Belakangan ini, saya sering tertarik mengamati tingkah laku kaum Atheis. Hal itu bukan berarti saya mau jadi ‘kafir’ tetapi saya ingin mengamati lebih dekat kaum yang katanya tidak mengakui Tuhan itu. Di Indonesia, setiap warga negara harus mengakui adanya Tuhan apa pun agamanya sehingga kaum Atheis tidak mendapatkan peluang untuk berkembang di negeri ini. Sebaliknya, di Amerika, negara yang sebenarnya didominasi oleh umat Kristiani, kaum Atheis kian banyak jumlahnya dan menjadi sebuah tren tersendiri. Maklum, status sebagai negara sekuler memberikan ruang gerak warga di sana untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih keyakinan tanpa Tuhan. Kaum Atheis memiliki posisi yang sederajat dengan kaum Theis sehingga mereka pun bisa melayangkan protes ketika melihat sesuatu yang bertentangan dengan dasar ajarannya. Saya masih ingat di penghujung tahun lalu, mereka mengadu ke pemerintah karena banyaknya baliho di jalan raya yang mengusung tema Natal. Menurut mereka, hal itu telah menyinggung perasaan kaum Atheis yang tak merayakannya. Peristiwa ini tentunya tidak akan mungkin terjadi di tanah air tercinta Nusantara. Betul, bukan?
Hari ini saya menjumpai sebuah artikel menarik di situs warta cnn.com. Di sana ada tulisan yang menyajikan fakta unik bahwa Tuhan seringkali menjadi sasaran hujatan dan cacian manusia yang kecewa dalam hidupnya, tak terkecuali kaum Atheis. Awal tulisan itu menjelaskan bahwa kita sering tidak setuju dengan perilaku orang-orang di sekitar kita, seperti kolega, atasan, atau pasangan hidup. Cara yang biasa kita tempuh adalah duduk bersama untuk mencari solusi. Tetapi, hal itu tidak berlaku bila kita kecewa dengan kehidupan. Sakit yang berkepanjangan atau kecelakaan lalu lintas membuat seseorang menyalahkan zat yang dianggap sebagai penyebab ketidaknyamanan itu, apapun namanya. Bagi umat yang beragama, Tuhan adalah pengatur segala kehidupan sehingga umpatan pun langsung tertuju pada-Nya ketika mereka kecewa. Anehnya, kaum Atheis yang tak punya iman terhadap Tuhan ternyata melakukan hal yang sama di saat tak berdaya. Saya pun jadi bertanya-tanya dalam hati, apa alasan kaum Atheis yang anti-Tuhan itu menyebut “Tuhan” sebagai pelaku “kejahatan” itu?
Sebagaimana pernah saya tulis pada postingan terdahulu, saya meyakini bahwa dalam diri manusia terdapat satu fitrah pengenalan terhadap Tuhan. Dalam berbagai penelitian tentang otak manusia, ternyata ditemukan sebuah titik yang sering disebut sebagai God Spot di bagian otak depan. Titik ini akan berdenyut ketika seseorang berkontemplasi tentang Tuhan. Semakin sering seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan, semakin intens pula getaran yang terjadi pada titik itu yang berujung pada ketenangan jiwa. Oleh karenanya, ketika seseorang menyangkal adanya Tuhan, secara otomatis, God Spot itu akan terlantar. Tatkala berada dalam posisi sulit, sang kafir itu akan mencari sesuatu yang bisa meredam kegelisahannya. Di saat tak ada seorang pun berada di sekitarnya, satu-satunya cara melepas ketegangan syarafnya itu adalah dengan mengumpat nasibnya dan menyalahkan sesuatu yang dianggap sebagai penyebab nasib buruknya. Dalam situasi inilah, konsep “supreme being” tiba-tiba menyeruak di dalam pikirannya. Alhasil, kekuatan supranatural alias Tuhan yang tak bisa dikontrolnya pun jadi ajang cacian.
Dari kisah di atas, saya berani menyimpulkan bahwa kaum Atheis hanya akan bisa bertahan di dalam kekafirannya apabila mereka berada dalam situasi yang serba normal dan sempurna. Ekonomi yang mapan serta kesehatan yang prima dapat mendukung keyakinannya bahwa bumi beserta isinya terjadi dengan sendirinya tanpa perlu adanya sang Pencipta. Tetapi, bila ia kehilangan kenyamanan hidup, ia mau tidak mau akan takluk pada fitrahnya yang harus mengkonstruksi sesuatu zat di luar dirinya yang ‘terpaksa’ dianggap lebih kuasa menentukan jalan hidupnya. Oleh sebab itu, apabila ia tak tahan menanggung derita hidup yang tak bisa dihindari, ia akan mengumpat kepada “Tuhan”nya orang -orang Theis. Aneh bin ajaib bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar