Senin, 23 Juli 2012

KETIKA SEORANG MUALAF HOMELESS KE KANTORKU

Kemarin, aku kedatangan seorang tamu yang cukup memprihatinkan. Ia mengaku bernama Ardhian dan baru satu bulan memeluk Islam. Aku awalnya tidak simpati karena betapa banyak tamu yang datang ke kantorku dengan wajah memelas. Maklum, kantorku dikenal sebagai lembaga penyalur zakat kepada orang-orang yang berhak menerima. Aku dan kawan-kawan sudah meneguhkan diri untuk tidak mudah terayu oleh kesan pertama ketika ada tamu yang meminta bantuan. Sejumlah prosedur sudah kami bakukan agar kami tidak tertipu atau kecolongan seperti waktu-waktu lalu.

Ardhian tidak memiliki KTP. Menurutnya, KTP miliknya diminta oleh ketua RT saat ia memproses e-KTP di Batam. Meskipun ia asli berasal dari Tegal, ia sudah lama berdomisili di Batam dan aktif bekerja paruh waktu di Singapura. Ia mengaku sering bolak-balik ke luar negeri, seperti Macau dan Pilipina demi menjalankan tugas sebagai pekerja di Casino.

Ketika ditanya mengapa ia berganti agama, ia mengisahkan bahwa sebagai orang Katolik, ia tidak mendapatkan kedamaian hidup. Ia biasa bermain judi, minum minuman keras, dan berperilaku bebas layaknya orang yang tak beragama. Tapi, ia sering terkesima dengan perempuan-perempuan TKW yang memutuskan untuk tetap berjilbab di tengah gempuran budaya bebas yang tidak mengenal agama. ia pun penasaran dan bertanya kepada mereka. Jawaban para wanita muslimah itu adalah bahwa mereka mempunya ial-Qur'an sebagai pegangan hidup. O ya? Seberapa besar al-Qur'an menyinari hidup mereka? Tentu prosesnya tidaklah sebentar, jawab para TKW muslimah itu.

Ardhian mencoba mendalami ajaran Islam dari kawannya. Ia lebih sering ke masjid untuk sekedar mempererat hubungan dengan orang-orang Islam. Akhirnya, ketika ia bertanya kepada salah satu kawannya dan menyampaikan niatnya untuk menjadi Muslim, maka kawannya itu mengantarkannya untuk bertemu dengan salah satu takmir masjid. Ketika bertemu, sang takmir tidak keberatan untuk mengislamkannya tetapi ia meminta Ardhian untuk memikirkan secara mendalam segala akibat yang ditimbulkan oleh perubahan keyakinannya. Cukup lama ia merenung dan akhirnya memutuskan untuk tetap mau masuk Islam. Ia pun mengucapkan syahadat dan menjadi Muslim.

Bulan Juni lalu, ia pulang ke kampung halamannya untuk bertemu dengan istri dan anak semata wayangnya. Tetapi, apa yang tidak dibayangkan sebelumnya terjadi. Istrinya marah dan tidak ingin hidup bersama lagi. orang taunya pun memukuli dan mengusirnya dari rumah. Ia pun dikejar-kejar hingga ia bisa menyelamatkan diri dengan menumpang bis jurusan Malang di terminal. Ia tak tahu mau kemana. Yang jelas, ia telah selamat dari murka orang tuanya.

Sesampai di Malang, ia ingat bahwa ia punya kawan yang tinggal di sekitar kawasan bendungan Karangkates. Namun, karena terlalu malam dan tidak ada ojek atau taksi yang lewat, ia pun tertidur di pos bis terakhir. Naasnya, persediaan uang yang ada di saku celananya dicuri orang saat ia terlelap tidur. Akhirnya, ia menjadi gelandangan selama satu bulan di Malang dan berpindah satu tempat ke tempat yang lain. Sampailah ia di kantorku atas arahan seorang mahasiswa dengan kondisi yang amat mengenaskan.

Aku berunding dengan kawan-kawan kantor untuk mencari solusi yang tepat untuk meringankan bebannya. Kami pun bersepakat untuk membelikan tiket Malang-Jakarta dan Jakarta-Singapura untuknya. Pembelian tiket tersebut dimaksudkan untuk  berhati-hati agar dana zakat tidak disalahgunakan dan sesuai dengan hajat mualaf itu. Selain itu, kami memberi sejumlah uang untuk bekal hidupnya hingga sampai tempat kerjanya di Singapura. Ia terlihat sangat gembira bahwa ia bisa kembali meneruskan hidupnya di perantauan. Ia berjanji akan mencari kerja yang lebih baik dan halal setelah kondisi kehidupannya pulih.

Akhirnya, aku berdoa semoga Ardhian dapat melanjutkan hidupnya di Singapura dan menjadi muslim yang taat, apalagi saat ini telah memasuki bulan puasa yang tentunya baru bagi dia. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction