Kamis, 30 September 2010

DAFTAR ANGGOTA KOMPASIANA


Asyik juga punya pengalaman baru. Beberapa hari ini saya cukup senang ketika menyaksikan bahwa tulisan yang diposting ke kompasiana dimuat dan sering menjadi headline news, seperti foto di atas tentang Halal bi halal Indonesia-Malaysia. Pembacanya juga tidak tanggung-tanggung, bisa puluhan bahkan ratusan. Salah satu kawan saya dari linguistik memberikan apresiasi dan acungan jempol saat membaca tulisan saya. Nah, ini jelas sebuah prestasi yang belum pernah saya capai sejak aktif menulis di blog.

Tulisan yang pernah saya posting di blog pribadi ini saya coba kirim ulang melalui kompasiana. Hasilnya cukup mencengangkan. Contohnya, tulisan tentang Andrea Hirata telah dibaca orang setidaknya sebanyak 240 kali. Kemudian artikel tentang potong rambut termahal yang pernah saya alami juga berhasil menarik minat 250 pembaca. Wah, ini berarti manfaat ngeblog menjadi berkali-kali lipat.

Caranya mudah saja. Kita tinggal daftar melalui kompasiana.com. Lalu kita masukkan beberapa identitas, seperti alamat email, foto, dan data diri. Sesudah itu, kita bisa posting tulisan apa saja, dari reportase, opini, hingga puisi atau fiksi. Semua akan masuk di meja administrasi. Sesudah itu, pihak admin akan menyeleksi tulisan mana yang bisa menjadi headline dan mana tulisan yang hanya bisa masuk sub artikel. Namun yang jelas, semua tulisan yang dikirim akan dimasukkan di layar kompasiana saat itu juga, minimal masuk di bagian 'tulisan terbaru'.

Saya jadi semangat untuk berbagai cerita kepada seluruh kawan di mana saja berada, meskipun tidak saling kenal satu sama lain. Komentar-komentar pembaca yang jumlahnya bisa puluhan dari berbagai negara (seperti Amerika dan Saudi) kian membuat saya terpacu untuk segera mengirim tulisan baru. Nah, jika ingin lebih bermanfaat, kenapa tidak gabung saja dengan Kompasiana? Gratis dan bermanfaat...Selamat bergabung!!!

Rabu, 29 September 2010

PERLU REHAT

Rupanya badan tidak bisa diajak kompromi. Sibuk hilir mudik ke berbagai tempat dengan suasana dingin ternyata membuat tubuhku sedikit "keok". Ya, tapi begitulah konsekuensi logis dari sebuah perjuangan. Berjam-jam di bis dan mobil beberapa hari sudah barang tentu meniscayakan badanku untuk beristirahat.

Meski kelelahan, aku cukup puas dengan perkembangan penelitianku. Berbagai bahan bacaan yang melimpah cukup membuatku tak sempat bersantai. Belum lagi penataan hasil penelitian memaksaku untuk begadang. Satu tahap yang pasti, aku sudah berhasil merencanakan penelitian lapanganku yang lebih besar, yakni di kantor pusat Islamic Relief yang lokasinya di Alexandria, dekat Washington DC. Kemarin aku sudah membeli secara online tiket pesawat untuk keberangkatanku. Mahal memang, tapi lumayan agak miring karena kubeli dalam waktu dua minggu sebelum keberangkatan. Jika lewat satu hari saja, harga bisa naik 50%. Lalu jika dibeli menjelang hari H, pastinya harga tiket langsung melejit sampai 400%. Itulah pentingnya perencanaan dalam hidup ini, khususnya saat tinggal di negara maju.

Hari Selasa ini, aku habiskan waktu untuk istirahat di rumah. Kepalaku yang pening sejak sehari sebelumnya belum juga reda. Tapi, kalau aku terus-menerus mengurung diri di kamar, justru stresku tidak beranjak pergi. Akhirnya, sore ini aku sempatkan diri untuk jalan-jalan mengunjungi perpustakaan sambil membuka komputer di sana. Itung-itung refreshing yang bermanfaat.

Saat membuka email, kuperoleh sebuah informasi yang menggembirakan. Direktur Islamic Relief menyatakan siap untuk diwawancarai, bahkan istilah yang digunakan adalah "more than happy". Aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia bahwa penelitianku di lembaga itu akan dapat berjalan lancar, setidaknya dari inidikasi ini. Meskipun begitu, aku masih punya satu kendala yang hingga kini belum berhasil kupecahkan, yakni tempat tinggalku nanti di Alexandria. Bila aku menginap di hotel, jelas biaya hidup pasti sangat tinggi sehingga aku harus segera balik ke Iowa. Namun jika ada kawan atau penginapan yang murah, aku bisa lebih lama magang di sana. Semoga saja, Tuhan yang Maha Kuasa memberikan kemudahan dalam penelitianku kelak. Amin.

Minggu, 26 September 2010

BERTEMU PROF RYAS ROSYID DAN PROF. BACHTIAR EFENDI DI DEKALB


Setelah cukup melakukan penelitian lapangan di Chicago dan membongkar perpustakaan University of Chicago, saya melanjutkan perjalanan ke Dekalb, Illinois, 90 menit dari arah kota Chicago. Di sini berdiri kampus megah Northern Illinois University (NIU). Kampus ini telah berhasil melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Prof Ryas Rosyid dan Dr Anis Baswedan. Saya diantar mas Mun'im ke rumah mas Dani di Dekalb. Kemudian, saya diantar keliling Dekalb sekaligus mengunjungi perpustakaan NIU. Wah, lagi-lagi saya dipertemukan dengan koleksi lengkap kajian Asia Tenggara di kampus itu.

Malam hari, saya diajak mas Dani untuk mengikuti acara Welcome party dalam rangka menyambut kedatangan dua profesor besar Indonesia, Prof Ryas Rosyid dan Prof Bachtiar Efendi. Prof Ryas adalah pakar otonomi daerah sedangkan Prof Backhtiar merupakan pakar di bidang politik. Senang rasanya bisa bertemu mereka di sini. saya sempat berbincang-bincang dengan mereka di sela-sela makan malam. Sejumlah mahasiswa Indonesia juga datang dalam acara tersebut. Tidak kurang dari sepuluh orang yang menuntut ilmu di kampus NIU. Hanya saya yang bukan mahasiswa NIU, melainkan mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang 'nyasar' di Iowa. Yah, paling tidak, saya cukup bangga bisa bertemu dengan calon-calon tokoh bangsa beberapa tahun mendatang.

Mas Dani adalah kawan saya waktu di IALF Bali dalam rangka peningkatan bahasa Inggris. Ia kemudian mengambil kuliah Social Work di UIN Jogja sementara saya di Social Science di UIN Jakarta. Ia selanjutnya mengambil program S2 lagi di Australia. Sepulang dari sana, ia mengabdi di Unmuh Magelang bersama kawan saya lainnya, mas Nurodin. Lalu, ia melamar PNS di Unnesa Semarang tahun 2008. Tahun 2009, nasib baik membawanya kuliah S3 di Amerika melalui beasiswa Fulbright. Semoga mas Dani kelak bisa menjadi tokoh sekaliber seniornya, Prof Ryas atau Dr Anis. Amin.

Sabtu, 25 September 2010

ENAM TAHUN SUDAH

ENAM TAHUN SUDAH
KU JALANI HIDUP BERSAMA
KEKASIH HATI YANG AMAT KUCINTA
DALAM SUKA DAN SUKA

ENAM TAHUN SUDAH
KUARUNGI SAMUDERA RUMAH TANGGA
MENATA ASA DARI TIADA
MENJELMA JADI TAK TERHINGGA

ENAM TAHUN SUDAH
KUPUPUK CINTA DEPA DEMI DEPA
KADANG HAMPA KADANG MEMBAHANA
PERIH LUKA CANDA TAWA
SUDAH BIASA

ENAM TAHUN SUDAH
KUTATA HATI TUK TETAP SETIA
MESKI TANTANGAN DATANG MENGGODA
HINGGA AKHIR MENUTUP MATA

BERGURU DENGAN SANG 'SUHU'

Bertemu Mas Mun'im, saya seperti disadarkan kembali bahwa tugas mahasiswa adalah mendalami ilmu secara jeli dan tajam. Saya merasa bangga, senang, gembira sekaligus malu. Saya ditantang untuk berlatih menjadi manusia kritis yang harus mampu berpikir terstruktur dan logis. Contohnya, saya diajari untuk selalu bertanya ketika membaca buku. Model baca semacam ini akan melahirkan pikiran berantai untuk terus menelusuri jejak sejarah pemikiran hingga sebuah ujung. Menelaah, merenung, dan menulis disertai kerja keras dan doa adalah kunci sukses seorang ilmuwan.

Saya sesungguhnya sangat setuju ketika idealisme berpikir kritis dilakukan di negeri yang kaya buku dan sumber ilmu, Amerika. Perpustakaan Chicago benar-benar memanjakan para mahasiswa dan dosennya untuk selalu berkarya setiap saat. Jutaan buku dan jurnal baik online maupun cetak bisa diakses kapan saja dengan waktu peminjaman yang lama. Bagaimana tidak pandai dan maju? Ini mungkin salah satu jawaban kegelisahan saya yang ingin tahu penyebab kemajuan Amerika. Kalau Indonesia bisa memberikan kesempatan seluas-luasnya seperti di Chicago, saya yakin, manusia Indonesia pasti akan segera duduk satu meja dengan negara maju di pentas dunia. Mas Mun'im adalah salah satu contohnya. Ia berhasil mengalahkan profesornya dalam kompetisi tulisan imiah yang diselenggarakan sejumlah penerbit internasional. profesornya pun harus angkat topi atas kejeniusannya.

Meskipun begitu, mas Mun'im ibarat seorang suhu. Tinggal di rumahnya selama tiga hari serasa mondok tiga tahun. Setiap saat saya diarahkan untuk lebih mampu memahami hidup. Ilmunya mengalir deras bak sungai tanpa karang. Ia begitu rendah hati dan murah ilmu. Baginya tak ada rahasia yang harus ditutup-tutupi sepanjang menyangkut pengembangan ilmu. Saya sebenarnya baru kenal akrab di sini, tetapi rasanya saya sudah dianggap sebagai adik yang lama tak jumpa. Ia begitu sayang dan perhatian. Ah, saya jadi begitu tersanjung.

Meski ilmunya menjulang, Mas Mun'im tidak menunjukkan tinggi hati. Padahal kalau mau, saya pasti akan tunduk terkapar di hadapannya. Tetapi ia tidak, ia tetap menganggap bahwa saya punya bagian tertentu yang tidak dimilikinya. Ia lebih senang bertukar pikiran ketimbang mendekte. Ia lebih cenderung membimbing daripada menggurui. Ia memang ilmuwan sejati, ilmuwan yang ditunggu-tunggu kiprahnya untuk membangun negeri. Pantas, cak Nur yang dulu sekolahnya di Chicago mampu menjadi guru bangsa dan mas Mun'im adalah kandidat kuat sebagai penerusnya, insya Allah.

Introduction