Rabu, 25 November 2009

ANALISIS SWOT PADA TABUNG WAKAF INDONESIA


Meskipun baru akan merayakan ulang tahunnya yang ke 5 pada awal 2010, TWI dapat dikatakan sebagai lembaga modern yang berpeluang menjadi lembaga besar terpercaya dan terdepan dalam pengelolaan wakaf secara nasional. Analisis SWOT (strengh, weakness, opportunity, and thread) nampaknya diperlukan untuk mengukur potensi TWI dalam menjalankan misinya. Analisis ini merupakan salah satu model untuk menunjukkan mendeteksi kekuatan, kelemahan yang dimiliki oleh sebuah organisiasi. Selain itu, analisis SWOT juga berfungsi untuk menunjukkan sisi-sisi peluang dan tantangan yang dimiliki TWI. Dalam wawancara dengan direktur TWI, Zaim Saidi (9 Juli 2009), terungkap SWOT yang dimiliki TWI saat kini untuk membidik eksistensinya pada masa-masa pendatang.

1. Strength

Kekuatan terbesar yang dimiliki TWI adalah adanya kridibilitas TWI. Hal ini tidak lepas dari keberadaan TWI yang merupakan jejaring Dompet Dhuafa (DD). DD sebagai institusi yang cukup berpengalaman dalam pengelolaan filantropi Islam sering disebut sebagai pioneer dalam penggalanagn dan pemberdayaan dana umat, khusunya wakaf tunai. Dengan kualitas SDM yang mumpuni, DD dapat dikatakan telah mengelola dana masyarakat secara profesional karena telah mendapat sertifikasi manajemen, jam terbang tinggi, dan jaringan yang dimiliki sangat solid. DD tidak mengandalkan pada kekuatan seorang tokoh tetapi lebih menekan kepada mekanisme organisasi. TWI yang merupakan bagian integral DD mendapat keuntungan secara langsung dari pencitraan DD yang positif. TWI berusaha menerapkan sistem organisasi yang telah lebih dahulu dilaksanakan di DD.

Selain itu, TWI dapat dikatakan sebagai lembaga wakaf pertama yang mengelola wakaf tunai secara mandiri. Hal itu terbukti bahwa wakaf tunai yang baru disahkan melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 dan baru dijelaskan melalui Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006, telah dilakukan TWI sejak tahun 2005. Dan bahkan sebelum itu, DD sudah menggalang dana wakaf tunai sejak tahun 2001. Ini menunjukkan bahwa TWI dianggap proaktif dalam pengalangan dana wakaf tunai dan bisa menjadi benchmarking bagi lembaga-lembaga serupa yang saat ini mulai bermunculan.

2. Weakness

Kalaulah dianggap kelemahan, ada beberapa titik yang bisa disampaikan di sini. TWI merupakan lembaga yang hanya diurus oleh segelitir orang. Tidak lebih dari 6 orang (direktur, devisi litbang, devisi fund rising, devisi pengelolaan aset, devisi keuangan, front desk dan office boy). Hal ini tentu menjadi kendala ketika TWI ingin mengembangkan sayapnya untuk menjangkau wilayah yang lebih luas, sesuai dengan jaringan DD yang merupakan LAZ tingkat nasional. Ke depan, TWI harus menambah sejumlah karyawan yang memiliki keahlian di bidang wakaf, baik dari sisi keilmuan maupun teknis operasional. Dengan begitu, TWI dapat berkembang pesat dan lebih maksimal dalam melayani umat.

Kendala lain yang sedang dihadapi TWI adalah adanya restrukturisasi di badan DD. TWI sedang dalam masa transisi. Rencananya, ada dua opsi yang akan diterapkan di tubuh TWI. Pertama, TWI akan diberikan kebebasan menjadi lembaga independen dalam artian ‘lepas landas’, sehingga berhak mengelola seluruh dana dan aset yang diterima. Kedua, TWI akan dimerger dengan DD. Artinya, TWI akan dikontrol penuh di bawah manajemen utama DD. Saat ini, posisi TWI masih belum jelas. Satu sisi TWI diberikan kewenangan untuk membuat program dan penjaringan dana, namun setelah dana dikumpulkan, program yang dibuat TWI tidak serta merta dapat dilaksanakan secara langsung, akan tetapi harus masuk mekanisme DD. Apabila DD setuju dengan program tersebut, maka program tersebut dapat dilaksanakan. Namun sebaliknya, jika DD keberatan dengan program yang diajukan TWI, maka TWI tidak bisa memaksakan program tersebut dan harus merancang program baru. Di sini letak kelemahan mendasar pada manajemen TWI-DD.

3. Opportunity

Saat ini problem wakaf belum tertangani secara baik padahal jika dilihat dari sisi potensinya, wakaf memiliki peluang yang tak terbatas. Di sinilah TWI memainkan perannya yang ftas. Hingga saat ini lembaga-lembaga independen yang khusus menangani wakaf, apalagi wakaf tunai, belum nampak muncul di permukaan. Sementara ini fenomena yang berkembang adalah dibukanya unit-unit usaha yang menerima wakaf tunai tetapi belum berdiri sendiri. Wakaf Tunai Muamalat, misalnya, merupakan salah satu produk dari bank Muamalat, bukan lembaga khusus yang menangani permasalahan masalah. Begitu pula unit wakaf di Baitul Mal Hidayatullah, sub kerja ini adalah salah satu bagian kecil dari kerja baitul mal untuk mengumpulkan dana umat. TWI meskipun saat ini sedang dalam proses reformasi birokrasi dan manajemen, dengan demikian, berpeluang menjadi pioneer lembaga pengelola wakaf, khususnya wakaf tunai.

Untuk lembaga bentukan pemerintah, Badan Wakaf Indonesia yang lahir pada tahun 2007 belum menunjukkan kiprah yang signifikan. Padahal, institusi yang dipimpin oleh Prof. Tolchah Hasan ini dilegitimasi oleh Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Berbagai program yang dicanangkan belum nampak menyentuh masyarakat karena memang BWI lebih ditekankan untuk mengurusi birokrasi wakaf ketimbang mengelola dana wakaf.

4. Threat

Tantangan yang saat ini sedang menghadang TWI dapat diuraikan dalam beberapa poin berikut ini.

a. Adanya hukum positif, baik Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah yang mengurangi fungsi wakaf. Menurut Zaim, munculnya kebijakan bahwa penyerahan dana wakaf tunai melalui LKS-PWU merupakan bagian dari skenario pemusatan uang ke Bank. Padahal, menariknya, Zaim bersikukuh bahwa bank adalah institusi yang menjadikan uang sebagai rantai riba. Bahkan dalam bentuk yang lebih ekstrim, Zaim adalah pendukung penggantian mata uang kertas menjadi mata uang dinar atau dirham. Semangat ini seringkali ia sampaikan dalam berbagai kesempatan. Dalam bukunya pun, “Ilusi Demokrasi”, ia secara tegas menunjukkan posisinya sebagai pendukung gerakan kembali ke dinar dan dirham.

b. Rumitnya Sertifikasi Wakaf. Sertifitas wakaf, khususnya terkait dengan wakaf tanah, menurut Zaim termasuk menyulitkan. Prosedurnya berbelit dan tidak simpel. Apalagi, jika ada perubahan peruntukan atau pindah lokasi. Birokrasi yang tidak efesien ini membuat banyak orang yang jadi enggan mengurus tanahnya sertifikat tanahnya.

c. Kebijakan pemerintah yang tidak ramah terhadap lembaga swasta. Menurut Zaim, sering kali kebijakan pemerintah kurang menguntungkan bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat, semisal TWI. Contohnya, pemerintah mengharapkan investasi dana wakaf tunai dilakukan di LKS-PWU yang ditunjuk. Hal ini jelas membatasi ruang gerak masyarakat yang ingin melakukan wakaf tunai. Selain itu, lembaga-lembaga swasta yang bergerak di bidang penggalangan dana wakaf tunai tidak bisa menggunakan dana tersebut secara leluasa. Jika ketentuan dalam pasal 22 ayat (3) yang menyatakan bahwa wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk hadir di lembaga keuangan syari’ah penerima wakaf tunai (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf tunainya diterapkan, maka sebagai konsekuensinya, lembaga-lembaga semcam TWI tidak berhak lagi menerima dan mengelola wakaf tunai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction