Rabu, 31 Oktober 2012

SI UNTUNG

Sedih nian nasib si Untung. Jalan hidupnya tak semujur namanya. Si Untung harus bekerja keras dari pagi hingga petang demi menyambung hidupnya. Hari-harinya dihiasi dengan peluh keringat berjatuhan. Tubuhnya kurus selangsing penghasilannya. Kadang ia mengeluh tapi sesegera mungkin ditepisnya. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang kuli. Kuli tidak pernah kuliah. Ilmunya yang pendek dan cekak tak dapat menghantarnya menjadi orang gedongan yang tinggal sebut saja apa maunya langsung berduyun-duyun dayang menghampirinya dengan sejuta suguhan. Untung harus menghela napas panjang ketika ia tak bisa berbuat sesuka hatinya. Kuli hanya jadi pesuruh. Ia harus nurut majikannya bila diminta ke sana kemari. Meski ia sudah mengerjakan segala sesuatunya dengan baik, masih saja salah. Ia harus kebal telingan ketika sang tuan mengumpatnya dan memaki dengan segenap sumpah serapahnya. Sedih memang, tapi itu sudah surataN takdir yang harus dijalani.
 Untung sering merenung. Adakah manusia di muka bumi yang lebih buruk nasibnya? Dengan cepat ia bilang bahwa banyak orang yang hidupnya lebih parah dari dirinya. ia masih bisa mengucap hamdalah meski hidupnya kembang kempis sementara berjuta orang yang lupa siapa pemberi rezeki melimpah padanya. Ia masih punya keyakinan yang kokoh atas keadilan tuhan. Ia berpegang teguh pada nasehat pak Yai kampungnya bahwa manusia kalau mau punya duit, harus ber-DUIT. Ia harus rajin ber-Doa sepanjang hari, siang dan malam untuk keselamatan diri dan jiwanya. Ia tak segan-segan mencurahkan isi hatinya kepada Sang Kekasih hatinya. Ia tahu bahwa sang Kekasih itu tak akan menyulayani janjinya. Lalu pesan kedua adalah Usaha Ikhtiyar. Meskipun nasibnya masih belum beranjak dari  titik nol, ia percaya bahwa profesi sebagai kuli harus tetap ditekuni sepenuh hati sampai Kekasihnya datang mengulurkan tangan lembutnya dan mengabarkan berita bahagia. Usaha maksimal adalah kewajiban dan keputusannya diserahkan kepada sang Kekasih. Ia akhirnya menyerahkan nasib peruntungannya kepada sang Kekasih dengan sepenuh-penuh Tawakkal. Dengan tawakkal, ia mengatakan bahwa sampai di sinilah usahaku. Sudah waktunya Tuhan melakukan tugasnya untuk membagi rezekiku. Jika hari ini aku belum banyak mendapatkan penopang hidup, itu artinya aku harus bekerja lebih keras dan giat lagi. Terus dan terus....Semoga apa yang ia kerjakan tidak sia-sia. tak selamanya seseorang terkurung dalam kesedihan. Pasti, ada suka dan duka yang silih berganti.


Rabu, 24 Oktober 2012

REUNI JATISARI ELOK

Hari Sabtu lalu, 20 Oktober, saya berkesempatan untuk berkunjung ke sebuah pemukiman yang sangat mengesankan. Tepatnya adalah Perumahan Jatisari Elok, Semarang. Sebenarnya, tujuan utama saya ke Semarang adalah menghadiri ujian terbuka teman saya, mas Hasbullah, di IAIN Walisongo. Namun, ketika saya turun bis di Tugu Muda di pagi hari, pikiran untuk berkunjung ke Elok semakin menguat. Hal ini didukung oleh transportasi ke Elok yang tiba-tiba datang di depan saya. Bis jurusan Boja belum pernah saya jumpai selama saya menunggu bis di Tugu Muda. Tapi anehnya, pukul 5 pagi itu, bis tersebut lewat dan saya pun jadi penumpangnya.

Saat naik bis, saya bertanya ke kondektur, "Lewat IAIN, Mas?" "Iya" jawabnya. IAIN memang tujuan utama saya. Biasanya, saya naik bis jurusan Mangkang yang juga lewat IAIN. Tapi  pagi itu bis itu tidak muncul-muncul. Di dalam bis, saya berpikir, dari pada saya nganggur menunggu dari pukul 5.30 sampai pukul 8.00 di kampus, mendingan waktu luang itu saya gunakan untuk bersilaturrahim alias reunian dengan kawan-kawan saya, para pejuang Jatisari Elok. Keinginan itu semakin menguat ketika sang kondektur meyakinkan saya bahwa bis itu tidak hanya lewat IAIN, tetapi lewat Jatisari juga. Akhirnya, saya putuskan untuk ke Jatisari meskipun saya tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun. Maklum, rencana ini cukup mendadak.


Di dalam bis, saya berusaha menghubungi kawan-kawan saya. Ada mas Yas, ada mas Sembodo, dan Pak Furqon. Tapi tak seorang pun menerima telepon saya. Akhirnya saya teruskan kontak kawan-kawan yang lain. Mujur, saya bisa kontak mas Wisnu yang kebetulan ada di rumah dan belum berangkat kerja. Akhirnya, saya dijemput oleh mas Wisnu dan menikmati hidangan pagi di kediamannya.

Tak lama kemudian, mas Har datang. "Lho, kok tahu saya di sini, Mas?" "Hehe, pak Sembodo telpon saya barusan!" kata mas Har datar. Saya gembira sekali ternyata di pagi akhir pekan ini ada beberapa kawan yang bisa kutemui. Reunian rasanya! Karena mas Wisnu harus mengantar putrinya ke sekolah, saya pun pamit dan ganti mengunjungi rumah mas Har. Kebetulan, mas Har agak longgar pagi itu. Saya diajak sarapan pagi dengan pecel spesial yang masih hangat. Kali ini, mas Yas yang tadinya tidak bisa dihubungi berkenan datang ke rumah mas Har dan menemani sarapan pagi. Ngobrol kesana-kesini dengan sahabat-sahabat sejati membuat hati saya semakin gembira. Belum lagi, saat saya mau pulang, ada oleh-oleh yang diberikan oleh mas Wisnu dan Mas Yudha. Saya pun pamit untuk segera ke kampus guna mengikuti ujian terbuka. Kali ini, mas Har siap mengantar saya ke pintu gerbang perumahan. Duh, kenangan Jatisari benar-benar membekas. Keramahan kawan-kawan Elok tiada bandingnya! Semoga saudara-saudaraku di sana tetap mendapat perlindungan dari Allah SWT selama-lamanya. Amin.





Selasa, 23 Oktober 2012

RUH KURBAN DALAM DUNIA HUKUM

Jika menilik kembali kisah kurban nabi Ibrahim dan nabi Ismail, kurban memiliki beberapa syarat. Di antaranya adalah  pelaku harus memiliki niat yang ikhlas dan kesadaran ketuhanan yang tinggi. Ketika syarat ini tidak ada, maka pengurbanan apapun yang dilakukan seseorang, ia pasti menginginkan imbalan yang setara atau bahkan lebih besar dari pada apa yang ia kurbankan. Seharusnya, “berdagang amal” kali ini adalah dengan Allah SWT. Jadi, keuntungannya berorientasi akhirat, bukan dunia belaka. Syarat berikutnya adalah bahwa  benda yang dikurbankan merupakan benda yang  dicintai atau bahkan benda yang paling berharga. Ibrahim sangat mencintai Ismail. Namun, demi cintanya kepada zat yang lebih agung, barang yang dicintainya pun diserahkan untuk meraih cinta hakiki. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan, perbuatan baru dikatakan berkurban ketika apa yang menjadi daya pikat dan kekuatan kita diserahkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat yang lebih tinggi tanpa pamrih. Sikap ini kian hari kian langka seiring dengan maraknya perdagangan pekerjaan yang dimotori oleh watak kapitalisme. Untuk itu, semangat berkurban hendaknya dimulai dari diri kita dengan menjadikan apa yang kita cintai sebagai washilah untuk menggapai cinta dari tuhan yang menciptakan. Bukankah kekayaaan atau jabatan yang kita miliki hanyalah sementara? Suatu saat semua yang kita banggakan akan hilang lenyap. Oleh sebab itu, mumpung masih bisa, selagi ada waktu, ruh berkurban hendaknya menjadi nafas kita dalam menjalankan kehidupan ini.
Semangat berkurban merupakan salah satu ajaran yang dapat diwujudkan dalam berbagai segi kehidupan, termasuk dalam penegakan hukum. Indonesia merupakan negara hukum namun tidak dipungkiri banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan hukum yang melukai hati masyarakat. Baru-baru ini muncul kasus pengangkatan pejabat negara yang pernah dipidana korupsi. Para tahanan tertentu juga banyak yang masih menikmati fasilitas hidup mewah. Mengapa ini terjadi? Salah satunya ruh kurban belum masuk secara mendalam ke relung-relung kehidupan. Masih banyak orang yang mementingkan diri sendiri, keluarga atau golongan. Hukum masih berpihak ke kelompok kuat baik dari sisi jabatan atau kekayaan. Peradilan belum memberikan rasa adil yang sebenar-benarnya. Untuk itu, jika ruh kurban dapat diterapkan dalam kehidupan senyatanya seperti kurban Ibrahim yang tulus tanpa pamrih, maka manusia dapat menyembelih sifat “kehewanan”nya yang suka serakah dan menang sendiri. Hukum dan peradilan akhirnya bisa menjadi pelindung sekaligus penjaga kehidupan semua orang tanpa kecuali.
Dalam hukum, pengorbanan yang penting antara lain dengan menjalankan hukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Peradilan harus bebas intervensi dari orang lain. Hukum harus tegak di atas semua golongan tanpa kecuali. Juga, hukum dibuat bukan hanya melayani segelintir orang yang ingin kepentingannya terlindungi. Banyak hukum di Indonesia yang muncul hanya karena keinginan sekelompok orang untuk mendapat legitimasi, seperti perda-perda yang bernuansa sara atau diskriminasi. Hal ini tentu sangat urgen di tengah situasi masyarakat yang sering tidak yakin tentang kepastian hukum dan keadilan hukum.
Hakim harus memutus perkara dengan hati nurani karena keputusannya tidak hanya berkorelasi dengan para pihak yang bersengketa tetapi dengan sang pencipta yang selalu mengawasinya. Kesadaran robbani inilah yang akan mampu menahan seseorang untuk berbuat curang dan hanya memenangkan ego dan hawa nafsunya. Hal ini juga berlaku untuk para penegak hukum lainnya, seperti aparat kepolisian dan KPK. Mereka harus jujur dan rela melaksanakan kewajiban dengan tulus tanpa harus takut menghadapi siapapun. Jika suatu saat mereka meninggal dalam rangkaian tugas, mereka harus yakin bahwa mereka tergolong orang-orang yang mati syahid.
Jadi, kurban bukan sebuah serimonial tahunan belaka. Semangat kurban harus diaplikasikan dalam kehidupan nyata kita di mana pun kita berada. Semoga perayaan kurban tahun ini menjadi momen penting kita untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa pamrih dan tanpa tebang pilih. Amin.

Introduction