Kalimat di atas tentu terasa begitu keras jika diucapkan. Banyak mata akan terbelalak seakan tidak percaya kalau kalimat itu ditujukan kepada kita. pendusta agama, wah...serem banget..!! Tapi, kalau kemudian kita mau mawas diri, ya..setidaknya di awal tahun ini...kita tentu tidak kaget kalau ternyata ciri-ciri pendusta agama itu ada pada kita (wah..kok pake kata "kita" sih... mungkin saya sendiri kali...hehehe..sori).
Untuk lebih jelasnya, marilah kita tengok surat al-Ma'un. Di sana Allah memperingatkan kepada kita bahwa peluang menjadi pendusta agama itu begitu terbuka lebar buat semua orang, termasuk kita. Ciri pertama adalah suka menghardik anak yatim. Pengertian menghardik di sini bisa bermakna luas, yakni sering menyia-nyiakan anak yatim, menyakiti hati mereka dengan perkataan buruk, atau tidak suka membantu membiayai biaya hidup dan pendidikan mereka. Padahal, peduli kepada mereka tidak mengharuskan kita merogok kocek dalam-dalam lho. Cukup sekedar kemampuan kita. Bantuan kita sungguh akan meringankan beban hidup orang tua mereka yang tinggal seorang. Bayangkan, jika sang ayah dulunya adalah penopang ekonomi keluarga, lalu ia harus kembali ke haribaan-Nya lebih awal, tentu sang ibu yang hanya tinggal di rumah akan merasakan beban berat tatkala memikul tanggung jawab membesarkan dan mendidikan anak-anaknya. Kalau kita mau merasakan kepedihan hati sang ibu tersebut, mari kita coba terapkan di keluarga kita. Andai kita sebagai ayah, lalu meninggal dalam usia muda, betapa perihnya istri kita menghadapi cobaan itu, tak terkecuali anak-anak kita yang kehilangan figur pengayom keluarga. Hidup harus tetap berjalan, sedangkan penghasilan praktis terputus. Lalu, siapa yang akan membantu keluarga yang kita tinggalkan? Nah, merasakan ilustrasi ini, tentu kita akan mudah bergerak untuk segera melihat lingkungan kita, lalu mencoba menghitung-hitung rezeki kita, siapa tahu kita dapat menyisihkan sedikit untuk membantu mereka.
Ciri kedua dari pendusta agama adalah tidak suka membantu orang-orang miskin. Orang miskin adalah kelompok orang yang secara ekonomi kurang beruntung. Mereka miskin disebabkan oleh situasi yang memang kurang memberikan kesempatan bagi mereka memiliki harta. Pendidikan rendah, kualitas diri terbatas, atau keterbatasan modal dapat menjadi pemicunya. Yang jelas, mereka hidup kekurangan dan tak jarang mengharap belas kasihan dari orang lain. Kelompok semacam ini dalam ajaran Islam telah menjadi salah satu prioritas untuk dibantu. Zakat misalnya, wajib didistribusikan pertama-tama untuk orang fakir miskin. kemiskinan adalah awal kemunduran. Kemiskinan akan menjadi pemicu rendahnya tingkat kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup. Jadi, mengkayakan orang miskin adalah salah satu langkah untuk membangun peradaban Islam. Nah, pendusta agama tentu segan mengeluarkan sebagian hartanya untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Ia merasa bahwa harta yang berada di genggamannya adalah hasil keringatnya, hasil banting tulangnya sepanjang waktu, sehingga sayang untuk berbagi dengan saudaranya yang tak mampu. Pertanyaannya kemudian, apakah kita termasuk kelompok ini? Nah, ini saatnya kita mengaca diri.
Ciri ketiga adalah orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. Kita masuk kelompok ini? Ah, masak sih? Kita kan sudah shalat lima waktu, bahkan ditambah shalat-shalat sunnah lainnya. Rasanya enggak mungkin lalai..!!! Eit... Tunggu dulu. Ternyata lalai shalat ini bukan berarti tidak mengerjakan shalat lima waktu lho..!!! Yang ditekankan di sini adalah orang-orang yang mengerjakan shalat hanya sekedar lipstik alias shalat sebagai rutinitas belaka. Padahal, shalat yang sebenar-benarnya adalah shalat yang dapat mencegah diri kita dari perbuatan keji dan mungkar. Perbuatan keji itu biasanya dilakukan oleh anggota badan kita, misalnya memukul, menendang, atau marah-marah, sedangkan perbuatan mungkar umumnya dilakukan oleh hati kita, seperti perasaan sombong, suka pamer, dan iri hati. Shalat yang sesungguhnya adalah shalat yang mampu mencerahkan pikiran dan hati seseorang. Sehabis shalat, semestinya seseorang memperoleh transfer kekuatan dari sang Pencipta akibat dekatnya hati dengan Allah. Dengan begitu, komunikasi yang terbangun indah dengan Allah akan diterjemahkan kepada dalam kehidupan nyata.
Nah, gimana, susah kan untuk menghindari kemungkinan jadi pendusta agama? Yah, memang sulit untuk bisa benar-benar menjadi mukmin sejati. Tapi tak apalah, kita harus berjuang terus-menerus memperbaiki diri demi terhindar dari sikap pendusta agama. Semoga Allah memberikan limpahan rahmat dan kekuatan-Nya kepada kita sehingga kita termasuk orang-orang yang bisa hidup bahagia di dunia ini dan di akhirat kelak. Wa Allah A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar