Kamis, 30 Desember 2010
MERAYAKAN NATAL BERSAMA KAUM ATHEIS
Sebagai seorang Muslim yang tinggal di komunitas mayoritas Kristen, saya harus pandai menempatkan diri agar dapat bergaul akrab dengan beragam manusia dari berbagai latar belakang bangsa dan agama. Saat saya merayakan Idul Fitri dan Idul Adha tahun ini, sedih sekali rasanya hati saat berjauhan dari keluarga. Riuhnya shalat Id dan aneka hidangan khas di kampung halaman harus saya lewati begitu saja. Di Iowa, kaum Muslim apalagi yang berasal dari Indonesia, masih tergolong sangat jarang sehingga kalau mau jumatan, saya harus menyediakan energi khusus untuk menuju masjid dengan jarak tempuh sekitar 1 jam. Itupun saya harus menumpang mobil kawan yang rumahnya cukup jauh dari kampus.
Nah, di momen Natal kali ini, saya mendapatkan pengalaman baru. Saya diundang sebuah keluarga Kristen yang aslinya berasal dari Korea. Awalnya saya agak khawatir jangan-jangan akan ada “khutbah khusus” bagi para tamu seperti yang pernah saya alami sebelumnya pada sebuah acara bakti sosial di gereja. Namun, berhubung saya kesepian di apartemen yang hampir semua penghuninya pulang kampung, saya pun menerima undangan tersebut.
Tepat pukul 5 petang, Jung, begitu nama orang Korea itu, sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Saya pun bergegas masuk mobil itu. Ternyata tidak hanya Jung saja di sana, ada empat orang lagi yang juga berstatus sebagai international student yang ia temui pada saat Cultural Sharing setiap hari Jumat. O, ternyata Jung mengundang banyak orang untuk hadir di rumahnya dan dia sendiri yang menjemput mereka satu persatu.
Sesampai di rumah Jung, istrinya, Kwong, sudah menunggu di ruang tamu. Kami pun disambut dengan hangat. Kami pun berjabat tangan dan mengucapkan “Merry Christmas” bergantian. Aroma masakan khas Korea yang lezat memenuhi ruang. Maklum, di musim salju seperti saat ini, ventilasi rumah hampir tertutup semua sehingga udara tidak punya pilihan akses keluar kecuali lubang sirkulasi otomatis sekitar heater.
Beberapa saat kemudian, para tamu sudah berkumpul di ruang bawah tanah (basement). Jung mengawali sambutan dengan mengucap terima kasih kepada para tamu undangan yang berjumlah 20 orang itu. Ia senang sekali karena natal kali ini dihadiri banyak orang dari berbagai negara yang antara lain berasal dari India, China, Hongkong, Turki, Mozambik, dan Korea. Saya adalah orang Indonesia satu-satunya pada acara tersebut.
Dari bincang-bincang dengan kawan-kawan baru itu, saya tahu banyak tentang latar belakang dan alasan mereka datang ke Amerika. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa University of Iowa yang baru masuk semester awal, baik untuk tingkat undergraduate (S1) maupun graduate (S2/S3). Beberapa orang dari mereka ada yang sudah berkeluarga. Menariknya, para tamu itu bukanlah orang-orang Kristen yang memang sedang merayakan Natal kecuali satu kawan dari Mozambik. Mayoritas adalah orang-orang non Kristen, seperti saya dan kawan dari Turki yang Muslim atau kawan dari India yang Hindu. Selain itu, kawan dari China dan Hongkong yang jumlah 16 orang adalah kaum atheis yang tidak peduli dengan ritualitas keagamaan. Aneh tetapi nyata. Saya merasa pengalaman ini cukup unik karena di tengah perayaan keagamaan, ternyata 80 persen pengunjungnya adalah orang yang berbeda keyakinan.
Kami pun menikmati hidangan khas Korea yang bermacam-macam. Untungnya, Jung sudah antisipasi. Karena tamunya beragam agama, ia berusaha untuk menghindari makanan yang dipantangi agama tertentu. Kali ini, ia tidak menghidangkan masakan yang berunsur babi. Amanlah saya…hehehe…Tapi untuk kawan dari India, ia harus menghindari makanan olahan dari sapi. Jung pun menunjukkan makanan yang “halal” baginya. Saya sendiri sempat memasak rendang dengan mengandalnya bumbu instant yang saya beli di toko Asia. Lumayan, rendang “jadi-jadian” itu laris manis dicicipi oleh para tamu. Khusus Demon, kawan dari Hongkong, ia mengambil porsi besar rendang karena ia sudah lama tidak makan masakan Indonesia. Di masa kecil, ia pernah tinggal di Surabaya selama satu tahun.
Sehabis makan, kami pun diajak bermain game tradisional khas Korea. Alatnya adalah empat batang balok kayu yang bentuknya setengah lingkaran. Lalu kami dibagi ke dalam empat kelompok. Masing-masing anggota kelompok melemparkan kayu tersebut dalam sebuah kain segi empat yang panjang sesisinya sekitar 70 cm. Setiap poin yang didapat, kelompok itu berhak untuk memasang mainan simbul kelompok pada kotak mainan. Seru sekali permainan itu hingga akhirnya satu kelompok dinyatakan keluar sebagai juara dan mendapat hadiah natal dari Jung.
Ini adalah pengalaman pertama saya merayakan natal, apalagi di negeri orang. Ternyata, si tuan rumah tidak menonjolkan sebuah perayaan keagamaan yang kental. Ia malah berusaha merangkul orang-orang non Korea dan Non-Kristen untuk menikmati damainya natal di rumahnya. Hem, alangkah senangnya jika hidup rukun semacam ini tercipta di negeri yang heterogen seperti Amerika dan Indonesia. Dunia pasti akan lebih aman dan tenteram. Semoga…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar