Awalnya, sang kyai tidak tertarik dengan tawaran syetan. Tetapi, setelah dipikir-pikir, lumayan juga 30 dinar setiap hari, kyai itu pun bersedia menerima 'negosiasi' licik itu. Kyai pun kembali ke rumahnya sambil tak sabar menunggu pagi untuk melihat 'hadiah' syetan.
Di hari berikutnya, saat membuka mata, kyai langsung merogoh bawah bantalnya. Betapa gembira harinya bahwa 30 dinar yang dijanjikan syetan ada di tangannya. "Wah, kalau begini, aku bisa cepat kaya," gumamnya dalam hati sambil tersenyum cerah. Ia tak lagi harus banting tulang mencari nafkah setiap hari. Ia juga tak harus keliling kampung untuk berdakwah sekaligus mencari bisyarah. Ia hanya cukup bermalas-malasan di rumah sambil menunggu ayam berkokok yang menandakan datangnya rezeki nomplok di awal hari.
Selang beberapa hari, ketika sang kyai bangun pagi dan merogoh bantalnya, ia terkejut bahwa uang hasil kesepakatan dirinya dan syetan tidak ia temukan. Ia coba tidur lagi dan mengulang memasukkan tangannya pelan-pelan di kolong bantalnya. Lagi-lagi ia kecewa. 30 dinar belum datang seperti hari sebelumnya. "Wah, mungkin syetan lupa kali," pikirnya menenangkan diri. Beberapa hari setelahnya, ia juga tak mendapati dinar sekeping pun. Mulailah ia marah karena syetan telah mengingkari janjinya.
Sang kyai pun mengambil kapak yang ia dulunya ia gunakan untuk menebang pohon. Ia berniat kembali memusnahkan pohon yang jadi sesembahan masyarakat. Di tengah jalan, ia dihadang syetan. "Hai Kyai, mau kemana kau?" suara syetan setengah meledek. "Aku tak mau lagi kompromi denganmu. Kini sudah saatnya aku hancurkan berhala pohon itu." "Hahaha, tunggu dulu. Mari bicara yang enak. Memangnya ada apa kok tiba-tiba ingin menghancurkan pohon itu?" Takut ketahuan belangnya, sang kyai tak menggubris ledekan syetan. Ia berjalan setengah lari menuju pohon di bukit sana. Syetan yang sejak tadi menertawakan kyai itu menjegal kaki kyai yang membuatnya terjatuh. 'Hai, Kyai, ayo bertanding dulu kalau mau memusnahkan pohon kesayanganku!" "Baik, sudah dua kali kau kalah masih saja berani menantangku. Ayo maju!" seru kyai.
Pertempuran pun berlangsung seru. Namun, nampaknya, kali ini sang kyai harus mengakui kekuatan syetan. Ia sepertinya kehilangan jurus-jurusnya dan akhirnya terkapar kesakitan tak berdaya. Ia heran mengapa ia bisa kalah telak. Sambil terbahak-bahak, syetan mendekatinya. "Kyai, tahukah kau mengapa kau sekarang kalah?" "Dulu, kau menang karena kau benar-benar ikhlas ingin menegakkan agama tuhanmu. Kini, kau datang bukan untuk itu, tetapi kau datang dengan hati marah karena jatah dinarmu beberapa hari ini tidak kau dapatkan. Itulah kekuatanku yang bisa menaklukkanmu. Hahahahaha...." Sang kyai hanya tertunduk lesu dan malu. Ia sadar bahwa perjuangan akhirat tak dapat ditukar dengan kesenangan dunia yang hanya sesaat. Penyesalan tinggal penyesalan. Masa yang sudah lewat tak mungkin datang kembali.
Di hari berikutnya, saat membuka mata, kyai langsung merogoh bawah bantalnya. Betapa gembira harinya bahwa 30 dinar yang dijanjikan syetan ada di tangannya. "Wah, kalau begini, aku bisa cepat kaya," gumamnya dalam hati sambil tersenyum cerah. Ia tak lagi harus banting tulang mencari nafkah setiap hari. Ia juga tak harus keliling kampung untuk berdakwah sekaligus mencari bisyarah. Ia hanya cukup bermalas-malasan di rumah sambil menunggu ayam berkokok yang menandakan datangnya rezeki nomplok di awal hari.
Selang beberapa hari, ketika sang kyai bangun pagi dan merogoh bantalnya, ia terkejut bahwa uang hasil kesepakatan dirinya dan syetan tidak ia temukan. Ia coba tidur lagi dan mengulang memasukkan tangannya pelan-pelan di kolong bantalnya. Lagi-lagi ia kecewa. 30 dinar belum datang seperti hari sebelumnya. "Wah, mungkin syetan lupa kali," pikirnya menenangkan diri. Beberapa hari setelahnya, ia juga tak mendapati dinar sekeping pun. Mulailah ia marah karena syetan telah mengingkari janjinya.
Sang kyai pun mengambil kapak yang ia dulunya ia gunakan untuk menebang pohon. Ia berniat kembali memusnahkan pohon yang jadi sesembahan masyarakat. Di tengah jalan, ia dihadang syetan. "Hai Kyai, mau kemana kau?" suara syetan setengah meledek. "Aku tak mau lagi kompromi denganmu. Kini sudah saatnya aku hancurkan berhala pohon itu." "Hahaha, tunggu dulu. Mari bicara yang enak. Memangnya ada apa kok tiba-tiba ingin menghancurkan pohon itu?" Takut ketahuan belangnya, sang kyai tak menggubris ledekan syetan. Ia berjalan setengah lari menuju pohon di bukit sana. Syetan yang sejak tadi menertawakan kyai itu menjegal kaki kyai yang membuatnya terjatuh. 'Hai, Kyai, ayo bertanding dulu kalau mau memusnahkan pohon kesayanganku!" "Baik, sudah dua kali kau kalah masih saja berani menantangku. Ayo maju!" seru kyai.
Pertempuran pun berlangsung seru. Namun, nampaknya, kali ini sang kyai harus mengakui kekuatan syetan. Ia sepertinya kehilangan jurus-jurusnya dan akhirnya terkapar kesakitan tak berdaya. Ia heran mengapa ia bisa kalah telak. Sambil terbahak-bahak, syetan mendekatinya. "Kyai, tahukah kau mengapa kau sekarang kalah?" "Dulu, kau menang karena kau benar-benar ikhlas ingin menegakkan agama tuhanmu. Kini, kau datang bukan untuk itu, tetapi kau datang dengan hati marah karena jatah dinarmu beberapa hari ini tidak kau dapatkan. Itulah kekuatanku yang bisa menaklukkanmu. Hahahahaha...." Sang kyai hanya tertunduk lesu dan malu. Ia sadar bahwa perjuangan akhirat tak dapat ditukar dengan kesenangan dunia yang hanya sesaat. Penyesalan tinggal penyesalan. Masa yang sudah lewat tak mungkin datang kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar