Minggu, 20 Februari 2011

KEBAHAGIAAN ITU BERAWAL DARI RUMAH

Percayakah Anda bahwa banyak pemimpin sukses berasal dari keluarga yang damai? Mungkin ada sebagaian pembaca yang tidak setuju dengan pernyataan di atas. Tetapi saya meyakini bahwa kalau seseorang ingin meraih kebahagiaan lahir dan batin, ia harus mampu mengatasi segala masalah yang timbul dalam rumah tangganya. Jika tidak, nampaknya, kata bahagia itu akan tetap jauh dari kehidupannya.

Saya tidak akan mengutip kisah sukses para tokoh dunia yang hingga kini dikenang sebagai orang-orang besar dalam sejarah, seperti Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. Saya juga tidak bermaksud mengambil contoh para selebriti papan atas yang bergelimang harta sehingga layak dianggap bahagia. Saya hanya ingin mengambil satu contoh kecil dari lingkungan terdekat yang saya amati. Saya mempunyai seorang tetangga yang kalau dilihat dari ekonominya sangatlah pas-pasan. Setiap hari ia mengajar di sebuah sekolah dasar dengan gaji minim. Tetapi, apa yang dilakukan telah mampu memberikan inspirasi kepada saya bahwa bahagia itu letaknya di hati, yakni hati yang damai sejak pertama kali melangkah ke luar rumah.

Seperti biasa, untuk menciptakan suasana batin yang teduh itu tidak berarti tanpa tantangan. Istrinya tentu tidak sepenuhnya mendukung perjuangannya sebagai pengerak masyarakat gratisan. Sebagaimana umumnya wanita, rasanya sulit jika terus-menerus hidup dalam himpitan ekonomi. Rumahnya yang terbuat dari bambu tua yang sudah agak reyot dan berlubang sana sini tidak dilengkapi dengan tempat tidur yang hangat dan empuk. Kursi tamunya hanyalah berupa dipan lusuh yang agak lebar sehingga mampu menampung beberapa orang untuk duduk bersila di atasnya. Untuk itu, sang istri beberapa kali menuntut untuk perbaikan hidup. Mengambek adalah menu harian. Lelaki mana yang suka melihat istrinya cemberut? Tentu hati menjadi sedih dan pikiran pun melayang-layang. Ingin rasanya membangun istana untuk sang permaisuri namun apa daya tak ada modal untuk itu. Lalu apa yang dilakukan tetangga saya tadi?

Ia mengajak istrinya bersabar, berdoa, dan tersu berusaha. Setiap hari ia meluangkan waktu untuk shalat malam dan memohon karunia keberkahan hidup. Lambat laun, gaya hidup sederhana menjadi bagian integral keluarga itu. Sang istri sudah mulai mampu mengatasi gejolak emosinya yang kadang meledak saat teman-temannya memamerkan perhiasannya. Ia kini mulai bisa tersenyum mensyukuri hidupnya yang masih diberi kesehatan prima dan anggota tubuh yang utuh sehingga ia masih bisa bekerja serabutan demi mengepulkan dapurnya. Selang beberapa tahun kemudian, tetangga saya kini telah menjadi salah satu warga yang sukses dalam wirausahanya yang dirintis dengan istiqamah dan kerjasama yang baik dalam keluarga tersebut.

Berbeda halnya dengan kawan saya yang lain. Ia termasuk berasal dari keluarga berada. Namun, akibat pasangannya yang terus-menerus memintanya untuk memenuhi segala kemewahan hidup, saat ini kawan saya itu kurus dan sering sakit-sakitan. Ia tak lagi bisa bekerja dengan sempurna dan terancam dirumahkan oleh perusahaannya. Ada apa ini? Menurut pandangan saya, kenyataan buruk itu terjadi karena keluarga itu tidak bisa menciptakan suasana damai dalam keluarganya. Kebahagiaan tidak selalu diasosiasikan dengan harta yang banyak, tetapi lebih disebabkan oleh manajemen keluarga yang didasari oleh syukur bukan dengan kufur. Sebanyak rezeki yang dibawa pulang suami seakan tiada guna tatkala sang istri tidak mampu memberikan seulas senyum tanda bahagia. Sayang sekali, bukan? Semoga, dua cerita singkat di atas dapat menggugah kita untuk lebih sabar dalam menghadapi gelombang hidup dan menjadikan kita sebagai orang-orang yang bersyukur atas segala nikmat yang kita terima. Dengan begitu, nampaknya syarat utama untuk hidup bahagia sudah ada di depan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction