada kata sepakat mengenai batasan kemiskinan. Sebagian yang lain menitikberatkan pada perasaan sehingga kesejahteraan adalah perasaan senang dan tentram, tidak kurang apa-apa dalam batas-batas yang mungkin dicapai oleh orang perorang. Ada juga yang mengaitkan bahwa kesejahteraan berawal dari kebutuhan (Mubarok, 2008: 21-23). Pendapat pertama lebih menekankan pada sisi ekonomi-fisik manusia, sedangkan pendapat kedua lebih menekankan pada sisi batin manusia. Jika dihubungkan dengan tiga potensi yang dimiliki manusia, yaitu fisik, akal, dan hati, yang kesemuanya harus mendapat perhatian, maka yang menarik adalah pendapat yang menghubungkan kesejahteraan dengan kebutuhan. Biasanya perasaan senang dan tentram bisa terwujud jika kebutuhan bisa terpenuhi. Oleh karena itu, ketika membahas masalah kesejahteraan, maka harus memperhatikan ketiga potensi tersebut. Dalam tulisan ini pun akan berusaha mengikuti kerangka ini.

a. Wakaf untuk Sarana Ibadah

Praktek sejenis wakaf sudah dikenal di berbagai kelompok masyarakat manusia jauh sebelum Islam muncul. Salah satu tujuan mereka mengeluarkan sebagian harta mereka adalah untuk mendirikan bangunan tempat penyembahan (Al-Kabisi, 2004: 15). Demikian juga halnya dengan yang dilakukan oleh masyarakat muslim. Wakaf untuk masjid merupakan salah satu bentuk wakaf yang paling awal yang mereka lakukan (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007: 4).

Masjid merupakan salah satu kebutuhan pokok umat dalam kehidupan beragama mereka sekaligus merupakan tuntutan doktrin keagamaan. Di sanalah mereka melakukan ibadah ritual dan kegiatan-kegiatan kegamaan yang lain. Di sisi lain, banyak nass yang memberikan keutamaan bagi orang yang membangun masjid, salah satunya adalah janji Nabi seperti yang tercermin dalam salah satu hadis: "Barangsiapa membangun masjid lalu ia shalat di dalamnya, maka Allah `Azza wa Jalla akan membangun untuknya di surga yang lebih bagus dari masjid itu" (Ahmad, XXXIV: 190). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika semangat mengeluarkan sebagian harta mereka berupa wakaf untuk membangun masjid tumbuh begitu besar di kalangan umat Islam. Bangunan masjid bertebaran di seluruh penjuru tanah air. Di mana satu komunitas muslim terbentuk, maka di sana pula berdiri masjid. Bahkan, di banyak tempat satu kampung bisa lebih dari satu masjid. Belum lagi dihitung bangunan mushalla dan majlis ta`lim yang biasanya juga berasal dari harta wakaf. Menurut data Departemen Agama tahun 1987, luas tanah wakaf yang dipakai untuk bangunan masjid berjumlah 65.655 lokasi atau 30,94% dari jumlah total tanah wakaf dengan luas 84.699.935,86 m2 dan mushalla berjumlah 79.594 lokasi atau 37,55% dari jumlah total tanah wakaf dengan luas 35060094,40 m2 (Suhadi, 2002:65).

b. Wakaf untuk Pendidikan

1) Pondok Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di negeri ini dan telah berkembang khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Menurut Nurcholish Madjid, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indiegenous) (Tim Penyusun, 2007: 76).

Pesantren yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, khususnya tanah Jawa, biasanya tumbuh dari harta wakaf. Para pendiri pondok mewakaf kan tanah mereka berupa lahan untuk pendirian bangunan fasilitas pondok maupun tanah sawah yang hasilnya digunakan untuk kelangsungan pondok. Lama kelamaan harta wakaf itu berkembang, baik pengembangan dari harta wakaf semula maupun penambahan dari wakaf yang baru, sehingga hingga beberapa kali lipat dari semula. Itulah yang terjadi di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, misalnya. Hasil pengelolaan harta wakaf sangat membantu dalam pengembangan sarana belajar dan cadangan untuk keperluan sewaktu-waktu, walaupun masih jauh untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan operasional pendidikan (Irfan Abu Bakar, 2005: 293).

Pengelolaan wakaf yang cukup berhasil untuk pengembangan pondok adalah Badan Wakaf Pondok Modern Gontor Ponorogo. Sejak diikrarkannya wakaf ini pada tahun 1959, luas tanah wakaf pondok baik darat maupun sawah terus bertambah secara signifikan, dari 18,59 ha (1958), meningkat menjadi 200 ha (1972), lalu 261ha (1986), dan 320ha (2004). Harta wakaf yang berkembang ini dikelola dengan beberapa cara, yaitu penggarapan sawah dengan sistem bagi hasil, investasi melalui unit-unit usaha, dan penggalangan dana dengan pola langsung. Sementara alokasi penggunaan hasil pengelolaan wakaf disalurkan untuk mengembangkan pendidikan di pondok berdasarkan lima tujuan strategis atau Panca Jangka Pondok Modern, yaitu pendidikan dan pengajaran, kaderisasi, pergedungan, khizanatullah, dan kesejahteraan keluarga pondok (Irfan Abu Bakar, 2005: 232-242).

2) Lembaga Pendidikan Formal

Institusi wakaf juga berperan besar dalam pengembangan pendidikan formal. Dengan wakaf Muhammadiyah mendirikan beragam lembaga pendidikan di semua jenjang yang sejak awal memang menjadi salah satu fokus perhatian organisasi ini. Demikian juga, dalam perkembangan selanjutnya, pondok pesantren yang berafiliasi ke NU melakukan diversifikasi dengan membentuk lembaga formal-klasikal mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini terjadi di hampir semua pesantren besar, seperti Pondok Pesantren Salafiyah Syafi`iyah Situbondo dengan IAII (Institut Agama Islam Ibrahimy), Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo dengan IAINJ (Institut Agama Islam Nurul Jadid), Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dengan IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy`ari), Pondok Pesantren al-Musaddadiyah Garut dengan STAIM (Sekolah Tinggi Agama Islam al-Musaddadiyah). Bahkan di beberapa Pondok Pesantren dibuka lembaga pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan Nasional, seperti Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang dengan UNDAR (Universitas Darul Ulum) dan AKPER (Akademi Perawatan) serta (Zahro, 2004: 29-30) Pondok Pesantren al-Musaddaiyah dengan STTG (Sekolah Tinggi Teknologi Garut).

Ada beberapa lembaga wakaf yang dianggap punya prestasi dalam mengembangkan program pendidikan, seperti Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (BWUII). Pada awalnya, lembaga ini tidak memiliki harta wakaf yang berarti, baik tanah maupun bangunan. Harta wakaf yang ada hanya berupa perabotan rumah tangga. Namun kini, lembaga ini menjadi sebuah perguruan tinggi swasta yang cukup ternama di Indonesia. Perolehan harta wakaf diawali dengan saham Pulau Bulan dan Sungai Samah Estate sebanyak 350 lembar dengan harta 10.000 gulden, satu unit mesin percetakan, dan hibah dari Novib Belanda. Dari pemanfaatan harta wakaf itu dan sumber-sumber wakaf yang baru, kini BWUII memiliki 40 ha tanah yang tersebar di lima titik di Yogyakarta dengan total aset diperkirakan hingga 250 miliar rupiah. Beberapa tahun belakangan, Badan Wakaf UII tengah memikirkan langkah untuk penggalangan dana melalui cash waqf dan mobilisasi dana melalui penerbitan sertifikat wakaf. Dana ini akan digunakan untuk pembangunan fisik pengembangan pendidikan. Salah satu proyek yang sedang dicanangkan adalah pembangunan rumah sakit bertaraf internasional di Desa Caturtunggal (Bamualim, 2005: 265-270).

Lembaga wakaf yang lain adalah Badan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (BWUMI). Badan Wakaf UMI oleh tokoh-tokoh umat Islam Ujung Pandang. Badan Wakaf ini berdiri pada tanggal 22 Syawal 1374 atau 23 Juni 1954memiliki tanah wakaf seluas 25 ha, yang berasal dari wakaf asli, dan pembelian seluas 1,5 ha. Badan Wakaf ini mengelola sebuah perguruan tinggi, yaitu Universitas Muslim Makasar, yang mempunyai delapan fakultas: Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Taknik, Fakultas Usuludin, Fakultas Syari`ah, Fakultas Sastra, Fakultas Perikanan, dan Fakultas Pertanian dengan jumlah mahasiswa sekitar 17.000 dan 3.416 alumni (Suhadi, 2002: 61-61).

c. Wakaf untuk Peningkatan Sosial-Ekonomi

Jika kita memperhatikan sejarah perwakafan, terlihat bahwa wakaf yang pertama kali dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab atas petunjuk Nabi, yang kemudian diambil menjadi definisi wakaf sebagaimana yang telah dibahas di atas, adalah wakaf dalam bidang sosial ekonomi. Sahabat Umar mewakafkan sebidang tanah di Khaibar yang manfaatnya ia shadaqahkan kepada orang yang membutuhkan. Namun demikian, wakaf yang berkembang saat ini lebih banyak untuk keperluan ibadah ritual dalam bentuk masjid dan mushalla. Sedangkan wakaf untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kurang populer. Bahkan, cenderung ada anggapan bahwa wakaf dalam bidang non-masjid dan mushalla kurang nilai kebaikannya. Hal ini bisa dilihat dari data penggunaan tanah wakaf. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suhadi (2002: 49), dari 426 orang responden sebanyak 287 (67,4%) menjawab tanah wakaf yang dikelola bukan dimanfaatkan untuk usaha produktif. Sedangkan tanah yang dikelola secara produktif (32,6%), digunakan untuk perkebunan (61,7%), sawah (9,4%), tambak ikan (8,25%), ladang (7,7%), dan lain-lain (5,7%).

Menurut Mustafa E. Nasution (2006: 38), beberapa penyebab relatif kecilnya peran lembaga wakaf dalam perekonomian suatu negara antara lain adalah:

1) Berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan lembaga wakaf

2) Masyarakat masih tergiur dengan sistem ekonomi non syari`ah

3) Belum adanya undang-undang wakaf yang komprehensif-integral

4) Berbagai masalah yang berkaitan dengan fikih wakaf

Ungkapan Nasution di atas menunjukkan bahwa peran wakaf sebenarnya dapat ditingkatkan untuk kemaslahatn umat di berbagai bidang. Hanya saja, permasalahan-permasalahan klasik yang terkadang sulit ditemukan ujung pangkalnya membutuhkan para pemikir wakaf yang serius merancang dan menyajikan ide baru demi berkembangnya wakaf di masa depan.

D. Penutup

Tulisan ini memaparkan seputar kebijakan politik pemerintah dalam masalah zakat dan wakaf. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menunjukkan bahwa pemerintah cukup serius dalam menangani pengelolaan dan pengembangan zakat dan wakaf di Indonesia. Kebijakan pemerintah di bidang zakat dan wakaf dapat dikategorikan sebagai kebijakan fiskal meskipun tidak murni sepenuhnya karena hasil pengumpulan zakat dan wakaf tidak langsung masuk ke dalam kas negara sebagai pendapatan.

Khusus tentang zakat, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Kebijakan ini memang masih belum maksimal karena efek ekonomis dari kebijakan ini tidak terasa manfaatnya. Pasalnya, zakat bukan pengurang pajak secara langsung, melainkan hanya penghasilan kena pajak atau pokok harta yang akan dikenai pajak. nya belum terasa. Walaupun begitu, perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan melalui instrumen zakat pengurang pajak sebagaimana telah dilaksanakan di negeri jiran, Malaysia, patut didukung, dilanjutkan, dan dilaksanakan lebih cepat lebih baik. Semoga dengan begitu, keadilan ekonomi sebagai salah satu misi Islam dapat terwujud di bumi nusantara tercinta ini. Wa Allah A’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Irfan, 2005a, Pelembagaan Wakaf di Pesantren Tebuireng Jombang: Sebuah Upaya Merespon Kebutuhan akan Perubahan, dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (ed.), "Revitalisasi Filanntropi Islam," Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta.

Abubakar, Irfan, 2005b, Pengelolaan Wakaf di Pondok Modern Gontor Ponorogo: Menjaga Kemandirian Civil Society, dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (ed.), "Revitalisasi Filanntropi Islam," Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta.

Ali, Nuruddin Mhd., 2006, Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

Al-Ba’ly, Abd al-Hamid Mahmud, 2006, Ekonomi Zakat, Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah, penerjemah Muhammad Abqary Abdullah Karim, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Bamualim, Chaider S, 2005, Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta: Wakaf untuk Modernisasi Perguruan Tinggi Islam, dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (ed.), "Revitalisasi Filanntropi Islam," Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta.

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, t.t., Sahih al-Bukhari, Juz IV- VI, VIII, dan IX, t.tp: t.p.

Al-Dasuki, Muhammad bin Ahmad bin Arafah, 1996, Hasyiyah al-Dasuki `ala al-Syafh al-Kabir, cet. 1, Libanon: Beirut.

Depag RI., 2006, Pedoman Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

-------------., 2007a, Pedoman Pengelolaan Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

-------------., 2007b, Manajemen Pengelolaan Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

---------------., 2008a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

---------------., 2008b, Panduan Organisasi Pengelola Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

---------------., 2008c, Panduan Pengembangan Usaha Bagi Mustahiq, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

---------------., 2008d, Membangun Peradaban Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam

Al-Dimasq, Taqiyy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, t.t., Kifayah al-Akhyar fi Hall Gayah al-Ikhtishar, Semarang: Toha Putra.

Djunaidi, Ahmad (et.al.), 2006, Proses Lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dertemen Agama RI.

Fuad, Mahsun, 2005, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS

Halim, Abd, dan Azizah Dolah “Kaitan Zakat dan Cukai di Malaysia,” dalam Sudirman dan Risma Nur Arifah (Ed), 2008, The Power of Zakat, Malang: UIN Malang Press.

Hanbal, Ahmad bin, t.th., Musnad Ahmad, t.tp: t.p.

Hasanah, Uswatun (et.al), 2005, Hukum Islam Zakat & Wakaf (Teori dan Prakteknya di Indonesia), Jakarta: Papas Sinar Sinanti dan Badan Penerbit Fak. Hukum UI

Ilchman, Warren E., 2006, Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia, Jakarta: CSRC.

Jalaluddin, Abul Khair Mohd., 1991, the Role of Government in an Islamic Economy, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen.

Al-Jaziri, Abd ar-Rahman, 2004, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, 2004, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet Dhuafa.

Lapidus, Ira M, 1999, Sejarah Sosial Ummat Islam, Penerjemah: Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Mahfud, MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT Pustaka LP3ES.

Manzur, Ibn, t.th., Lisan al-`Arab, t.tp: t.p.

Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Al-Nawawi, al-Imam, t.th., Syarh al-Nawawi `ala Muslim, t.tp: t.p.

Al-Mut`i, Mahmud Najib, t.th., Kitab al-Majmu` Syarh al-Muhazzab li al-Syirazi, Juz XVI, ttp: Maktabah al-Irsyad.

Najib, Tuti A. (ed.), 2006,, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Kemanusiaan di Indonesia, Jakarta: CSRC UIN Jakarta.

an-Naisaburi, Muhammad bin Abdullah, 1990, al-Mustadrak ala al-Shahihain, Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

An-Nasai, Ahmad bin Syu’aib, t.th., Sunan al-Nasa’i, Kairo: Mauqi’ Wizarah al-auqaf al-Misriyyah.

Nasution, M.E. et al.,2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

P3EI, 2008, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada

Prihatna, Andi Agung, 2005, Filantropi dan Keadilan Sosial di Indonesia, dalam Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (ed.), "Revitalisasi Filantropi Islam," Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta.

as-Shan’ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani, t.th., Subul al-Salam, Bandung: Maktabah Dahlan.

Sills, David L. (Ed.), International Encyclopedia of the Social Sciencies, Vol. 11, New York: The Macmillan Company & The Free Press.

Sudirman, 2007, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas, Malang: UIN Malang Press.

Suhadi, Imam, 2002, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.

Suhanah, 2006, “Pemberdayaan Pengelolaan Harta Wakaf di Yayasan Daarut Tauhid Kecamatan Sukasari Kota Bandung,” dalam Karim Muchit et. Al, Pengelolaan Wakaf dan Pemberdayaannya di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat: Jakarta.

at-Tabrani, t.th., al-Mu’jam al-Kabir, t.tp: t.p.

Tim Penyusun, 2006, Perkembangan Pengelolaan Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Jakarta.

Tim Penyusun, 2007a, Fikih Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Jakarta.

Tim Penyusun, 2007b, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf: Jakarta.

At-Turmudzi, Muhammad bin Isa, t.th., Sunan al-Turmudzi, Kairo: Mauqi’ Wizarah al-auqaf al-Misriyyah.

Yafie, Ali (Pengantar), 2003, Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa, Jakarta: Forum Zakat (FOZ)

Zahro, Ahmad, 2004, Tradisi Intelektual NU, Yogyakarta: LKiS.

Al- Zuhaili, Wahbah, t.t., Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr.



[1] Tulisan ini dipresentasikan dalam seminar kelas Program Doktor Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang pada mata kuliah Ekonomi Islam di bawah bimbingan Dr. H. Abdul Hakim, S.E., M.Si., hari Kamis, 28 Mei 2009.

[2] Hadis semacam ini banyak dijumpai dalam kitab hadis, seperti an-Naisaburi, 1990/ IV: 425 dan at-Tabrani, t.th./XIX: 431,

[3] Hadis ini juga cukup banyak tertera dalam pelbagai kitab hadis, antara lain dalam An-Nasa’i, t.th./II: 41, Ahmad, t.th. /II: 451, dan at-Turmudzi, t.th./IV: 325.

[4] Untuk membedakan keduanya, kebijakan moneter biasa diartikan sebagai suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Adapun kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah (Nasution, 2006: 204 dan 261).

[5] Hal ini berbeda dengan kondisi di Malaysia. Para pembayar zakat di negeri jiran ini dapat langsung memotongkan zakat mereka kepada kenator pajak sehingga zakat berfungsi sebagai pengurang pajak. Lebih lengkapnya silakan baca Abd Halim dan Azizah Dolah “Kaitan Zakat dan Cukai di Malaysia,” dalam Sudirman dan Risma Nur Arifah (ed), 2008: 221-248.

[6] Pada kitab Sahih Muslim terdapat pada Bab Ma Yulahaq al-Insan min al-Sawab Ba`d, pada kitab Sunan al-Tirmizi terdapat pada Bab fi al-Waqf, pada kitab Sunan al-Nasa`i terdapat pada Bab Fadl al-Sadaqah `an al-Mayyiti, dan pada kitab Sunan Abu Daud terdapat pada Bab Ma Ja'a fi al-Sadaqah `An al-Mayyiti.

Introduction