Sabtu, 24 Desember 2011

SECANGKIR KOPI PENCABUT NYAWA KAKAKKU


Sungguh, hingga aku menulis cerita ini, hatiku masih diliputi rasa duka yang mendalam. Ya, kesedihan yang mengejutkan aku alami karena  kakak sulungku mendadak harus menghadap Ilahi di usia yang masih belia, 41 tahun. Usia itu sebenarnya merupakan masa emas yang banyak dinantikan orang. Kematangan fisik dan emosi biasanya baru tercapai di awal umur kepala empat. Sayangnya, bagi kakakku, masa emas itu harus cepat-cepat diakhiri. Tuhan telah berkehendak untuk menutup kisah perjalanannya di muka bumi minggu ini.

Mas Hudi, begitu aku biasa memanggilnya, merupakan sosok pekerja keras yang pantang menyerah. Sikap hidupnya yang idealis dan disiplin membuatnya tak pernah berhenti berpikir untuk melahirkan konsep-konsep hidup yang mapan. Karirnya terbilang cemerlang dengan diraihnya jabatan mentereng di usia muda. Ia berhasil mencuri perhatian para direksi sehingga ia cepat naik jabatan. Itu tak lepas dari perjuangan panjangnya sejak kecil yang ulet dan gigih dalam berusaha.  

Ia pernah menjadi peternak ayam, lele, dan burung puyuh yang sukses. Saat kuliah, ia tak malu-malu mengais rejeki demi biaya kuliah dengan bekerja sebagai tukang tambal ban di Surabaya. Seusai wisuda, Ia mengadu nasib di pulau Sulawesi berbekal ijazah sarjana teknik yang telah dikantongi. Beruntung ia bisa diterima di PT Semen Tonasa sebagai tenaga lapangan.

Setelah bertahun-tahun mengejar karir, ia tak kuasa melawan takdir yang membuatnya harus mengundurkan diri dari perusahaan. Di pagi buta saat sahur, ia mengkonsumsi secangkir kopi. Sebenarnya ia tahu bahwa ia harus menjauhi minuman itu. Tetapi, entahlah, ia ingin sekali membekali puasa hari itu dengan hangat dan harumnya kopi. Tak lama kemudian, tekanan darahnya meninggi hebat sehingga ia tak sadarkan diri.  Istrinya panik dan mencari pertolongan para tetangga yang dengan sigap membawa kakakku ke rumah sakit. Setelah diperiksa lengkap, kakakku divonis telah mengalami stroke. Pembuluh darah otak kanannya pecah. Ia pun harus ikhlas dirawat sekitar satu bulan di Rumah Sakit Makasar.

Setelah masa perawatan dianggap cukup, ia melanjutkan pemeriksaan kesehatannya dengan cara rawat jalan. Mas Hudi seakan-akan kehilangan masa depannya. Impiannya untuk bisa terus berkarya di perusahaan terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Walaupun para pimpinan dan teman sejawatnya berharap ia kembali bekerja, ia tahu diri bahwa dirinya sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Kakinya yang lumpuh membuatnya tidak bisa bergerak leluasa. Meskipun begitu, ia berusaha untuk mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Ia latihan berjalan menggunakan tongkat penyangga dan akhirnya bisa berjalan tanpa alat bantu walau tidak tegap seperti sediakala.

Untuk mengisi waktunya yang kosong, ia mulai membuka toko elektrik kecil di rumahnya. Awalnya hanya untuk mengusir kejenuhan. Namun lambat laun, tokonya kian besar dan banyak pelanggannya. Sesekali ia kuwalahan melayani pembeli karena ia harus mondar-mandir sendiri untuk mengambil barang dan menghitung uang. Kepuasan pelanggan nampaknya jadi pemicu keberhasilannya dalam berdagang. Ia selalu memberikan arahan bahkan petunjuk teknis pemasangan dan perawatan alat dan barang elektrik. Alhasil, satu bulan penghasilan bersihnya tak jarang mencapai angka 10 juta. Luar biasa bukan? Seorang yang sudah tidak normal secara fisik ternyata masih bisa memberikan penghasilan untuk keluarga dengan jumlah yang jauh di atas gajinya saat masih di perusahaan. Suatu capaian yang membanggakan!

Sayang sekali, di puncak sukses usahanya, ia harus berhadapan dengan malaikat maut. Sore itu, tak biasanya ia berjalan kaki mengunjungi kawannya yang siang itu mau memasang aliran listrik di rumah barunya. Mas Hudi berniat untuk membantu mengarahkan cara tepat memasang saluran listrik. Ia ingin temannya itu bisa mengerjakan sendiri penataan listrik tanpa harus meminta bantuan petugas PLN. Ketika sang tuan rumah memberikan minum secangkir kopi, ia tanpa berpikir panjang meneguk kopi itu sampai habis. Mungkin dalam pikirannya, ia sudah lama tak menikmati segarnya kopi.  

Rupanya, saat itu adalah saat terakhir ia membantu orang lain. Setelah pulang, ia mandi lalu shalat. Tak lama kemudian, ia jatuh pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kali ini, ia terserang stroke untuk yang kedua kali. Pembuluh darah yang pecah tidak hanya di otak kanan, namun juga otak kiri dan belakang. Dua hari ia dirawat di ruang ICU. Setelah ibu kami tiba dan membacakan doa untuknya, ia pun menghembuskan napas yang terakhir.

Dari pengalaman ini, aku menyimpulkan bahwa kopi bisa jadi pantangan bagi para penderita tekanan darah tinggi. Stroke bisa muncul kapan saja ketika tekanan darah naik tak terkendali. Semoga pengalaman sedih kami ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction