Senin, 01 Agustus 2011

RAMADHAN TAHUN LALU: SEBUAH KENANGAN PAHIT

Hari ini aku puasa lagi. Ramadhan telah datang menghampiri. Aku harap aku bisa menjalankan ibadah puasa dengan penuh bahagia seperti tahun-tahun sebelumnya, kecuali tahun kemarin. Bila ingat puasa tahun lalu, aku ingin menangis mengenang betapa sedihnya hatiku saat itu. Hidup sebatangkara di negeri orang di bulan puasa adalah salah satu pengalaman paling pahit dalam hidupku. Betapa tidak! Jiwaku benar-benar kering tanpa suasana syahdu seperti biasa yang kurasakan.

Sebenarnya, aku patut berbangga bahwa aku punya kesempatan menginjakkan kaki di tanah Uwak Sam selama beberapa bulan. Perjuanganku untuk bisa lolos seleksi penerima beasiswa riset tidaklah mudah. Serentetan tahapan panjang telah berhasil kulalui hingga aku harus rela berpisah dengan keluarga mungilku demi masa depanku yang semoga lebih cerah. Lelehan air mata dan cucuran keringat aku abaikan agar aku bisa mengenyam secarik pengalaman hidup di kampung Obama. Tetapi apa yang terjadi? Okelah, banyak pengalaman berharga bagi keberlangsungan karir akademikku ke depan. Aku dapat mengakses sumber-sumber pengetahuan yang melimpah-ruah dan mengakses sederet pakar kenamaan yang selama ini hanya kukenal lewat dunia maya. Namun, ada satu bagian hidupku yang hilang, yakni kedamaian hati di bulan suci. Mengapa demikian?

Aku berangkat ke Amerika di akhir bulan Juni. Waktu itu aku harus mengikuti pembekalan budaya di New York. Saat keberangkatan, aku sendirian. Tak ada teman untuk berbagi cerita atau sekedar diskusi tentang rute penerbangan yang harus kutempuh. Tekad bulatku untuk terbang mengitari separuh bumi itu telah membuatku tegar. Alhamdulillah, aku sampai dengan selamat tanpa halangan yan berarti. Setiba di New York, aku bagai anak kecil yang dibuang di hutan belantara. Di hari-hari pertama, aku tak punya kawan Indonesia yang mendampingi. Otomatis, aku harus berjibaku untuk mempertahankan hidup di tengah budaya yang sangat asing.

Setelah sebulan penuh di New York, di awal Agustus aku terbang lagi ke Iowa, sebuah kota kecil yang berada di dekat Chicago, untuk melakukan riset. Di sini aku mulai merasakan hidup yang kian terjal. Lagi-lagi aku kesulitan untuk mengakses kawan-kawan sebangsaku. Untungnya, beberapa saat kemudian, aku kenal dengan Kang Eri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Iowa. Aku banyak membebani dia untuk urusan-urusan kecil, seperti mengantar ke pasar dan menjemputku untuk shalat jumat. Tetapi, karena kesibukan kang Eri yang luar biasa, aku tak bisa mengaksesnya setiap saat. Paling banter, satu minggu cuma sekali. Alhasil, hari-hariku tetap sendirian menjalani hidup tanpa teman.

Saat bulan puasa tiba, suhu di Amerika sedang panas-panasnya. Sengatan matahari harus kurasakan berjam-jam lebih lama ketimbang waktu normal di tanah air. Waktu sahur adalah pukul 02.00 dan waktu buka adalah pukul 08.30. Sungguh waktu puasa terpanjang dalam sejarah hidupku. Selain itu, aku tak melihat sedikitpun suasana gemuruh di bulan suci itu. Seluruh restoran buka setiap saat dan orang-orang menikmati berbagai hidangan makanan lezat dan minuman segar tanpa perasan risih. Aku hanya bisa menelan ludah bila menyaksikan pemandangan yang sedikit aneh itu. Saat maghrib tiba, tak ada kumandang azan yang kudengar. Aku hanya mengandalkan jadwal waktu shalat yang kuunduh dari situs Islamic Finder. Terpaksa, aku bunyikan suara azan dari ponselku untuk menemaniku saat berbuka. Makan sendiri dengan menu seadanya menambah haru dalam hatiku. Hal ini jelas berbeda dengan suasana puasa di kampung halamanku. Aku dapat menikmati hidangan spesial buatan istriku dan dapat bercengkerama dengan kedua balitaku. Aku bisa terawih di mushalla dekat rumah bersama kawan-kawanku. Berbeda dengan itu, di Iowa, untuk ke masjid saja aku harus menempuh jarak satu jam perjalanan dengan mobilnya Kang Eri. Tanpa itu, aku tak bisa ke sana karena bis umum tidak melewati jalur depan masjid. Alhasil, aku tak pernah tawarih ke masjid. Selain jauh, waktu Isya adalah pukul 22.30 sehingga tak memungkinkan untuk ke sana. Akankah aku mampu melewati puasa sebulan penuh? Tak ada pilihan lain. Aku harus tegar melewati hari-hari sulit di negeri orang.

Puncak kesedihanku adalah saat malam takbiran. Adakah takbiran keliling di Amerika? Itu adalah hal yang mustahil alias hil yang mustahal. Jangankan takbir keliling, mendengar takbiran saja aku tak bisa. Suasana kota kecil Iowa dengan penduduk mayoritas non-Muslim mengharuskanku menahan perasaan. Malam Idul Fitri tak berbeda dengan malam-malam biasanya. Aku hanya bisa merayakan hari kemenangan itu sendirian. Ya, sendirian di apartemen yang sunyi. Lagi-lagi, untuk mengusir kesepian, aku buka laptop dan kuperdengarkan takbiran dari situs youtube. Bukannya senang, aku malah menangis sejadi-jadinya. Oalah, nasib-nasib! Betapa tersiksanya hatiku.

Saat shalat Id, aku tak lagi menumpang mobil kang Eri. Aku dengar kabar bahwa shalat Id akan dilaksanakan di sebuah aula hotel di dekat kampusku. Aku hanya butuh waktu 30 menit jalan kaki ke “lapangan” instan itu. Di sana, aku berharap bisa bertemu Kang Eri, kawan satu-satunya yang bisa menjadi pelipur lara. Tapi apa yang terjadi? Aku tak bisa mengakses kang Eri di tengah kerumunan orang-orang Arab yang memenuhi aula. Apalagi, sehari sebelumnya, Kang Eri kurang enak badan sehingga kemungkinan ia tidak bisa hadir di sana. Praktis aku melewati hari spesialku sendirian. Duh, aku sangat iri dengan beberapa orang yang bersalaman dan berangkulan akrab seusai shalat id. Kali ini, aku tak bisa lagi menahan derai air mataku. Gelak tawa bahagia mereka menambah kepedihanku. Aku tutup mukaku yang sembab sambil pulang ke rumah. Ah, ramadhan itu benar-benar sepenggal hidupku yang tak pernah kulupakan.

Dari pengalaman pahit itu, aku bisa menghargai betapa nikmatnya menjalani ibadah puasa di kampung halaman. Kehangatan keluarga dan handai tolan terasa sangat berharga dalam mendukung pelaksanaan puasa. Tahun ini, aku sudah kembali di tanah air. Aku akan lakukan segala cara untuk balas dendam sebagai ganti tahun lalu yang mengharubiru.

2 komentar:

  1. Alhamdulillah Tadz, tp bg kami di Jatisari Semarang, terasa berbeda dengan Ramadhan 2 tahun lalu karena Ramadhan saat itu ada seorang Ustadz yang ikut menasehati kami sehingga hati kami lebih tentram, andai saja Ustadz itu berkenan mengadakan perjalanan dari Malang ke Semarang ......
    Atau minimal memberikan materi kultumnya melalui blog ini yang akan kami sampaikan pada jamaah di Miftahul Huda.
    Selamat menjalankan ibadah puasa, Tadz.

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Mas Yas...Duh, saya jadi Ge-Er...hehehe
    Andai Jatisari Elok ada di kampung sebelah, saya pasti siap mengisi kultum setiap hari...hehehe
    Baik, saya akan coba menulis lagi, meski tak sesering dahulu....
    Selamat menyongsong hari kemenangan, Mas!

    BalasHapus

Introduction