A. PENDAHULUAN
Selama ini Al-Qur’an diyakini sebagai kitab sempurna yang masa berlakunya tidak terbatas, baik dari segi waktu, tempat, dan keadaan. Seluruh kandungannya dijamin otentik dan bermanfaat untuk menata kehidupan manusia. Meskipun begitu, pada tataran aplikatif, al-Qur’an membutuhkan hadis sebagai penjelas, penafsir, dan bahkan dalam kondisi tertentu hadis dapat menjadi pembuat hukum baru dalam hal-hal yang belum dibahas secara rinci oleh al-Qur’an. Sejumlah ahli menilai bahwa kedudukan hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam memiliki dua posisi: struktural dan fungsional. Secara struktural, hadis diposisikan sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, sedangkan secara fungsional, hadis berperan sebagai eksplanasi terhadap ayat-ayat yang masih umum, global, atau mutlak. (Shubhi al-Shalih, 1977: 3)
Secara garis besar, tipologi pemahaman masyarakat Muslim terhadap al-Qur’an dan hadis dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kategori pertama adalah tipologi pemahaman yang mempercayai al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran Islam an sich tanpa perlu mempedulikan proses sejarahnya (ahistoris). Tipe ini bisa juga disebut sebagai kelompok tekstualis. Adapun kategori kedua adalah golongan yang mempercayai al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, tetapi secara kritis melihat dan mempertimbangkan aspek sejarahnya (asbab al-nuzul). Mereka dapat dianggap kelompok yang memahami al-Qur’an dan hadis secara kontekstual. Tipe pemahaman kedua ini yang awalnya tidak begitu populer di kalangan pemikir Muslim, saat ini nampaknya sedang menemukan momentum tepat seiring dengan banyaknya permasalahan yang menunggu pemecahan secara arif.
Asbab al-nuzul tidak lain adalah dimensi historis al-Qur’an yang memiliki nilai-nilai agung. Dengan demikian, menelaah secara terperinci sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an adalah suatu keniscayaan. Meskipun diakui bahwa tidak seluruh ayat memiliki sebab, namun dalam proses istinbat hukum,[1] ayat yang memiliki sebab akan mendapat perhatian khusus karena latar belakang historis dapat menjadi salah satu pertimbangan penting, apalagi menyangkut perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir atau ushul fiqh mengenai kaidah keumuman lafadz atau kekhususannya dalam menyikapi teks al-Qur’an. Sedikit perlu disinggung di sini bahwa asbab al-nuzul yang jumlahnya terbatas oleh sebagian pemikir dianggap menjadi kendala untuk memahami al-Qur’an secara tepat sesuai dengan zamannya. Oleh sebab itu, muncul pandangan bahwa asbab memiliki dua jenis: asbab mikro dan asbab makro. Asbab mikro adalah kisah yang secara teks terkodifikasi dalam kitab asbab, sedangkan asbab makro adalah asbab yang tidak tercantum secara spesifik namun menjadi seting sosial historis kehadiran al-Qur’an. Asbab makro ini akan relevan dalam pembahasan konsep al-ibrah bi khusus al-sabab Quraish Shihab atau teori double movement Fazlur Rahman.
Penggunaan pendekatan historis ini (dengan dua jenis asbab: mikro dan makro) bukan berarti relativisasi ajaran Islam. Akan tetapi sikap ini hendak mencari pemahaman yang lebih sesuai dengan kehidupan kontemporer. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan konsep maqashid al-syari’ah yang disinyalisasi sebagai metode penjagaan kemaslahatan umat Islam baik dunia maupun akhirat. Untuk itu, tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menelaah kembali konsep asbab al-nuzul yang dikaitkan dengan maqashid al-syari’ah berikut contoh-contohnya secara terperinci.
B. KONSEP ASBAB AL-NUZUL
1. Definisi Asbab al-Nuzul
Secara etimologis, kata asbab al-nuzul merupakan bentuk kata majemuk bahasa Arab (idhafah/noun group) yang terdiri dari dua kata, yakni asbab dan al-nuzul. Kata Asbab merupakan bentuk jamak dari kata sabab yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain (Ma’luf, 1988: 317), sedangkan al-nuzul merupakan bentuk masdar dari kata nazala-yanzilu yang berarti turun (Ma’luf,1988: 802) Pendeknya, sabab al-nuzul adalah sebab atau latar belakang historis turunnya ayat. Adapun secara terminomogis, asbab al-nuzul sebagaimana dijelaskan Al-Zarqani (2003: 64) dalam kitab Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, diartikan sebagai suatu peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah yang setelah itu turun ayat membicarakan atau menjelaskan ketentuan hukum tentang terjadinya peristiwa tersebut. Hal senada juga diungkap oleh Abu Syabhah dalam kitab al-Madkhal li Dirasat al-Qur’an al-Karim (1992:122).[2]
Asbab al-nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat. Oleh karenanya, banyak ulama yang begitu perhatian terhadap ilmu ini sehingga merasa perlu membuat satu buku khusus yang membahas asbab al-nuzul. Di antara tokoh yang menulis kitab khusus tersebut adalah al-Wahidi dengan karya besarnya Asbab al-Nuzul dan al-Suyuthi dengan buah penanya Lubab al-nuqul fi asbab al-nuzul. Tentang pentingnya pengetahuan seputar asbab al-nuzul, al-Wahidi—sebagaimana sering dikutip banyak pengarang kitab Ulum al-Qur’an—mengatakan bahwa “tidak akan mungkin mengetahui tafsir ayat dan memahami maksudnya tanpa menguasai proses sejarahnya dan penjelasan turunnya” (1991: 4).
Dilihat dari peristiwa yang berkaitan dengan turunnya ayat, menurut al-Zarqani (2003: 64), al-Qur’an dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Ayat yang diturunkan tanpa ada peristiwa yang terjadi mengiringinya. Turunnya ayat atau beberapa ayat ini semata-mata merupakan petunjuk Allah swt kepada manusia. Inilah yang menjadi asbab al-nuzul dari ayat atau beberapa ayat tersebut, walaupun tidak atau belum diketahui konteks peristiwa turunnya ayat itu dalam sejarah (asbab al-nuzul Makro).
b. Ayat yang diturunkan Allah swt berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa tertentu (asbab al-nuzul mikro). Ayat semacam ini jumlahnya tidak banyak. Misalnya Allah menurunkan surat al-Nisa untuk menjelaskan tentang berbagai kasus berkaitan dengan wanita. Begitu pula surat al-Anfal yang banyak menyinggung masalah seputar perang. Biasanya setelah suatu peristiwa, maka disusul kemudian dengan turunnya satu atau beberapa ayat yang membicarakan atau menjelaskan hukum yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Dari pembagian di atas, sekilas dapat ditangkap kesan bahwa ayat-ayat yang memiliki asbab al-nuzul selalu menunggu kesempatan turun hingga muncul kejadian yang relevan. Dengan begitu, kalau tidak ada kejadian, maka ayat-ayat “khusus” tersebut tidak akan turun. Menyikapi kesan ini, para ahli tafsir telah mengantisipasi dengan mengatakan bahwa hubungan peristiwa yang terjadi dengan turunnya ayat yang membicarakan peristiwa tersebut bukan dalam hubungan kausalitas (sebab akibat), tetapi Allah swt ingin menurunkan ayat itu pada saat atau sedang terjadinya peristiwa tersebut. Quraish Shihab (1993: 88-89), misalnya, menilai bahwa asbab nuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat sehingga seakan-akan ayat tidak akan turun kalau tidak ada peristiwa tersebut. Dipakainya istilah “asbab” bukanlah pada arti sebenarnya. Itu hanya untuk mempermudah saja. Dengan demikian, tanpa terjadinya suatu peristiwa, al-Qur’an sesuai dengan iradah-Nya akan turun juga. Begitu pula kata “nuzul”, bukan berarti proses turunnya sesuatu dari atas ke bawah, karena al-Qur’an bukan bersifat materi. Akan tetapi, pengertian turun oleh para mufassir diartikan sebagai penyampaikan informasi dari Allah swt kepada utusannya, Muhammad, dari alam ghaib ke alam nyata melalui perantara malaikat Jibril. Shihab juga berpendapat bahwa ayat al-Quran tidak diturunkan dalam masyarakat hampa budaya. Sekalipun peristiwa turunnya ayat atau beberapa ayat tidak atau belum terungkap, tetapi ayat al-Qur’an itu turun untuk mengantisipasi keadaan yang ada pada masa Rasulullah saw (yang kemudian dapat disebut sebagai asbab makro).
Dilihat dari modelnya, peristiwa yang terjadi sebelum atau pada saat turunnya suatu ayat atau beberapa ayat tersebut di antaranya bisa berbentuk sebagai berikut:
a. Sikap permusuhan, seperti pertengkaran yang terjadi antara kabilah Aus dan kabilah Khajraj di Madinah akibat hasutan licik Syas bin Qaisy, seorang yahudi Madinah. Dalam kasus ini Allah swt menurunkan surat Ali Imran: 100.[3]
b. Terjadinya suatu kekeliruan akibat suatu perbuatan dosa, seperti seorang sahabat yang menjadi imam shalat dalam keadaan mabuk, sehingga ia keliru dalam membaca ayat 2 surat al-Kafirun. Ayat tersebut seharusnya berbunyi “la a’budu ma ta’budun”, bacaan sahabat tersebut adalah “a’budu ma ta’budun” dengan tidak menyebut kata “la”. Menanggapi kasus ini, turunlah surat al-Nisa: 43.[4]
c. Pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa yang diajukan kepada rasulullah, baik menyangkut masalah peristiwa masa lalu, masa sekarang, maupun masalah mendatang. Sebagai contoh, Allah menurunkan wahyu surat al-Kahfi: 83[5] untuk menjawab pertanyaan tentang masa lalu. Juga, Allah menurunkan surat al-Isra: 85[6] untuk menjawab pertanyaan tentang masa sekarang dan surat al-Naziat: 42[7] untuk menjawab pertanyaan berkaitan dengan masa mendatang (Dahlan, 1997:134).[8]
Dengan demikian, ayat-ayat yang memiliki asbab al-nuzul merupakan ayat-ayat yang secara khusus diformat oleh sang Khalik untuk menjadi bukti bahwa al-Qur’an benar-benar hidayah bagi sekalian manusia yang efeknya dapat dirasakan secara langsung.
2. Cara Mengetahui Asbab al-Nuzul
Asbab al-nuzul selalu berkait berkelindan dengan masa Rasulullah. Sehingga kemudian, untuk mengetahui asbab al-nuzul perlu dilakukan penelaahan seputar periwayatan yang shahih dari para sahabat yang mendengar atau menyaksikan langsung peristiwa tersebut atau melalui para ahli yang telah melakukan penelitian dengan cermat.
Dengan sederhana, cara mengetahui asbab al-nuzul dapat dilakukan melalui periwayatan yang shahih dengan melihat dari ungkapan perawi yang mengatakan “sabab nuzul al-ayah kadza”. Ada kalanya asbab al-nuzul tidak diungkap dengan kata sebab, tetapi diungkap dengan kalimat “fa nazalat”. Misalnya perawi mengatakan “suila al-Nabi saw an kadza, fanazalat…” (Qatthan, 1973: 85-86). Selain itu, terkadang perawi mengungkapkan asbab al-nuzul dengan pernyataan “nuzilat hadzihi al-ayah fi kaza.” Menurut jumhur ulama tafsir, apabila ungkapan perawi demikian, maka hal itu merupakan pernyataan tegas dan dapat dipercaya sebagai asbab al-nuzul ayat al-Qur’an. Akan tetapi ibn Taimiyah, sebagaimana dikutip al-Zarqani (2003: 69), berpendapat bahwa ungkapan “nuzilat hadzihi al-ayah fi kaza” terkadang menyatakan sebab turunnya ayat, namun terkadang juga menunjukkan kandungan ayat yang diturunkan tanpa sebab al-nuzul.
Apabila terdapat beberapa riwayat yang berbeda tentang asbab al-nuzul ayat, maka untuk menyelesaikannya, para ahli tafsir, seperti dijabarkan oleh Dahlan (1997: 134), mengemukakan beberapa langkah:
a. Apabila seorang mufassir mengemukakan dua riwayat tentang sebab turunnya ayat, yang pertama dengan tegas dan yang kedua tidak tegas, maka yang diambil adalah riwayat yang menunjukkan ketegasan asbab al-nuzul. Misalnya, dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa orang Yahudi mengatakan menggauli isteri dari belakang akan menyebabkan cacat pada anak yang dilahirkan. Untuk membantah pendapat tersebut, Allah menurunkan surat al-Baqarah: 223[9] (HR Riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah). Dalam riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Umar dikatakan bahwa ayat ini turun dalam peristiwa boleh tidaknya menggauli isteri dari belakang. Dalam dua kasus ini, menurut para mufassir, riwayat terkuat adalah riwayat pertama karena hadis yang diriwayatkan Jabir mengandung ketegasan tentang sebab turunnya ayat. Adapun riwayat kedua hanya berkaitan dengan hukum yang dikandungnya.
b. Apabila salah satu dari riwayat itu mempunyai sanad yang sahih, sedangkan riwayat lain sanadnya lemah, maka yang dijadikan patokan adalah riwayat yang bersanad shahih.
c. Apabila kedua riwayat itu sama-sama memiliki sanad yang shahih, maka harus dilakukan penelitian lebih mendalam. Sebagai contoh, imam Bukhari meriwayatkan sebab turunnya surat al-Isra: 85[10] dari Abdullah bin Mas’ud. Dituturkan dalam hadis tersebut bahwa suatu saat Abdullah bin Mas’ud berjalan bersama Nabi di Madinah. Saat melewati sekumpulan orang Yahudi, mereka bertanya kepada Nabi tentang roh. Nabi kemudian menengadahkan tangannya ke atas, lalu turunlah ayat al-Isra’: 85. Riwayat lain ditulis al-Turmudzi berdasarkan riwayat Abdullah bin Abbas, bahwa ayat itu turun di Mekkah, ketika orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi, ”Berilah kami satu masalah yang akan kami tanyakan kepada Muhammad”. Orang-orang yahudi pun berkata, Tanyakanlah tentang roh”, maka surat al-Isra: 85 pun turun. Dalam kasus ini, riwayat Bukhari[11] dimenangkan karena riwayat Bukhari dianggap lebih kuat dibanding riwayat al-Turmudzi, di samping dalam kasus itu, ibn Mas’ud menyaksikan sendiri peristiwa tersebut.
d. Jika kedua riwayat itu sama-sama shahih dan waktunya berdekatan, maka para mufassir menyatakan bahwa kedua kasus tersebut dapat dikompromikan. Contohnya, riwayat yang menyangkut riwayat berkaitan dengan turunnya surat al-Nur: 6. Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, yang menegaskan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan kasus Hilal bin Umayah yang menuduh isterinya telah berzina dengan Syuraik bin Samha. Riwayat lain ditulis oleh Muslim bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan kasus Uwaimir yang datang kepada Asim bin Adi, agar Uwaimir menanyakan kepada Nabi tentang hukum seseorang yang menjumpai isterinya bersama orang lain di dalam rumah. Langkah penyelesaiannya menurut para mufassir, bahwa kasus pertama adalah kasus Hilal bin Umayah dan kasus kedua adalah kasus Uwaimir, dan ayat tersebut turun berkaitan dengan kedua kasus tersebut.
e. Jika kedua riwayat sama-sama shahih dan jarak waktu keduanya berjauhan dan kedua riwayat tersebut tidak dapat dikompromikan, maka ayat tersebut dianggap turun dua kali.
3. Faedah Mengetahui Asbab al-Nuzul
Ada beberapa faedah yang diambil dengan mempelajari asbab al-nuzul.
a. Untuk mengetahui hikmah yang terkandung di balik syariat yang diturunkan.
b. Untuk mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sesuai dengan sebab turunnya. Pendapat ini dianut oleh ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut harus dipahami sesuai dengan sebab khusus yang dimilikinya.
c. Utuk membantu memahami suatu ayat, sekaligus menghindari salah persepsi (al-Zarkasyi, 2000: 45-46)
d. Untuk mengetahui secara pasti peristiwa dan pelaku yang ditunjuk oleh turunnya ayat tersebut sehingga tidak terjadi dugaan beragam tentang kasus yang menjadi latar belakang turunnya ayat. (al-Shabuni, 1987: 40).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asbab al-nuzul dengan segala problematikanya sangat relevan untuk dikaji meskipun kadang ada sebagian kalangan yang lebih mementingkan pemahaman tekstual. Contoh-contoh yang berkaitan dengan sumbangan oleh asbab al-nuzul dalam menformulasi hukum Islam akan diulas pada bagian lain tulisan ini.
C. KONSEP MAQASHID AL-SYARI’AH
1. Definisi Maqashid al-Syariah
Maqashid, jamak dari al-maqshid, berarti tujuan. Syariah berarti syariat, jadi berarti tujuan- tujuan syariat (Ma’luf:1987). Maqashid al-syariah, menurut Allal al-Fasi (1993:7), dapat didefinisikan sebagai rahasia-rahasia yang diletakkan oleh Syari’ di setiap hukum yang ditetapkan. Sementara itu, Satria Efendi (2005:233) memaknai Maqashid al-syariah sebagai tujuan Allah dan rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam, sehingga ayat dan hadis yang jumlahnya terbatas secara kuantitatif dapat dikembangkan untuk merespon pelbagai permasalahan yang tidak terbatas. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad. Misalnya, syarak mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan menegakkan agama Allah. Juga disyariatkan hukuman zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyariatkannya hukuman pencurian untuk memelihara harta seseorang, disyariatkannya hukuman khamr untuk memelihara akal, dan disyaraiatkan hukuman qishash untuk memelihara jiwa seseorang. Dengan demikian, setiap hukum itu mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.
Dalam menjaga kemaslahatan manusia, setiap mujtahid dalam mengistinbatkan hukum dari suatu kasus yang sedang dihadapi, harus berpatokan kepada tujuan-tujuan syara’ dalam mensyariatkan hukum, sehingga hukum yang akan ditetapkannya dapat sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh syara’, yaitu kemaslahatan umat manusia. Di antaranya adalah firman Allah dalam surat al-Nisa: 165:
Wxß™•‘ tûïÎŽÅe³t6•B tûïÍ‘É‹YãBur žxy¥Ï9 tbqä3tƒ Ĩ$¨Z=Ï9 ’n?tã «!$# 8p¤fãm y‰÷èt/ È@ß™”�9$# 4 tb%x.ur ª!$# #¹“ƒÍ•tã $VJŠÅ3ym ÇÊÏÎÈ
(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kandungan ayat ini menurut ulama ushul menunjukkan bahwa Allah dalam menentukan hukum-hukumnya senantiasa menghendaki sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia, maka ia akan merugi. Inilah makna yang terkandung dari diutusnya para rasul bagi umat manusia. Dalam surat lain, al-Anbiya’: 107, Allah berfirman
!$tBur š�»oYù=y™ö‘r& žwÎ) ZptHôqy‘ šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Kata rahmat dalam ayat di atas mengandung pengertian bahwa pengutusan rasul membawa kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Jenis Maqashid al-Syariah
Dilihat dari segi objeknya, Muhammad al-Thahir bin Asyur (1997: 109) membagi maqashid menjadi dua macam,
a. Al-Maqashid al-Ammah, yaitu sesuatu yang dipelihara syara’ serta diusahakan untuk dicapai dalam berbagai bidang syariat secara umum, bukan tertuju hanya pada masalah tertentu, seperti toleransi (samahah), perdamaian (ishlah), dan penegakan aturan umat.
b. Al-Maqashid al-Khashshah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam topik tertentu, seperti tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam hukum terkait dengan perkawinan, muamalah, pidana, peradilan, dan semacamnya.
Al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah juz I (1997: 5-6) menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lima kemaslahatan pokok ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu didatangkan syariat yang mengandung perintah, larangan, dan keizinan yang harus dipatuhi setiap mukalaf. Dalam mewujudkan dan memelihara kelima pokok di atas, ia mengategorikannya dalam tiga tingkatan, sesuai dengan kualitas kebutuhannya. Tiga kebutuhan tersebut adalah kebutuhan al-dharuriyyah, kebutuhan al-hajiyyah, dan kebutuhan al-tahsiniyyah.
Peran maqashid al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak ulama menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah, sudah ada petunjuk yang mengacu kepada peranan penting maqashid al-syariat dalam pembentukan hukum Islam. Seperti tindakan Rasulullah yang pernah melarang ziarah kubur, lalu kemudian beliau membolehkan.[12] Larangan Rasulullah untuk berziarah kubur disebabkan oleh kekhawatiran akan ada pemujaan yang berlebihan terhadap roh-roh orang yang dikubur atau kultus individu roh. Pada masa awal Islam, iman kaum Muslim masih belum kokoh. Banyak hal yang masih tercampur dengan kebiasaan dan budaya jahiliyyah. Ketika situasi berubah dan tingkat keimanan umat Islam telah kuat, praktik ziarah kubur akhirnya diijinkan karena illatnya, yakni kemungkinan penyalahgunaan ziarah, tak ditemukan lagi.
Dengan demikian, selama dapat diketahui tujuan hukumnya, maka dengan metode qiyas dalam rangka menyelesaikan masalah yang belum ditemukan di masa Rasulullah. Seorang mujtahid dapat menggunakan ayat-ayat hukum yang jumlahnya terbatas untuk menjawab berbagai masalah yang tiada batas. Di samping itu, dengan mengetahui tujuan syariat, seorang mujtahid dapat menjadikannya sebagai tolok ukur untuk mengetahui efektifitas ketentuan hukum pada suatu kasus tertentu.
D. PENGGUNAAN ASBAB AL-NUZUL DALAM ISTINBAT HUKUM
Sebelum membahas peran asbab al-nuzul dalam penetapan hukum Islam yang bernapaskan maqashid al-syari’ah, perlu kiranya dijabarkan terlebih dahulu signifikansi asbab al-nuzul dalam memahami teks al-Qur’an Setelah itu, barulah akan dipaparkan kaitan asbab al-nuzul dengan maqashid al-syari’ah dalam pembentukan hukum Islam.
1. Signifikasi Asbab al-Nuzul dalam Memahami al-Qur’an
Tidak semua ayat-ayat al-Qur’an mudah dipahami dengan hanya menelaah teks murninya. Untuk memahami secara tepat, peran asbab al-nuzul nampak tak terelakkan. Sebagai contoh, turunnya surat al-Nur:11 merupakan respon terhadap hadis ifki yang menyudutkan keluarga Nabi Muhammad. Bunyi ayat tersebut adalah:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# râä!%y` Å7øùM}$$Î/ ×pt6óÁãã ö/ä3YÏiB 4 Ÿw çnqç7|¡øtrB #uŽŸ° Nä3©9 ( ö@t/ uqèd ׎ö�yz ö/ä3©9 4 Èe@ä3Ï9 <›Í�öD$# Nåk÷]ÏiB $¨B |=|¡tFø.$# z`ÏB ÉOøOM}$# 4 “Ï%©!$#ur 4†¯<uqs? ¼çnuŽö9Ï. öNåk÷]ÏB ¼çms9 ë>#x‹tã ×LìÏàtã ÇÊÊÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”
Dalam memahami ayat di atas, akan sulit diketahui maksud dari istilah berita bohong (ifki). Dengan menelaah sabab al-nuzul akan terungkap bahwa ayat itu ditujukan untuk membersihkan Aisyah dari tuduhan berselingkuh. Secara jelas berikut ini narasi sebab turunnya ayat tersebut.
Berita bohong dalam ayat di atas berkaitan dengan istri Rasulullah s.a.w. Aisyah r.a. ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Peperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari tandunya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada dalam tandu. setelah Aisyah mengetahui, rombongannya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengharapkan rombongannya itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan ibnu Mu'aththal. Ia melihat seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut. Ketika Aisyah bangun, Shafwan menyilakan Aisyah mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesar-besarkannya, sehingga fitnahan atas Aisyah r.a. itupun bertambah luas dan menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. Oleh sebab itulah, ayat di atas turun untuk menjelaskan masalah tersebut. (al-Wahidi, 1991: 214-215)
Asbab al-nuzul juga digunakan untuk mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat yang seringkali tidak dapat dipahami maknanya secara benar tanpa mengetahui sebab turunnya. Ayat yang sering disitir untuk menguatkan hal tersebut adalah al-Baqarah: 115,
¬!ur ä-Ì�ô±pRùQ$# Ü>Ì�øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q—9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììÅ™ºur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dalam hal shalat, ayat ini dapat dipakai sebagai landasan bagi orang yang tidak mempedulikan sebab turun bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap ke arah mana saja, barat, timur, utara, selatan bahkan atas dan bawah. Allah ada di mana-mana. Padahal, kalau kita mau jeli melihat sebab turunnya ayat tentu pendapat semacam ini akan dapat dihindari. Turunnya ayat ini sehubungan dengan kasus seorang sahabat yang berada dalam sebuah perjalanan dan tidak dapat memastikan arah kiblat secara tepat. Ia pun berijtihad menentukan arah kibat sesuai dengan keyakinannya. Ayat ini menegaskan bahwa kemana pun arah shalat yang telah diyakininya tidak akan mengurangi sahnya shalat. Ia tidak perlu mengulangi shalatnya di lain waktu ketika ia sudah yakin arah shalat yang benar. Dengan demikian, ayat ini tidak bersifat umum sebagaimana bunyi ayatnya, namun bersifat khusus seperti dalam kasus tersebut.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa asbab al-nuzul memiliki peran penting dalam memahami teks-teks al-Qur’an sehingga pemahaman yang salah atau sekenanya dapat dihindarkan. Kebiasaan untuk menelaah asbab al-nuzul ayat akan menjadikan proses istinbat hukum menjadi lebih hati-hati dan sesuai dengan maqashid al-syari’ah.
2. Konsep Keumuman Lafadz dan Kekhususan Sebab
Ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbab al-nuzul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman ayat, yakni:
a. َالْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ (patokan pemahaman adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sabab)
b. َالْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ (patokan pemahaman adalah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz)
Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah swt berdasarkan sebab yang khusus harus dipahami sesuai dengan lafadz umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.
Dalam masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mufassir dan ahli ushul. Menurut jumhur, kaidah yang dipakai adalah kaidah pertama, yaitu memahami ayat sesuai dengan keumuman lafadznya, bukan karena sebab khususnya. Konsekuensinya, meskipun satu atau beberapa ayat, misalnya, diturunkan pada satu kasus, hukumnya berlaku secara umum sesuai dengan kandungan lafadznya dan berlaku secara luas untuk seluruh kasus yang sama. Sebagai contoh, surat al-Maidah: 38 membahas tentang hukuman bagi pencuri.
ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr& Lä!#t“y_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur ͕tã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa Nabi. Ayat ini menggunakan lafadz ‘am, yakni isim mufrad yang dita’rifkan dengan alim lam jinsiyah. Dengan demikian, ayat ini berlaku umum, tidak hanya tertuju pada yang menjadi sebab turunnya ayat.
Begitu pula ayat tentang zina, surat al-Nur: 2
èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps�($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õ‹è{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u‘ ’Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur Ì�ÅzFy$# ( ô‰pkô¶uŠø9ur $yJåku5#x‹tã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ayat tersebut tidak hanya dikaitkan dengan hukuman kepada pezina pada masa rasulullah, tapi tetap berlaku hingga saat sekarang dan masa mendatang.
Contoh lainnya adalah ayat-ayat lian. Asbab al-nuzulnya adalah sebagai berikut. Waktu itu Hilal bin Umayah menuduh istrinya berbuat zina (qadzaf). Ia melapor kepada Nabi. Lalu Nabi memintanya untuk memberikan bukti. Hilal berkata: Ya Rasulullah, kalau salah satu dari kami melihat orang lain mencampuri istrinya, apakah akan dibiarkan saja? Nabi berkata lagi: buktikanlah kalau tidak, maka engkau sendiri akan menanggung resikonya. Hilal berkata: Demi Allah yang telah mengutus Engkau dengan benar, aku ini sungguh-sungguh. Dan aku berharap supaya aku lepas dari resikonya. Saat itulah turun ayat surat al-Nur: 6-9.
tûïÏ%©!$#ur tbqãBö�tƒ öNßgy_ºurø—r& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#y‰pkà HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy‰»ygt±sù óOÏdωtnr& ßìt/ö‘r& ¤Nºy‰»uhx© «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%ω»¢Á9$# ÇÏÈ èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmø‹n=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É‹»s3ø9$# ÇÐÈ (#ätu‘ô‰tƒur $pk÷]tã z>#x‹yèø9$# br& y‰pkô¶s? yìt/ö‘r& ¤Nºy‰»pky «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÎ/É‹»s3ø9$# ÇÑÈ sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |=ŸÒxî «!$# !$pköŽn=tæ bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÏ%ω»¢Á9$# ÇÒÈ
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Hukum di sini diambil dari lafaz umum, yaitu orang-orang yang menuduh istrinya berzina. Dengan demikian, tanpa harus tahu sebab turunnya ayat ini pun sesungguhnya dari ayat ini secara langsung dapat ditarik sebuah hukum untuk kasus lian. Ayat ini tidak hanya berlaku untuk kasus Hilal dan isterinya semata.
Sebaliknya, sebagian kecil ulama, khususnya mufasir kontemporer, berpendapat bahwa suatu ayat seharusnya dipahami sesuai dengan sebab khususnya, bukan berdasarkan lafadz umumnya. Quraish Shihab (1994: 89) contohnya, menjelaskan bahwa suatu peristiwa mengandung tiga unsur penting, yakni peristiwa, pelaku, dan waktu. Tetapi, selama ini yang sering menjadi pertimbangan dalam kaidah tersebut hanya peristiwanya saja tanpa meneliti lebih jauh waktu terjadinya peristiwa tersebut dan kondisi pelaku peristiwa. Akibatnya, hukum umum yang diambil sering tidak sejalan dengan waktu dan para pelaku peristiwa tersebut. Bagi orang yang melakukan pencurian, hukum yang yang diterapkan tidak hanya berdasarkan peristiwa pencurian saja, namun juga dipelajari secara cermat waktu terjadinya pencurian. Dengan demikian, dalam menerapkan hukum suatu ayat kepada kasus lain dengan melakukan metode qiyas, seperti yang dilakukan Umar dalam menangani kasus pencurian dan zakat untuk muallaf. Hal serupa juga ditegaskan oleh Nashr Abu Zaid (2000: 102-104) bahwa asbab al-nuzul berperan penting dalam upaya kontekstualisasi ayat agar sesuai dengan semangat zamannya.
Untuk melakukan analogi ini, Shihab (1994: 89) mengemukakan bahwa sangat penting untuk mempertimbangkan faktor waktu dan pelaku, di samping peristiwanya. Dalam pandangannya, ayat-ayat al-qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa budaya. Kenyataan tersebut bahwa ada peristiwa yang mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat. Oleh karenanya, dalam memahami suatu ayat sangatlah penting untuk diteliti waktu turunnya ayat itu sekaligus peristiwanya sehingga dapat dilakukan analogi secara tepat serta relevan dengan tujuan ayat tersebut. Dampak dari metode ini bahwa pengembangan hukum yang dicakup oleh sebuah ayat yang umum tidak lagi didasarkan kepada keumuman ayat tersebut, melainkan melalui metode qiyas.
Para penganut paham "al-ibrah bi khushush al-sabab" menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang asbab al-Nuzul tetapi dengan catatan apabila analogi tersebut memenuhi syarat-syaratnya. Demikian juga hal ini diberlakukan terhadap hadis-hadis yang mempunyai latar belakang Asbab al-Wurud. Pandangan mereka ini hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan faktor waktu. Kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan sebab Al-Qur'an dan hadis lahir dalam masyarakat berbudaya dan bahwa ada sebuah kenyataan yang mendahului atau bersamaan dengan munculnya teks tersebut.
4. Peran Asbab Al-Nuzul dalam Mewujudkan Maqashid al-Syari’ah
Bagian ini sebenarnya masih menitikberatkan kepada pembahasan pentingnya memahami ayat menurut konteksnya. Hal ini akan berimplikasi kepada implementasi maqashid al-syari’ah secara tepat dalam istinbat hukum.
Para ahli ushul fiqh seringkali menggunakan roh tasyri’ atau maqashid al-syari’ah di samping menunjuk hukum dengan redaksi asli al-Qur’an. Dengan metode maqashid al-syari’ah, ayat-ayat dan hadis hukum yang jumlah terbatas—dalam hitungan Wahab Khalaf (1978: 32-33) hanya sebanyak 228 ayat[13]—dapat dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak tertampung oleh Qur’an secara kajian kebahasaan. Pengembangan itu dilakukan dengan menggunakan metode istinbat hukum yang menurut Satria Effendi (2005: 233) antara lain dengan qiyas, istihsan, maslahat mursalah dan urf.
Contoh konkretnya adalah keputusan Umar bin Khattab tidak memberikan bagian bagi muallaf (Abu Zaid, 2000: 104). Menurutnya, ilat hukum yang mendasari diberikannya zakat kepada kelompok ini sudah tidak relevan lagi. Umat Islam di zamannya sudah kuat, sehingga tidak perlu diberi zakat. Kelompok ini di zaman rasulullah diberi zakat karena maqashid al-syari’ahnya agar mereka semakin tertarik dengan Islam dan saat itu Islam membutuhkan pengikut yang banyak. Zakat diberikan sebagai cara untuk melunakkan hati, menarik simpati, dan menguatkan iman mereka. Di saat umat Islam sudah kuat dan peran muallaf sudah tidak diperlukan lagi maka tujuan syariat sudah berubah. Akan tetapi bila suatu saat, jika illat yang mendasari pemberian bagian zakat bagi muallaf pada suatu saat muncul lagi dan peranan mereka dibutuhkan, maka pemberian zakat kepada mereka harus diberlakukan lagi.
Dengan demikian, seorang mujtahid dalam mengistinbatkan dan menerapkan hukum pada obyeknya harus senantiasa mengacu kepada maqashid al-syari’ah. Peranan maqashid al-syari’ah, menurut Syatibi (1997: 138) terlihat dengan jelas dalam hukum–hukum yang terkait dengan persoalan muamalah yang disebut ma’qulat al-ma’na (makna yang mudah dicerna akal). Dalam bidang ini berlaku kaidah “hukum itu ditentukan oleh ada tidaknya illat hukumnya.” Jika illatnya ada, maka hukumnya ada, dan sebaliknya bila illatnya hilang, maka hukumnya juga hilang.
E. PENUTUP
Pembahasan seputar asbab al-nuzul dan asbab al-wurud tak lepas dari semangat memperhatikan nilai sosio-historisitas al-Qur’an dan hadis. Untuk itu, pencermatan terhadap Asbab mikro dan makro perlu dipertimbangkan dalam melakukan istinbat hukum—atau ijtihad dalam konteks lain—sehingga nilai aplikatif al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan hadis sebagai penjelasnya tetap terpelihara sepanjang waktu. Konsep Shihab yang menekankan kepada qiyas dengan memperhatikan pada aspek kekhususan sebab dalam proses pembentukan hukum nampaknya lebih relevan untuk masa kini demi terealisasinya maqashid al-syari’ah. Wa Allah a’lam bi al-Shawab[*].
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Asyur, Muhammad al-Tahir, 2001, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, Oman: Dar al-Nafais.
Baidan, Nashruddin, 1999, Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Islam, Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denffer, Ahmad von, 1991, Umum al-Qur’an, an Introduction to the Science of the Qur’an, Kuala Lumpur: Academic Art & Printing Services
Dahlan, Abdul Azis (ed.), 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media.
Al-Fasi, Allal, 1993, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, Kairo: Dar al-Gharb al-Islami.
Khalaf, Abdul Wahab, 1978, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam.
Ma’luf, Louis, 1987, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beyrut: Dar al-Masyriq.
Qatthan Manna’, 1973, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Beyrut: Mansyurat al-Ashr al-Hadits.
Rofiq, Ahmad, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media.
Shihab, M. Quraish, 1994, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, 1987, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, terj. Moh. Chudhori dan Moh. Matsna, Bandung: al-Ma’arif.
Suma, Muhammad Amin, 1997, Tafsir Ahkam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abu Bakr, 2000, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din, t.th., Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Abu Syabhah, Muhammad bin Muhammad, 1992, al-Madkal li Dirasah al-Qur’an al-Karim, Beyrut: Dar al-Jail.
Al-Syatibi, Abu Ishaq, 1997, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beyrut: Dar al-Ma’rifah.
Abu Zaid, Nash Hamid, 2000, Mafhum al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Beyrut: Dar al-Fikr.
Al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah, 1988, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Adhim, 2003, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
[1] Ahmad Rofiq dalam bukunya Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (2001: 42) membedakan secara tegas antara dua istilah penting: istinbat dan ijtihad. Menurutnya, istinbat adalah mengambil hukum dan sumber hukum al-Qur’an dan hadis sedangkan ijtihad adalah mengerahkan segala daya upaya untuk menemukan hukum terhadap suatu kasus hukum yang tidak tegas ketentuan hukumnya dalam nas dengan dilandasi oleh semangat ruh al-Tasyri’. Meskipun begitu, beberapa ulama tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan tersebut. Al-Syatibi, misalnya, dalam bukunya juz IV menyebut ijtihad al-ra’yi sama ma’nanya dengan istinbat hukum untuk permasalahan yang tidak ada nash di dalam al-Qur’an dan hadis. (2001: 185). Di tempat lain, ia menyebut upaya maqashid al-syariah yang digagasnya merupakan ‘ijtihad untuk istinbat hukum’ (2001: 110). Dalam tulisan ini, kata istinbat akan sering ditemukan, baik untuk pengertian istinbat maupun ijtihad.
[2] Teksnya adalah مَا نَزَلَتِ الأَيَةُ أَوْ الأَيَاتُ مُتَحَدِّثَةً عَنْهُ أَوْ مُبَيِّنَةً لِحُكْمِهِ أَيَّامَ وُقُوْعِهِ. Dalam ensiklopedi bebas Oxford Islamic Studies, Asbab al-Nuzul didefinisikan sebagai Reasons for the revelations, refers to a field of study and genre of literature devoted to recounting the circumstances of the Prophet Muhammad and his followers when particular verses from the Quran were revealed.” (www.oxfordIslamicstudies.com diakses tanggal 10 Oktober 2008)
[3] Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
[4] Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
[5] Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya".
[6] Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
[7] (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?
[8] Secara singkat Denffer (1991: 95) membuat tiga klasifikasi model turunnya ayat, yakni ayat turun karena menanggapi suatu kejadian, karena pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi, dan karena alasan lain yang tidak diketahui secara pasti.
[9] Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
[10] Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
[11] Shahih al-Bukhari, nomor hadis 122, dalam kitab al-Ilm.
[12] Hadis semacam ini dimuat dalam Sunan al-Turmudzi, nomor 974, kitab al-Janaiz ‘an Rasulillah, bab Ma Ja’a fi al-Rukhshah fi Ziyarah al-Qubur. Lebih lengkap lagi diungkap dalam Musnad Ahmad hadis nomor 21.938 yang menambahkan dua hal lain yang dahulunya dilarang namun kemudian diperbolehkan, yakni menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari dan bejana arak (dhuruf). Nabi mengizinkan ziarah kubur karea Allah telah memberikan keringanan untuk menziarahi makam ibunya. Larangan menyimpan daging kurban karena menghindarkan dari kekecewaan orang yang membutuhkannya. Adapun masalah bejana, sesungguhnya bejana tidak dapat mengharamkan atau menghalalkan sesuatu, karena sesungguhnya hal yang dapat mengharamkan adalah sifat memabukkan yang ada dalam khamr. Hadis lengkap itu dapat dilihat kitab Baqi Musnad al-Anshar, bab Hadits Buraidah al-Aslami. Muslim juga tidak ketinggalan memuatnya dalam hadis nomor 3651 kitab al-Janaiz, bab Isti’dzan al-Nabi Rabbahu fi Ziyarah Qabr Ummih.
[13] 228 ayat tersebut dirinci oleh Khalaf sebagai berikut: 70 ayat tentang hidup kekeluargaan, perkawinan, perceraian, warisan; 70 ayat tentang perdagangan, perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam; 30 ayat tentang pidana, 13 ayat tentang peradilan; 10 ayat tentang sistem pemerintahan; 25 ayat tentang hubungan bilateral dan multilateral; dan 10 ayat tentang hubungan orang kaya dan miskin dan pengelolaan harta kekayaan. Amin Suma (1997: 2) menunjukkan data lainnya tentang jumlah ayat ahkam. Dalam hitungan al-Ghazali, al-Razi, dan Ibn Qudamah ayat ahkam jumlahnya mencapai 500 ayat; al-Mubarak menyebut angka 900 sedangkan Abu Yusuf menghitung sampai 1000 ayat hukum dalam al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar