Sabtu, 30 Juli 2011

MENGENALI STRES SEBELUM TERLAMBAT

Belakangan ini saya jarang beronline ria di blogger. Saya merasa bahwa kosekuensi pekerjaan mengharuskan saya untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tugas-tugas ketimbang menulis lepas di media sosial ini. Status facebook juga jarang diupdate. Bukan karena saya sok perfect dalam bekerja, namun saya mungkin sedikit shock ketika harus kembali berkecimpung di dunia kerja yang sempat saya tinggalkan selama tiga tahun.

Setiap hari saya harus pergi pagi dan pulang sore bahkan larut malam. Urusan yang saya hadapi tidak selalu mudah. Kadang, saya harus bersitegang dengan rekan kerja atau membuat keputusan yang tidak populer. Maklum, saya saat ini bertanggung jawab mengelola dana umat yang jumlahnya cukup besar unuk ukuran saya. Jika tidak hati-hati, bisa jadi saya akan menjadi koruptor ternama setelah Gayus (hehehe). Selain itu, saya harus menyelesaikan segepok program pendidikan dan penelitian yang mengharuskan saya mondar-mandir dari satu kota ke kota lain, berdialog dengan sejumlah tokoh, dan membuat laporan secepatnya. Belum lagi tugas-tugas mendadak yang saya terima dari atasan yang tak kuasa saya menolaknya. Tugas-tugas sosial di masyarakat sekitar tempat tinggal saya juga tak bisa saya abaikan. Beban kerja yang overload menjadikan saya seperti robot yang harus melayani sekian banyak keinginan. Alhasil, saat pulang ke rumah, badan serasa tinggal tulang-belulang yang mengharapkan istirahat. Menulis lepas akhirnya jadi pekerjaan yang paling sulit saat pikiran mengalami titik jenuh.

Karena beban kerja dan tanggung jawab yang tak seimbang dengan kemampuan fisik, saya harus rela bersakit-sakit ria selama tidak kurang dari tiga bulan. Sakitnya sih tidak parah-parah amat. Saya terserang batuk, pilek, demam, dan pusing secara konstan dalam kurun waktu yang tidak biasa. Berkali-kali saya menemui dokter dan sejumlah resep obat yang katanya paling tokcer pun saya peroleh. Tapi, apa yang terjadi? Saya tetap tidak bisa sembuh total. Saat minum obat, bolehlah demam saya berkurang atau batuk saya sedikit reda. Namun, saat obat itu habis, saya harus rela menderita. Saya pun kembali ke dokter. Begitu seterusnya hingga saya bosan minum obat.

Beberapa waktu yang lalu sempat merenung, ada apa dengan saya? Dari sisi kecukupan gizi, saya kira saya sudah mempu memenuhinya. Dari sisi kebutuhan dasar hidup, saya rasa saya sudah berhasil meraihnya. Lalu apa lagi? Rupanya, saya telah terjangkit stress yang cukup akut. Salah satu dokter mengatakan bahwa obat apapun yang saya konsumsi tidak akan bermanfaat ketika kondisi fisik saya kelelahan. Saya harus berani mengistirahatkan diri agar kondisi tubuh kembali fit. Saya pernah menuruti nasehat itu dengan bed-rest selama beberapa hari. Namun apa yang terjadi? Nonsense, sakit saya tetap berlanjut. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa ternyata saya tidak lagi mampu menanggung beban kerja yang berlebihan. Ingin rasanya saya melayani dan menyenangkan banyak orang, tetapi ternyata tubuh saya memberikan sinyal bahwa saya harus bijaksana. Saya harus mampu membuat skala prioritas dan berani bertindak tegas dengan menolak secara halus tawaran pekerjaan dari kolega yang tidak mampu lagi saya kerjakan. Senang memang saat saya mendapat kepercayaan untuk memimpin tim dari satu program ke program lain. Tetapi apadaya, saya harus menyayangi diri sendiri sebelum terlambat. Stress rupanya sudah sedemikian parahnya sehingga saya harus segera bertindak sebelum menyesal.

Ada sejumlah tindakan yang saya lakukan. Di antaranya saya melakukan pendekatan kepada pimpinan agar beban kerja saya dikurangi atau dibagi dengan kolega yang lain. Awalnya, sang direktur agak kaget ketika saya menjelaskan kondisi saya yang kritis. Namun, dengan besar hati, akhirnya saya diberi kelonggaran dalam beraktifitas. Sejumlah program yang awalnya saya komandani harus saya relakan untuk diserahkan kepada orang lain. Selain itu, kerjasama yang baik dengan mitra kerja juga saya jalin sehingga kinerja tim tetap terjaga meskipun saya tidak berada di tempat. Mencari dukungan keluarga untuk memahami situasi kejiwaan saya pun saya lakukan. Alhamdulillah, dengan izin-Nya, saat ini, saya sudah mulai bisa kembali beraktifitas seperti sedia kala walau tak semaksimal dahulu.

Kisah serupa ternyata banyak dialami oleh kawan saya. Ia saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir studinya. Ia sudah banting tulang mengerjakan proyek keahliannya itu. Namun, berhubung tekanan jiwa yang terlampau berat, ia harus rela divonis dokter sebagi pengidap penyakit hepatitis. Duh, ia terpaksa harus mengubur sejenak impiannya demi pemulihan kesehatannya. Teman yang lain juga menunjukkan gejala yang mirip. Ia terserang migrain yang tak kunjung sembuh. Setiap ia akan mengawali kerja, migrain menyerangnya. Kali lain migrain itu dibarengi dengan rasa mual yang dasyat sehingga ia harus menghentikan aktifitasnya. Padahal dulu, ia tidak pernah mengalami hal semacam itu. Ada juga kolega saya yang kini tidak lagi bisa berhadapan dengan laptop atau komputer karena sinar radiasi yang menyilaukan. Uniknya, dalam tes kesehatan mata dan syaraf, dokter menyatakan tidak ada masalah dengan kesehatannya. Aneh, bukan? Mungkin inilah gejala yang disebut psikosomatik, yakni penyakit fisik yang berawal dari penyakit psikologis. Psikosomatik bisa berbentuk penyakit yang tak terdeteksi oleh dokter atau sebuah penyakit tiba-tiba yang tidak mudah penyembuhannya.

Dari pengalaman di atas, saya berani menyimpulkan bahwa penjagaan kesehatan fisik dengan makanan sehat dan berolah raga haruslah dibarengi dengan penjagaan kesehatan jiwa. Jika timbul tanda-tanda gangguan kesehatan yang tak lazim, segeralah berbenah. Siapa tahu, stress telah mengintai kita dan akan menyerang tubuh kita dengan sejumlah penyakit psikologis dan fisik yang menyedihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction