Tak lama lagi, UN akan digelar. Walau ada sistem baru yang akan diterapkan tahun 2011, tetapi saya masih ragu tentang kebiasaan buruk yang sudah banyak diketahui umum akan hilang. Tradisi memalukan yang saya maksud adalah penyebaran kunci jawaban UN oleh para guru baik sebelum atau saat ujian berlangsung. Saya hanya geleng-geleng kepala saat mendengar langsung dari pengakuan para guru yang curhat kepada saya. “Kalau tidak begitu, anak-anak yang bodoh tidak bisa lulus, Pak! Nama baik sekolah saya bisa langsung hancur. Oleh karena itu, saya biarkan anak-anak menerima sms jawaban. Malah saya menyarankan kepada murid yang pandai untuk bersedia memberikan contekan kepada kawannya yang malas.”
Hah…saya langsung terkesiap ketika mendengar penuturan tulus itu. Bukankah seorang guru biasanya paling benci bila muridnya contekan? Lalu apa manfaatnya belajar bertahun-tahun bila akhirnya saat ujian final para guru membagikan contekan jawaban demi menjaga reputasi? Saya tidak habis pikir, guru bukannya menyiapkan pendidikan moral yang benar tetapi malah meracuni jiwa anak didiknya dengan perilaku tidak etis. Efeknya, para murid jadi malas belajar. Siswa yang cerdas menjadi “korban” atas perilakumunafik itu. Daripada menelaah buku yang berjibun, mendingan tidur dan keluyuran di malam UN. besok ada jawaban jitunya, Bukan? pikir mereka. Sungguh pemandangan yang sangat naif.
Mungkin, bila kita punya waktu menyelami pikiran para guru, bisa jadi kita memakluminya. Ternyata, para guru itu tidak mau kehilangan pekerjaannya. Mereka juga tidak ingin dicacimaki kepala sekolah bila ada muridnya yang tidak lulus UN. Demi alasan tersebut, walau sebenarnya para pendidik itu sadar akan kekeliruannya, namun mereka tidak punya pilihan lain. Daripada dipecat dan tidak punya pekerjaan, lebih baik mengorbankan hati nuraninya. Toh, perbuatan itu sudah di”acc” oleh kepala sekolah dan dilakukan secara berjamaah.
Inilah sebuah keprihatinan mendalam atas kebobrokan moral yang dirancang secara sistematis. Kejujuran…ya kejujuran dianggap sebagai barang yang murah dan rendah. Kalau perlu, jangan terlalu jujur agar tidak hancur. Padahal, bila karakter manusia Indonesia tidak jujur, maka jangan pernah berharap KKN di bumi pertiwi ini bisa dituntaskan. Mental penjabat yang korup dan memperkaya diri sendiri merupakan akibat sistem pendidikan yang tidak menjadikan moral sebagai pilar utama. Penilaian terhadap pengetahuan kognitif menjadi ukuran. Itupun akhirnya harus luluh lantak akibat perilaku amoral para guru. Sekarang, kalau bukan para pendidik itu yang berbenah, kemana lagi kita berharap?
Saya sering mendengar cerita kemajuan Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom Amerika. Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh sang kaisar adalah “berapa banyak guru yang tersisa?” Dengan guru yang banyak dan berkualitas, akhirnya Jepang kembali mencapai masa kejayaannya hingga sekarang. Nah, di Indonesia, jumlah guru sangat banyak dan sudah dikukuhkan dengan sertifikasi. Setiap hari kelas-kelas di sekolah-sekolah penuh sesak dengan murid-murid yang mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Sayangnya, di ujung jalan pendidikan itu, masih ada ganjalan yang masih belum terpecahkan hingga sekarang, yakni kejujuran para siswa dan guru. Semoga tulisan ini menggugah hati kita untuk mencetak generasi yang bersih, jujur, dan cerdas sehingga bangsa besar ini bisa segera lepas dari segala keterpurukan. amin.
Hah…saya langsung terkesiap ketika mendengar penuturan tulus itu. Bukankah seorang guru biasanya paling benci bila muridnya contekan? Lalu apa manfaatnya belajar bertahun-tahun bila akhirnya saat ujian final para guru membagikan contekan jawaban demi menjaga reputasi? Saya tidak habis pikir, guru bukannya menyiapkan pendidikan moral yang benar tetapi malah meracuni jiwa anak didiknya dengan perilaku tidak etis. Efeknya, para murid jadi malas belajar. Siswa yang cerdas menjadi “korban” atas perilakumunafik itu. Daripada menelaah buku yang berjibun, mendingan tidur dan keluyuran di malam UN. besok ada jawaban jitunya, Bukan? pikir mereka. Sungguh pemandangan yang sangat naif.
Mungkin, bila kita punya waktu menyelami pikiran para guru, bisa jadi kita memakluminya. Ternyata, para guru itu tidak mau kehilangan pekerjaannya. Mereka juga tidak ingin dicacimaki kepala sekolah bila ada muridnya yang tidak lulus UN. Demi alasan tersebut, walau sebenarnya para pendidik itu sadar akan kekeliruannya, namun mereka tidak punya pilihan lain. Daripada dipecat dan tidak punya pekerjaan, lebih baik mengorbankan hati nuraninya. Toh, perbuatan itu sudah di”acc” oleh kepala sekolah dan dilakukan secara berjamaah.
Inilah sebuah keprihatinan mendalam atas kebobrokan moral yang dirancang secara sistematis. Kejujuran…ya kejujuran dianggap sebagai barang yang murah dan rendah. Kalau perlu, jangan terlalu jujur agar tidak hancur. Padahal, bila karakter manusia Indonesia tidak jujur, maka jangan pernah berharap KKN di bumi pertiwi ini bisa dituntaskan. Mental penjabat yang korup dan memperkaya diri sendiri merupakan akibat sistem pendidikan yang tidak menjadikan moral sebagai pilar utama. Penilaian terhadap pengetahuan kognitif menjadi ukuran. Itupun akhirnya harus luluh lantak akibat perilaku amoral para guru. Sekarang, kalau bukan para pendidik itu yang berbenah, kemana lagi kita berharap?
Saya sering mendengar cerita kemajuan Jepang setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom Amerika. Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh sang kaisar adalah “berapa banyak guru yang tersisa?” Dengan guru yang banyak dan berkualitas, akhirnya Jepang kembali mencapai masa kejayaannya hingga sekarang. Nah, di Indonesia, jumlah guru sangat banyak dan sudah dikukuhkan dengan sertifikasi. Setiap hari kelas-kelas di sekolah-sekolah penuh sesak dengan murid-murid yang mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Sayangnya, di ujung jalan pendidikan itu, masih ada ganjalan yang masih belum terpecahkan hingga sekarang, yakni kejujuran para siswa dan guru. Semoga tulisan ini menggugah hati kita untuk mencetak generasi yang bersih, jujur, dan cerdas sehingga bangsa besar ini bisa segera lepas dari segala keterpurukan. amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar