Seminggu yang lalu saya pulang ke Malang untuk silaturahmi dengan keluarga besar UIN Malang, khususnya dengan eL-Zawa, lembaga yang menjadi tempat pengabdian saya. Awalnya semua baik-baik saja. Karyawan mitra kerja masuk seperti biasa. Ketika saya bertanya tentang perkembangan terakhir ketika saya tinggal di Semarang, mereka semua menjawab tak ada masalah. Namun ketika hari mulai siang, nampaknya staf saya sudah tidak sabar untuk menyampaikan kejadian baru yang butuh penyelesaian segera.
Sang bendahara staf saya memulai ceritanya dengan latar belakang acara buka puasa bersama yang digelar eL-Zawa pada awal september lalu. Pada saat itu, bingkisan yang diberikan kepada pada mustahiq adalah sebuah bingkisan sarung. Anehnya, di akhir acara, dua buah bingkisan dinyatakan hilang sehingga ada yang tidak kebagian. Waktu itu saya tidak dapat memantau sampai detail karena harus segera berangkat ke Semarang, sehingga kejadian sehabis acara tidak saya ketahui. Singkat cerita, dua bingkisan yang hilang itu ternyata diambil oleh dua anak yang sedang Praktik Kerja Lapangan (PKL) di eL-Zawa. Untuk membuktikan hal tersebut, prosesnya cukup panjang. Awalnya, si A dan B, dua anak PKL itu, tidak mengaku kalau mereka mengambil. Mereka hanya mengaku mengambil jatahnya, masing-masing satu. Perihal hilangnya dua bingkisan mereka tidak tahu menahu. akan tetapi, dengan pendekatan khusus dan persaudaraan, akhirnya terkuak bahwa mereka mengaku mengambil dua bingkisan yang hilang itu karena merasa kesal hanya menerima satu bingkisan saja. Mereka tidak senang melihat orang diberi bingkisan secara cuma-cuma bahkan ada yang harus diantar ke rumahnya karena tidak datang, padahal dua anak itu merasa bahwa mereka lebih pantas menerima bingkisan itu karenatelah bekerja membungkus bingkisan yang jumlahnya 60 buah. Agak aneh memang alasan mereka, tapi sudahlah, namanya juga anak-anak, masih labil pikirannya.
Kalau hanya perkara sarung di atas, mungkin tidak terlalu bermasalah. Ada yang lebih besar, yakni lenyapnya uang kas baitul Mal sebanyak sekitar 1,6 juta dari tas bendahara. Kronologinya, pada hari Jumat pagi, bendahara sudah menyetorkan semua uang cash yang ia terima dari perputaran beberapa hari terakhir ke Bank. Berhubung masih ada transaksi pada Jumat sore dan Sabtu pagi, uang yang diterima bendahara tidak bisa dikirim ke bank yang telah tutup. Praktis, uang disimpan di dompet kas. Sayangnya, biasanya bendahara menyimpan uangnya di laci dan dikunci, namun siang itu ia lupa. Ia hanya menyiman di dalam tas. Sada saat adzan duhur, semua staf shalat berjamaah ke masjid, kecuali satu anak PKL yang tidak ikut shalat. Ia lebih senang memandangi layar komputer ketimbang shalat ke masjid. Padahal, jarak masjid begitu dekat, hanya beberapa meter saja dari kantor.
Setelah shalat dhuhur, semua staf siap-siap pulang karena memang jam kantor hanya sampai pukul 13.00 wib. Bendahara tidak sempat mengecek lagi kondisi keuangannya di tas. Ia langsung bergegas pulang dengan berprasangka baik bahwa uangnya tetap berada di dalam tasnya. Sesampai di rumah, ia langsung mengurusi pekerjaan rumah bersama anak dan suaminya sembari melupakan kegiatan kantor. Pada hari berikutnya, ia baru sadar bahwa ia membawa uang kantor ke rumah dan ingin mengecek jumlahnya. Namun betapa kagetnya, dompet kas yang ia cari tidak ditemukan. Ia pun panik sambil bertanya kepada suami dan pembantunya. Sayangnya, tak ada tahu soal dompet yang ia maksud. Mulailah bendahara itu curiga kepada anak PKL yang tadi tidak ikut shalat berjamaah.
Pada Senin pagi, sesampainya di kantor, bendahara langsung bercerita kepada anak yang dimaksud dan bertanya apakah ia tahu uang itu. Anak PKL itu mengaku tidak tahu dan tidak mengambilnya. Bendahara tidak begitu saja percaya, sebab pada kasus sarung yang baru saja berlalu, anak PKL itu juga mengelak. Berbagai macam cara pun dilakukan, termasuk minta petuah orang "pintar". Kesimpulannya, anak itu dituduh mencuri uang kas karena hanya ia sendiri yang ada di kantor saat semua orang berjamaah dhuhur di samping trade recordnya juga pernah mengambil bingkisan tanpa ijin.
Saya, selaku ketua lembaga itu, akhirnya memanggil anak PKL itu dan mencoba berbicara dari hati ke hati. Ia tetap saja merasa bukan pencurinya. Karena tidak ada bukti yang mendukung, saya pun memutuskan untuk tidak menghukum anak itu dan membebankan pengembalian uang itu kepada pengurus lembaga untuk urunan semampunya hingga mencukupi jumlah uang yang hilang. Akan tetapi, setelah meminta pendapat dewan pembina yang posisinya sebagai penasehat lembaga, nampaknya berdasarkan berbagai indikasi, walau bukan bukti konkret, anak itu ditetapkan sebagai pencuri dan harus mengembalikan uang yang diambilnya. Saya sebenarnya masih tetap pada pendirian awal, tapi karena semua orang setuju dengan keputusan dewan pembina, saya pun tidak bisa berbuat banyak. Saya pun pada hari yang sama harus kembali ke Semarang.
Satu hari setelah kejadian itu, saya menerima sms dari anak PKL itu bahwa ia tidak sanggup mengembalikan uang yang cukup besar itu dalam waktu hanya dua minggu. Saya tidak menghiraukannya karena agak bingung harus jawab bagaimana. Satu sisi saya tidak tega membebaninya untuk mengembalikan uang itu karena ia sudah bersumpah bahwa ia bukanlah pengambil uang tersebut. Pada sisi yang lain, forum telah memutuskan bahwa ia harus menanggung uang yang hilang dengan batas pengembalian yang tidak terlalu lama. Tapi, Subhanallah, pada esok harinya, ada berita yang menjadi penjelas semua masalah itu, yakni uang tersebut ternyata telah ditemukan di rumah bendahara. Dompet itu telah pindah tempat, dari tas ke beberapa tumpukan pakaian yang ia juga tidak mengerti kapan dompet itu dipindahkan. Alhasil, uang telah kembali, namun satu yang mengganjal, bahwa anak PKL yang ternyata tidak bersalah, telah dituduh sebagai pencuri dan bahkan telah dibebani untuk mengembalikan uang secepatnya.
Wah, kalau sudah begini siapa yang salah? Bagi saya, dua-duanya salah, karena pertama, bendahara teledor tidak menyimpan uang di tempat yang aman. kedua, anak PKL juga bersalah karena tidak ikut shalat jamaah pada hari hilangnya uang tersebut. Andai ia ikut jamaah, tentu ia tidak akan dicurigai sebagai pengambil uang itu. Ketiga, ada yang lebih penting, yakni kebiasaan menuduh tanpa bukti ternyata dapat menyengsarakan orang. Anak PKL itu tentu terancam posisinya, baik di lingkungan keluarga ataupun sekolah. Ia tentu tertekan karena sungguh tidak melakukan perbuatan pencurian yang dituduhkan. Mungkin, untuk pelajaran ke depan, hendaknya saat menuduh seseorang harus didasarkan pada bukti konkret atau saksi yang kuat. Tanpa itu, sumpah adalah bukti terakhir dan final bila tidak ada bukti fisik. Jika seseorang sudah bersumpah, berarti urusannya tinggal ia dengan Allah SWT. Kita lebih baik menyelesaikan masalah dengan lebih mengedepankan kekeluargaan dan persaudaraan ketimbang main hakim sendiri tanpa bukti yang kuat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar