Rabu, 27 November 2013

KEMATIAN: FASE MENUJU KEABADIAN

Hari ini, ada dua berita duka yang saya terima. Berita pertama adalah wafatnya isteri dari prof Djunaidi Ghani, salah satu guru besar UIN Malang. Berita kedua adalah berpulangnya salah satu tetangga saya di Gasek, pak Kaseman namanya. Mendengar kabar duka itu, pikiran saya langsung tertuju kepada suatu kaedah hukum alam bahwa setiap makhluk hidup pasti mati. Kita semua yang merasa hidup hari ini suatu saat nanti wajib meninggal. Ketika meninggal, kita berharap dapat kembali kepada Allah SWT dalam kondisi yang diridhoi.
Berkaitan dengan hakikat kematian, saya teringat pada sebuah ayat dalam surat al-Mulk: 2 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan  kematian dan kehidupan ditujukan untuk mengetahui siapa manusia yang paling baik amalnya.  Ayat ini menyebut kematian lebih dulu daripada kehidupan. Apakah memang kematian lebih utama dari kehidupan? Atau memang setiap hal yang hidup pasti berasal dari sesuatu yang mati? Hanya Allah yang maha tahu maksudnya. Namun, jika kita pahami sejenak, ayat ini menuturkan bahwa manusia tidak perlu khawatir akan datangnya kematian karena kematian adalah awal dan akhir masa manusia. Adapun kehidupan yang berada di sela-selanya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi manusia untuk berkarya.
Dalam sebuah hadis terkenal, rasulllah SAW mengatakan “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal besok.” Hadis ini menyiratkan sejumlah pesan besar. Pertama, kita harus bekerja keras dalam hidup sambil diimbangi dengan kesadaran robbani bahwa kelak kita akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita. Motivasi untuk hidup selamanya dapat dimaknai bahwa dalam hidup ini kita harus membuat perencanaan yang matang. Planning dalam bahasa manajemen sangat dibutuhkan karena dengan perencanaan kita dapat mengantisipasi kegagalan. Hidup tanpa perencanaan berarti telah merencanakan untuk gagal. Kedua, kita sangat perlu semangat berkarya. Semangat ini akan mendorong kita untuk menciptakan prestasi gemilang bahkan sebuat capaian yang dapat dikenang lebih lama. Misalnya, kita dapat membuat buku yang masih dibaca meskipun kita telah wafat. Efek dari semangat hidup selamanya adalah tawakkal, kita akan menyerahkan diri kepada sang Khalik dan berharap mendapat keputusan terbaik dari-Nya. Jika ternyata keputusan itu kurang sesuai dengan harapan, kita masih dapat menahan diri dengan bersabar tanpa harus meratapi nasib. Inilah hikmah semangat hidup selamanya yang dapat kita petik dari bagian pertama hadis ini.
Potongan hadis kedua berbunyi bahwa kita harus berjuang keras untuk akhirat kita seakan-akan kita mati besok. Pertanyaannya, perlukah kehidupan akhirat? Bagi kaum atheis atau agnostic, kehidupan dunia ini adalah untuk dunia. Kematian adalah akhir segalanya. Karena akhirat itu ghaib, maka mereka tak perlu mempercayainya. Untuk itu, mereka berusaha menggunakan berbagai cara agar mereka tetap hidup dan eksis di muka bumi. Misalnya, mereka melakukan kloning, mengkonsumsi obat anti penuaan, atau menginvestasikan sebagaian besar hartanya untuk pengembangan sains dengan harapan mereka bisa hidup lebih lama, atau bahwa mereka dapat dihidupkan kembali dengan teknologi canggih itu.
Bagi kita, kematian adalah suatu keniscayaan bahkan suatu kebutuhan. Tanpa kematian, terutama kematian setelah kehidupan dunia ini, kehidupan dunia yang kita jalani ini tidak ada artinya. Ibarat seorang mahasiswa, setiap hari dia diminta untuk belajar dan menghafal  sekaligus berjibaku dalam menghadapi ujian, namun ia tidak pernah mendapat nilai atau rapot. Seorang mahasiswa yang  rajin tidak akan dapat menikmati hasil jerih payahnya jika tidak ada fase wisuda. Kematian adalah satu periode menuju wisuda, satu momen bagi seseorang untuk mendapat penghargaan atas prestasinya. Semoga almahum-almahumah yang hari ini dpanggil Allah mendapat tempat terindah disisi-Nya dan mendapat penghargaan terbaik atas karya-karyanya selama hidup di dunia. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction