“Mak, Mbok ya ngerti aku, aku ini harus bekerja….kapan berangkatnya kalau harus ngurus Emak teruuuuuus?” suara kesal itu tiba-tiba meluncur dari bibir Kang Jabrik pagi ini. Ia rupanya sudah tak tahan lagi merawat ibunya yang lumpuh tak berdaya di kursi roda. sebentar-sebentar, sang ibu yang hampir buta itu memanggilnya untuk keperluan kecil. kadang ia hanya sekdar ingin dekat dengan anaknya. Kang Jabrik paham bahwa berkata kasar apalagi kepada ibu kandung adalah perbuatan yang dimurkai sang pencipta. Tapi, gimana lagi? Kalau hati sudah bergemuruh, pikiran jadi keruh, semua orang tak terkecuali ibu menjelma jadi musuh.
Tiap hari, Kang Jabrik harus sabar menyiapkan air hangat, memandikan ibunya, memakaikannya baju, menyuapi, hingga membersihkan kotoran di tubuh sang ibu yang penuh dengan bau tak sedap. Ia berusaha tabah dengan cobaan ini. Ia ingat bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Ia ingin menjadi anak yang berbakti dengan menyayangi ibunya sepenuh hati sebagaimana jerih payah ibunya membesarkannya hingga dewasa. Tapi, bagaimana jika kesabaran sudah di ujung ubun-ubun? Haruskah sang ibu jadi sasaran kemarahan yang tiada guna?
Tak dipungkiri, setiap manusia punya keterbatasan, termasuk dalam ketabahan menghadapi cobaan atau musibah. Keluh kesah sudah menjadi menu wajib yang terus dilagukan setiap saat. Tatkala jaya, manusia sering lupa akan jatidirinya. Sebaliknya ketika berduka, tak segan-segan ia mengadukan kekesalannya kepada sang maha besar di atas sana yang dianggap harus bertanggung jawab atas nasib buruk yang menimpanya. Lalu adakah solusi?
Setiap penyakit ada obatnya selain kematian. Dengan kecerdasan serta tuntunan ilahiyah yang turun melalui nabi mulia, manusia sepatutnya bisa menjaga keseimbangan jiwa raganya dan mental spiritualnya sehingga masalah sesulit apapun akan dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan masalah baru. Kang Jabrik dalam cerita di atas sebenarnya tahu apa yang harus dikerjakan. Hanya karena terjadi pergulatan batin antara mengasuh ibunya dan pergi bekerja membuatnya tak bisa mengendalikan emosi sehingga tak bisa menahan luapan amarah dalam hatinya. Mungkin, baginya, mengekspresikan perasaan tak tertahankan bisa menurunkan ketegangan syarafnya. Tetapi, bila dilakukan dengan cara yang kurang tepat, hasilnya bisa jadi bumerang. Itu artinya sama saja menyiram api dengan besin! Kian mengenaskan bukan?
Saya rasa, cara yang paling tepat meredam kegalauan adalah menata hati dan menahan diri dengan diam beberapa saat. Kalau bisa, kita perlu mencari tempat baru untuk meneduhkan suasana yang keruh. Berwudhu adalah salah satu alternatif pendingin kepala. Baca istighfar yang banyak juga bisa meredakan kegelisahan. Pada intinya, beryoga ala shalat alias meyakini kehadiran sang Pencipta di setiap ibadah dapat mengembalikan kesadaran akan jati diri kita yang lemah, berasal dari zat yang hina dan akan kembali tiada dalam kebakaan. Mumpung masih bisa berbuat baik, mungkin Kang Jabrik harus membuat perencanaan yang matang dibantu oleh saudara dan kawan-kawannya sehingga mengurus ibu lansia yang memang membutuhkan kasih sayang dan pengorbanan masih tetap bisa dijalankan dengan penuh keikhlasan. amin. Semoga….
Tiap hari, Kang Jabrik harus sabar menyiapkan air hangat, memandikan ibunya, memakaikannya baju, menyuapi, hingga membersihkan kotoran di tubuh sang ibu yang penuh dengan bau tak sedap. Ia berusaha tabah dengan cobaan ini. Ia ingat bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Ia ingin menjadi anak yang berbakti dengan menyayangi ibunya sepenuh hati sebagaimana jerih payah ibunya membesarkannya hingga dewasa. Tapi, bagaimana jika kesabaran sudah di ujung ubun-ubun? Haruskah sang ibu jadi sasaran kemarahan yang tiada guna?
Tak dipungkiri, setiap manusia punya keterbatasan, termasuk dalam ketabahan menghadapi cobaan atau musibah. Keluh kesah sudah menjadi menu wajib yang terus dilagukan setiap saat. Tatkala jaya, manusia sering lupa akan jatidirinya. Sebaliknya ketika berduka, tak segan-segan ia mengadukan kekesalannya kepada sang maha besar di atas sana yang dianggap harus bertanggung jawab atas nasib buruk yang menimpanya. Lalu adakah solusi?
Setiap penyakit ada obatnya selain kematian. Dengan kecerdasan serta tuntunan ilahiyah yang turun melalui nabi mulia, manusia sepatutnya bisa menjaga keseimbangan jiwa raganya dan mental spiritualnya sehingga masalah sesulit apapun akan dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan masalah baru. Kang Jabrik dalam cerita di atas sebenarnya tahu apa yang harus dikerjakan. Hanya karena terjadi pergulatan batin antara mengasuh ibunya dan pergi bekerja membuatnya tak bisa mengendalikan emosi sehingga tak bisa menahan luapan amarah dalam hatinya. Mungkin, baginya, mengekspresikan perasaan tak tertahankan bisa menurunkan ketegangan syarafnya. Tetapi, bila dilakukan dengan cara yang kurang tepat, hasilnya bisa jadi bumerang. Itu artinya sama saja menyiram api dengan besin! Kian mengenaskan bukan?
Saya rasa, cara yang paling tepat meredam kegalauan adalah menata hati dan menahan diri dengan diam beberapa saat. Kalau bisa, kita perlu mencari tempat baru untuk meneduhkan suasana yang keruh. Berwudhu adalah salah satu alternatif pendingin kepala. Baca istighfar yang banyak juga bisa meredakan kegelisahan. Pada intinya, beryoga ala shalat alias meyakini kehadiran sang Pencipta di setiap ibadah dapat mengembalikan kesadaran akan jati diri kita yang lemah, berasal dari zat yang hina dan akan kembali tiada dalam kebakaan. Mumpung masih bisa berbuat baik, mungkin Kang Jabrik harus membuat perencanaan yang matang dibantu oleh saudara dan kawan-kawannya sehingga mengurus ibu lansia yang memang membutuhkan kasih sayang dan pengorbanan masih tetap bisa dijalankan dengan penuh keikhlasan. amin. Semoga….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar