Kemarin, aku punya pengalaman baru yang tentu sulit aku lupakan. Ada beberapa bule dari Jerman, Brazil, dan Belanda sedang berkunjung ke fakultas Syariah, tempatku bekerja. Awalnya, aku cuek karena soal menerima tamu asing bukanlah tugasku. Namun, tak kusangka, aku ditunjuk oleh pimpinan fakultas untuk menyambut mereka dan melayani pertanyaan-pertanyaan mereka seputar Islam.
Awalnya aku anggap ketemu mereka ibarat nostalgia. Maklum, sudah lama aku tidak bercengkerama dengan orang bule sekembalinya aku ke tanah air. Aku senang bisa berbaur dengan mereka. Hanya saja, aku merasakan beban berat untuk menjelaskan Islam kepada mereka. Hal ini bukan karena aku tidak bisa, tapi karena aku tidak menyiapkan materi khusus terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang cukup tajam. Misalnya, apa kelebihan Islam dibanding agama lain? bagaimana Islam meletakkan perempuan dalam masyarakat? Mengapa Islam terkenal dengan kekejaman dan kekerasan? Mengapa Tuhan harus ada? Mengapa setiap agam mengklaim dirinya sebagai agama terbaik? dan masih banyak lagi pertanyaan yang terkesan menyudutkan Islam.
Sesugguhnya, diskusi itu sangat penting. Aku sudah mati-matian menjelaskan kepada mereka sebisaku. Namun, nampaknya jawaban-jawaban yang keberikan belum memuaskan mereka. Mereka masih menangkap kesan bahwa Islam itu sering dimaknai sesuka hati pemeluknya terbukti dengan banyaknya aliran dalam Islam dan seringnya pertumpahdarahan di antara kaum muslim. Hem, memang sulit untuk memberikan gambaran Islam yang sempurna sementara kaum Muslimin sebagai pemeluknya seringkali berbuat sesuka hati dan membuat citra Islam semakin terpojokkan. Akhirnya, salah satu dari mereka berkesimpulan bahwa semua agama baik dan seseorang bisa mengambil ajaran-ajaran terbaik dari setiap agama untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kesimpulan semacam itu sudah sering aku dengar dari mereka yang tidak memiliki latar belakang agama yang kuat dan tidak memahami pentingnya beragama dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa hidup ini hanya di dunia saja sehingga berbuat sesuka hati dengan menjadikan nafsu sebagai ukuran adalah suatu keniscayaan.
Di akhir diskusi, aku menyampaikan bahwa misi kampus kami bukan untuk menjadikan setiap orang menjadi Islam tetapi menguatkan setiap muslim untuk menjadi manusia terbaik dengan memahami dan menghayati ajaran agamanya secara sempurna. Kami juga menghormati orang lain yang berlainan agama sehingga tercipta harmoni hidup yang menentramkan semua pihak.
Awalnya aku anggap ketemu mereka ibarat nostalgia. Maklum, sudah lama aku tidak bercengkerama dengan orang bule sekembalinya aku ke tanah air. Aku senang bisa berbaur dengan mereka. Hanya saja, aku merasakan beban berat untuk menjelaskan Islam kepada mereka. Hal ini bukan karena aku tidak bisa, tapi karena aku tidak menyiapkan materi khusus terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mereka yang cukup tajam. Misalnya, apa kelebihan Islam dibanding agama lain? bagaimana Islam meletakkan perempuan dalam masyarakat? Mengapa Islam terkenal dengan kekejaman dan kekerasan? Mengapa Tuhan harus ada? Mengapa setiap agam mengklaim dirinya sebagai agama terbaik? dan masih banyak lagi pertanyaan yang terkesan menyudutkan Islam.
Sesugguhnya, diskusi itu sangat penting. Aku sudah mati-matian menjelaskan kepada mereka sebisaku. Namun, nampaknya jawaban-jawaban yang keberikan belum memuaskan mereka. Mereka masih menangkap kesan bahwa Islam itu sering dimaknai sesuka hati pemeluknya terbukti dengan banyaknya aliran dalam Islam dan seringnya pertumpahdarahan di antara kaum muslim. Hem, memang sulit untuk memberikan gambaran Islam yang sempurna sementara kaum Muslimin sebagai pemeluknya seringkali berbuat sesuka hati dan membuat citra Islam semakin terpojokkan. Akhirnya, salah satu dari mereka berkesimpulan bahwa semua agama baik dan seseorang bisa mengambil ajaran-ajaran terbaik dari setiap agama untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kesimpulan semacam itu sudah sering aku dengar dari mereka yang tidak memiliki latar belakang agama yang kuat dan tidak memahami pentingnya beragama dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa hidup ini hanya di dunia saja sehingga berbuat sesuka hati dengan menjadikan nafsu sebagai ukuran adalah suatu keniscayaan.
Di akhir diskusi, aku menyampaikan bahwa misi kampus kami bukan untuk menjadikan setiap orang menjadi Islam tetapi menguatkan setiap muslim untuk menjadi manusia terbaik dengan memahami dan menghayati ajaran agamanya secara sempurna. Kami juga menghormati orang lain yang berlainan agama sehingga tercipta harmoni hidup yang menentramkan semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar