Senin, 15 Agustus 2011

PUASA = JUJUR

Puasa telah menjadi kewajiban bagi umat Islam setiap tahun. Rutinitas ini kalau hanya sekadar dijadikan sebagai tradisi tentunya sangat disayangkan. Pelajaran sebulan penuh dengan aneka ibadah akan hilang begitu saja. Oleh sebab itu, renungan makna puasa haruslah terus kita dengungkan agar "rapor" ramadhan kita senantiasa menunjukkan peningkatan dan efek ramadhan dapat kita rasakan dalam 11 bulan berikutnya.

Apa pelajaran utama bulan puasa? Setiap orang boleh mengungkapkan pendapatnya. Namun bagi saya, puasa itu merupakan ajang untuk berlaku jujur. Puasa membuat kita harus menghindari dari segala hidangan yang menggugah selera milik kita. pada situasi normal, tak ada halangan bagi kita untuk meneguk atau menyantap masakan kesukaan kapan pun dan di mana pun. Tetapi saat puasa, rem iman itu membuat kita harus jujur bahwa tidak ada seteguk air  atau sesuap makanan pun yang boleh melewati tenggorokan kita meskipun tak ada seorang pun yang tahu. Kedekatan hati dan kesadaran jiwa bahwa Allah SWT ada di samping kita bahkan bersemayam di nurani kita membuat kita harus menahan payah bekerja dan lelah beraktifitas demi teraihnya puasa yang sempurna. Mengapa kita takut batal puasa? Itu semua karena kita ingin jujur pada diri sendiri bahwa perbuatan kita telah sesuai dengan tuntunan syariat. Jika tidak jujur, niscaya kita akan membuat seribu satu alasan dan dalih untuk melanggar aturan. Kita akan membuat serangkaian tipu muslihat agar orang tetap mengatakan bahwa kita puasa. Ternyata tidak! Kita tetap konsisten menjaga puasa kita. Itu berarti kita telah menjadi orang-orang yang jujur, yakni jujur setiap saat di kala sendiri apalagi di kala ramai.

Jujur merupakan perbuatan yang tak mudah. Betapa kita (terutama saya) begitu pandai memelintir lidah sehingga informasi yang kita sajikan berbeda dengan kejadian yang sesungguhnya. Berapa kali kita membohongi orang dengan tutur kata manis kita. Tidakkah kita lupa bahwa kita pernah berpuasa yang berarti kita telah melalui training rutin kejujuran? Negara kita yang dipenuhi oleh kasus korupsi menunjukkan bahwa puasa kita hanyalah lipstik belaka. Atau, lebih ringannya, kita tak mampu melawan situasi dan kondisi lingkungan kerja kita yang mengharuskan kita korupsi. Bisa jadi, tindakan kita untuk anti korupsi akan dianggap tindakan bunuh diri alias tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Tatkala kita jujur justru kita sendiri yang hancur. Orang-orang yang biasa bergelut dengan penipuan akan menganggap kita makhluk asing yang harus dienyahkan. Kalau korupsi sudah menjadi sistem, saya sendiri sulit untuk berkomentar. Minimal, kita harus menjaga diri kita untuk tetap jujur sebisa mungkin walau harus menelan pil pahit yang menyakitkan.
 
Akhirnya, mari kita maknai puasa kita! Mari berkata dan berbuat jujur. Orang beriman seharusnya bisa menerapkan kejujuran dalan setiap langkah hidupnya. Semoga Allah SWT menguatkan iman kita sehingga kita mampu menghadapi hidup ini dengan tetap menjunjung tinggi kejujuran. Amin...

Senin, 01 Agustus 2011

RAMADHAN TAHUN LALU: SEBUAH KENANGAN PAHIT

Hari ini aku puasa lagi. Ramadhan telah datang menghampiri. Aku harap aku bisa menjalankan ibadah puasa dengan penuh bahagia seperti tahun-tahun sebelumnya, kecuali tahun kemarin. Bila ingat puasa tahun lalu, aku ingin menangis mengenang betapa sedihnya hatiku saat itu. Hidup sebatangkara di negeri orang di bulan puasa adalah salah satu pengalaman paling pahit dalam hidupku. Betapa tidak! Jiwaku benar-benar kering tanpa suasana syahdu seperti biasa yang kurasakan.

Sebenarnya, aku patut berbangga bahwa aku punya kesempatan menginjakkan kaki di tanah Uwak Sam selama beberapa bulan. Perjuanganku untuk bisa lolos seleksi penerima beasiswa riset tidaklah mudah. Serentetan tahapan panjang telah berhasil kulalui hingga aku harus rela berpisah dengan keluarga mungilku demi masa depanku yang semoga lebih cerah. Lelehan air mata dan cucuran keringat aku abaikan agar aku bisa mengenyam secarik pengalaman hidup di kampung Obama. Tetapi apa yang terjadi? Okelah, banyak pengalaman berharga bagi keberlangsungan karir akademikku ke depan. Aku dapat mengakses sumber-sumber pengetahuan yang melimpah-ruah dan mengakses sederet pakar kenamaan yang selama ini hanya kukenal lewat dunia maya. Namun, ada satu bagian hidupku yang hilang, yakni kedamaian hati di bulan suci. Mengapa demikian?

Aku berangkat ke Amerika di akhir bulan Juni. Waktu itu aku harus mengikuti pembekalan budaya di New York. Saat keberangkatan, aku sendirian. Tak ada teman untuk berbagi cerita atau sekedar diskusi tentang rute penerbangan yang harus kutempuh. Tekad bulatku untuk terbang mengitari separuh bumi itu telah membuatku tegar. Alhamdulillah, aku sampai dengan selamat tanpa halangan yan berarti. Setiba di New York, aku bagai anak kecil yang dibuang di hutan belantara. Di hari-hari pertama, aku tak punya kawan Indonesia yang mendampingi. Otomatis, aku harus berjibaku untuk mempertahankan hidup di tengah budaya yang sangat asing.

Setelah sebulan penuh di New York, di awal Agustus aku terbang lagi ke Iowa, sebuah kota kecil yang berada di dekat Chicago, untuk melakukan riset. Di sini aku mulai merasakan hidup yang kian terjal. Lagi-lagi aku kesulitan untuk mengakses kawan-kawan sebangsaku. Untungnya, beberapa saat kemudian, aku kenal dengan Kang Eri, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Iowa. Aku banyak membebani dia untuk urusan-urusan kecil, seperti mengantar ke pasar dan menjemputku untuk shalat jumat. Tetapi, karena kesibukan kang Eri yang luar biasa, aku tak bisa mengaksesnya setiap saat. Paling banter, satu minggu cuma sekali. Alhasil, hari-hariku tetap sendirian menjalani hidup tanpa teman.

Saat bulan puasa tiba, suhu di Amerika sedang panas-panasnya. Sengatan matahari harus kurasakan berjam-jam lebih lama ketimbang waktu normal di tanah air. Waktu sahur adalah pukul 02.00 dan waktu buka adalah pukul 08.30. Sungguh waktu puasa terpanjang dalam sejarah hidupku. Selain itu, aku tak melihat sedikitpun suasana gemuruh di bulan suci itu. Seluruh restoran buka setiap saat dan orang-orang menikmati berbagai hidangan makanan lezat dan minuman segar tanpa perasan risih. Aku hanya bisa menelan ludah bila menyaksikan pemandangan yang sedikit aneh itu. Saat maghrib tiba, tak ada kumandang azan yang kudengar. Aku hanya mengandalkan jadwal waktu shalat yang kuunduh dari situs Islamic Finder. Terpaksa, aku bunyikan suara azan dari ponselku untuk menemaniku saat berbuka. Makan sendiri dengan menu seadanya menambah haru dalam hatiku. Hal ini jelas berbeda dengan suasana puasa di kampung halamanku. Aku dapat menikmati hidangan spesial buatan istriku dan dapat bercengkerama dengan kedua balitaku. Aku bisa terawih di mushalla dekat rumah bersama kawan-kawanku. Berbeda dengan itu, di Iowa, untuk ke masjid saja aku harus menempuh jarak satu jam perjalanan dengan mobilnya Kang Eri. Tanpa itu, aku tak bisa ke sana karena bis umum tidak melewati jalur depan masjid. Alhasil, aku tak pernah tawarih ke masjid. Selain jauh, waktu Isya adalah pukul 22.30 sehingga tak memungkinkan untuk ke sana. Akankah aku mampu melewati puasa sebulan penuh? Tak ada pilihan lain. Aku harus tegar melewati hari-hari sulit di negeri orang.

Puncak kesedihanku adalah saat malam takbiran. Adakah takbiran keliling di Amerika? Itu adalah hal yang mustahil alias hil yang mustahal. Jangankan takbir keliling, mendengar takbiran saja aku tak bisa. Suasana kota kecil Iowa dengan penduduk mayoritas non-Muslim mengharuskanku menahan perasaan. Malam Idul Fitri tak berbeda dengan malam-malam biasanya. Aku hanya bisa merayakan hari kemenangan itu sendirian. Ya, sendirian di apartemen yang sunyi. Lagi-lagi, untuk mengusir kesepian, aku buka laptop dan kuperdengarkan takbiran dari situs youtube. Bukannya senang, aku malah menangis sejadi-jadinya. Oalah, nasib-nasib! Betapa tersiksanya hatiku.

Saat shalat Id, aku tak lagi menumpang mobil kang Eri. Aku dengar kabar bahwa shalat Id akan dilaksanakan di sebuah aula hotel di dekat kampusku. Aku hanya butuh waktu 30 menit jalan kaki ke “lapangan” instan itu. Di sana, aku berharap bisa bertemu Kang Eri, kawan satu-satunya yang bisa menjadi pelipur lara. Tapi apa yang terjadi? Aku tak bisa mengakses kang Eri di tengah kerumunan orang-orang Arab yang memenuhi aula. Apalagi, sehari sebelumnya, Kang Eri kurang enak badan sehingga kemungkinan ia tidak bisa hadir di sana. Praktis aku melewati hari spesialku sendirian. Duh, aku sangat iri dengan beberapa orang yang bersalaman dan berangkulan akrab seusai shalat id. Kali ini, aku tak bisa lagi menahan derai air mataku. Gelak tawa bahagia mereka menambah kepedihanku. Aku tutup mukaku yang sembab sambil pulang ke rumah. Ah, ramadhan itu benar-benar sepenggal hidupku yang tak pernah kulupakan.

Dari pengalaman pahit itu, aku bisa menghargai betapa nikmatnya menjalani ibadah puasa di kampung halaman. Kehangatan keluarga dan handai tolan terasa sangat berharga dalam mendukung pelaksanaan puasa. Tahun ini, aku sudah kembali di tanah air. Aku akan lakukan segala cara untuk balas dendam sebagai ganti tahun lalu yang mengharubiru.

Sabtu, 30 Juli 2011

MENGENALI STRES SEBELUM TERLAMBAT

Belakangan ini saya jarang beronline ria di blogger. Saya merasa bahwa kosekuensi pekerjaan mengharuskan saya untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tugas-tugas ketimbang menulis lepas di media sosial ini. Status facebook juga jarang diupdate. Bukan karena saya sok perfect dalam bekerja, namun saya mungkin sedikit shock ketika harus kembali berkecimpung di dunia kerja yang sempat saya tinggalkan selama tiga tahun.

Setiap hari saya harus pergi pagi dan pulang sore bahkan larut malam. Urusan yang saya hadapi tidak selalu mudah. Kadang, saya harus bersitegang dengan rekan kerja atau membuat keputusan yang tidak populer. Maklum, saya saat ini bertanggung jawab mengelola dana umat yang jumlahnya cukup besar unuk ukuran saya. Jika tidak hati-hati, bisa jadi saya akan menjadi koruptor ternama setelah Gayus (hehehe). Selain itu, saya harus menyelesaikan segepok program pendidikan dan penelitian yang mengharuskan saya mondar-mandir dari satu kota ke kota lain, berdialog dengan sejumlah tokoh, dan membuat laporan secepatnya. Belum lagi tugas-tugas mendadak yang saya terima dari atasan yang tak kuasa saya menolaknya. Tugas-tugas sosial di masyarakat sekitar tempat tinggal saya juga tak bisa saya abaikan. Beban kerja yang overload menjadikan saya seperti robot yang harus melayani sekian banyak keinginan. Alhasil, saat pulang ke rumah, badan serasa tinggal tulang-belulang yang mengharapkan istirahat. Menulis lepas akhirnya jadi pekerjaan yang paling sulit saat pikiran mengalami titik jenuh.

Karena beban kerja dan tanggung jawab yang tak seimbang dengan kemampuan fisik, saya harus rela bersakit-sakit ria selama tidak kurang dari tiga bulan. Sakitnya sih tidak parah-parah amat. Saya terserang batuk, pilek, demam, dan pusing secara konstan dalam kurun waktu yang tidak biasa. Berkali-kali saya menemui dokter dan sejumlah resep obat yang katanya paling tokcer pun saya peroleh. Tapi, apa yang terjadi? Saya tetap tidak bisa sembuh total. Saat minum obat, bolehlah demam saya berkurang atau batuk saya sedikit reda. Namun, saat obat itu habis, saya harus rela menderita. Saya pun kembali ke dokter. Begitu seterusnya hingga saya bosan minum obat.

Beberapa waktu yang lalu sempat merenung, ada apa dengan saya? Dari sisi kecukupan gizi, saya kira saya sudah mempu memenuhinya. Dari sisi kebutuhan dasar hidup, saya rasa saya sudah berhasil meraihnya. Lalu apa lagi? Rupanya, saya telah terjangkit stress yang cukup akut. Salah satu dokter mengatakan bahwa obat apapun yang saya konsumsi tidak akan bermanfaat ketika kondisi fisik saya kelelahan. Saya harus berani mengistirahatkan diri agar kondisi tubuh kembali fit. Saya pernah menuruti nasehat itu dengan bed-rest selama beberapa hari. Namun apa yang terjadi? Nonsense, sakit saya tetap berlanjut. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa ternyata saya tidak lagi mampu menanggung beban kerja yang berlebihan. Ingin rasanya saya melayani dan menyenangkan banyak orang, tetapi ternyata tubuh saya memberikan sinyal bahwa saya harus bijaksana. Saya harus mampu membuat skala prioritas dan berani bertindak tegas dengan menolak secara halus tawaran pekerjaan dari kolega yang tidak mampu lagi saya kerjakan. Senang memang saat saya mendapat kepercayaan untuk memimpin tim dari satu program ke program lain. Tetapi apadaya, saya harus menyayangi diri sendiri sebelum terlambat. Stress rupanya sudah sedemikian parahnya sehingga saya harus segera bertindak sebelum menyesal.

Ada sejumlah tindakan yang saya lakukan. Di antaranya saya melakukan pendekatan kepada pimpinan agar beban kerja saya dikurangi atau dibagi dengan kolega yang lain. Awalnya, sang direktur agak kaget ketika saya menjelaskan kondisi saya yang kritis. Namun, dengan besar hati, akhirnya saya diberi kelonggaran dalam beraktifitas. Sejumlah program yang awalnya saya komandani harus saya relakan untuk diserahkan kepada orang lain. Selain itu, kerjasama yang baik dengan mitra kerja juga saya jalin sehingga kinerja tim tetap terjaga meskipun saya tidak berada di tempat. Mencari dukungan keluarga untuk memahami situasi kejiwaan saya pun saya lakukan. Alhamdulillah, dengan izin-Nya, saat ini, saya sudah mulai bisa kembali beraktifitas seperti sedia kala walau tak semaksimal dahulu.

Kisah serupa ternyata banyak dialami oleh kawan saya. Ia saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir studinya. Ia sudah banting tulang mengerjakan proyek keahliannya itu. Namun, berhubung tekanan jiwa yang terlampau berat, ia harus rela divonis dokter sebagi pengidap penyakit hepatitis. Duh, ia terpaksa harus mengubur sejenak impiannya demi pemulihan kesehatannya. Teman yang lain juga menunjukkan gejala yang mirip. Ia terserang migrain yang tak kunjung sembuh. Setiap ia akan mengawali kerja, migrain menyerangnya. Kali lain migrain itu dibarengi dengan rasa mual yang dasyat sehingga ia harus menghentikan aktifitasnya. Padahal dulu, ia tidak pernah mengalami hal semacam itu. Ada juga kolega saya yang kini tidak lagi bisa berhadapan dengan laptop atau komputer karena sinar radiasi yang menyilaukan. Uniknya, dalam tes kesehatan mata dan syaraf, dokter menyatakan tidak ada masalah dengan kesehatannya. Aneh, bukan? Mungkin inilah gejala yang disebut psikosomatik, yakni penyakit fisik yang berawal dari penyakit psikologis. Psikosomatik bisa berbentuk penyakit yang tak terdeteksi oleh dokter atau sebuah penyakit tiba-tiba yang tidak mudah penyembuhannya.

Dari pengalaman di atas, saya berani menyimpulkan bahwa penjagaan kesehatan fisik dengan makanan sehat dan berolah raga haruslah dibarengi dengan penjagaan kesehatan jiwa. Jika timbul tanda-tanda gangguan kesehatan yang tak lazim, segeralah berbenah. Siapa tahu, stress telah mengintai kita dan akan menyerang tubuh kita dengan sejumlah penyakit psikologis dan fisik yang menyedihkan.

PULUHAN JUTA "SAWERAN" DI MAKAM GUS DUR

Meskipun saya tinggal di Jawa Timur, bukan berarti saya punya kesempatan awal untuk berziarah ke makam Gus Dur. Paling banter, saya hanya lewat depan Pesantren Tebuireng saat melakukan perjalanan antara Jombang-Malang. Barulah bulan ini saya menyempatkan diri untuk bertandang ke Makam “Wali Kesepuluh” itu.

Bagi saya, makam Gus Dur tidak semegah yang saya bayangkan. Predikatnya sebagai mantan presiden, makam tokoh pluralisme itu sama sekali jauh dari kemewahan. Bayangan saya, makam Gus Dur berbentuk istana kecil dengan batu nisan yang terbuat dari marmer mahal. Pusaranya juga dibangun dengan arsitektur indah sehingga kewibawaan tokoh NU itu benar-benar terpancar. Ternyata tidak! Makamnya tidak beda dengan makam orang kebanyakan. Nisannya sederhana dan makamnya masih berupa gundukan tanah. Tak ada asesoris menonjol kecuali sebuah vas yang penuh dengan bunga sedap malam. Betapa kebersahajaan itu membuat hati saya terenyuh. Doa-doa yang dipanjatkan ratusan peziarah tanpa henti di dekat peristirahatannya terakhir mengukuhkan kebesarannya, kedekatannya dengan masyarakat, dan kecintaannya kepada negeri. Saya pun hanyut dalam kesedihan.

Di balik ritualitas di makam itu, ada permandangan tak biasa dibanding dengan kunjungan saya beberapa tahun lalu sebelum Gus Dur Wafat. Di sekitar makam, kini dapat ditemukan sejumlah kotak amal berlabel LSPT (Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng) yang jumlahnya sekitar lima buah. Karena saya kenal dengan bberapa tokoh pesantren itu, saya pun bertanya fungsi kotak tersebut. Pak Muhsin, salah satu tokoh penting di pondok itu mengatakan bahwa sejarah kotak itu diawali dengan munculnya kebiasaan saweran para pengunjung yang melemparkan sejumlah uang di makam Gus Dur. Kadangkala, uang tersebut dilemparkandi depan rumah Gus Sholah yang kini menjabat sebagai Pengasuh pesantren. Celakanya, uang berserakan yang jumlahnya sangat banyak itu diambil oleh sekelompok orang yang memanfaatkan kesempatan. Oleh sebab itu, pihak pondok berinisiatif membuat kotak amal khusus yang diperuntukkan bagi para peziarah yang ingin bersedekah. Sejak itu, masyarakat tidak lagi saweran di makam, namun mengalihkannya ke kotak LSPT.

Mau tahu jumlahnya? Pak Agus Maulana, ketua LSPT, mengatakan bahwa dana yang masuk lebih dari 20 juta perbulan. Bahkan pada bulan-bulan awal wafatnya Gus Dur, dana yang masuk bisa sampai 75 juta! Sungguh fantastik bukan? Meskipun sudah tidak ada di alam dunia ini, Gus Dur masih bisa mendatangkan manfaat bagi fakir miskin dan orang-orang susah yang diberi santunan oleh LSPT. Inilah salah satu bukti kebesaran Gus Dur hingga hari ini….

Selasa, 19 Juli 2011

SUSAHNYA MENGURUS IBU LANSIA

“Mak, Mbok ya ngerti aku, aku ini harus bekerja….kapan berangkatnya kalau harus ngurus Emak teruuuuuus?” suara kesal itu tiba-tiba meluncur dari bibir Kang Jabrik pagi ini. Ia rupanya sudah tak tahan lagi merawat ibunya yang lumpuh tak berdaya di kursi roda. sebentar-sebentar, sang ibu yang hampir buta itu memanggilnya untuk keperluan kecil. kadang ia hanya sekdar ingin dekat dengan anaknya. Kang Jabrik paham bahwa berkata kasar apalagi kepada ibu kandung adalah perbuatan yang dimurkai sang pencipta. Tapi, gimana lagi? Kalau hati sudah bergemuruh, pikiran jadi keruh, semua orang tak terkecuali ibu menjelma jadi musuh.
Tiap hari, Kang Jabrik harus sabar menyiapkan air hangat, memandikan ibunya, memakaikannya baju, menyuapi, hingga membersihkan kotoran di tubuh sang ibu yang penuh dengan bau tak sedap. Ia berusaha tabah dengan cobaan ini. Ia ingat bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Ia ingin menjadi anak yang berbakti dengan menyayangi ibunya sepenuh hati sebagaimana jerih payah ibunya membesarkannya hingga dewasa. Tapi, bagaimana jika kesabaran sudah di ujung ubun-ubun? Haruskah sang ibu jadi sasaran kemarahan yang tiada guna?
Tak dipungkiri, setiap manusia punya keterbatasan, termasuk dalam ketabahan menghadapi cobaan atau musibah. Keluh kesah sudah menjadi menu wajib yang terus dilagukan setiap saat.  Tatkala jaya, manusia sering lupa akan jatidirinya. Sebaliknya ketika berduka, tak segan-segan ia mengadukan kekesalannya kepada sang maha besar di atas sana yang dianggap harus bertanggung jawab atas nasib buruk yang menimpanya. Lalu adakah solusi?
Setiap penyakit ada obatnya selain kematian. Dengan kecerdasan serta tuntunan ilahiyah yang turun melalui nabi mulia, manusia sepatutnya bisa menjaga keseimbangan jiwa raganya dan mental spiritualnya sehingga masalah sesulit apapun akan dapat diselesaikan tanpa harus menimbulkan masalah baru. Kang Jabrik dalam cerita di atas sebenarnya tahu apa yang harus dikerjakan. Hanya karena terjadi pergulatan batin antara mengasuh ibunya dan pergi bekerja membuatnya tak bisa mengendalikan emosi sehingga tak bisa menahan luapan amarah dalam hatinya.  Mungkin, baginya, mengekspresikan perasaan tak tertahankan bisa menurunkan ketegangan syarafnya. Tetapi, bila dilakukan dengan cara yang kurang tepat, hasilnya bisa jadi bumerang. Itu artinya sama saja  menyiram api dengan besin! Kian mengenaskan bukan?
Saya rasa, cara yang paling tepat meredam kegalauan adalah menata hati dan menahan diri dengan diam beberapa saat. Kalau bisa, kita perlu mencari tempat baru untuk meneduhkan suasana yang keruh. Berwudhu adalah salah satu alternatif pendingin kepala. Baca istighfar yang banyak juga bisa meredakan kegelisahan. Pada intinya, beryoga ala shalat  alias meyakini kehadiran sang Pencipta di setiap ibadah dapat mengembalikan kesadaran akan jati diri kita yang lemah, berasal dari zat yang hina dan akan kembali tiada dalam kebakaan. Mumpung masih bisa berbuat baik, mungkin Kang Jabrik harus membuat perencanaan yang matang dibantu oleh saudara dan kawan-kawannya sehingga mengurus ibu lansia yang memang membutuhkan kasih sayang dan pengorbanan masih tetap bisa dijalankan dengan penuh keikhlasan. amin. Semoga….

Introduction