Seringkali kita dengar banyak orang tua yang begitu kesal melihat tingkah polah anaknya yang dianggap sudah berada di luar kontrol. Anak, apalagi di usia empat hingga enam tahun , akan mengalami masa petualangan yang dasyat. Mereka akan berusaha mengeksplorasi lingkungannya dengan segala kemampuan indrawinya. Ia akan sering ditemukan di selokan, tempat sampat, lapangan bola, atau gorong-gorong dengan pakaian yang luar biasa kotor. Ia mungkin juga sering kepergok mengobrak-abrik lemari ibunya sambil menghabiskan lipstik dan sejumlah peralatan kecantikan. Mainan yang baru dibeli satu jam yang lalu sudah rusak berantakan. Ketika bertamu, tak ada rasa malu sedikit pun mengambil makanan sebanyak-banyaknya sambil mengacak-acak ruang keluarga. Peringatan orang tua untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya ibarat lagu dangdut yang kian membuat mereka rajin mencari “mainan” baru yang menantang. Gejala apa ini?
Menghadapi anak di usia “nakal” ini seringkali membuat kepala ini serasa mau pecah. Kesal bercampur marah dan malu. Anak-anak itu begitu senang ketika perbuatannya telah membuat gelisah orang seisi rumah. Mereka bak pahlawan yang telah berhasil memborbardir medan pertempuran. Teriakan ibunya dibalas dengan gelak tawa. Kadangkala, anak-anak semacam ini usilnya bukan main. Ketika ada orang berjalan di depannya, tangan mungilnya menarik baju orang tersebut. Saat jalan-jalan di Mall, semua makanan dan mainan dimasukkan keranjang. Bila tidak dituruti, tangisnya meledak sehingga membuat merah padam muka orang tua. Hemm, adakah cara “menikmati” situasi seperti ini? Ada, dong!!!
Pertama, anak adalah anugerah. kalimat ini jika diresapi lebih jauh pastilah akan membuat hati kita akan syukur. Bersyukur punya keturunan, bersyukur memiliki teman bermain, dan bersyukur dipercaya membimbing satu generasi yang akan mengisi dunia masa depan. Tanpa kita, mereka tidak akan pernah ada. Sebagai anugerah, sudah selayaknya kita merawat dan menyayangi sang buah hati, apapun kondisinya. Dulu, sebelum mereka dititipkan kepada kita, bukankah siang malam hati berdebar jangan-jangan kita tak akan mempunyai penyambung garis keturunan? Tatkala kita diberi tahu bahwa ada janin milik kita, tentu sungguh gembira, bukan? Apalagi, ketika bayi mungil nan suci lahir ke dunia, tangisannya meredakan segala rasa sakit dan lelah yang kita derita. Gembira! Ya, sangat gembira!
Nah, ketika anak beranjak tumbuh besar, kelucuannya kian nampak. Cara merangkak, latihan berdiri, hingga komat-kamit melafalkan kata yang kita ajarkan membuat kita tersenyum. Sungguh pengalaman yang tak ternilai harganya. Namun, di saat anak memasuki usia pra sekolah, kelucuannya yang dulu lugu kini terasa menyebalkan dan kadang memang dibuat-buat. Tawa renyah kini berganti wajah yang tegang. Kalau itu terjadi pada kita, ada baiknya kita “flash-back” pada pengalaman masa lalu, saat indahnya awal menikmati hidup sebagai orang tua. Dengan begitu, kita akan bisa meredam hati yang mulai gerah.
Kedua, hindari mengukur cara berpikir anak dengan pola pikir kita. Anak adalah anak. ia akan tetap anak dengan dunianya sendiri. Haruskah mereka kita paksa untuk mengikuti gaya hidup kita? Lumrahkah mereka kita tekan agar bisa memahami kemauan orang tua? Jawabnya, mungkin, tapi caranya harus sesuai dengan tingkat berpikir anak. Sungguh aneh sekali jika kita ajari anak untuk bisa berperilaku seperti kita yang sudah dewasa dan kaya pengalaman. Intimidasi kita bisa berakibat buruk pada tumbuh kembang mereka. Trauma masa kecil tak akan bisa mudah hilang dari ingatan mereka dan bahwa bisa menghancurkan masa depannya. Oleh sebab itu, kita harus bijak menghadapi tingkah laku anak-anak kita yang tergolong “nakal”.
Anak yang aktif sebenarnya justru merupakan indikasi bahwa otak mereka hebat. Ia tak ingin bertingkah biasa-biasa saja. Ia justru haus tantangan dan ingin memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, tutur kata yang lembut akan membuat anak tetap nyaman menikmati dunianya. Bolehlah sekali-kali kita bertindak akan tegas kepada anak jika perilaku anak sudah dianggap kelewatan. Pemanjaan berlebihan juga bukan pilihan bijak. Ibaratnya kita sedang bermain layang-layang, sikap kita kepada anak kadangkala perlu sedikit keras namun harus segera dibarengi dengan sikap penuh kasih sayang. Kelak, ketika anak-anak kita dewasa, mereka akan bisa memahami betapa perilaku mereka dahulu memang tidak elok untuk dilakukan.
Kesimpulannya, sebagai orang tua, kita harus pandai-pandai mensyukuri nikmat Allah SWT berupa anak yang harus kita didik sedemikian rupa sehingga akan menjadi generasi penerus yang membanggakan. Reaksi berlebihan terhadap tingkah polah anak dapat menyebabkan anak-anak kita trauma yang bisa jadi akan membunuh kreatifitas mereka. Semoga kita dapat menjadi pintu bermulanya generasi unggul masa depan. Amin!!!
Menghadapi anak di usia “nakal” ini seringkali membuat kepala ini serasa mau pecah. Kesal bercampur marah dan malu. Anak-anak itu begitu senang ketika perbuatannya telah membuat gelisah orang seisi rumah. Mereka bak pahlawan yang telah berhasil memborbardir medan pertempuran. Teriakan ibunya dibalas dengan gelak tawa. Kadangkala, anak-anak semacam ini usilnya bukan main. Ketika ada orang berjalan di depannya, tangan mungilnya menarik baju orang tersebut. Saat jalan-jalan di Mall, semua makanan dan mainan dimasukkan keranjang. Bila tidak dituruti, tangisnya meledak sehingga membuat merah padam muka orang tua. Hemm, adakah cara “menikmati” situasi seperti ini? Ada, dong!!!
Pertama, anak adalah anugerah. kalimat ini jika diresapi lebih jauh pastilah akan membuat hati kita akan syukur. Bersyukur punya keturunan, bersyukur memiliki teman bermain, dan bersyukur dipercaya membimbing satu generasi yang akan mengisi dunia masa depan. Tanpa kita, mereka tidak akan pernah ada. Sebagai anugerah, sudah selayaknya kita merawat dan menyayangi sang buah hati, apapun kondisinya. Dulu, sebelum mereka dititipkan kepada kita, bukankah siang malam hati berdebar jangan-jangan kita tak akan mempunyai penyambung garis keturunan? Tatkala kita diberi tahu bahwa ada janin milik kita, tentu sungguh gembira, bukan? Apalagi, ketika bayi mungil nan suci lahir ke dunia, tangisannya meredakan segala rasa sakit dan lelah yang kita derita. Gembira! Ya, sangat gembira!
Nah, ketika anak beranjak tumbuh besar, kelucuannya kian nampak. Cara merangkak, latihan berdiri, hingga komat-kamit melafalkan kata yang kita ajarkan membuat kita tersenyum. Sungguh pengalaman yang tak ternilai harganya. Namun, di saat anak memasuki usia pra sekolah, kelucuannya yang dulu lugu kini terasa menyebalkan dan kadang memang dibuat-buat. Tawa renyah kini berganti wajah yang tegang. Kalau itu terjadi pada kita, ada baiknya kita “flash-back” pada pengalaman masa lalu, saat indahnya awal menikmati hidup sebagai orang tua. Dengan begitu, kita akan bisa meredam hati yang mulai gerah.
Kedua, hindari mengukur cara berpikir anak dengan pola pikir kita. Anak adalah anak. ia akan tetap anak dengan dunianya sendiri. Haruskah mereka kita paksa untuk mengikuti gaya hidup kita? Lumrahkah mereka kita tekan agar bisa memahami kemauan orang tua? Jawabnya, mungkin, tapi caranya harus sesuai dengan tingkat berpikir anak. Sungguh aneh sekali jika kita ajari anak untuk bisa berperilaku seperti kita yang sudah dewasa dan kaya pengalaman. Intimidasi kita bisa berakibat buruk pada tumbuh kembang mereka. Trauma masa kecil tak akan bisa mudah hilang dari ingatan mereka dan bahwa bisa menghancurkan masa depannya. Oleh sebab itu, kita harus bijak menghadapi tingkah laku anak-anak kita yang tergolong “nakal”.
Anak yang aktif sebenarnya justru merupakan indikasi bahwa otak mereka hebat. Ia tak ingin bertingkah biasa-biasa saja. Ia justru haus tantangan dan ingin memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, tutur kata yang lembut akan membuat anak tetap nyaman menikmati dunianya. Bolehlah sekali-kali kita bertindak akan tegas kepada anak jika perilaku anak sudah dianggap kelewatan. Pemanjaan berlebihan juga bukan pilihan bijak. Ibaratnya kita sedang bermain layang-layang, sikap kita kepada anak kadangkala perlu sedikit keras namun harus segera dibarengi dengan sikap penuh kasih sayang. Kelak, ketika anak-anak kita dewasa, mereka akan bisa memahami betapa perilaku mereka dahulu memang tidak elok untuk dilakukan.
Kesimpulannya, sebagai orang tua, kita harus pandai-pandai mensyukuri nikmat Allah SWT berupa anak yang harus kita didik sedemikian rupa sehingga akan menjadi generasi penerus yang membanggakan. Reaksi berlebihan terhadap tingkah polah anak dapat menyebabkan anak-anak kita trauma yang bisa jadi akan membunuh kreatifitas mereka. Semoga kita dapat menjadi pintu bermulanya generasi unggul masa depan. Amin!!!
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
BalasHapusbenar sahabat anak merupakan anugrah dan tanggung jawab orang tuanya, ijin menmabahkan sedikit ya akhi sudirman hasan, anak merupakan ujian pula, Anak adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali kita dengar dan amat lengket di benak kita. Tak ada yang memungkiri ucapan itu, karena memang ia sebuah kenyataan bukan hanya sekedar ungkapan perumpamaan, benar-benar terjadi bukan sebatas khayalan belaka. Karenanya sudah semestinya memberikan perhatian khusus dalam hal mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para pengaman dan pelopor masa depan umat Islam.
Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak lalu kemudian kedua orangtuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Di saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya jika dibiasakan dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan binatang, maka akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang akan dipikul kedua orangtua dan umat umumnya apabila meremehkan pendidikan anak-anaknya.
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya." Maka Allah subhanahu wa ta'ala mengingatkan kita dengan firmanNya, "Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At Tahrim: 6).
Berkata Amirul Mukminin Ali radhiyallahu 'anhu, "Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan dipinta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dipinta pertanggungjawabannya." (HR Bukhori dan Muslim dari sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu 'anhu).
pendidikan anak ini menjadi kewajiban nomor satu bagi para orangtua, menelantarkannya berarti menelantarkan amanat dan kepercayaan Allah, membiarkannya adalah berarti membiarkan kehancuran anak, orangtuanya, umat, bangsa, dan negara. Sedangkan mendidiknya adalah cahaya masa depan umat yang cerah yang berarti juga mengangkat derajat sang anak dan derajat kedua orangtuanya di surga. Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Akan diangkat derajat seorang hamba yang sholih di surga. Lalu ia akan bertanya-tanya: Wahai Rabb apa yang membuatku begini?" Kemudian dikatakan padanya, "Permohonan ampun anakmu untukmu." (HR Ahmad dari sahabat Abu Hurairoh).
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS Ath Thuur: 21). Allah-lah yang memberi taufiq kepada apa yang dicintaiNya dan diridloiNya.