Judul Buku : Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas
Penulis : Sudirman, MA
Penerbit : UIN Malang Press, Malang
Cetakan : I, 2007
Tebal : xiv + 178 halaman
Peresensi : M. Abdul Hady JM, Editor Buku, Fungsionaris PC. IPNU Sumenep Madura.
Dalam disiplin fiqh dan hadits, zakat ditempatkan pada pilar Islam yang yang ketiga setelah shalat. Zakat memiliki kedudukan sangat penting dalam Islam (Al Quran). Setidaknya, ada sekitar 30 ayat dalam Al Quran yang menerangkan zakat dan sekitar 27 ayat diantaranya kata zakat disebutkan secara bersamaan dengan perintah shalat.
Sebagaimana ritual lainnya dalam Islam, zakat menyimpan beberapa dimensi yang sangat kompleks. Kalau puasa sebagai ritual penyucian diri, maka zakat lebih diorientasikan untuk pensucian harta dan rasa solidaritas kemanusiaan. Sebab, pada hakikatnya sebagian harta yang dimiliki merupakan hak bagi orang lain yang masuk dalam kategori orang yang berhak menerima zakat, yaitu 8 orang golongan.
Zakat sesungguhnya merupakan potensi ekonomi yang amat besar bagi bangsa Indonesia. Jika kita menengok jumlah muslim yang mayoritas di negara kita, maka zakat bisa menjadi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Jumlah muslim yang 90% dari total populasi 200 juta, maka hal ini setidaknya sedikit mengurangi atau minimal menekan eskalasi kemiskinan.
Faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Maka, salah satu solusi pengentasan cengkeraman kemiskinan tentu saja dibutuhkan pengelolaan zakat yang tepat, lebih modern dan berdaya guna. Sebab, jika pengelolaan zakat tersebut dapat dilakukan dengan baik maka maka persoalan sosial seperti TKI terlantar, pengungsi, anak jalanan, anak putus sekolah, dan pengangguran akan dapat teratasi.
Sejarah telah mencatat bahwa fenomena fakir-miskin sudah menjadi bagian problem kemanusiaan yang akan tetap eksis sepanjang rode kehidupan manusia. Untuk itulah, zakat sebagai piranti pengentas kemiskinan dengan berbagai modifikasi sejalan dengan perkembangan zaman tampaknya merupakan jawaban yang cukup tepat.
Setidaknya dalam konteks ini, buku ”Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas” menjadi sangat penting. Sebab, selain menawarkan konsep menajemen modern dalam pengelolaan zakat, Sudirman penulis buku ini juga menyuguhkan rekonstruksi konsep zakat yang lebih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Rekonstruksi konsep zakat di sini diartikan sebagai upaya pemaknaan ulang zakat dalam hal-hal yang bersifat praktis, bukan dalam ranah konsep dasar zakat. Rekonstruksi di sini tidak dimasudkan untuk merubah hukum zakat dari wajib menjadi sunnah, namun lebih pada waliayah ijtihadi zakat yang bisa dikembangkan sesuai dengan irama perjalanan zaman. (h. 58)
Dalam kondisi apa pun sejak diperintahkan hingga kini, zakat hukumnya tetap wajib, hanya yang perlu direnungi ulang adalah barang apa saja yang harus dizakati. Selama ini, zakat hanya diasumsikan kepada zakat fitrah dan lima jenis zakat yang sudah umum dibincangkan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Kelima sumber zakat itu adalah zakat emas, perak, pertanian, peternakan, perdagangan, dan barang temuan. Padahal saat ini banyak sumber-sumber penghasilan yang justru lebih besar dari pada kelima jenis tersebut.
Dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat, misalnya kini masyarakat mengenal budidaya tanaman organik dan hidroponik, ikan hias, burung langka hingga perdagangan saham di pasar modal. Usaha semacam ini akan memberikan hasil yang berlipat ganda dan belum ditemukan pada zaman Muhammad dan ulama-ulama fiqh klasik.
Yusuf Qardawi, ulama kontemporer, menambahkan materi zakat yang wajib dizakati selain kelima materi zakat tersebut di atas, yaitu antara lain, zakat investasi pabrik, jasa, profesi, saham, dan obligasi. Pengembangan konsep dan meteri zakat, menurut Qardawi disebabkan adanya konpleksitas sistem perekomian dan kemampuan manusia menguasai kekayaan alam. Sehingga, umat Islam pada zaman modern saat ini untuk memperoleh penghasilan yang memiliki nilai ekonomis menjadi sangat banyak.
Selain itu, bagi Sudirman, perlu juga pemaknaan ulang terhadap pengertian muzakki (orang kaya yang wajib mengeluarkan zakat) dan mustahiq zakat. Pada zaman klasik, seseorang akan dianggap kaya apabila ia memiliki emas, dan perak, memiliki kebun buah-buahan dan hasil pertanian yang banyak, binatang ternak dan atau harta perdagangan yang sangat melimpah. Namun, sejak dikembangkan bank dan pasar modal sebagai lembaga ekonomi, dterapkan sains dan teknologi dalam kegiatan budidaya, dipakainya keahlian dan ketrampilan diri sebagai komuditas, orang sekarang menjadi kaya bukan saja karena menyimpan emas dan perak atau memiliki binatang ternak, tetapi lebih karena memiliki deposito yang banyak pada bank, memiliki saham di beberapa perusahaan besar.
Berbeda dengan pengertian orang miskin (diantara 8 golongan yang berhak mendapat zakat) pada masa dulu, kemiskinan saat ini bukan saja ditentukan oleh kepemilikan kekayaan secara individual, tetapi tergantung juga dari tingkat kehidupan ekonomi suatu bangsa dan kualitas diri manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, definisi kemiskinan antara satu bangsa denga bangsa satunya akan berbeda. Di Brunai orang dianggap miskin dan berhak menerima zakat bila ia berpenghasilan sekitar $ 1. 180 atau sekitar Rp. 6.700.000, padahal untukm ukuran Indonesia penghasilan sebesar itu adalah termasuk orang kaya. Sebab, di Indonesia orang dianggap cukup atau kaya bila ia berpenghasilan sekitar Rp. 1.000.000 (h. 68).
Buku ini tampaknya memiliki urgensi yang sangat penting untuk dijadikan referensi dan acuan bagi semua pihak, terutama bagi para tokoh-tokoh agama. Sebab, buku ini telah memulai langkah awal yang cukup cemerlang dalam rangka upaya penyelesaian berbagai problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dengan tawaran rekonstruksi beberapa konsep zakat. Akhirya selamat membaca !.
bagus banget ya, saya setuju dengan ide yang digulirkan... selamat...Pak
BalasHapusAndai saja aq dpt bukunya...
BalasHapusTeruntuk mas Doktor Dirman,
BalasHapusKalau gagasannya tak pernah kuragukan. Tapi yang kuragukan adalah niat untuk memberikan bukunya untuk koleksiku, he he he. (Kalau tak salah aku belum dapat, ya mas?)
Salam hangat dari "Kampus Pembaru, UIN Ciputat"
Ahmad T. Kharlie