Selasa, 08 Maret 2011

MENDIDIK ANAK TANPA AMARAH, MEMANG BISA?

Anak adalah anugerah. Hampir semua orang ingin memiliki keturunan sebagai generasi penerus sekaligus investasi masa depan. Bagi pasangan yang tidak memiliki anak, mereka rela mengeluarkan biaya besar demi hadirnya sang buah hati di tengah-tengah keluarga. Berbagai ikhtiyar lahir seperti mengunjungi dokter spesialis kandungan hingga dukun tiban pun dilakukan. Tak ketinggalan pula, ikhtiyar batin semisal menjalankan wirid tertentu sampai mengunjungi baitullah di Mekkah juga menjadi salah satu alternatif. Pendeknya, anak merupakan salah satu penyempurna kebahagiaan hidup. Kekayaan melimpah serasa tak lengkap bila tanpa anak. Begitu pula jabatan tinggi, popularitas mencorong, hingga kemolekan tubuh serasa hambar bila tak bisa mendatangkan keturunan.

Namun, ternyata, tidak semua orang tua bisa melaksanakan amanat Tuhan untuk memelihara dan menjaga anak dengan baik. Banyak anak-anak yang akhirnya hidup terlunta-lunta akibat dibuang atau disia-siakan oleh orang tua,. Bahkan, tidak sedikit anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Perdagangan anak yang kini kian marak menjadikan anak-anak itu kehilangan masa depannya. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, semestinya kita bersyukur bahwa kita telah dipilih menjadi salah satu orang yang pantas menerima amanat mulia, yakni menjadi penyambung garis keturunan dari sebuah generasi mendatang. Kita tentu sadar bahwa kita bisa hidup hingga detik ini berkat curahan kasih sayang orang tua. Bagaimana jadinya bila orang tua kita menyia-nyiakan kita? Tentu, kita tak mungkin bisa menikmati hari ini. Oleh sebab itu, syukur adalah salah satu tindakan mulia atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepada kita.

Kedua, kita seharusnya memperlakukan anak secara lemah lembut dan penuh kasih sayang. Kita pasti masih ingat betapa kita dulu pernah dihinggapi perasaan harap-harap cemas tentang kehadiran anak. Pernah terpikir oleh kita jangan-jangan kita tidak mempunyai anak, atau anak kita nanti tidak sempurna. Ada saja kegalauan hati sebelum akhirnya kita dapati anak-anak kita lahir dengan selamat dan tumbuh sesuai dengan usianya. Bangga sekali, bukan? Hanya, tak dapat dipungkiri bahwa tindakan anak tidak selalu sesuai dengan kemauan kita. Ada saja tingkah polahnya yang kadang menyebalkan, menjengkelkan, dan bahkan membuat kita naik darah. Marah adalah salah satu ekspresi umum yang dipertunjukkan oleh para orang tua ketika mereka tidak dapat meraih impian dari anak-anak mereka. Ini tentu sangat merugikan banyak pihak, terutama orang tua dan anak-anak. Misalnya, pertumbuhan psikologis anak akan terhambat seiring dengan emosi orang tua yang kian tidak stabil. Lalu bagaimana cara bijak memperlakukan anak? Jujur, saya bukanlah orang tua yang baik untuk anak-anak saya. Oleh sebab itu, tulisan ini juga berfungsi untuk menyadarkan saya atas kekeliruan dalam mendidik anak. Mungkin, cara bijak mendidik anak adalah poin tiga di bawah ini.

Ketiga, menyikapi anak sesuai dengan usianya. Anak tumbuh dari bayi hingga besar dan dewasa. Setiap perkembangan itu menuntut pelayanan yang berbeda. Sejauh pengalaman saya hingga enam tahun mendidik anak (anak tertua saya umur 6 tahun), saya melihat bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh usia dan lingkungannya. Saya belum mendeteksi tentang pengaruh genetika dalam perkembangan anak kecuali bentuk fisiknya. Ketika anak usia 0-2 tahun, mereka menunjukkan fase yang menyenangkan. Tubuhnya yang imut dan gerakannya yang masih polos dan belum tkkordinasi seringkali menimbulkan kegelian tersendiri sehingga orang tua pun terhibur. Hiburan ini penting karena orang tua harus melayani hampir 100% kegiatan anak, dari makan, pakaian, hingga membersihkan badan. Kemudian, ketika usia anak memasuki usia 3 tahun, anak kian mandiri. Ia sudah mulai mempunyai obsesi tersendiri sehingga sering membuat emosi orang tua kian tertantang. Anak mulai membangkang dan minta semua keinginannya dituruti. Jika tidak, menangis dan mengamuk adalah senjata utamanya. Reaksi umum orang tua adalah memarahi anaknya yang dinilai bandel. Barang-barang di rumah kian berantakan dan rusak akibat ulah anak. Apakah sikap marah orang tua bisa menyelesaikan masalah? Ternyata tidak, tingkah anak malah menjadi-jadi. Ia bahkan melakukan tindakan-tindakan lain yang justru membuat hati orang tua kian terbakar. Lalu apa solusinya?

Saya sering membaca artikel tentang tumbuh kembang anak. Salah satu saran utama yang selalu disampaikan adalah mendekati anak dengan hati. Artinya, anak bandel tidak seharusnya disikapi dengan keras oleh orang tua. Meskipun secara reflek orang tua akan marah bila menemukan banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sikap tahan diri dan mengajak anak untuk berdiskusi nampaknya menjadi pilihan terbaik. Boleh saja orang tua marah dalam batas kewajaran, tetapi frekuensinya jangan sampai melebihi dari sikap sayangnya orang tua kepada anak. Dalam pengalaman saya, saya pernah bertanya kepada anak saya ketika saya selesai memarahinya, “Apakah kakak senang dimarahi ayah?” jawabnya, “Tidak.” “Lalu bagaimana biar ayah tidak marah?” “Ayah harusnya bilang pelan-pelan, jangan membentak!” Eh, ternyata menyuruh anak dengan membentak ternyata membuat anak malah membangkang. Anak saya berkata lagi, “Kalau membangunkan kakak, ayah harusnya bilang, kakak yang cantik, bangun dong, sudah siang nih! Nanti kalau bangun pagi terus, ayah akan beri hadiah!” O, ternyata saya harus mengucapkan dengan lembut dan memberikan janji “reward” bila sang anak bisa melakukan dengan baik. Baru tahulah saya kemudian tentang cara mengasuh anak-anak agar bisa patuh dengan saran dan nasehat orang tua. Sikap lemah lembut penuh kasih sayang nampaknya masih tetap menjadi pilihan utama bila menginginkan anak-anak kita tumbuh dengan sempurna. Gimana, setuju? Semoga tulisan bermanfaat! Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction