Rabu, 07 April 2010
KEMBALI KE MUSHALLA
Pagi masih gelap. Gus Muh telah selesai menunaikan shalat subuh berjamaah di mushalla dekat rumahnya. Hatinya terasa tenteram dan damai karena dapat bersua kembali dengan kawan-kawannya yang sempat mengelukan kedatangannya. Ia tak menyangka kalau para tetangganya itu menyambut kehadirannya di tempat ibadah tersebut dengan ramah. Maklum, ini hari pertama ia shalat berjamaah setelah lama menghilang.
Sebenarnya ia sempat agak segan pergi ke mushalla. Sibuk bekerja, sakit yang panjang, dan musibah yang bertubi-tubi telah membuatnya jauh dari kegiatan ritual. Tetapi, sejak muncul kesadaran akan kebesaran Tuhan melalui berbagai pengalaman barunya, ia pun meneguhkan diri untuk lebih giat beribadah. Tuhan telah menegurnya dengan lembut.
Gus Muh tidak akan malu meski dianggap seperti orang yang "baru masuk Islam". Islam memang telah dipeluknya sejak kecil sebagai agama keturunan, namun rasanya belum mendarah daging seperti kakeknya yang kiayi itu. Dulu, keislamannya sering ia tutupi agar bisa bergaul dengan beragam orang sesama sopir. Maklum, bepergian tiap hari dan berhenti di sembarang warung kopi membuatnya lupa kehidupan akhirat. Teman bergaulnya tidak ada yang mengajaknya shalat, mengaji apalagi puasa. Tapi, ya sudahlah, itu dulu. Sekarang, ia sudah tobat.
Sakit paru-paru yang cukup akut mengajarinya untuk bersabar. Kasus tabrakan beberapa waktu lalu membuatnya kian hati-hati. Pengalaman mendekam di tahanan mengingatkan betapa Tuhan masih sayang padanya. Ia ingin selalu dekat dengan-Nya. Ia terlanjur jatuh cinta dengan Allah, Tuhannya. Salah satunya adalah dengan shalat berjamaah seperti pagi ini.
"Apa kabar, Gus? Senang bisa bertemu lagi." Cak Midun menyapa, memecahkan lamunannya. Kawan yang satu ini memang rajin ke Mushalla. Ia bahkan menjadi penggerak utama kegiatan pengajian di kampungnya.
"Baik, Cak. Alhamdulillah. Aku bersyukur bisa ke mushalla lagi." Mereka pun berjalan bareng.
"Saya tentu bangga dengan Gus Muh yang kian shaleh sekarang." Cak Midun memuji.
"Ah, nggak, biasa saja. Saya sekarang sepertinya lahir kembali. Saya sedih telah berbuat hal-hal yang merugikan. Saya sekarang kian sadar, kalau masa hidup saya semakin pendek. Entah besok, atau lusa, tahun ini atau tahun depan, pasti saya akan meninggal. Itulah sebabnya, selagi saya punya kesempatan, saya ingin memperbaiki jalan hidup saya. Cak Midun nggak keberatan tho kalau saya minta nasehat dan arahannya? Saya senang bisa bergaul dengan orang seperti Jenengan."
"Gus Muh bisa aja. Saya justru ingin berguru kepada Antum. Saya ini apalah, bisanya cuma begini ini. Lain waktu saya akan sowan ke rumah Gus Muh untuk belajar tentang kehidupan," jawab Cak Midun merendah.
"Wah, kayaknya kita bisa ngobrol di mushalla aja. Nanti malam saya akan datang lagi. Cak Midun tidak ada acara, kan?" Gus Muh bersemangat.
"Ya, nanti malam saya longgar, Gus!"
Akhirnya mereka sampai di ujung jalan. Cak Midun menjabat erat tangan Gus Muh sambil mengucap salam. Senyum cerah menghiasi bibir mereka. Kini,lembaran baru hidup Gus Muh siap menanti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ini Cerber ya, Om? Kisahnya menyentuh
BalasHapuskita janjian habis subuhan lho...
BalasHapusOke
BalasHapus