Sejak lahir, kita sudah disambut dengan kumandang adzan oleh ayah kita. Bacaan itu menjadi pondasi awal aqidah yang ditanamkan orang tua kita. Bacaan adzan yang intinya mengagungkan asma Allah SWT dan pengakuan akan kebesaran-Nya diharapkan akan mampu membentengi diri kita dari godaan syetan yang menjelma dalam berbagai bentuk. Doa tulus agar kita menjadi anak sholeh selalu terucap dari bibir orang tua kita. Meskipun begitu, sudahkah kita benar-benar menjadi muslim sejati?
Pertanyaan itu sering menggelitik saya. Di tengah banyaknya orang yang mengaku sebagai Muslim karena keturunan, saya malah ingin menantang diri saya sendiri apakah saya memilih Islam sebagai jalan hidup hanya karena didikan orang tua atau karena Islam benar-benar jalan lurus yang saya pilih dengan ikhlas. Pembiasaan diri sebagai Muslim ternyata bukan satu-satunya jalan untuk membuat seseorang benar-benar Muslim. Justru sebaliknya, karena adanya gejolak jiwa dan kegelisahan hati tentang ajaran agama, atau bahkan perlu tidaknya seseorang memeluk agama, seseorang menjadi yakin sepenuh hati bahwa Islam adalah jalan hidup pilihannya. Dari mana datangnya keyakinan yang berbentuk hidayah itu? Apakah semua orang dapat memperolehnya?
Manusia terlahir di dunia ini dengan bekal indera yang tajam. Meski ukuran ketajaman itu masih ada yang mengungguli, indera manusia dapat menangkap hal-hal nyata yang menjadi kebutuhannya. Keperluan jasmani seperti makan dan minum dapat mereka peroleh dengan kekuatan indera yang dimiliki. Kemampuan mata melihat sumber-sumber kehidupan dan kemampuan anggota badan untuk bergerak dan mengolah hasil alam membuat manusia dapat bertahan hidup. Kecerdasan ini diberikan hampir kepada seluruh umat manusia, baik yang beragama atau tidak.
Berbeda dengan itu, kebutuhan ruhani tidak selamanya disadari. Tatkala seseorang hanya menggunakan akalnya dalam menerjemahkan sesuatu yang nyata, maka ia hanya akan terkungkung oleh keterbatasan inderawinya. Cobalah kita ingat, betapa manusia dahulu menganggap bahwa bumi ini ibarat lempengan piring atau nampan yang pipih dan lebar. Mereka sempat mewanti-wanti kepada segenap anggota keluarganya untuk tidak jauh-jauh pergi karena bisa jadi akan jatuh ke jurang yang amat dalam di tepi piringan itu dan tak akan pernah bisa kembali. Itulah salah satu bukti bahwa inderawi manusia mengajarkan hal-hal semacam itu. Begitu pula ketika kita melihat matahari. Benda ini hanyalah seperti buah durian yang menggantung di atas dan bergerak melingkar dari timur ke barat. Itu karena mata kita memberitahu kepada kita semacam itu. Paham di atas tentu untuk zaman teknologi modern saat ini sudah ketinggalan dan kuno. Kita semua kini yakin bahwa bumi berbentuk bulat dan matahari merupakan benda langit yang besarnya berkali-kali lipat dari ukuran bumi. Lalu, apakah kita masih percaya dengan indera kita?Apakah indera kita dapat membuat kita mampu memenuhi kebutuhan ruhani kita?
Jawaban singkat yang ekstrim adalah tidak bisa. Atau, kalau memang bisa, manusia harus mampu menggunakan inderanya secara cerdas bukan hanya dengan cara biasa. Cara itu sebenarnya sudah lama diajarkan al-Qur'an bahwa kita manusia harus mau melihat alam raya ini dan berpikir kritis tentang hal itu. Ketika kita mau menjelajahi alam ini, setidaknya alam sekitar kita, niscaya kita akan mengakui adanya kekuatan besar yang merajai alam ini. Pengalaman hidup kita juga mengajari kita untuk tidak congkak dengan kemampuan kita yang sangat terbatas. Dari sanalah akan timbul sebuah tuntutan untuk mengakui adanya zat yang maha. Ia adalah zat yang menguasai alam ini dan mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya.
Banyak nabi dan rasul yang pernah diutus Allah SWT ke muka bumi. Tantangan dan hambatan sudah pasti mereka hadapi. Kondisi umat yang tidak cerdas ruhani dan sangat terbelenggu dengan kemampuan inderawi sangat sulit untuk diajak berpikir luas dan jauh ke depan. berbagai dalih mereka lontarkan demi mempertahankan kebodohan ruhani yang sudah turun-temurun. Ada umat yang meminta makanan dari langit. Ada umat yang meminta unta dari batu. Ada pula segolongan manusia yang menantang dengan meminta untuk didatangkan azab yang pedih. Bahkan, tidak hanya manusia biasa, seorang nabi sekaliber Musa pun ingin melihat Allah SWT yang mengaku sebagai sang pencipta alam. Sayangnya, ketika Allah SWT "menjelmakan diri" di gunung Tursina, Musa jatuh tak sadarkan diri dan bertobat atas kebodohannya. Tuhan memang sepantasnya tidak dapat dilihat oleh indera manusia, namun hanya bisa dirasa oleh hati yang jernih dan pikiran yang bening. Untuk dapat merasakan siapa Tuhan, mengapa manusia perlu diciptakan, bagaimana manusia mengatur hidupnya serta kemana manusia akan pergi, Islam dengan Al-Qur'annya telah memberikan jawaban yang tegas dan jelas kepada mereka yang mau percaya. Muhammad, yang sejak lahirnya sudah menunjukkan kualitas manusia sempurna,dipilih Allah SWT untuk menjelaskan apa itu Islam dan bagaimana menjadi manusia muslim yang kaffah. Umat Islam tentunya beruntung bahwa mu'jizat nabi Muhammad tidak hanya dapat dinikmati oleh manusia semasanya, namun mu'jizat terbesar yang berupa al-Qur'an dapat dibaca, dipelajari, didiskusikan serta dilaksanakan hingga kini oleh manusia-manusia yang hidup di zaman modern hingga akhir dunia. Sayangnya, tak semua orang berpandangan demikian.
Jadi, kesimpulannya, untuk menjadi Muslim sejati, patut kiranya kita mempelajari agama kita, kalau perlu membandingkan dengan agama atau kepercayaan yang lain, sehingga kita benar-benar yakin bahwa agama yang kita pilih bukan hanya karena terpaksa, atau karena keturunan, tetapi karena kita benar-benar yakin bahwa Islam adalah the only choice atau the only way of life yang terbaik sepanjang masa. Sudah banyak contoh manusia teladan yang memeluk Islam hingga akhir hayat dan sampai hari ini nama besar dan perjuangan mereka tetap dikenang oleh masyarakat dunia. Akhirnya, syahadat kita tidak hanya bacaan kosong yang berulang kali kita ucapkan, tetapi merupakan kesaksian kita, lahir batin kita, bahwa memang tidak ada yang layak disembah melainkan Allah SWT, sang Maha Agung, dan Muhammad, manusia unggul yang tiada banding, sebagai acuan hidup final sepanjang waktu. Semoga dengan begitu, kelak Allah SWT akan meletakkan kita di antara hamba-hamba-Nya yang shaleh, yang layak mendapat ampunan dan cinta-Nya. Amin.
Pertanyaan itu sering menggelitik saya. Di tengah banyaknya orang yang mengaku sebagai Muslim karena keturunan, saya malah ingin menantang diri saya sendiri apakah saya memilih Islam sebagai jalan hidup hanya karena didikan orang tua atau karena Islam benar-benar jalan lurus yang saya pilih dengan ikhlas. Pembiasaan diri sebagai Muslim ternyata bukan satu-satunya jalan untuk membuat seseorang benar-benar Muslim. Justru sebaliknya, karena adanya gejolak jiwa dan kegelisahan hati tentang ajaran agama, atau bahkan perlu tidaknya seseorang memeluk agama, seseorang menjadi yakin sepenuh hati bahwa Islam adalah jalan hidup pilihannya. Dari mana datangnya keyakinan yang berbentuk hidayah itu? Apakah semua orang dapat memperolehnya?
Manusia terlahir di dunia ini dengan bekal indera yang tajam. Meski ukuran ketajaman itu masih ada yang mengungguli, indera manusia dapat menangkap hal-hal nyata yang menjadi kebutuhannya. Keperluan jasmani seperti makan dan minum dapat mereka peroleh dengan kekuatan indera yang dimiliki. Kemampuan mata melihat sumber-sumber kehidupan dan kemampuan anggota badan untuk bergerak dan mengolah hasil alam membuat manusia dapat bertahan hidup. Kecerdasan ini diberikan hampir kepada seluruh umat manusia, baik yang beragama atau tidak.
Berbeda dengan itu, kebutuhan ruhani tidak selamanya disadari. Tatkala seseorang hanya menggunakan akalnya dalam menerjemahkan sesuatu yang nyata, maka ia hanya akan terkungkung oleh keterbatasan inderawinya. Cobalah kita ingat, betapa manusia dahulu menganggap bahwa bumi ini ibarat lempengan piring atau nampan yang pipih dan lebar. Mereka sempat mewanti-wanti kepada segenap anggota keluarganya untuk tidak jauh-jauh pergi karena bisa jadi akan jatuh ke jurang yang amat dalam di tepi piringan itu dan tak akan pernah bisa kembali. Itulah salah satu bukti bahwa inderawi manusia mengajarkan hal-hal semacam itu. Begitu pula ketika kita melihat matahari. Benda ini hanyalah seperti buah durian yang menggantung di atas dan bergerak melingkar dari timur ke barat. Itu karena mata kita memberitahu kepada kita semacam itu. Paham di atas tentu untuk zaman teknologi modern saat ini sudah ketinggalan dan kuno. Kita semua kini yakin bahwa bumi berbentuk bulat dan matahari merupakan benda langit yang besarnya berkali-kali lipat dari ukuran bumi. Lalu, apakah kita masih percaya dengan indera kita?Apakah indera kita dapat membuat kita mampu memenuhi kebutuhan ruhani kita?
Jawaban singkat yang ekstrim adalah tidak bisa. Atau, kalau memang bisa, manusia harus mampu menggunakan inderanya secara cerdas bukan hanya dengan cara biasa. Cara itu sebenarnya sudah lama diajarkan al-Qur'an bahwa kita manusia harus mau melihat alam raya ini dan berpikir kritis tentang hal itu. Ketika kita mau menjelajahi alam ini, setidaknya alam sekitar kita, niscaya kita akan mengakui adanya kekuatan besar yang merajai alam ini. Pengalaman hidup kita juga mengajari kita untuk tidak congkak dengan kemampuan kita yang sangat terbatas. Dari sanalah akan timbul sebuah tuntutan untuk mengakui adanya zat yang maha. Ia adalah zat yang menguasai alam ini dan mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya.
Banyak nabi dan rasul yang pernah diutus Allah SWT ke muka bumi. Tantangan dan hambatan sudah pasti mereka hadapi. Kondisi umat yang tidak cerdas ruhani dan sangat terbelenggu dengan kemampuan inderawi sangat sulit untuk diajak berpikir luas dan jauh ke depan. berbagai dalih mereka lontarkan demi mempertahankan kebodohan ruhani yang sudah turun-temurun. Ada umat yang meminta makanan dari langit. Ada umat yang meminta unta dari batu. Ada pula segolongan manusia yang menantang dengan meminta untuk didatangkan azab yang pedih. Bahkan, tidak hanya manusia biasa, seorang nabi sekaliber Musa pun ingin melihat Allah SWT yang mengaku sebagai sang pencipta alam. Sayangnya, ketika Allah SWT "menjelmakan diri" di gunung Tursina, Musa jatuh tak sadarkan diri dan bertobat atas kebodohannya. Tuhan memang sepantasnya tidak dapat dilihat oleh indera manusia, namun hanya bisa dirasa oleh hati yang jernih dan pikiran yang bening. Untuk dapat merasakan siapa Tuhan, mengapa manusia perlu diciptakan, bagaimana manusia mengatur hidupnya serta kemana manusia akan pergi, Islam dengan Al-Qur'annya telah memberikan jawaban yang tegas dan jelas kepada mereka yang mau percaya. Muhammad, yang sejak lahirnya sudah menunjukkan kualitas manusia sempurna,dipilih Allah SWT untuk menjelaskan apa itu Islam dan bagaimana menjadi manusia muslim yang kaffah. Umat Islam tentunya beruntung bahwa mu'jizat nabi Muhammad tidak hanya dapat dinikmati oleh manusia semasanya, namun mu'jizat terbesar yang berupa al-Qur'an dapat dibaca, dipelajari, didiskusikan serta dilaksanakan hingga kini oleh manusia-manusia yang hidup di zaman modern hingga akhir dunia. Sayangnya, tak semua orang berpandangan demikian.
Jadi, kesimpulannya, untuk menjadi Muslim sejati, patut kiranya kita mempelajari agama kita, kalau perlu membandingkan dengan agama atau kepercayaan yang lain, sehingga kita benar-benar yakin bahwa agama yang kita pilih bukan hanya karena terpaksa, atau karena keturunan, tetapi karena kita benar-benar yakin bahwa Islam adalah the only choice atau the only way of life yang terbaik sepanjang masa. Sudah banyak contoh manusia teladan yang memeluk Islam hingga akhir hayat dan sampai hari ini nama besar dan perjuangan mereka tetap dikenang oleh masyarakat dunia. Akhirnya, syahadat kita tidak hanya bacaan kosong yang berulang kali kita ucapkan, tetapi merupakan kesaksian kita, lahir batin kita, bahwa memang tidak ada yang layak disembah melainkan Allah SWT, sang Maha Agung, dan Muhammad, manusia unggul yang tiada banding, sebagai acuan hidup final sepanjang waktu. Semoga dengan begitu, kelak Allah SWT akan meletakkan kita di antara hamba-hamba-Nya yang shaleh, yang layak mendapat ampunan dan cinta-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar