Satu minggu penuh saya mengikuti training Mediasi yang dilaksanakan oleh Maliki Mediation Center (M2C) Malang. Sungguh lelah badan saya karena harus masuk ruangan dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 05.00 sore. Untungnya, para trainer yang datang dari Walisongo Mediation Center (WMC) Semarang pandai membawa suasana sehingga waktu berlalu begitu cepat dan ilmu bermanfaat pun didapat. Awalnya saya agak khawatir bahwa materi yang akan disampaikan akan sama dengan pengetahuan umum yang bisa dipelajari dari kehidupan biasa tapi ternyata beda. Banyak teknik mediasi yang belum saya ketahui sebelumnya namun baru saya rasakan pentingnya saat menjalani pelatihan ini. Alhasil, saya puas dan gembira dengan skil baru yang kini memenuhi otak saya.
Pada jam-jam awal dana hari pertama, saya tak mendapat kesan apa-apa. Acara serimonial pembukaan berjalan biasa saja. Perkenalan para trainer juga tak terlalu istimewa. Bahkan, materi perdana tentang definisi konflik, sumber-sumber konflik, dan cara mengatasi konflik sudah sangat mafhum karena saya biasa membaca dan bahkan sering terlibat konflik, baik dalam sekala kecil maupun besar. Namun, ketika masuk hari kedua, saya baru merasa mendapat tantangan. Saat itu, sang trainer meminta kami membuat analisis tentang kasus konflik yang ada di sekitar kami. Saya dan kawan-kawan satu kelompok kecil menentukan satu topik hangat tentang perebutan masjid antara golongan NU dan Muhammadiyah. Nah, kali ini kami ditugasi untuk membuat model analisis yang dipetakan dalam beberapa ragam diagram. Pertama, kami membuat analisis konflik komunal ini dalam bentuk concept mapping. Lalu masalah yang sama harus diuraikan dalam bentuk conflict onion. Tugas terakhir adalah menuangkan konflik itu dalam bentuk conflict tree. Di sinilah, titik awal saya kagum dengan ilmu mediasi. Kami yang ditraining untuk menjadi mediator profesional harus mampu memetakan masalah secara obyektif dan cerdas. Obyektif mengandung arti bahwa kami harus mampu lepas dari atribut pribadi saat menghadapi fenomena konflik. Cerdas berarti kami harus jeli dan teliti memetakan masalah sehingga hubungan antara para pihak yang berseteru, unsur masyarakat yang terlibat, dan garis koneksi harus tertuang dengan lengkap. Dari gambar-gambar tersebut, sang mediator dapat memberikan jalan tengah yang "win-win solution" sehingga konflik bisa diatasi tanpa ada pihak yang merasa kalah. Inilah inti sari mediasi yang memberikan fasilitas bagi para pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar yang damai dan memuaskan.
Hari-hari berikutnya, saya dan kawan-kawan dilatih memerankan beberapa tokoh, dari para pihak yang bersengketa, mediator, co-mediator, dan observer. Dari pengalaman latihan langsung inilah saya melihat bahwa skil seorang mediator sangat menentukan berhasil tidaknya ia mengatasi masalah. Beberapa ketrampilan dasar yang harus dimiliki seorang mediator antara lain adalah kemampuannya menurunkan ketegangan konflik, menangkap akar masalah, mengembangkan sejumlah opsi solusi, dan membuat akta kesepakatan.
Pertama, skil yang dibutuhkan untuk menurunkan ketegangan konflik antara lain adalah sikap empati dan gaya bahasa yang menyejukkan. Untuk itu, mediator harus meluangkan waktu yang cukup dan pikiran yang jernih saat menerima para pihak yang bersengketa. Selain itu, gaya bahasa yang soft dan kemampuan memparafrasekan setiap kalimat negatif menjadi kalimat positif menjadi sebuah keniscayaan. Parafrase merupakan ketrampilan menangkap inti kalimat yang diucapkan oleh para pihak yang sedang emosi lalu ditransfer ke dalam bahasa yang halus dan menenangkan. Hal ini jelas tidak mudah dan butuh latihan berkali-kali sehingga menjadi satu skil yang menyatu dalam kehidupan.
Ketrampilan yang kedua adalah menangkap akar masalah. Saat kedua belah pihak mengungkapkan masalahnya, sang mediator harus memiliki skil mendengarkan dengan baik. Ia harus bersikap ramah dan mencatat hal-hal penting yang menjadi kerisauan para pihak. setelah itu, ia harus pandai membuat kesimpulan tentang posisi masing-masing dan menentukan poin-poin tuntutan kedua belah pihak. Misalnya, pihak satu menginginkan bercerai sedangkan pihak kedua ingin mempertahankan keluarga. Dari keduanya akan diketahui akar masalah yang melandasi perseteruan itu, contohnya masalah kurang kasih sayang.
Ketiga adalah ketrampilan memberikan pilihan-pilihan solusi. Kecerdasan mediator di sini akan diuji. Saat ia mampu menemukan akar masalah konflik tersebut, ia harus mampu membuat pilihan-pilihan solusi yang variatif sehingga kedua belah pihak akan menemukan titik temu kepentingan. Sebagai contoh, pihak suami sering keluar kota karena sang isteri kurang sabar dalam mengurus keluarga. Adapun sang isteri tidak bisa mengurus keluarga dengan baik karena uang belanja kurang dan suami jarang memberikan pujian. Nah, solusi yang ditawarkan bisa bermacam-macam, antara lain suami perlu memberikan uang belanja lebih banyak dan rela memberikan pujian kepada sang isteri sedangkan sang isteri perlu hemat dan lebih telaten mengurus keluarga. Jika kedua sepakat dengan pilihan ini, masalah konflik dapat diatasi dan perceraian dapat dihindari tanpa ada pihak yang dirugikan.
Terakhir, mediator perlu menuangkan kesepakatan para pihak dalam sebuah akta perdamaian. Akta ini akan menjadi landasan bagi kedua pihak seusai mediasi. Setiap poin harus dibacakan kepada kedua belah pihak sehingga setiap orang paham dengan kesepakatan yang dibuat. Di bagian akta perdamaian itu dibubuhkan tandatangan para pihak dan mediator.
Dari ketrampilan mediasi ini, saya berkesimpulan bahwa untuk menjadi pendamai ulung, dibutuhkan kesabaran yang ekstra, kemampuan komunikasi yang handal, dan kecerdasan yang mumpuni. Seni mediasi ini sangat bermanfaat tidak hanya untuk mengatasi konflik besar di masyarakat, tetapi juga sangat berguna untuk menyelesaikan konflik kecil dalam keluarga dan bahkan untuk konflik batin yang terjadi dalam diri sendiri. Salam damai dan semoga bermanfaat!
Pada jam-jam awal dana hari pertama, saya tak mendapat kesan apa-apa. Acara serimonial pembukaan berjalan biasa saja. Perkenalan para trainer juga tak terlalu istimewa. Bahkan, materi perdana tentang definisi konflik, sumber-sumber konflik, dan cara mengatasi konflik sudah sangat mafhum karena saya biasa membaca dan bahkan sering terlibat konflik, baik dalam sekala kecil maupun besar. Namun, ketika masuk hari kedua, saya baru merasa mendapat tantangan. Saat itu, sang trainer meminta kami membuat analisis tentang kasus konflik yang ada di sekitar kami. Saya dan kawan-kawan satu kelompok kecil menentukan satu topik hangat tentang perebutan masjid antara golongan NU dan Muhammadiyah. Nah, kali ini kami ditugasi untuk membuat model analisis yang dipetakan dalam beberapa ragam diagram. Pertama, kami membuat analisis konflik komunal ini dalam bentuk concept mapping. Lalu masalah yang sama harus diuraikan dalam bentuk conflict onion. Tugas terakhir adalah menuangkan konflik itu dalam bentuk conflict tree. Di sinilah, titik awal saya kagum dengan ilmu mediasi. Kami yang ditraining untuk menjadi mediator profesional harus mampu memetakan masalah secara obyektif dan cerdas. Obyektif mengandung arti bahwa kami harus mampu lepas dari atribut pribadi saat menghadapi fenomena konflik. Cerdas berarti kami harus jeli dan teliti memetakan masalah sehingga hubungan antara para pihak yang berseteru, unsur masyarakat yang terlibat, dan garis koneksi harus tertuang dengan lengkap. Dari gambar-gambar tersebut, sang mediator dapat memberikan jalan tengah yang "win-win solution" sehingga konflik bisa diatasi tanpa ada pihak yang merasa kalah. Inilah inti sari mediasi yang memberikan fasilitas bagi para pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar yang damai dan memuaskan.
Hari-hari berikutnya, saya dan kawan-kawan dilatih memerankan beberapa tokoh, dari para pihak yang bersengketa, mediator, co-mediator, dan observer. Dari pengalaman latihan langsung inilah saya melihat bahwa skil seorang mediator sangat menentukan berhasil tidaknya ia mengatasi masalah. Beberapa ketrampilan dasar yang harus dimiliki seorang mediator antara lain adalah kemampuannya menurunkan ketegangan konflik, menangkap akar masalah, mengembangkan sejumlah opsi solusi, dan membuat akta kesepakatan.
Pertama, skil yang dibutuhkan untuk menurunkan ketegangan konflik antara lain adalah sikap empati dan gaya bahasa yang menyejukkan. Untuk itu, mediator harus meluangkan waktu yang cukup dan pikiran yang jernih saat menerima para pihak yang bersengketa. Selain itu, gaya bahasa yang soft dan kemampuan memparafrasekan setiap kalimat negatif menjadi kalimat positif menjadi sebuah keniscayaan. Parafrase merupakan ketrampilan menangkap inti kalimat yang diucapkan oleh para pihak yang sedang emosi lalu ditransfer ke dalam bahasa yang halus dan menenangkan. Hal ini jelas tidak mudah dan butuh latihan berkali-kali sehingga menjadi satu skil yang menyatu dalam kehidupan.
Ketrampilan yang kedua adalah menangkap akar masalah. Saat kedua belah pihak mengungkapkan masalahnya, sang mediator harus memiliki skil mendengarkan dengan baik. Ia harus bersikap ramah dan mencatat hal-hal penting yang menjadi kerisauan para pihak. setelah itu, ia harus pandai membuat kesimpulan tentang posisi masing-masing dan menentukan poin-poin tuntutan kedua belah pihak. Misalnya, pihak satu menginginkan bercerai sedangkan pihak kedua ingin mempertahankan keluarga. Dari keduanya akan diketahui akar masalah yang melandasi perseteruan itu, contohnya masalah kurang kasih sayang.
Ketiga adalah ketrampilan memberikan pilihan-pilihan solusi. Kecerdasan mediator di sini akan diuji. Saat ia mampu menemukan akar masalah konflik tersebut, ia harus mampu membuat pilihan-pilihan solusi yang variatif sehingga kedua belah pihak akan menemukan titik temu kepentingan. Sebagai contoh, pihak suami sering keluar kota karena sang isteri kurang sabar dalam mengurus keluarga. Adapun sang isteri tidak bisa mengurus keluarga dengan baik karena uang belanja kurang dan suami jarang memberikan pujian. Nah, solusi yang ditawarkan bisa bermacam-macam, antara lain suami perlu memberikan uang belanja lebih banyak dan rela memberikan pujian kepada sang isteri sedangkan sang isteri perlu hemat dan lebih telaten mengurus keluarga. Jika kedua sepakat dengan pilihan ini, masalah konflik dapat diatasi dan perceraian dapat dihindari tanpa ada pihak yang dirugikan.
Terakhir, mediator perlu menuangkan kesepakatan para pihak dalam sebuah akta perdamaian. Akta ini akan menjadi landasan bagi kedua pihak seusai mediasi. Setiap poin harus dibacakan kepada kedua belah pihak sehingga setiap orang paham dengan kesepakatan yang dibuat. Di bagian akta perdamaian itu dibubuhkan tandatangan para pihak dan mediator.
Dari ketrampilan mediasi ini, saya berkesimpulan bahwa untuk menjadi pendamai ulung, dibutuhkan kesabaran yang ekstra, kemampuan komunikasi yang handal, dan kecerdasan yang mumpuni. Seni mediasi ini sangat bermanfaat tidak hanya untuk mengatasi konflik besar di masyarakat, tetapi juga sangat berguna untuk menyelesaikan konflik kecil dalam keluarga dan bahkan untuk konflik batin yang terjadi dalam diri sendiri. Salam damai dan semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar