Sebelum mendudukkan posisi wakaf tunai ala Tabung Wakaf Indonesia (TWI), perlu kiranya diulas kembali makna wakaf tunai dari kajian fikih dan undang-undang. Dalam fikih, sebagai diuraikan secara detail pada bab II, wakaf, apalagi wakaf tunai, belum populer pada masa Rasulullah. Wakaf tunai diartikan oleh MUI sebagai wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang. Wakaf tunai hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i. Nilai pokok wakaf tunai harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Dalam tataran hukum positif, wakaf tunai dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 termasuk wakaf benda bergerak. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: a) Uang; b) Logam mulia; c) Surat berharga; d) Kendaraan; e) Hak atas kekayaan intelektual; f) Hak sewa; dan g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 16). Undang-Undang Tentang Wakaf ini memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk wakaf tunai atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Adapun benda bergerak berupa uang secara khusus dijelaskan dalam pasal 22 dan 23.
Dalam pasal 22 dijelaskan bahwa
(1) Wakaf tunai yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
(2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
(3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
a. Hadir di lembaga keuangan syari’ah penerima wakaf tunai (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf tunainya;
b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
c. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.
Pasal 23 menjelaskan bahwa Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS penerima wakaf uang (LKS-PWU).
Mencermati beberapa kutipan di atas, nampak jelas bahwa program wakaf tunai yang dilakukan oleh TWI sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh MUI. TWI yang merupakan nadzir lembaga menerima dana wakaf berupa uang dari masyarakat luas. TWI menggunakan dana tersebut untuk berbagai program yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk pemberdayaan masyarakat kurang mampu yang akan dijelaskan lebih detail pada bagian lain pada bab ini.
Permasalahan yang mungkin muncul adalah TWI bukanlah bagian dari LKS-PWU yang disahkan Menteri Agama. Dalam pasal 22 ayat (3) dijelaskan bahwa wakif harus hadir di LKS-PWU untuk menyatakan kehendak wakaf yang kemudian akan memperoleh formulir kehendak wakaf yang berfungsi sebagai Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta ini merupakan bukti otentik terjadinya wakaf yang kemudian dapat menjadi landasan dikeluarkannya sertifikat wakaf tunai. Ketika disadari demikian, maka TWI sepertinya tidak berhak menerima wakaf tunai, kecuali TWI berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari LKS-PWU, dengan cara TWI menerima wakaf uang dari masyarakat lalu menyerahkan kepada LKS-PWU untuk didayagunakan. Lalu, hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai program-program TWI.
Kenyataan yang saat ini dilakukan oleh TWI adalah bahwa TWI menerima dana wakaf tunai dan memberdayakan dana tersebut secara mandiri melalui program-program unggulan yang dibuat. Misalnya wakaf uang untuk dana pendidikan melalui sekolah Smart Ekselensia, dana kesehatan melalui Layanan Kesehatan Cuma-Cuma, atau untuk dana produktif melalui usaha Food Court. Dengan begitu, TWI tidak perlu lagi bekerja sama dengan LKS-PWU dalam pendayagunaan dana wakaf tunai masyarakat.
Pada dasarnya, jika diperhatikan lebih seksama, dana wakaf tunai yang diterima TWI dapat dikatakan bukan wakaf tunai murni. Hal ini didasarkan pada konsep wakaf tunai yang meniscayakan kelestariannya dalam bentuk uang atau surat berharga. Jika dana wakaf tunai diserahkan kepada LKS-PWU, dana tersebut akan diinvestasikan dalam produk-produk perbankan yang jika suatu ketika dibutuhkan dalam bentuk tunai, dana tersebut dapat ditarik dengan mudah. Berbeda halnya, jika kemudian dana tersebut dirubah bentuknya menjadi aset wakaf semisal tanah, bangunan, atau fasilitas umum. Dana tersebut tidak lagi dalam bentuk uang, tetapi sudah berubah bentuk menjadi wakaf barang.
Nampaknya, TWI masih mengacu kepada pemahaman ini seperti ditegaskan oleh direktur TWI, Zaim Saidi
“ Kita ini membutuhkan dana wakaf tunai syuyu’i dari masyarakat. Kemudian dana tersebut kita rupakan aset wakaf.”
Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa TWI berusaha mengumpulkan dana wakaf tunai, berapapun jumlahnya (meskipun yang berhak menerima sertifikat wakaf tunai hanyalah wakif yang menyerahkan dana minimal 1 juta) yang kemudian digabungkan untuk membeli aset wakaf baru seperti yang saat ini sedang dilakukan TWI, yakni penggalangan wakaf tunai untuk Rumah Sehat Terpadu (RST). Adapun wakaf tunai yang diproduktif, seperti sejumlah yang diinvestasikan di usaha Bakmi Langgara atau usaha Food Court, dapat dikatakan telah sesuai dengan fitrah wakaf uang. Namun jumlah dana yang diproduktifkan saat ini belumlah sebanyak dana yang digunakan untuk dirupakan sebagai wakaf aset. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wakaf tunai versi TWI tidaklah sepenuhnya wakaf tunai sebagaimana definisi Majelis Ulama Indonesia.
assalamu'alaikum... kebetulan sekali saya sedang meneliti pengelolaan wakaf benda bergerak yang dilakukan oleh twi. artikel ini bermanfaat sekali karena dalam bab IV saya membehas mengenai wakaf gotong royong yang dilakukan oleh tabung wakaf, yang menjadi pertanyaan saya, apakah wakaf gotong royong seperti yang dilakukan oleh tabung wakaf sudah sesuai dengan UU no. 41 thn 2004 tentang wakaf?
BalasHapus